Renungan GKE

Kamis, 10 Maret 2016

MENCERMATI PERSOALAN KRUASIAL YANG KITA HADAPI



Yeremia 1:4-19

Yeremia dipanggil oleh Tuhan. Ia dipanggil bukan untuk diusung dalam salah satu perahu partai politik menduduki kursi jabatan atau di kursi dewan. Atau jadi bupati atau gubernur atau aneka jabatan lain yang menggiurkan. Bukan! Tetapi ia dipanggil oleh Tuhan untuk tugas khusus menyuarakan suara kenabian. dan suara kenabian yang disampaikannya pun bukanlah menyuarakan “berkat” yang nikmat kepada umat. Tetapi penghukuman dari Tuhan jika tidak bertobat. justru tugas itu harus disampaikan kepada para pejabat negara dan para nabi-nabi palsu yang ada pada jamannya. ya, inilah tugas yang dalam istilah kitab yeremia disebutnya sebagai tugas “…untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” (ay. 10b).

Persoalan kruasial yang dihadapi Yeremia pada jamannya adalah kebejatan moral para elit politik yang tak terelakkan, dibarengi lenyapnya takut akan Allah dan hormat akan taurat-nya. Percabulan dan kecurangan menjadi biasa bahkan di tengah-tengah para imam dan nabi (psl. 5:30 dab; psl 6:13-15; 14:14). Daripada memberantas percabulan, mereka sebaliknya membantu penyebarannya. ironisnya, Yehuda yg menyembah berhala dan bercabul itu masih giat sekali melakukan ibadat keagamaan! Demikian pun cara kerja para nabi-nabi palsu se jamannya, yang pintar cari muka. Yang mulutnya manis demi mendapat simpatik dan demi keamanan pribadi! yang cuma beraninya mengatakan “damai sejahtera! damai sejahtera! tetapi tidak ada damai sejahtera." (bdk.yer. 8:11). namun yang tak pernah berani mengatakan tentang penghukuman tuhan secara lugas tentang hukuman yang menimpa.

Para imam-imam palsu yang dihadapi Yeremia juga adalah para imam yang mengeruk keuntungan dari jabatan mereka, dan ramalan mereka bahwa kapan pun Bait Suci Yerusalem tidak akan jatuh ke tangan orang Babel (psl. 6:13; 18:18; 29:25-32 dst). Nabi-nabi palsu itu meyakinkan umat Yehuda yg tertipu itu dalam optimisme yg dangkal (psl. 8:10-17; 14:14-18; 23:9-40 dst). Oh, dapat saudara bayangkan beratnya tugas itu! Lalu tanggapan Yeremia? Sudah dapat kita duga! Untuk tugas berat penuh resiko macam itu siapa yang suka? Apalagi bila nda jelas berapa uang saku atau bonus yang akan diterima. Terlebih bila nyawa sendiri jadi taruhannya? Akh, siapa yang mau mati muda dengan sia-sia? Anda mau?

Sama seperti manusia normal pada umumnya, seperti Anda dan saya, Yeremia pun dengan secara halus menyampaikan alasan penolakan. Suatu tugas pekerjaan yang mengusik kemapanan, menggoncang ’status quo’, menjungkirbalikkan konsep-konsep yang sudah dianut masyarakat, hanya mendatangkan risiko yang tidak kecil bagi sang pembawa berita, mungkin nyawa pembawa berita itu menjadi taruhannya.

Itulah sebabnya Yeremia gentar karena ia memahami betul risiko ini. Alasannya memang rasional. Dia masih muda, kurang pengalaman. Apa nanti kata orang bila seorang biasa, tak berpengalaman, tak punya nama, tak punya backing kuat, koq berani-beraninya menggugat cara kerja pemerintah yang nda becus soal hokum, soal kredit macet di Bank, soal korupsi, atau membongkar selingkuhan para pejabat?! Atau coba-coba menggubris perjuadian “dadu gurak” di setiap peristiwa menunggu jenazah, karena ternyata juga siapa sebenarnya backing kuat di balik semua itu? Oh, pantas saja bila masalah ini sepertinya tak pernah kunjung tuntas! Anda pasti tahu sendiri akibatnya bila berani sendiri menuntaskannya. Bisa jadi Anda sendiri yang akan dituntaskan!

Bila kita amati semua peristiwa pemanggilan Yeremia, memang unik. Secara saksama, di hadapan kita dipaparkan tentang Allah yang menjumpai dan menyentuh anak-Nya. Di sini Allah memperlihatkan kepada Yeremia bahwa kuat, hebat, mampu, dan keberanian hanya bersumber dari Dia semata! Inilah dasar pemanggilan Yeremia. Allah menjadikannya bukan sebagai seorang pengecut! Ya, “…untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” Melihat begitu banyaknya tantangan yang kita hadapi di tengah-tengah dunia ini, bisa saja kita takut memainkan peran kita dan menunjukkan identitas kita sebagai duta-duta Tuhan.

Melihat situasi jamannya Yeremia, rasa-rasanya koq hampir persis sama kayak yang ada di sekitar kita. Kebejatan moral para elit politik yang tak terelakkan dibarengi merosotnya rasa takut akan Allah dan hormat akan Taurat-Nya. Percabulan dan kecurangan menjadi biasa bahkan di tengah-tengah para “imam agama” (5:30 dab; 6:13-15; 14:14). Kemerosotan moral bangsa tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun telah menjamur hingga pelosok negeri.

Indikator yang bisa dijadikan dasar acuan kemerosotan moral bangsa Indonesia dapat terlihat dari memudarnya nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi. Menurunnya rasa hormat terhadap orang tua juga merupakan fenomena tersendiri. Terlepas dari pola-pola perilaku yang berkembang dari hubungan anak dan orang tua, secara keseluruhan orang tua yang mengeluhkan “kekurangajaran” anaknya banyak terdengar. Oh, menyedihkan sekali! Para elit politik hanya sibuk berebutan kursi jabatan, menghambur-hamburkan uang kepada para bidadari hanya memuaskan birahi!

Kebanyakan orang juga berebutan ingin jadi pemimpin, tapi jalan saja banyak yang tak terurus alias rusak. Lalu peran para pejabat Kristen yang ada di kantor, di kursi dewan, di depan kelas para mahasiswa, atau yang bekerja sebagai penegak hokum, dsb.? “Kami kan hanya melaksanakan urusan dunia, apa yang telah menjadi kewajiban. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Akh, maaf…maaf…maaf…! Akh, menggelitik sekali. Pantas saja soal judi “dadu gurak” di setiap peristiwa kematian saja tak pernah tuntas-tuntas juga! Apalagi persoalan lain yang semuanya menurun tajam!

Sementara peran Agama? Para tokoh agama? Atau Gereja? Akh…. Paling-paling bermanis-manis menyarakan “berkat” atau “damai sejahtera” semata. Promosi pun dibuatkan dalam baleho-baleho besar di pinggir jalan: “Hadirilah wisata rohani seorang Hamba Tuhan yang sudah sering pulang pergi ke sorga!” Atau hanya sibuk cari jiwa-jiwa, alih-alih ajaran dogma yang sesungguhnya, domba gereja tetangga dimasukan ke kandang memperbanyak gedung gerejanya.

Oh, menggelitik sekali! Sementara kemerosotan moral terus merosot tajam! Dan masih banyak anak-anak tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya! Sibuk persekutuan? Itu memang bagus! Sibuk mengikuti seminar rohani sana-sini! Sibuk cari gereja kesana-kemari, sibuk cari minyak urapan, sibuk cari berkat Tuhan? Ya, itu memang tak salah! Tapi hanya sibuk mencari “hak” dengan gereja, dengan Tuhan ini sikap kekristenan yang perlu dipertanyakan! Tuhan memang harus kita agungkan. Rutinitas agama memang terlaksana. Gedungnya memang semakin megah, ucapan syukur setiap waktu tak ketinggalan dilantunkan. Namun bila sumbangsih Agama begitu berhadapan dengan dunia nyata lalu menjadi mandeg ini yang disayangkan. Padahal Tuhan memanggil kita bukan menjadi Kristen pengecut. Dan ini yang memang tidak mudah! Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar