Renungan GKE

Sabtu, 19 Oktober 2013

GEREJA: MUTU ROMBENG HARGA SELANGIT?


Filipi 4:2-9

Saya tidak tahu andai kata suatu saat anda ditawarkan sebuah barang dengan mutu rombeng tapi dengan harga yang selangit. Harga sama, bahkan lebih mahal dari barang berkualitas. Anda berminat? Oh…oh…oh…! Bukankah yang rasional pada umumnya bahwa yang rombeng, barang bekas, lebih murah dari yang berkualitas? Bukankah wajar bila yang berkualitas lebih mahal dari yang rombeng? Dapatkah anda bayangkan bila orang berkelas, koq memakai baran rombeng? Gengsi dong? Di sisi lain, demikian pun para penjaja barang, tentu bersaing untuk menampilkan barang-barang terabik mereka dengan tujuan agar nilai jual melambung tinggi! Itu wajar semata! Dengan mutu berkualitas si pembeli pun merasa puas, berapa pun harganya akan dibayar walau isi dompet habis terkuras!

Oh, saudara…. Bukan hanya di dunia bisnis, tetapi hampir di berbagai aktivitas kehidupan prisif ini berlaku. Lihat saja di sekolah-sekolah, bukankan para murid yang akan diterima harus memenuhi standar tertentu? Bukankan itu juga menyangkut kualitas? Mau jadi CPNS? Oh, anda juga pasti di tes! Bukankah itu juga artinya masalah kualitas? Lalu tentang gereja? Apakah menurut saudara tidak hubungannya dengan masalah kualitas? Bukankah sering kita dengar orang menuntut pelayanan yang berkualitas? Khotbah yang berkualitas, ibadah yang berkualitas, ya pokoknya yang serba oke, serba berkualitas? Tidak heran bila banyak juga gereja melakukan berbagai renovasi maupun pembenahan di berbagai bidang, baik dari sarana pisik, sarana penunjang, bentuk ibadah , strategi, keuangan, hingga soal teologis. Sebab, bila tidak menarik, siapa yang tertarik?

Siapa yang tertarik, bila misalkan para pengurusnya sendiri gontok-gontokan? Bagaimana mungkin Gereja menyaksikan kebenaran Injil Kristus di tengah dunia, bila fakta menunjukkan bahwa di dalamnya sendiri terjadi konflik? Bagaimana kehidupan persekutuan dapat teratur, bila orang-orang yang seharusnya jadi pengatur malah cenderung susah diatur? Bagaimana mungkin warga jemaat mendengarkan kebenaran firman dan bersatu bila yang seharusnya menjadi panutan, justru menjadi pemicu konflik dan perpecahan? Akibatnya tentu saja pertumbuhan jemaat menjadi terhambat. Sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang percaya akan pemerintahan Kristus atas Gereja-Nya, konflik tidak semestinya terjadi. Tapi di sinilah titik persoalannya. Apa itu? Apalagi kalau bukan kurangnya rasa rendah hati dan semangat bersekutu dalam jemaat.

Seorang wartawan pernah bertanya kepada penginjil ternana D.L. Moody, orang mana yang memberi kesulitan paling besar dalam pelayanannya. Moody menjawab seketika, "Saya mempunyai kesulitan paling banyak dengan D.L. Moody dibandingkan dengan orang-orang mana pun yang masih hidup." Pernyataan Moody menggarisbawahi bahwa problem terbesar kita ternyata bukanlah setan dan anak buahnya. Mereka sudah dikalahkan oleh Tuhan Yesus di kayu salib. Problem terbesar kita tidak lain adalah diri sendiri. Sekalipun kita sudah percaya kepada Yesus, sifat kedagingan manusia yang berpusat pada diri sendiri dan egois itu masih melekat. Keakuan bahkan sering masih sangat kuat. Ketidakserasian hubungan, apalagi itu terjadi di antara para aktivis seperti Euodia dan Sintikhe, adalah hal yang tidak baik dibiarkan. Kita perlu waspada jika ada kecenderungan untuk mati-matian menjunjung gengsi.

Kita perlu waspada jika selalu berusaha keras agar setiap orang menghormati kita dan tidak ada yang meremehkan kita. Karena tanpa kita sadari, sikap semacam itu malah memperkuat keangkuhan dan kesombongan. Sederet masalah lain akan mengikutinya, seperti tidak mau ditegur, tidak mau mengampuni, dan merasa diri paling benar. Inilah keakuan yang perlu kita taklukan di dalam kehidupan kita. Inilah kondisi yang perlu kita waspadai agar tidak membelenggu hati kita. Sebelum orang bisa sepikir didalam Tuhan, maka sehati dan setujuan tentu tak pernah terwujud menjadi kenyataan!

Seperti juga yang kita ketahui, Mahatma Gandhi sendiri tidak pernah menjadi orang kristiani. Apa penyebabnya? Ya, tentu saja kalau bukan dari apa yang dilihatnya bahwa kehidupan Kristen itu justru tidak lebih baik dari yang lain. Bahkan ia pernah membuat pernyataan bahwa kita, para pengikut Yesus, seharusnya memikirkan hidup dengan baik. Ketika diminta untuk menyampaikan pesan pendek, ia menjawab, “Hidupku adalah kesaksianku.” Oh…oh…oh…! Rupanya kita juga perlu diajar atau belajar dari yang diluar kekristenan? Ya, itu perlu! Tak perlu malu-malu! Kita perlu rendah hati mengkoreksi diri seperti yang diungkapkan oleh Gandhi tersebut. Bila cara hidup kekristenan tidak jauh lebih baik dari yang lain, siapa yang tertarik? Sebagai Gereja atau selaku orang percaya, kita memang perlu menjelaskan pesan Injil sejelas mungkin. Namun, penjelasan yang paling jelas sekalipun tidak akan memenangkan hati banyak orang, bila kasih Kristus tidak menyatu dalam hidup kita terlebih dahulu.

Dalam nas ini Paulus menyampaikan sekaligus mengingatkan visi pelayanan Gereja, bahwa Injil Kristus yang kita perjuangkan adalah Injil yang di dalamnya ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra, dan belas kasihan. Rupanya di jemaat Filipi juga terjadi konflik, malah konflik antar pengurus Gereja. Orang-orang terpandang di persekutuan, antara Euodia dan Sintikhe. Euodia dan Sintikhe adalah dua orang perempuan yang terlibat dalam jemaat dan menjabat sebagai Diaken. Rupanya di antara keduanya sering terjadi perselisihan yang dikhawatirkan akan merusak persekutuan di antara anggota jemaat di Filipi. oh, ironis memang. Semoga hal yang demikian tidak terjadi di tempat Anda.

Paulus meminta kepada mereka untuk menunjukan sikap rendah hati dan juga kepada semua pihak yang terkait dengan perselisihan kedua perempuan tersebut agar segera menyelesaikan persoalan yang ada. Sikap mementingkan diri sendiri, acuh tak acuh, angkuh, yang hanya akan mendatangkan perpecahan, pertikaian, pertengkaran, perceraian, dlsb. Singkirkanlah itu! Ketidakcocokan ajaran, konflik antar pemimpin, pertikaian antar ras, pertentangan konsep, dlsb. tidak jarang mengakibatkan warga jemaat jadi kocar-kacir, kebingungan mencari ajaran yang paling pasti, yang paling benar, dan yang paling teratur.

Dalam dunia ini perbedaan pendapat pasti selalu ada, bukan barang baru. Kalau ada 10 kepala, biasanya juga akan ada 10 pemikiran. Banyak hal yang bisa membuat perbedaan pikiran atau pendapat. Biasanya hal itu terjadi karena perbedaan pandangan. Yang satu barangkali berpikir begini, yang lain barangkali begitu. Yang satu berpikir dari sudut pandang rohani, yang lain mungkin dari sudut pandang jasmani. Atau bisa jadi karena perbedaan tradisi, golongan, pendidikan, kepentingan dll. Masalah memang selalu ada. Beda pandangan memang selalu kita hadapi dimana saja. Dalam keluarga, di kantor, di organisasi, bahkan juga dalam persekutuan. Masalah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dan diselesaikan. Jadi, mengapa harus takut menghadapi sebuah perbedaan kalau justru perbedaan itu akan membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik untuk sebuah kebersamaan? Hanya saja, bersikaplah cerdas, jangan sampai masalah yang kecil justru menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.

Jika perilaku tidak selaras dengan pengakuan iman, maka ketidakselarasan itu akan menghapuskan kesaksian Injil yang kita sampaikan. Untuk membangun keserasian atau keharmonisan tentu dibutuhkan keterbukaan pribadi untuk sehati sepikir dalam Tuhan Yesus Kristus. Apa dasarnya? Ya, tentu saja seperti kata nasihat Rasul Paulus, milikilah “damai sejahtera Kristus yg melampaui akal untuk memelihara hati dan pikiran” (ay.7). Ya, hanya dengan demikian orang dapat mengungkapkan kebaikan hatinya dalam berbagai aktivitas tindakan. Itulah dasar orang dapat menaikan syukur. Itulah kunci melalui mana orang dapat berpikir positif, hidup rendah hati, sehati dan setujuan! Ya, itulah kehidupan gereja yang tentu Allah berkenan. Kehidupan persekutuan yang berkualitas. Gereja dengan kesaksian kehidupan yang menarik. Membuat banyak yang tertarik. Bukan sebaliknya, ibarat mutu rombeng harga selangit! Amin!