Renungan GKE

Selasa, 26 Maret 2019

KATA TERUCAP KAKI TERTANCAP !




Lukas 15:11-32

Pilihan kata-kata yang digunakan dapat menentukan kepribadian, kualitas diri, serta isi hati seseorang. Yesus sebenarnya tidak sekedar menanggapi laporan tentang kematian orang-orang Galilea yang dibantai Pilatus ketika mempersembahkan korban yang jadi inti persoalan. Tetapi lebih pada maksud tersembunyi dari kata-kata serta isi hati si penyampai berita yang Yesus persoalkan untuk dikoreksi dan diluruskan (Ay.1).

"Mulut anda yang menentukan siapa Anda” seperti sering orang istilahkan, persis gambaran yang terdapat pada diri para penyampai berita. Sebenarnya (walau secara tersamar), mereka hendak mengatakan bahwa orang Galilea yang mengalami kematian secara mengenaskan itu, karena dosa mereka. Mereka memang layak menerimanya!

Mulut mereka berisi kata-kata penghakiman tentang dosa orang lain. Sementara mereka sendiri tanpa sadar, bisa jadi jauh lebih berdosa dari mereka yang mengalami kematian yang mengenaskan itu. Yesus menegaskan, bahwa setiap orang dapat mengalami hal yang sama sebagai hukuman bila tidak bertobat. Persis seperti Yesus katakan memang akhirnya terjadi pada penduduk kota Yerusalem yang sombong rohani. Rata dengan tanah! (Ay.3).

Tidak ada seorang pun manusia yang suci tak berdosa. Tak ada seorang manusia juapun yang kebal terhadap bencana. Toh ada, itu hanyalah anugerah semata. Janganlah ada manusia yang berbagga, sombong rohani, merasa telah suci dan luput dari ganjaran hukuman akibat dosa-dosa. Tidak terkecuali, mereka para penyampai berita. Juga termasuk kita semua. Kecuali bila bertobat serta membuka diri terhadap anugerah Allah (Ay.5).

Janganlah buru-buru menilai dosa orang lain. Jangan-jangan kita sendiri jauh lebih berdosa dari orang lain. Kita tidak mungkin membebaskan diri sendiri dari dosa. Karena itulah Yesus menderita dan mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. “Bertobat’ adalah kata kunci. Berbenah diri sebelum mati. Sebab bila kita hanya menilai dosa orang lain, tetapi tidak sadar akan dosa sendiri, maka yang akan terjadi, bak pepatah “kata terucap, kaki tertancap”! Amin!

SAMA-SAMA PREMAN


Lukas 15:11-32

Dalam perumpamaan, dua kakak beradik sama-sama preman. Namun dalam situasi yang berbeda. Si bungsu, sungguh tak tau diri. Ayahnya masih belum mati, tapi sudah minta setengah memaksa sang Ayah mengambil semua warisan yang jadi miliknya. Sungguh si anak tak tahu di untung! Terpengaruh gelimangnya kesenangan dunia, semuanya ludes tak bersisa. Hanya melekat compang camping baju dan celana di badan. Jatuh menderita. Untungnya, lahir kesadaran. “Sadar Diri” istilahnya. Bisa menyesal dan bertobat, kembali pada sang Bapa. Bapaknya, menyambut penuh kasih kebapaannya. Dulunya pendosa, bagai anak terhilang, laksana preman, tapi sekarang, preman pensiun!


Berbeda dengan si sulung. Mulanya baik-baik saja. Tak nampak gaya preman. Penurut, rajin bekerja, mengabdi. Taat beragama, Tapi ternyata, akhirnya yang aslinya terlihat juga. Terselubung sesuatu di hatinya. Pura-pura rajin, tapi ada udang di balik batu, diam-diam cari perhatian bapaknya. Berperhitungan atas apa yang dikerjakannya. Merasa diri anak yang baik, yang layak menerima upah lebih dari Bapaknya. Menghakimi dan iri hati! Sekilas terlihat suci, tapi bak kuburan hatinya. Ternyata keras kepala. Dulunya terlihat baik-baik saja, tapi justru akhirnya jadi preman sungguhan! Jadi preman yang semakin naik daun!

Secara implisit, perumpamaan ini ditujukan pada semua orang. Terutama bagi yang mengklaim diri suci, sombong beragama. Bagi Allah sebagai Bapa yang penuh kasih, bukan soal salehnya seseorang menjalankan ritus agama semata, tapi ketulusan dan kasih yang berdampak terhadap sesama. Bagi Allah sebagai Bapa yang Maha pemurah, bukan soal betapa kotor dan berdosanya kehidupan seseorang, tapi yang terpenting adanya sikap sadar diri, bertobat dan kembali. Perumpamaan tentang “anak yang Hilang” sekaligus panggilan bertobat yang ditujukan kepada kita semua, entak kita sebagai si sulung atau si bungsu. Bertobat dan kembalilah pada-Nya, Dia menanti kita dengan penuh kasih ke-Bapa-an-Nya. Kecuali bagi yang hari ini bertobat, besok kumat! Amin!



Senin, 25 Maret 2019

OH…AKU CEMBURU!



Lukas 13:31-35

Beberapa orang Farisi datang pada Yesus. Mereka menyampaikan berita untuk memperingatkan supaya Yesus menyingkir dari daerah itu, berhubung ada kabar ancaman dari Raja Herodes. Tumben? Koq ada Farisi yang baik hati mau menolong Yesus? (demikian ada pendapat sebagian orang). Namun bila diteliti lebih dalam, orang Farisi yang datang pada Yesus, sebenarnya bukan untuk menolong Yesus. Tetapi kurang lebih tindakan “aji mumpung”. Mumpung ada kesempatan untuk menyingkirkan Yesus. Untuk melampiaskan iri hati dan cemburu pada Yesus yang selama ini dikagumi banyak orang (Ay.31-32).

Rasa cemburu memang manusiawi. Bisa melanda siapa saja. Tidak perduli para tokoh agama sekaliber orang Farisi. Juga dapat melanda para umat Tuhan. Iri hati kepada tetangga yang kelihatan diberkati dengan kekayaan yang luar biasa melimpah, jabatan yang tinggi di dalam pekerjaan, istri yang cantik, suami yang tampan, anak-anak yang sukses dan lain sebagainya. Iri hati terhadap teman yang sekerja/sekantor yang memiliki prestasi kerja yang lebih baik dari kita.

Rasa cemburu juga sering terjadi dalam rumah tangga. Cemburu terhadap saudara sendiri yang diperlakukan lebih istimewa oleh orang tua. Dan (maaf), cemburu juga bisa melanda ranah pelayanan. Cemburu kepada rekan sepelayanan karena ia disenangi oleh jemaat. Cemburu melihat orang lain dipakai Tuhan dengan luar biasa di dalam lingkungan pelayanan.

PERTAMA: CEMBURU AKAN MENGGIRING KITA PADA DOSA

Saudara! Ketika cemburu menguasai hati kita, maka rasa tersebut mengakibatkan hal yang lebih buruk dan merugikan diri sendiri. Dapat menjerumuskan kita pada dosa. Mengapa cemburu bisa menjerumuskan kita pada dosa? Coba perhatikan ucapan Yesus: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu.” (Ay.34).

Lihatlah apa yang terjadi. Sikap yang cemburu selalu menutup diri. Mereka selalu berulang kali membunuh para nabi utusan Allah. Tak mau berobah. Tetap melakukan dosa yang sama. Pokoknya susah bila melihat orang senang, dan senang bila melihat orang susah. Demikian kira-kira pola hidup orang yang memiliki sikap cemburu. Jadi, berhati-hatilah! Jagalah emosi, dan jangan suka iri dan cemburu pada setiap kelebihan orang lain. Karena dosa selalu mengintip di depan pintu hati untuk melakukan kejahatan!

