Renungan GKE

Minggu, 16 Februari 2014

YESUS DIMULIAKAN DI ATAS GUNUNG



Lukas 9:28-38

Pada suatu ketika Yesus naik ke atas gunung. Petrus, Yohanes dan Yakobus dibawa-Nya ikut serta. Yesus naik ke atas gunung itu tentu ada maksudnya.  Tapi bukan maksudnya untuk piknik menikmati keindahan alam biasa. Bukan, bukan demikian! Tetapi ada sesuatu yang  khusus. Sesuatu yang amat penting. Apa itu? Nah ini! Ia naik ke atas gunung untuk berdoa. Kenapa harus naik berlelah-lelah ke atas gunung bila hanya sekedar untuk berdoa? Kenapa tidak di rumah saja, atau di pinggir pantai, atau di Bait Allah saja? Atau di tempat lain misalnya? Kenapa untuk doa yang khusus ini Yesus dan mengajak tiga orang muridnya harus bersusah payak naik ke atas gunung segala?  Dan kenapa hanya tiga orang murid yang dibawa serta? Kenapa tidak semuanya? Gunung  melambangkan tempat yang tinggi! Dan di tempat yang tinggi itu Yesus hendak membawa mereka kepada hadirat Allah, eksistensi tertinggi dari kemahakuasaan Bapa-Nya.

Yesus naik ke atas gunung  bukanlah dalam rangka perjalanan biasa-biasa. Seperti Abraham membimbing anaknya Ishak ke puncak gunung, demikian Yesus membimbing para murid. Sesuatu yang ‘ajaib’ akan terjadi. Ketika Abraham membawa Ishak, di puncak gunung hanya ada mereka berdua dan kuasa Allah yang menaungi mereka. Demikianlah ketika Yesus membawa para murid, di sana hanya ada mereka saja dan kuasa Allah. Bagi Abraham, peristiwa di gunung adalah ujian bagi keteguhan imannya. Allah melihat keteguhan iman Abraham, Ishak tidak jadi dibunuh, Allah menyediakan seekor domba jantan sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Demikian pun pada  peristiwa Yesus membawa para murid ke atas gunung, untuk melihat keteguhan imannya. 

Dan, oh, ya… kenapa hanya tiga murid yang dibawa ikut serta? Kenapa tidak semuanya? Karena tiga orang murid ini, Petrus, Yakobus, Yohanes, adalah kelompok inti dari duabelas murid Yesus.  Ketiga murid Yesus ini mewakili para murid,  juga mewakili karakter pada umumnya kita manusia. Petrus adalah karakter si pemberani tetapi terkadang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Yakobus tipe murid yang tidak banyak bicara, jarang tampil memukau di depan umum, namu banyak karya. Sedangkan Yohanes adalah karakter orang cerdas, punya potensi besar, tetapi sedikit mandul dalam karya nyata. Di atas gunung itu mereka perlu dibentuk untuk menjadi manusia-manusia berkarakter, dibaharui dan dikuatkan.  Para murid akan melewati masa-masa sulit dalam hal mengikut Yesus, sementara iman mereka masih kerdil serta kurang mengerti pengajaran Yesus tentang penderitaanNya. 

Alkitab mencatat: “Kira-kira delapan hari sesudah segala pengajaran itu, Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. (ay.28). Sepanjang malam itu Yesus berdoa.Tentu saja ini bukan doa biasa. Tapi doa dalam pergumulan. Doa memohon kekuatan kepada Bapa-Nya atas pergumulan yang maha berat. Ya, pergumulan berat atas cawan penderitaan yang sebentar akan ditanggung-Nya atas dosa-dosa manusia.

Apa yang menarik dalam peristiwa itu? Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilauan. Untuk menggambarkan pemandangan unik ini, Injil Lukas mencoba menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. Kesan ini memberi makna bahwa yang terjadi pada Yesus bukan karena pakaiannya. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya. Pengetahuan kita mengenai alam baka terbatas, sehingga kita tidak dapat memahami dengan baik peristiwa ini. Yang jelas, Yesus penuh cahaya menyilaukan. Alkitab juga menyaksikan bahwa dalam kemuliaan itu juga Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus dan tampaklah tiga orang sedang bercakap-cakap dalam kemulian: Yesus, Musa, dan Elia.

Kenapa hanya Musa dan Elia? Musa dan Elia mewakili setiap orang yang pernah diutus oleh Allah menjadi perantara kepada manusia. Musa diutus untuk membawa pembebasan kepada bangsa Israel. Pembebasan itu bersifat duniawi. Pembebasan seperti itu tidak pernah dapat membebaskan dengan sepenuhnya. Manusia tetap berdosa, pemberontakan terhadap TUHAN tetap akan terjadi. Oleh karena itu kali ini, Allah mengutus AnakNya sendiri (Yoh. 3:16). Pembebasan yang dibawa oleh Yesus bukan semata-mata pembebasan secara duniawi, tetapi kehidupan kekal. Dalam ayat 31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan sorgawi yang ada di bumi. 

Bagaimana reaksi tiga murid menyaksikan suasana kemulian? Oh, saudara…para murid terbangun setelah ketiduran. Petrus secara spontan menjadi juru bicara mewakili para murid dan kita semua:  “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (ay.33b). Nah..nah..nah… sekarang muncullah sifat kedagingan manusia! Hanya ingin bernikmat-nikmat saja! Hanya kerasan di tempat kemuliaan saja. Tidak! Mereka tidak boleh berlama-lama di atas gunung itu. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera memikul salib. Dan para murid harus turun menghadapi realita kehidupan!

Pergumulan yang dihadapi Yesus adalah gambaran pergumulan yang juga kita hadapi dalam dunia nyata kita. Sebagai anak-anak Tuhan bagaimana sikap kita ketika menghadapi pergumulan dan penderitaan? Yang terbaik adalah ini! Milikilah sikap Yesus yang lebih bersungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya. Ya…berdoa dan berserah.  Berdoa dan berserah berarti mengarahkan hati kita kepada Allah, menyisihkan waktu untuk mendengar, merenungkan karya Allah dalam keheningan dan memperlambat keinginan-keinginan kita, sehingga kita memberi perhatian hanya kepada Allah, dan secara rahasia hadir dan masuk ke dalam kehendak-Nya. Seorang teolog termasykur Paul Tillich pernah mengatakan  “Jika kita mampu menyerahkan diri kepada Allah di tengah pergumulan, tetap percaya kepada-Nya, maka rachmat Allah menyentuh kita justru bila kita sedang dalam kesusahan dan kegelisahan besar, rahchmat Allah tetap menyentuh kita, toh pun kita berjalan di lorong-lorong kehidupan yang kosong dan hampa.” Amin!

(Pdt.Kristinus Unting, M.Div)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar