Renungan GKE

Sabtu, 13 Februari 2016

KEMARAHAN YANG DILANDASI KASIH



Lukas 19:45-48

Yesus masuk kota Yerusalem. Ia masuk kota Yerusalem tentu saja bukan maksudnya sebagai turis rohani. Atau sekedar menikmati indah dan megahnya kota Yerusalem (maklum, Yerusalem disebut-sebut sebagai personifikasi kota Sorga yang ada di bumi). Bukan itu maksudnya. Tetapi Yesus masuk kota Yerusalem untuk melaksanakan misi suci, mengorbankan diri-Nya sebagai korban yang sempurna dari Allah sendiri dalam rangka penyelamatan umat manusia. Menjadi tebusan bagi dosa manusia. Sesampainya di kota Yerusalem, demikian dicatat dalam kitab Injil, Yesus lalu menangisi kota itu. Tangisan yang sarat makna. Seperti seorang bapa menangisi anak kesayangannya yang tidak memahami akan betapa jauhnya kini mereka menyimpang dari hidup yang seharusnya (bdk. Luk. 19:41-44).

Kemudian Yesus menuju ke Bait Allah. Tapi apa dinyana, Bait Allah yang seharusnya sebagai pusat tempat beribadah kepada Allah, tempat yang dianggap suci, sekarang rupanya telah berubah wajah menjadi pusat aktivitas para “penyamun” berjualan. Menjadi pusat “kejahatan”. Bait Allah yang seharusnya sebagai tempat persekutuan yang tentram, damai, tenang dan teduh menghadap hadirat Allah sekarang menjelma menjadi tempat yang sumpek, gaduh. Tak ubahnya seperti pasar, penuh kotoran dan sampah! Melihat keadaan yang demikian, Yesus marah. Yesus benar-benar marah. Bukan pura-pura marah! Ia mengusir para pedagang yang berjualan di halaman Bait Allah. Bangku, meja para pedagang dan para penukar uang pun dibalikkan-Nya.

Apa kesan saudara setelah mendengar kejadian tersebut? Oh, ternyata Yesus juga bisa marah? Astaga….. Bukankah Yesus sendiri pernah mengajarkan tentang kasih? (Mat.22:37-40). Bukankah Yesus juga pernah mengatakan: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”? (Mat. 5:5). Dan… tidak jarang pula, begitu mendengar istilah “kasih” maka yang ada di benak kita selalu identik dengan “lemah lembut”? Karena memang (bila mau jujur), bukankah kita juga sering beranggapan bahwa orang yang marah itu dapat dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kasih? Benar begitu saudara?

Tapi masalahnya, marahnya Yesus tidak sama dengan marah pada umumnya yang dilakukan oleh kita sebagai manusia! Karena kemarahan Yesus adalah kemarahan yang berdasar dan beralasan kuat. Kemarahan Yesus adalah “kemarahan Ilahi” yang tidak kompromi dengan dosa! Kemarahan Yesus adalah “kemarahan Ilahi” sebagai kasih yang tidak bersukacita karena ketidakadilan dan ketidakbenaran! (bdk. poin 7 dan 9 dari I Kor.13:4-7). Dengan kata lain, kemarahan Yesus didasarkan kesucian dan kebenaran dari yang Ilahi, yang sangat membenci berbagai macam dosa, kejahatan dan kemunafikan yang dilakukan oleh manusia! Ya, kemarahan Allah tentang apa yang seharusnya Allah katakana. Kemarahan tentang apa yang seharusnya Allah lakukan tepat pada tempatnya. Tanpa meminta ijin untuk menjaga perasaan manusia. Berbeda dengan manusia yang terkadang toh pun harus mengorbankan kebenaran dan keadilan demi menjaga perasaan sesama!

Jadi harus kita mengerti bahwa kemarahan Yesus bukanlah kemarahan tanpa dasar kuat, yang tidak terkait dengan kekudusan ke-Allah-an. Bukan pula kemarahan semacam pembenaran diri, untuk membela diri demi menutupi kemunafikan, yang dilampiaskan dengan kemarahan kepada orang lain dan menciptakan dosa-dosa baru! Tidak sama sekali! Karena itu saudara, janganlah kita main-main soal dosa. Allah menuntut kekudusan. Firman Allah sendiri berkata: “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (I Pet.1:15).

Lalu soal Yesus mengusir para pedangan di halaman Bait Allah? Nah… nah… nah…! Ini juga perlu dipahami dengan hati-hati sesuai dengan konteks dasarnya. Sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru lepas dari konteknya. Karena tidak jarang, inilah juga nas yang sering digunakan untuk melarang orang mengadakan lelang atau bazaar di gereja. Benar saudara? Namun masalahnya tentu berbeda ketika kita memahami dengan benar konteks dimana Yesus memarahi dan mengusir para pedagang di halaman Bait Allah itu. Apa masalahnya? Nah, ini saudara! Yesus marah dan mengusir para pedagang itu, karena apa yang mereka lakukan sudah dianggap di luar batas! Karena itu Yesus menyebutnya sebagai sifat “kejahatan” atau “sarang penyamun”!

