Renungan GKE

Sabtu, 13 Februari 2016

MEWARISKAN NILAI-NILAI LUHUR





I Korintus 10:1-11:1

Pada tahun 1911, seorang pemeran pengganti bernama Bobby Leach terjun di air terjun Niagara dalam sebuah tong baja yang sudah dirancang secara khusus. Ia berhasil terjun dengan selamat dan menceritakan tentang hal itu. Meskipun mengalami beberapa cedera ringan, ia bertahan hidup karena menyadari bahaya yang sangat besar dalam tindakan tersebut, dan ia telah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari bahaya.

Beberapa tahun kemudian, ketika sedang berjalan menyusuri sebuah jalan di New Zealand, Bobby Leach terpeleset kulit jeruk, jatuh, dan mengalami patah kaki yang parah. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal di sana akibat komplikasi dari peristiwa itu. Ia justru mengalami cedera yang lebih parah saat berjalan kaki di New Zealand daripada saat ia terjun di air terjun Niagara. Ia tidak siap menghadapi bahaya di situasi yang dianggapnya aman.

Nas ini memperlihatkan kepada kita tentang keadaan jemaat Korontus. Mereka telah mengalihkan perhatian mereka dari Kristus dan para pemimpin jemaat. Alih-alih meniru sifat-sifat yang menyerupai Kristus, mereka malah membiarkan kesetiaan mereka mengarah pada perpecahan dan perselisihan dalam gereja (1Kor. 1:10-13). Saudara, mungkin godaan hebat bagai gemuruh air di Niagara tidak akan membahayakan kita. Akan tetapi, suatu peristiwa kecil yang tampaknya tidak berarti bisa jadi malah dapat membuat kita jatuh. Mengapa demikian? Karena kita tidak hati-hati dan tak menyadari bahaya yang mungkin terjadi. Kita keliru karena berpikir bahwa kita berada dalam keadaan aman (1Korintus 10:12).

Kita diingatkan tentang perjalanan bangsa Israel di masa lalu dalam mengikuti pimpinan Tuhan. Semuanya dicatat "sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita" (ayat 11). Bukan hanya itu, Alkitab memuat banyak kisah dari masa lalu; supaya kita juga belajar mengetahui kehendak Allah bagi hidup kita. Paulus menasihatkan, "Sebab itu, siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (ay.12).

Bisa jadi sewaktu-waktu kita pun bisa jatuh. Jatuh memang tidak menyenangkan. Mungkin di masa lalu kita menyimpan kegagalan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang membuat kita bergumul hebat. Namun, di masa lalu kita juga mencatat kemenangan atas pergumulan, kebangkitan dari kegagalan, kelegaan dan pemulihan dari dukacita. Namun, siapa pun yang pernah terjatuh dalam hidupnya, akan mendapatkan pelajaran positif, jika peristiwa itu membuat kita lebih berhati-hati menjalani hidup.

Kita hidup di jaman di mana ilmu pengetahuan semakin tinggi namun moral-etis semakin menuju ke titik nadir terendah. Jalan pintas tidak jarang seolah jadi pilihan untuk mengatasi segala kesulitan. Tuhan semakin dikebelakangkan. Nilai-nilai kejujuran semakin langka. Dusta, penipuan, intrik-intrik busuk merajalela. Menghalalkan segala cara juga seolah hal biasa demi untuk mendapatkan kedudukan, jaminan hidup, dan kebahagiaan. Orang mungkin pergi ke gereja juga, tapi tidak jarang hanya dijadikan semacam obat stress penenang bathin sementara, sebelum bertarung kembali dalam kancah kehidupan selanjutnya. Karenanya tidak heran bila yang dicari adalah soal kepuasan untuk mendapatkan ketenangan bathin saja, bukan sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan supaya diberikan kesanggupan menghadapi tantangan.

Apa pentingnya kita belajar dari pengalaman masa lalu? ini penting! Terlebih karena kita hidup di jaman yang serba keras dan penuh kejahatan seperti sekarang ini. Orang yang belajar dari pengalaman kegagalan masa lalu pasti tahu jalan mana yang harus ia laluinya ke depan. Jalan kejahatan semisal korupsi yang dapat membawa bencana, tentu dihindarinya. Ya, jalan yang belok-belok, atau mudah terobang ambing oleh berbagai bujukan atau tawaran dunia yang menyesatkan tentu tidak disukainya. Dalam situasi yang demikian, nas ini menantang kita selaku umat Tuhan untuk lebih mawas diri.

Sudahkah saya selaku “bue” (kakek) atau “tambi” (nenek) mewariskan nilai-nilai luhur cara hidup rumah betang yang mengutamakan kebersamaan, handep hapakat, rasa senasib sepenanggungan? Sudahkah saya selaku “abah” (ayah) atau “umai” (ibu) meneladankan kesetiaan iman kepada “anak-esu” (anak-cucu) untuk mewariskan “hadat pambelom utus itah” (kehidupan etis-moral kaum kita)? Atau juga, sudahkah saya selaku orang muda mempersiapkan diri sebagai generasi penerus yang dapat dibanggakan bagi orang tua, keluarga, masyarakat atau gereja? Atau malah menjadi sampah yang kehadirannya hanya tambah mengotori dunia?

Semua jawabannya tentu berpulang pada diri kita masing-masing. Tergantung dari seberapa besar rasa takut akan Tuhan dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan! Sebagai orang percaya kita harus belajar dari pengalaman hidup. Harus selalu waspada terhadap godaan. Orang kristiani yang berkemenangan adalah seorang kristiani yang waspada, yang selalu berhati-hati bahkan ketika menghadapi kulit jeruk yang kecil, yang tampaknya sederhana namun yang justru mambuat kita dapat tergelincir! Amin!

KEMARAHAN YANG DILANDASI KASIH



Lukas 19:45-48

Yesus masuk kota Yerusalem. Ia masuk kota Yerusalem tentu saja bukan maksudnya sebagai turis rohani. Atau sekedar menikmati indah dan megahnya kota Yerusalem (maklum, Yerusalem disebut-sebut sebagai personifikasi kota Sorga yang ada di bumi). Bukan itu maksudnya. Tetapi Yesus masuk kota Yerusalem untuk melaksanakan misi suci, mengorbankan diri-Nya sebagai korban yang sempurna dari Allah sendiri dalam rangka penyelamatan umat manusia. Menjadi tebusan bagi dosa manusia. Sesampainya di kota Yerusalem, demikian dicatat dalam kitab Injil, Yesus lalu menangisi kota itu. Tangisan yang sarat makna. Seperti seorang bapa menangisi anak kesayangannya yang tidak memahami akan betapa jauhnya kini mereka menyimpang dari hidup yang seharusnya (bdk. Luk. 19:41-44).

Kemudian Yesus menuju ke Bait Allah. Tapi apa dinyana, Bait Allah yang seharusnya sebagai pusat tempat beribadah kepada Allah, tempat yang dianggap suci, sekarang rupanya telah berubah wajah menjadi pusat aktivitas para “penyamun” berjualan. Menjadi pusat “kejahatan”. Bait Allah yang seharusnya sebagai tempat persekutuan yang tentram, damai, tenang dan teduh menghadap hadirat Allah sekarang menjelma menjadi tempat yang sumpek, gaduh. Tak ubahnya seperti pasar, penuh kotoran dan sampah! Melihat keadaan yang demikian, Yesus marah. Yesus benar-benar marah. Bukan pura-pura marah! Ia mengusir para pedagang yang berjualan di halaman Bait Allah. Bangku, meja para pedagang dan para penukar uang pun dibalikkan-Nya.

Apa kesan saudara setelah mendengar kejadian tersebut? Oh, ternyata Yesus juga bisa marah? Astaga….. Bukankah Yesus sendiri pernah mengajarkan tentang kasih? (Mat.22:37-40). Bukankah Yesus juga pernah mengatakan: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”? (Mat. 5:5). Dan… tidak jarang pula, begitu mendengar istilah “kasih” maka yang ada di benak kita selalu identik dengan “lemah lembut”? Karena memang (bila mau jujur), bukankah kita juga sering beranggapan bahwa orang yang marah itu dapat dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kasih? Benar begitu saudara?

Tapi masalahnya, marahnya Yesus tidak sama dengan marah pada umumnya yang dilakukan oleh kita sebagai manusia! Karena kemarahan Yesus adalah kemarahan yang berdasar dan beralasan kuat. Kemarahan Yesus adalah “kemarahan Ilahi” yang tidak kompromi dengan dosa! Kemarahan Yesus adalah “kemarahan Ilahi” sebagai kasih yang tidak bersukacita karena ketidakadilan dan ketidakbenaran! (bdk. poin 7 dan 9 dari I Kor.13:4-7). Dengan kata lain, kemarahan Yesus didasarkan kesucian dan kebenaran dari yang Ilahi, yang sangat membenci berbagai macam dosa, kejahatan dan kemunafikan yang dilakukan oleh manusia! Ya, kemarahan Allah tentang apa yang seharusnya Allah katakana. Kemarahan tentang apa yang seharusnya Allah lakukan tepat pada tempatnya. Tanpa meminta ijin untuk menjaga perasaan manusia. Berbeda dengan manusia yang terkadang toh pun harus mengorbankan kebenaran dan keadilan demi menjaga perasaan sesama!

Jadi harus kita mengerti bahwa kemarahan Yesus bukanlah kemarahan tanpa dasar kuat, yang tidak terkait dengan kekudusan ke-Allah-an. Bukan pula kemarahan semacam pembenaran diri, untuk membela diri demi menutupi kemunafikan, yang dilampiaskan dengan kemarahan kepada orang lain dan menciptakan dosa-dosa baru! Tidak sama sekali! Karena itu saudara, janganlah kita main-main soal dosa. Allah menuntut kekudusan. Firman Allah sendiri berkata: “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (I Pet.1:15).

Lalu soal Yesus mengusir para pedangan di halaman Bait Allah? Nah… nah… nah…! Ini juga perlu dipahami dengan hati-hati sesuai dengan konteks dasarnya. Sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru lepas dari konteknya. Karena tidak jarang, inilah juga nas yang sering digunakan untuk melarang orang mengadakan lelang atau bazaar di gereja. Benar saudara? Namun masalahnya tentu berbeda ketika kita memahami dengan benar konteks dimana Yesus memarahi dan mengusir para pedagang di halaman Bait Allah itu. Apa masalahnya? Nah, ini saudara! Yesus marah dan mengusir para pedagang itu, karena apa yang mereka lakukan sudah dianggap di luar batas! Karena itu Yesus menyebutnya sebagai sifat “kejahatan” atau “sarang penyamun”!

Betapa tidak saudara, sebab semakin banyak para pedagang berjualan di halaman Bait Allah, itu berarti semakin memperbanyak pemasukan pajak! Tidak heran bila Bait Allah diubah wajah menjadi pasar pusat perbelanjaan. Barang-barang yang dijual di halaman Bait Allah telah dileges, disegel! Setiap mereka yang akan mempersembahkan korban harus membeli disitu, karena itu yang dianggap resmi walau dengan harga yang membumbung tinggi! Bait Allah dijadikan semacam tempat strategis untuk lakunya barang jualan demi meraup keuntungan memperbesar pajak bagi kelompok tertentu, khususnya para pengelola Bait Allah yang bekerja sama dengan para pedagang yang ada di halaman Bait Allah.

Sementara di sisi lain? Jadilah Bait Allah (Rumah Doa/Rumah Allah) bukan lagi dalam suasana tempat dan pemandangan yang “agung” atau “suci”. Tapi penuh dengan kotoran hewan ternak, riuhnya kepak-kepak sayap merpati. Gaduhnya dentingan penukaran uang logam. Bisa jadi, tukaran recehan di halaman Bait Allah itu yang ditaruhkan di tempat persembahan! Bukankah (maaf!) itu yang sering juga orang lakukan? Sambil diiring syahdu lagunya: “Persembahan kami sedikit sekali…..”. Akh! Kan yang penting hatinya, sela Anda! Benar, kita memang tidak boleh meremehkan soal tulusnya hati. Hanya masalahnya, Yesus pun benar-benar melihat dan memuji bukti nyata persembahan si janda miskin dari yang ia taruhkan! Bukan sekedar melihat hatinya! (Luk. 21:1-4).

Itulah manusia. Terkadang memberi yang serba “sedikit sekali” tetapi meminta kepada Allah inginnya yang serba “banyak sekali”. Dapat Anda bayangkan sekilas situasi dalam lingkungan Bait Allah! Di halaman maupun di dalam! Lingkungan Bait Allah hanyalah korban! Umat hanyalah objek pemerasan yang telah terstruktur! Sementara orang lain mengngambil keuntungan dalam kesempitan! Itulah yang membuat Yesus marah! Yesus tahu sampai ke akar-akarnya perbuatan busuk apa yang mereka perbuat, walau hampir tak Nampak karena diselubungi oleh kemunafikan dan dicengkeram oleh sistim tangan kekuasaan yang kuat! (bdk. ayat 47b).

Kembali pada pertanyaan, bolehkan orang mengadakan lelang atau bazaar di gereja? Jawabnya sederhana. Tergantung apa motivasi dan tujuannya! Bila itu dilakukan demi kepentingan persekutuan bersama, dikelola dengan baik, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, salahkah? Dan ayat mana dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa lelang atau bazaar untuk kepentingan persekutuan bersama itu tidak boleh? Apa bedanya dengan yang dilakukan oleh jemaat mula-mula, bahkan ada yang berbisnis menjual rumah serta ladang mereka demi untuk kepentingan persekutuan bersama? (Kis. 4:32-36). Sementara di sisi lain, yang kita lakukan hanyalah mengedar kantong kolekte. Ya, serba kolekte! Maaf! Apa bedanya dengan tukang minta-minta?!

Kita juga memang tidak boleh meremehkan arti kuasa dan mujizat. Tapi tugas gereja bukanlah sebagai penjaja doa yang dianggap satu-satunya! Atau mengajarkan umat yang hanya sibuk memburu mujizat semata! Tidak! Tetapi juga bagaimana hidup menjadi lebih baik dan sejahtera di dunia, mampu menjalani hidup secara kreativ sehingga dapat berbagi bagi sesama yang lain juga. Karena itu, mana lebih baik lelang dan bazaar yang bisa memberi, ketimbang kolekte yang hanya bisa meminta? Karena itu persoalannya bukanlah hanya sekedar boleh atau tidak, tetapi apa motivasi dan tujuannya? Sebab bila gereja sendiri melarat, jadi tukang minta-minta, apalagi bila sampai jadi beban bagi masyarakat, lalu kapan ia bisa berbagi banyak bagi dunia nyata dengan segala macam persoalan kebutuhan jasmani nyata yang menuntut jawaban nyata pula sebelum mereka menuju dunia rohani di akhirat sana..??!! AMIN.

TIADA TEMPAT BAGI KERAGUAN!



Mazmur 119:129-136

Pada bulan Agustus 1973, Samantha White dari Steilacoon, Washington, seorang gadis berumur 8 tahun telah berhasil mendaki puncak gunung Kilimanjaro pada ketinggian 19.340 kaki. Dia dianggap orang termuda yang pernah mendaki puncak pegunungan tertinggi di Afrika itu. Dalam pendakian itu, ayahnya telah gagal sampai pada ketinggian 18.640 kaki dan diserang sakit penyakit. Sebenarnya ada banyak pendaki ulung yang jauh lebih berpengalaman dari pada gadis berumur 8 tahun itu. Namun gadis itu telah membuat kejutan bagi para pendaki kawakan.

Kenapa dalam kenyataannya banyak anak-anak Tuhan kalah dalam aneka pergumulan? Tidak sedikit yang stress, kecewa, dan putus asa seperti tak memiliki pengharqapan? Jawabnya tentu, karena ia tidak memiliki dasar kekuatan untuk melawan dan memenangkannya. Karena ia tidak mendasarkan hidupnya pada kedalaman Firman Tuhan. Ya, doa-doa hanya sekedar penyampaian unek-unek dalam kekecewaan pada Tuhan, untuk mendapatkan pembenaran dari keinginan yang tak kesampaian. Bukan penyerahan penuh dalam hubungan harminis dengan Tuhan, layaknya seorang anak yang sungguh mempercayai kebaikan bapaknya sepenuhnya. Atau Firman Allah dibaca juga sambil diselingi keraguan di dalam jiwa, apakah Allah bisa dipercaya atau tidak?! Karenanya tidak heran, bila imannya tidak bertumbuh-tumbuh juga. Bila pergumulan melanda, maka ia terhenti di tengah jalan. Ibarat layu sebelum berkembang, akhirnya kering, karena tak tak ada siraman air yang memberikan pertumbuhan!

Dalam masalah kehidupan iman pun kadang-kadang dapat terjadi demikian. Telah sekian lama menjadi orang Kristen, tapi imannya begitu-begitu saja. Sedikit-sedikit kecewa. Sedikit-sedikit putus asa. Ya, ini tentu saja karena tidak didasari pada keteguhan hati untuk terus-menerus menjadikan Firman-Nya sebagai cahaya yang menyinari, hingga dengan terang-Nya mampu memahami dan meyakini bahwa apa yang Tuhan lakukan itu luar biasa dan baik adanya! (ay.135). Pemazmur melalui nas ini, menyadarkan kita betapa pentingnya TUHAN dan firmanNya dalam kehidupan. Tidak ada yang mampu memuaskan kerinduan kita, selain hanya TUHAN yang memberikan kekuatan dan pertumbuhan untuk menjalani kehidupan yang kita alami hari lepas hari.

Apa yang sering kita lakukan biasanya mengawali aktivitas di pagi hari, mungkin sambil nikmati sarapan pagi entah dengan teh/kopi bersama sekerat roti, umpama? Apakah cari berita hangat di koran untuk hari ini? Atau memulai hari dengan membaca dan menghayati Firman Tuhan sebagai pedoman? Mungkin kita masing-masing tau jawabannya. Sesuai apa yang biasanya kita lakukan. Syukurlah bila itu Firman Tuhan yang didahulukan. Kata bijak mengatakan, “Bila Anda lebih banyak baca koran ketimbang Firman Tuhan, maka Anda akan dihadapkan dengan 1001 macam persoalan yang siap menghadang, dan serba menakutkan. Tetapi bila Anda lebih banyak menggumuli Firman Tuhan ketimbang mengutamakan baca koran, maka Anda akan menemui 1001 macam jawaban yang Tuhan berikan untuk mengatasi persoalan.”

Sungguh jelas bagi kita bila pemazmur ini tidak ragu untuk mengatakan, “itulah sebabnya jiwaku memegangnya” (ayat 129). Kita pasti mengerti apa yang ia mau dapatkan, 1001 macam jawaban melalui Firman Tuhan untuk mengatasi aneka persoalan. Pemazmur ingin menjadi pemenang di setiap pergumulan kehidupan, tentu saja. Karenanya wajar bila pemazmur merasa begitu rindu untuk hidup di dalam kebenaran firman TUHAN itu. Namun janganlah kita beranggapan, bila seseorang mentaati Firman Tuhan, dekat dengan Tuhan, otomatis hidupnya aman. Bebas dari gangguan, fitnahan, bahkan ancaman segala macam. Tidak! Tidak demikian!

Sama seperti manusia pada umumnya, pemazmur juga mengungkapkan keadaannya yang merasakan tekanan dan pemerasan dari orang-orang yang tidak berpegang pada taurat TUHAN. Mereka senantiasa bertindak jahat dan merongrong kehidupannya, hingga pemazmur merasakan kesedihan yang mendalam (ayat 136). Namun, di tengah keterbatasannya dalam menghadapi tantangan tersebut, pemazmur tetap berharap pada janji dan kasih setia TUHAN. (ay.132-135). Pemazmur percaya bahwa kuasa TUHAN jauh melebihi orang-orang jahat dan jikalau ia tetap berpegang pada firman TUHAN, ia dapat menang melawan orang-orang jahat tersebut. Oleh karena itu, pemazmur bersedia untuk selalu belajar firman TUHAN, dan menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupannya. Ya, pemazmur percaya bahwa Tuhan memberikan kekuatan dan kemenangan. Pemazmur merindukan TUHAN karena pemazmur telah merasakan indahnya persekutuan dengan TUHAN melalui firman yang ia baca. Bagaimana dengan Anda dan saya? Jika ya, maka seharusnya tidak ada tempat bagi keraguan dalam hidup kita untuk sungguh-sungguh mempercayai Tuhan. AMIN!