KEDUA : SILAHKAN CEMBURU

Statement yg kedua ini mungkin kelihatan bertentangan dengan point pertama, tapi tidaklah demikian adanya. Namun cemburu yantg dimaksudkan disini bukanlah cemburu yang negatif, tetapi cemburu yang positif. Cemburu yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik, pelayanan yang lebih baik, usaha yang lebih baik. Jadi pada saat kita cemburu dengan seseorang, bukan membenamkan diri dengan mengasihani diri sendiri. Tetapi memacu kita untuk melakukan sesuatu untuk tujuan yang lebih baik.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Yesus. Yesus cemburu terhadap penduduk Yerusalem yang berulang kali melakukan dosa yang sama dan tidak pernah mau bertobat. Yesus cemburu untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Kecemburuan Ilahi tersebut, tergambar dalam ungkapan metafora, Yesus gambarkan diri-Nya laksana induk ayam: “Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya, di bawah sayapnya, tapi kamu tidak mau.” (Ay.34).

KETIGA: DIBAKAR CENBURU ILAHI

Dibakar cemburu Ilahi yang dahsyat, memampukan Yesus mengalahkan dosa dengan cinta. Laksana induk ayam yang rela mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak-anaknya. Untuk itulah Ia rela menderita, sengsara, dan mati di kayu Salib demi dosa manusia. Sebagai anak-anak Tuhan, tanyakanlah pada diri kita masing-masing. Roh cemburu model apa yang menguasai hidup kita? Roh cemburu produk setan atau Roh cemburu Ilahi yang menyelamatkan?

Masihkah api cemburu produk setan mengusai dan menghancurlan hidup kita dan selalu mengarahkan kita untuk melakukan dosa? Menutup diri, meremehkan Tuhan, dan orang lain selalu dianggap ancaman? Atau sebaliknya. Adakah cemburu yang dibakar oleh api Ilahi membakar jiwa kita untuk memiliki kerinduan melakukan tindakan kebenaran? Hingga tidak pernah terhenti oleh sehebat apa pun bentuknya tantangan ancaman yang dihadapi? Amin!

Kamis, 21 Maret 2019

SUPAYA TERLUPUT DARI KEBINASAAN



Lukas 13:1-5

Anda pernah mengikuti prosesi pemakaman di pekuburan? Bila pernah (apalagi sering), maka juga pasti mendengar ucapan Hamba Tuhan dari Liturgi yang digunakan sembari menjatuhkan tanah tiga kali ketika peti jenazah diturunkan ke liang lahat: “Tanah memang asal tubuh manusia, sebab itu iapun kembali menjadi tanah, akan tetapi Tuhan Yesus Kristus yang pohon kehidupan, akan menghidupkan tubuh orang yang percaya untuk memperoleh kehidupan yang kekal.”

Menurut kesaksian Alkitab, tubuh manusia memang berasal dari debu tanah! Firman Tuhan berkata: “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej.3:19). Tubuh manusia yang dari materi (debu tanah), yang telah terkutuk karena dosa memang tidak kekal. Rapuh, mengalami penuaan, rentan terhadap sakit penyakit.


Tubuh manusia yang dari materi (debu tanah) tidak kebal terhadap bencana yang melanda. Cepat atau lambat, akan mengalami kematian, dikubur, kembali menjadi debu tanah! Tidak terkecuali, entahlah dia seorang pendosa atau taat beragama. Entah dia seorang pejabat, Mahasiswa, atau orang biasa. Semua mengalami hal yang sama.

Orang-orang di zaman Yesus terjebak pada suatu pemikiran, hanya sibuk mempersoalkan tentang tubuh yang materi. Berdosa atau tidak, masuk sorga atau tidak, dinilai dari cara matinya. Bila mengalami kematian karena musibah menimpa, nah, pasti karena dosa, tidak bakalan masuk sorga! Bila matinya secara tenang dan wajar, nah, pasti orang beriman, melenggang menuju sorga.