Betapa tidak saudara, sebab semakin banyak para pedagang berjualan di halaman Bait Allah, itu berarti semakin memperbanyak pemasukan pajak! Tidak heran bila Bait Allah diubah wajah menjadi pasar pusat perbelanjaan. Barang-barang yang dijual di halaman Bait Allah telah dileges, disegel! Setiap mereka yang akan mempersembahkan korban harus membeli disitu, karena itu yang dianggap resmi walau dengan harga yang membumbung tinggi! Bait Allah dijadikan semacam tempat strategis untuk lakunya barang jualan demi meraup keuntungan memperbesar pajak bagi kelompok tertentu, khususnya para pengelola Bait Allah yang bekerja sama dengan para pedagang yang ada di halaman Bait Allah.

Sementara di sisi lain? Jadilah Bait Allah (Rumah Doa/Rumah Allah) bukan lagi dalam suasana tempat dan pemandangan yang “agung” atau “suci”. Tapi penuh dengan kotoran hewan ternak, riuhnya kepak-kepak sayap merpati. Gaduhnya dentingan penukaran uang logam. Bisa jadi, tukaran recehan di halaman Bait Allah itu yang ditaruhkan di tempat persembahan! Bukankah (maaf!) itu yang sering juga orang lakukan? Sambil diiring syahdu lagunya: “Persembahan kami sedikit sekali…..”. Akh! Kan yang penting hatinya, sela Anda! Benar, kita memang tidak boleh meremehkan soal tulusnya hati. Hanya masalahnya, Yesus pun benar-benar melihat dan memuji bukti nyata persembahan si janda miskin dari yang ia taruhkan! Bukan sekedar melihat hatinya! (Luk. 21:1-4).

Itulah manusia. Terkadang memberi yang serba “sedikit sekali” tetapi meminta kepada Allah inginnya yang serba “banyak sekali”. Dapat Anda bayangkan sekilas situasi dalam lingkungan Bait Allah! Di halaman maupun di dalam! Lingkungan Bait Allah hanyalah korban! Umat hanyalah objek pemerasan yang telah terstruktur! Sementara orang lain mengngambil keuntungan dalam kesempitan! Itulah yang membuat Yesus marah! Yesus tahu sampai ke akar-akarnya perbuatan busuk apa yang mereka perbuat, walau hampir tak Nampak karena diselubungi oleh kemunafikan dan dicengkeram oleh sistim tangan kekuasaan yang kuat! (bdk. ayat 47b).

Kembali pada pertanyaan, bolehkan orang mengadakan lelang atau bazaar di gereja? Jawabnya sederhana. Tergantung apa motivasi dan tujuannya! Bila itu dilakukan demi kepentingan persekutuan bersama, dikelola dengan baik, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, salahkah? Dan ayat mana dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa lelang atau bazaar untuk kepentingan persekutuan bersama itu tidak boleh? Apa bedanya dengan yang dilakukan oleh jemaat mula-mula, bahkan ada yang berbisnis menjual rumah serta ladang mereka demi untuk kepentingan persekutuan bersama? (Kis. 4:32-36). Sementara di sisi lain, yang kita lakukan hanyalah mengedar kantong kolekte. Ya, serba kolekte! Maaf! Apa bedanya dengan tukang minta-minta?!

Kita juga memang tidak boleh meremehkan arti kuasa dan mujizat. Tapi tugas gereja bukanlah sebagai penjaja doa yang dianggap satu-satunya! Atau mengajarkan umat yang hanya sibuk memburu mujizat semata! Tidak! Tetapi juga bagaimana hidup menjadi lebih baik dan sejahtera di dunia, mampu menjalani hidup secara kreativ sehingga dapat berbagi bagi sesama yang lain juga. Karena itu, mana lebih baik lelang dan bazaar yang bisa memberi, ketimbang kolekte yang hanya bisa meminta? Karena itu persoalannya bukanlah hanya sekedar boleh atau tidak, tetapi apa motivasi dan tujuannya? Sebab bila gereja sendiri melarat, jadi tukang minta-minta, apalagi bila sampai jadi beban bagi masyarakat, lalu kapan ia bisa berbagi banyak bagi dunia nyata dengan segala macam persoalan kebutuhan jasmani nyata yang menuntut jawaban nyata pula sebelum mereka menuju dunia rohani di akhirat sana..??!! AMIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar