Renungan GKE

Jumat, 27 Maret 2015

YESUS SANG PEMBEBAS


Matius 21:1-11

Yesus dielu-elukan ketika ia masuk ke Yerusalem. Banyak hal menarik dapat kita jumpai dalam peristiwa yang luar biasa ini. Tentu juga banyak pelajaran penting bagi kita orang percaya dalam rangka memaknai minggu Sengsara VII ini. Mengajak kita untuk menyadari gambaran kita tentang Yesus Kristus, kepekaan terhadap tanda-tanda zaman serta kesadaran atas realita yang ada disekit disekitar kita.

Pertama, kedatangan Yesus bukanlah kedatangan yang tanpa perencanaan. Dalam kemahatahuaan-Nya, Yesus telah mempersiapkan kedatangan-Nya jauh sebelumnya. Namun yang menarik ialah persiapan Yesus bukan dengan sebuah kemegahan atau kemeriahan. Walaupun Yesus adalah Sang Raja, namun Ia memilih datang dalam kesederhanaan. Ya, hanya mengendarai seekor keledai. Lambang kebersahajaan, kelemahlembutan dan kerendahan hati. Sikap yang melayani, bukan yang dihormati.

Mungkin Anda pernah mendengar kata-kata, "Saya hanya seseorang yang melakukan pekerjaan keledai." Atau, "Anak itu keras kepala seperti keledai." Orang sering memakai kata keledai untuk mengatakan sesuatu yang remeh. Namun dalam Alkitab, keledai yang belum pernah ditunggangi dipandang layak dipakai, khususnya untuk tujuan-tujuan keagamaan. Oleh karenanya, tepatlah bila Yesus minta seekor keledai untuk ditunggangi saat hendak memasuki Yerusalem. Yesus ingin memperlihatkan bahwa sesuatu yang sederhana ternyata juga dapat mengemban tugas mulia. Betapa mulianya misi keledai sederhana tersebut! Betapa miripnya misi itu dengan misi kita sebagai pengikut Yesus!

Apakah kita bersedia menjadi keledai milik Tuhan? Seorang utusan Injil di Cina menyebut dirinya "Keledai Tuhan." Ia seorang Kristen yang rendah hati, "membawa" Tuhannya dengan setia dari satu tempat ke tempat lain dan mengajar sesamanya untuk melakukan hal yang sama. Tuhan membutuhkan "keledai" seperti itu di dunia masa kini, orang-orang rendah hati yang mau membawa Dia ke tempat asal mereka dan membuat Dia dikenal orang di situ. Apabila kita dapat mengembangkan "mentalitas keledai" yang sehat, maka kita akan memiliki aset yang luar biasa untuk menjalani hidup ini. Menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama. Untuk kemuliaan dan hormat bagi nama Tuhan di tempat dimana kita berada.

Kedua, kedatangan Yesus Kristus, Sang Raja Damai bukanlah untuk memerintahkan sebuah negara secara fisik melainkan bersifat rohani. Dia tidak datang untuk meluapkan murka-Nya tetapi datang memberitakan, membawa dan memberikan damai bagi bangsa-bangsa. Sebagai orang beriman, tentu kita telah mengetahui tentang siapakah Yesus yang sebenarnya. Namun pengetahuan dan pengenalan kita tentang Yesus kadang kala sangat dangkal. Kita mungkin hanya mengetahui tentang Dia dari apa kata orang. Kita kadang kurang berusaha mengenal-Nya sungguh-sungguh melalui Kitab Suci. Untuk itu, seringkali kita pun menolak-Nya bahkan melupakan-Nya.

Banyak orang tergoda untuk menjadikan Tuhan sebagai pembebas dalam rangka mendapatkan rasa aman yang sementara dan bersifat duniawi semata. Bebas dari penjajahan, sakit penyakit, kemelaratan, dan berbagai kekuatiran hidup lainnya. Tuhan lalu diburu lewat doa dan mujizat. Bila ini didapatkan, nah ini baru Tuhan! Rasa kagum dan hormat pun dikumandangkan. Ribuan ucapan syukur dalam bentuk kesaksian-kesaksian pastilah dilakukan. Tetapi bagaimana bila ini tidak nampak dan tidak didapatkan? Akh, disini rupanya tidak ada Tuhan! Orang mulai bersungut-sungut dan memburunya ke tempat lain sekira mendapatkannya di sana.

Di sekitar kita, ada banyak orang (mungkin juga kita sendiri) yang terikat oleh sekian banyak belenggu. Macam-macam bentuknya: ada ambisi politik, ada dosa dan kesalahan yang sulit dilepaskan, ada sakit dan derita berkepanjangan, ada kecemasan ekonomi rumah tangga, dll. Singkatnya kita tidak menjadi orang-orang yang bebas, hidup kita dibelenggu. Di sisi lain, tidak jarang Gereja juga ikut terseret untuk berlaku sebagai "sang pembebas" untuk memberikan rasa aman yang sementara. Sembuh dari sakit, kesuksesan, kemurahan rejeki segala macam ditawarkan. Doa dan mujizat dianggap sebagai satu-satunya yang paling spesial untuk dijajakan. Juga “kesuksesan” dianggap satu-satunya menjadi tujuan. Lalu berbagai bentuk kemasan tata ibadah pun disajikan semenarik mungkin. Tidak jarang, reklame dan iklan turut terpampang sebagai pendukung untuk menyemarakkan. Sadar atau tidak, Gereja lalu hanya berfungsi sebagai penjaja doa dan mujizat semata. Atau semacam obat penenang bathin yang membius sementara.

Ketiga, kedatangan Yesus, Raja Damai haruslah diresponi oleh setiap kita. Yesus Kristus, Juruselamat datang untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya kepadanya. Ditengah situasi kemiskinan yang berkelanjutan dan ketidakadilan merajalela seperti di era sekarang ini, kita boleh mengenal Yesus Kristus secara kontekstual. Maka persoalannya pertama-tama bukan sekedar tahu tentang siapa Yesus Kristus itu, melainkan apa yang diupayakan dan ingin dicapaiNya di tengah masyarakat yang juga ditandai dengan kenyataan ketidakadilan, kemiskinan dan marjinalisasi yang lemah, yang sakit dan berdosa, sehingga Yesus mempertaruhkan segala-galanya bahkan hidup-Nya sendiri.

Hanya memang, betapa banyak orang yang dengan antusias berseru, “Hosana!” pada hari Minggu Palma, tetapi beberapa hari kemudian mereka berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Sebagian orang mungkin sangat kecewa, bahkan marah, karena Kristus tidak menggunakan kuasa mukjizat-Nya untuk mendirikan kerajaan duniawi. Bukankah dengan diarak masuk ke Yerusalem, Dia telah menciptakan kesempatan emas untuk memperoleh dukungan rakyat? Bukankah Dia menawarkan diri-Nya sendiri sebagai raja? Ya, memang. Dia memang seorang Raja. Bahkan Raja di atas segala Raja. Tetapi bukan seorang raja dalam arti yang sempit. Atau seorang raja yang hanya mengambil keuntungan dalam kesempitan. Tidak! Yesus tetap fokus pada tujuan semula. Suatu misi yang mulia. Bagi pembebasan kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.

Dalam konteks ini, menurut Gustavo Gutierez tokoh garda depan teologi pembebasan Amerika Latin, gambaran Yesus Kristus adalah sebagai Sang Pembebas yang berbelarasa khususnya dalam terang harapan dari mereka yang miskin dan tersingkir oleh masyarakat. Mulai dari mereka yang paling miskin dan tersingkir dalam kancah kehidupan. Demikian juga umat Kristiani dihadapkan kepada Yesus Kristus yang diimaninya, mereka harus memilih meneladankan cara bertindak-Nya yang membebaskan, mewartakan suara kenabian atas ketidakadilan dan ketidakbenaran. Bahwa tujuan hidup yang sesungguhnya adalah keselamatan, bukan sekedar nikmat-nikmat dunia saja yang harus didapat.

Memasuki Minggu Sengsara ke VII ini, kita semua disadarkan akan tugas panggilan kita. Bahwa tugas kita bukanlah hanya sebatas menawarkan nikmat-nikmat rohani semata. Hidup beriman kita juga tidak hanya sebatas memburu doa dan mujizat saja. Bukan, bukan hanya sebatas itu! Yesus bahkan melibatkan kita dalam konteks kita untuk bekerjasama dengan rahmatNya demi cinta kasih dan pembebasan secara utuh bagi kemanusiaan. Kristus tidak menawarkan kekebalan dari kesulitan hidup, kesembuhan dari setiap penyakit, atau janji akan kesuksesan finansial tanpa usaha. Yang Sang Raja janjikan hari ini adalah diri-Nya sendiri sebagai kurban atas dosa-dosa kita, menjadi spirit untuk menghadapi tantangan kehidupan. Amin!

(Pdt.Kristinus Unting, M.Div)

Senin, 23 Maret 2015

MEWARISKAN NILAI-NILAI LUHUR “HADAT PAMBELOM UTUS ITAH”



I Korintus 10:1-11:1

Pada tahun 1911, seorang pemeran pengganti bernama Bobby Leach terjun di air terjun Niagara dalam sebuah tong baja yang sudah dirancang secara khusus. Ia berhasil terjun dengan selamat dan menceritakan tentang hal itu. Meskipun mengalami beberapa cedera ringan, ia bertahan hidup karena menyadari bahaya yang sangat besar dalam tindakan tersebut, dan ia telah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari bahaya.

Beberapa tahun kemudian, ketika sedang berjalan menyusuri sebuah jalan di New Zealand, Bobby Leach terpeleset kulit jeruk, jatuh, dan mengalami patah kaki yang parah. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal di sana akibat komplikasi dari peristiwa itu. Ia justru mengalami cedera yang lebih parah saat berjalan kaki di New Zealand daripada saat ia terjun di air terjun Niagara. Ia tidak siap menghadapi bahaya di situasi yang dianggapnya aman.

Nas ini memperlihatkan kepada kita tentang keadaan jemaat Korontus. Mereka telah mengalihkan perhatian mereka dari Kristus dan para pemimpin jemaat. Alih-alih meniru sifat-sifat yang menyerupai Kristus, mereka malah membiarkan kesetiaan mereka mengarah pada perpecahan dan perselisihan dalam gereja (1Kor. 1:10-13). Saudara, mungkin godaan hebat bagai gemuruh air di Niagara tidak akan membahayakan kita. Akan tetapi, suatu peristiwa kecil yang tampaknya tidak berarti bisa jadi malah dapat membuat kita jatuh. Mengapa demikian? Karena kita tidak hati-hati dan tak menyadari bahaya yang mungkin terjadi. Kita keliru karena berpikir bahwa kita berada dalam keadaan aman (1Korintus 10:12).

Kita diingatkan tentang perjalanan bangsa Israel di masa lalu dalam mengikuti pimpinan Tuhan. Semuanya dicatat "sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita" (ayat 11). Bukan hanya itu, Alkitab memuat banyak kisah dari masa lalu; supaya kita juga belajar mengetahui kehendak Allah bagi hidup kita. Paulus menasihatkan, "Sebab itu, siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (ay.12).

Bisa jadi sewaktu-waktu kita pun bisa jatuh. Jatuh memang tidak menyenangkan. Mungkin di masa lalu kita menyimpan kegagalan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang membuat kita bergumul hebat. Namun, di masa lalu kita juga mencatat kemenangan atas pergumulan, kebangkitan dari kegagalan, kelegaan dan pemulihan dari dukacita. Namun, siapa pun yang pernah terjatuh dalam hidupnya, akan mendapatkan pelajaran positif, jika peristiwa itu membuat kita lebih berhati-hati menjalani hidup.

Kita hidup di jaman di mana ilmu pengetahuan semakin tinggi namun moral-etis semakin menuju ke titik nadir terendah. Jalan pintas tidak jarang seolah jadi pilihan untuk mengatasi segala kesulitan. Tuhan semakin dikebelakangkan. Nilai-nilai kejujuran semakin langka. Dusta, penipuan, intrik-intrik busuk merajalela. Menghalalkan segala cara juga seolah hal biasa demi untuk mendapatkan kedudukan, jaminan hidup, dan kebahagiaan. Orang mungkin pergi ke gereja juga, tapi tidak jarang hanya dijadikan semacam obat stress penenang bathin sementara, sebelum bertarung kembali dalam kancah kehidupan selanjutnya. Karenanya tidak heran bila yang dicari adalah soal kepuasan untuk mendapatkan ketenangan bathin saja, bukan sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan supaya diberikan kesanggupan menghadapi tantangan.

Apa pentingnya kita belajar dari pengalaman masa lalu? ini penting! Terlebih karena kita hidup di jaman yang serba keras dan penuh kejahatan seperti sekarang ini. Orang yang belajar dari pengalaman kegagalan masa lalu pasti tahu jalan mana yang harus ia laluinya ke depan. Jalan kejahatan semisal korupsi yang dapat membawa bencana, tentu dihindarinya. Ya, jalan yang belok-belok, atau mudah terobang ambing oleh berbagai bujukan atau tawaran dunia yang menyesatkan tentu tidak disukainya. Dalam situasi yang demikian, nas ini menantang kita selaku umat Tuhan untuk lebih mawas diri.

Sudahkah saya selaku “bue” (kakek) atau “tambi” (nenek) mewariskan nilai-nilai luhur cara hidup rumah betang yang mengutamakan kebersamaan, handep hapakat, rasa senasib sepenanggungan? Sudahkah saya selaku “abah” (ayah) atau “umai” (ibu) meneladankan kesetiaan iman kepada “anak-esu” (anak-cucu) untuk mewariskan “hadat pambelom utus itah” (kehidupan etis-moral kaum kita)? Atau juga, sudahkah saya selaku orang muda mempersiapkan diri sebagai generasi penerus yang dapat dibanggakan bagi orang tua, keluarga, masyarakat atau gereja? Atau malah menjadi sampah yang kehadirannya hanya tambah mengotori dunia?

Semua jawabannya tentu berpulang pada diri kita masing-masing. Tergantung dari seberapa besar rasa takut akan Tuhan dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan! Sebagai orang percaya kita harus belajar dari pengalaman hidup. Harus selalu waspada terhadap godaan. Orang kristiani yang berkemenangan adalah seorang kristiani yang waspada, yang selalu berhati-hati bahkan ketika menghadapi kulit jeruk yang kecil, yang tampaknya sederhana namun yang justru mambuat kita dapat tergelincir! Amin!