Tubuh yang materi, yang memang dosa adanya, yang memang akan binasa, mana mungkin masuk sorga. Lalu bagian mana dari diri manusia yang bersifat kekal? Pada bagian lain, Firman Tuhan katakan: “dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” (Pkh.12:7). Tidak kurang, Rasul Paulus jelaskan atas ketidakmengertian orang di Korintus: “yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah.” (I Kor.15:44b).

Lalu bagaimana supaya terluput dari kebinasaan? Tidak ada kata lain, selain bertobat! Dua kali dalam nas ini Yesus tegaskan jika tidak bertobat, siapa pun manusia pasti binasa! Sehebat apa pun cara beragama, apalagi yang hanya mengandalkan perbuatan, tetap akan binasa!

Suatu saat kita akan mati
Terbujur kaku seukuran peti
Dan dibawa ke tempat yang sepi.....
Harta kekayaan, gelar dan jabatan sudah tak berarti lagi
Kita takkan dapat menikmati makanan enak seperti dulu lagi
Kita tak dapat belanja ke berbagai mall lagi
Atau ketempat renang, atau ke tempat-tempat rekreasi
Semua sudah berakhir dan berhenti
Telpon, sms, masenger, fb tak terhubung lagi

Selagi hidup kita perlu mawas diri…..
Sebelum terbujur kaku di dalam peti
Dan diantar ke tempat yang sunyi
Perlu berbenah diri
Perlu bercermin diri
Perlu berhati-hati
Perlu bertobat dan perbaiki diri
Jangan salahgunakan berkat yang Dia beri
Berbagilah bila mendapat kelimpahan rejeki
Jangan dinikati sendiri

Sadarlah suatu saat kita akan mati…..
Diantar ke tempat yang sunyi
SIM, KTP, Ijazah, rekening Bank sudah tak berguna lagi
Hawa nafsu jangan dituruti
Perlu penguasaan diri
Dan harus peka terhadap segala situasi
Yang sekiranya dapat merugikan diri sendiri
Sikap takabur dan iri hati,
Jangan biarkan bersemayam di dalam hati
Karna itu juga menjadi catatan tersendiri
Yang juga turut menentukan kemana arah kita nati.

Bukan cara mati yang menentukan orang selamat, tetapi pertobatan sebelum mati. Bukan soal cara mati, tetapi kemana setelah mati! Yesus bersabda: “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup, walaupun ia sudah mati.” (Yoh.11:25). Amin!

Senin, 18 Maret 2019

DOSA DAN PENDERITAAN


Lukas 13:1-5

Apakah manusia menderita dan mati dilanda musibah umpama, selalu akibat dosa-dosanya? Apakah manusia yang sukses, melimpah segalanya, anak-anaknya berhasil pendidikan, terhindar dari bencana hingga mati dengan tenang selalu dianggap sebagai orang benar karena Allah berkenan memberkatinya? Jika demikian adanya betapa jahat dan kejamnya Allah itu.

Beberapa waktu lalu, manakala peristiwa bencana melanda di Palu, ada yang dengan bangga memposting gambar gereja tetap berdiri kokoh di kelilingi bangunan lain yang telah roboh dihantam bencana. Secara implisit, si pengirim gambar seolah mau mengatakan “lihatlah rumah Tuhan, tempat suci, tempat beribadah umat setia tanpa dosa, tetap kokoh karena Tuhan yang melindungi dan memberkatinya.”

Cara berpikir orang-orang pada zaman Yesus, terus melekat dan banyak mempengaruhi cara berpikir manusia dalam menilai sesamanya. Hingga mengokohnya dalam suatu ajaran yang disebut “Teologi sukses”! Bila tak sembuh-sembuh dari sakit, nah, pasti karena kurang beriman! Kena kutukan Tuhan! Bila sukses, nah, pasti karena hidup taat dan beriman! (Ay.1).

Apakah orang-orang Galiea yang mati dibantai Pilatus ketika mempersembahkan korban karena dosa mereka? Betapa naifnya cara berpikir yang demikian. Yang hanya menghakimi orang berdosa atau tidak berdosa hanya menilai berdasarkan dari cara mati seseorang.

Menentang pemikiran yang keliru, Yesus membentangkan suatu peristiwa yang hampir sama, peristiwa yang juga telah berlangsung tidak begitu lama berselang, soal delapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Bukankah di Siloam ada sebuah kolam, Malaikat Allah sesekali turun menggocangkan kolam itu dan menyembuhkan banyak orang? Tapi kenapa musibah itu koq juga bisa terjadi di sana? (Ay.4).

Menurut Yesus, bahwa orang yang mati karena ditimpa musibah, belum tentu lebih berdosa dari orang yang mati tanpa kena musibah. Dosa seseorang tidak dapat dinilai dari cara matinya. Tetapi kemana setelah dia mati. Yang sangat prinsip, bukanlah soal bagaimana cara mati, tetapi apakah ada pertobatan sebelum menuju mati?

Yesus sendiri bahkan mati dengan cara paling keji yang pernah ada di muka bumi. Mengalami penderitaan, terhina, hingga mati di salib, laksana seorang penjahat besar! Namun matinya justru laksana pupuk yang memberikan arti kehidupan. Dan apakah artinya mati dengan tenang tetapi akhirnya binasa menuju neraka, karena selama hidup tiada pertobatan? Karenanya, bertobatlah selagi ada kesempatan pintu pengampunan, sehingga beroleh kehidupan kekal setelah kematian! Bukan sekedar sukses selama hidup, tetapi menderita setelah kematian. Amin!

Jumat, 15 Maret 2019

ADA CINTA DI KEDALAMAN LUBUK HATINYA


Lukas 13:31-35

Bukan ancaman raja Herodes yang Yesus takutkan. Karena jangankan Herodes, setan pun ditaklukannya. Tetapi yang membuat Yesus berduka adalah sikap hidup penduduk Yerusalem yang tak pernah mau berobah. Hati yang keras sekeras batu, seolah bangga terus berkubang dalam dosa. Yerusalem yang seharusnya menjadi pusat kesucian Agama dijalankan, namun yang ada hanyalah hidup dalam kebejatan (Ay.31-32).

Di kedalaman lubuk hati-Nya, betapa gambaran lukanya hati Ilahi lewat ungkapan tutur bermakna; “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” (Ay.34).

Namun kasih setia Allah tak pernah terhenti. Kasih-Nya lebih tinggi dari langit biru. Lebih dalam dari lautan. Toh pun hukuman akhirnya juga dijatuhkan bagi penduduk Yerusalem, hingga kotanya rata dengan tanah, itu semata-mata Allah lakukan sebagai bentuk pembelajaran, bahwa “apa yang ditaburkan orang, itu juga yang akan dituainya.”

Dengan cara-Nya yang tak mampu terselami oleh pikiran manusia, Ia hingga rela mati tersalib di Yerusalem untuk membuktikan kasih-Nya yang terdalam. Kasih Allah tentu saja bukan kasih yang memanjakan. Bukan kasih murahan. Dosa tetaplah dosa yang pasti menuai akibatnya. Namun kasih-Nya selalu terulur sejuk manakala manusia membuka hati, bagi yang sadar sesadar-sadarnya akan segala dosanya, bertobat, berbalik mencari wajah Allah, maka hanya Yesuslah jawabannya. Amin!

Sabtu, 09 Maret 2019

YESUS DIMULIAKAN DI ATAS GUNUNG





Lukas 9:28-36

Pada suatu ketika Yesus naik ke atas gunung. Petrus, Yohanes dan Yakobus dibawa-Nya ikut serta. Yesus naik ke atas gunung itu tentu ada maksudnya. Bukan perjalanan biasa, bukan untuk piknik menikmati keindahan alam biasa. Bukan, bukan demikian! Tetapi ada sesuatu yang khusus. Sesuatu yang amat penting. Ia naik ke atas gunung untuk berdoa. Kenapa harus naik berlelah-lelah ke atas gunung bila hanya sekedar untuk berdoa? Kenapa tidak di rumah saja, atau di pinggir pantai, atau di Bait Allah saja? Atau di tempat lain misalnya?

Di atas gunung, jauh dari hiruk pikuk keramaiaan. Situasi yang tepat untuk berdoa. Tenang, teduh, dan fokus. Di samping itu, menurut para penafsir, bahwa gunung juga melambangkan tempat yang tinggi! Dan di tempat yang tinggi itu Yesus hendak membawa beberapa murid kepada hadirat Allah, eksistensi tertinggi dari kemahakuasaan Bapa-Nya. Sepanjang malam itu Yesus berdoa.

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya atas pergumulan yang maha berat. Pergumulan berat atas cawan penderitaan yang sebentar akan ditanggung-Nya atas dosa-dosa manusia. Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilauan. Yesus penuh cahaya menyilaukan. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya.

Dalam kemuliaan itu nampak Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus dan tampaklah tiga orang sedang bercakap-cakap dalam kemulian: Yesus, Musa, dan Elia. Dalam ayat 31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan sorgawi yang ada di bumi.

Bagaimana reaksi tiga murid menyaksikan suasana kemulian? Oh, saudara… para murid terbangun setelah ketiduran. Petrus secara spontan menjadi juru bicara mewakili para murid dan kita semua: “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (ay.33b).

Kenapa Petrus berkata demikian? Karena kagum, heran bercampur takut, menyaksikan kedahsyatan kemuliaan yang terjadi. Petrus tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, selain hanya ingin mengabadikan peristiwa yang baru saja mereka saksikan. Tidak! Peristiwa tersebut tidak hanya untuk diabadikan! Mereka tidak boleh berlama-lama di atas gunung itu. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera memikul salib. Dan para murid harus turun menghadapi realita kehidupan!

Ketiga murid Yesus ini mewakili para murid, juga mewakili karakter pada umumnya kita manusia. Petrus adalah karakter si pemberani tetapi terkadang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Yakobus tipe murid yang tidak banyak bicara, jarang tampil memukau di depan umum, namun banyak karya. Sedangkan Yohanes adalah karakter orang cerdas, punya potensi besar, tetapi sedikit mandul dalam karya nyata.

Di atas gunung itu mereka perlu dibentuk untuk menjadi manusia-manusia berkarakter, dibaharui dan dikuatkan. Para murid akan melewati masa-masa sulit dalam hal mengikut Yesus, sementara iman mereka masih kerdil serta kurang mengerti pengajaran Yesus tentang penderitaanNya.

Pergumulan yang dihadapi Yesus adalah gambaran pergumulan yang juga kita hadapi dalam dunia nyata kita. Sebagai anak-anak Tuhan bagaimana sikap kita ketika menghadapi pergumulan dan penderitaan? Yang terbaik adalah ini! Milikilah sikap Yesus yang lebih bersungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya. Berdoa dan berserah. Berserah bukan menyerah! Tetapi berserah untuk diisi penuh oleh Allah sehingga beroleh kekuatan hadapi seberat apa pun masalah!

Berdoa dan berserah berarti mengarahkan hati kita kepada Allah, menyisihkan waktu untuk mendengar, merenungkan karya Allah dalam keheningan, memberi perhatian hanya kepada Allah, dan masuk ke dalam kehendak-Nya. Seorang teolog termasykur Paul Tillich pernah mengatakan “Jika kita mampu menyerahkan diri kepada Allah di tengah pergumulan, tetap percaya kepada-Nya, maka rahmat Allah menyentuh kita justru bila kita sedang dalam kesusahan dan kegelisahan besar, rahmat Allah tetap menyentuh kita, toh pun kita berjalan di lorong-lorong kehidupan yang kosong dan hampa.” Amin!