Renungan GKE

Jumat, 11 Maret 2016

ANTARA “HOSANA!” ATAU “SALIBKAN DIA!” ?



Matius 21:1-11

Yesus dielu-elukan ketika Ia masuk ke Yerusalem. Dari muka, samping, atau belakang semua mengiringiNya. Dan dalam Alkitab dicatat, mereka dalam jumlah besar. Dapat Anda bayangkan situasi yang terjadi waktu itu. Seandainya hal tersebut terjadi pada masa kini, bisa jadi tempat parkir yang ada tentu tidak mencukupi. Jalan-jalan pasti macet total. Banyak yang rela menghamparkan pakaian di jalan sebagai sikap yang menggambarkan rasa simpatisan. Daun-daun palem berlambaian mengiringi layaknya menyambut pahlawan bagi sebuah perjuangan yang selama ini didambakan.

Bagi mereka tentu Yesus adalah harapan. Ya, harapan yang akan membebaskan dari berbagai belenggu. Harapan dari berbagai kesulitan keadan. Pembebasan dari penjajahan yang dirasa jadikan hidup mereka terpuruk, diperlakukan semena-mena. Hak-hak sebagai manusia yang selama ini terabaikan. Tak ada yang berani memperjuangkan! Oh, tentu juga tak lupa harapan yang akan membawa kesejahteraan. Maklum, karena banyak juga di antara mereka sudah menyaksikan berbagai peristiwa yang Yesus lakukan. Roti jadi banyak. Yang buta, lumpuh, sakit disembuhkan. Dan yang luar biasa, Lazarus yang telah mati dimakamkan tiga haru pun mampu dihidupkannya!

Sangat beralasan bila gema pujian gegap gempita “Hosana!”, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan dikumandangkan. Harapan yang berdasar dan beralasan! Harapan akan sebuah pembebasan dari berbagai keadaan. Harapana yang pada umumnya rata-rata juga kita damba! Hanya sayang seribu sayang….Semakin lama, harapan pada Yesus bukan semakin gemilang. Namun sebaliknya, semakin menghilang. Ditelan keadaan. Ckckckckckck……..

Dan apa dinyana, ketika akhirnya mereka juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri…..Yesus yang diharapkan, sekarang bagai bola pingpong dipermainkan. Dihadapkan ke penguasa yang satu, dihadapkan pula ke penguasa yang lainnya. Dihadapkan ke Herodes, dihadapkan pula ke Pilatus. Oh, ironuis memang…..tak ada tanda-tanda kehebatan. Tak nampak kemapuan untuk membela diri. Yang ada hanyalah tamparan, pukulan cambuk dibadan. Wajah pun mulai memar-memar terkena hantaman. Dan bila diperhati lebih teliti, ternyata juga diantara butiran keringat bercampur debu dan darah yang mulai mengucur itu, telah berbaur dengan ludah penghinaan tanda –tanda penolakan!

Wow! Ceritanya tidak terhenti sampai di situ. Karena situasi pun semakin menegangkan! Karena nyata juga bahwa pada akhirnya Yesus akan diadili. Adakah yang masih sanggup mengumandangkan “Hosana!”, terpujilah Dia yang datang dalam nama Tuhan? Oh, dapat kita maklumi bila semua bungkam seribu bahasa. Semua cari aman! Ya, wajar semata. Itulah manusia! Logikanya memang demikian. Bila situasi tidak menguntungkan,bukankah lebih aman bila ikut arus orang banyak, atau cari muka supaya supaya dianggap membela sang penguasa? Karenanya lumrah semata bila akhirnya gema “Hosana!” sekarang lalu berobah menjadi “Salibkan Dia!, salibkan Dia!”

Memasuki Minggu Sengsara ke VI ini, banyak hal menarik yang dapat kita jumpai. Tentu juga banyak pelajaran penting bagi kita sebagai orang percaya dalam rangka menyadari gambaran kita tentang Yesus Kristus. Sebagai orang beriman, tentu kita telah mengetahui tentang siapakah Yesus yang sebenarnya. Namun pengetahuan dan pengenalan kita tentang Yesus kadang kala sangat dangkal. Kita mungkin hanya mengetahui tentang Dia dari apa kata orang. Kita kadang kurang berusaha mengenal-Nya sungguh-sungguh secara pribadi melalui Kitab Suci. Untuk itu, seringkali kita pun menolak-Nya bahkan melupakan-Nya.

Banyak orang tergoda untuk menjadikan Tuhan sebagai pembebas dalam rangka mendapatkan rasa aman yang sementara dan bersifat duniawi semata. Bebas dari penjajahan, sakit penyakit, kemelaratan, dan berbagai kekuatiran hidup lainnya. Tuhan lalu diburu lewat doa dan mujizat. Bila ini didapatkan, nah ini baru Tuhan! Rasa kagum dan hormat pun dikumandangkan. Ribuan ucapan syukur dalam bentuk kesaksian-kesaksian pastilah dilakukan. Tetapi bagaimana bila ini tidak nampak dan tidak didapatkan? Akh, disini rupanya tidak ada Tuhan! Orang mulai bersungut-sungut dan memburunya ke tempat lain sekira mendapatkannya di sana. Bisa jadi pada awalnya gema “Hosana!” penuh kekaguman dan hormat!. Namun yang akhirnya segera berobah dengan sikap pengkhianatan “Salibkan Dia, Salibkan Dia!”

Kita semua disadarkan akan tugas panggilan kita. Juga motivasi kepengikutan kita kepada Kristus. Bahwa tugas panggilan kita bukanlah hanya sebatas menawarkan nikmat-nikmat rohani semata. Hidup beriman kita juga tidak hanya sebatas memburu doa dan mujizat saja. Bukan, bukan hanya sebatas itu! Kristus tidak menawarkan kekebalan dari kesulitan hidup, kesembuhan dari setiap penyakit, atau janji akan kesuksesan finansial yang tanpa usaha. Yang Sang Raja janjikan hari ini adalah diri-Nya sendiri sebagai kurban atas dosa-dosa kita, menjadi spirit untuk membangun kehidupan secara kreatif dan berdaya guna yang menjawab tantangan jaman. Dan bila Anda setia mengikutiNya, Anda tidak akan pernah dibuatNya kecewa! Amin!

(Pdt.Kristinus Unting, M.Div)

Kamis, 10 Maret 2016

MENCERMATI PERSOALAN KRUASIAL YANG KITA HADAPI



Yeremia 1:4-19

Yeremia dipanggil oleh Tuhan. Ia dipanggil bukan untuk diusung dalam salah satu perahu partai politik menduduki kursi jabatan atau di kursi dewan. Atau jadi bupati atau gubernur atau aneka jabatan lain yang menggiurkan. Bukan! Tetapi ia dipanggil oleh Tuhan untuk tugas khusus menyuarakan suara kenabian. dan suara kenabian yang disampaikannya pun bukanlah menyuarakan “berkat” yang nikmat kepada umat. Tetapi penghukuman dari Tuhan jika tidak bertobat. justru tugas itu harus disampaikan kepada para pejabat negara dan para nabi-nabi palsu yang ada pada jamannya. ya, inilah tugas yang dalam istilah kitab yeremia disebutnya sebagai tugas “…untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” (ay. 10b).

Persoalan kruasial yang dihadapi Yeremia pada jamannya adalah kebejatan moral para elit politik yang tak terelakkan, dibarengi lenyapnya takut akan Allah dan hormat akan taurat-nya. Percabulan dan kecurangan menjadi biasa bahkan di tengah-tengah para imam dan nabi (psl. 5:30 dab; psl 6:13-15; 14:14). Daripada memberantas percabulan, mereka sebaliknya membantu penyebarannya. ironisnya, Yehuda yg menyembah berhala dan bercabul itu masih giat sekali melakukan ibadat keagamaan! Demikian pun cara kerja para nabi-nabi palsu se jamannya, yang pintar cari muka. Yang mulutnya manis demi mendapat simpatik dan demi keamanan pribadi! yang cuma beraninya mengatakan “damai sejahtera! damai sejahtera! tetapi tidak ada damai sejahtera." (bdk.yer. 8:11). namun yang tak pernah berani mengatakan tentang penghukuman tuhan secara lugas tentang hukuman yang menimpa.

Para imam-imam palsu yang dihadapi Yeremia juga adalah para imam yang mengeruk keuntungan dari jabatan mereka, dan ramalan mereka bahwa kapan pun Bait Suci Yerusalem tidak akan jatuh ke tangan orang Babel (psl. 6:13; 18:18; 29:25-32 dst). Nabi-nabi palsu itu meyakinkan umat Yehuda yg tertipu itu dalam optimisme yg dangkal (psl. 8:10-17; 14:14-18; 23:9-40 dst). Oh, dapat saudara bayangkan beratnya tugas itu! Lalu tanggapan Yeremia? Sudah dapat kita duga! Untuk tugas berat penuh resiko macam itu siapa yang suka? Apalagi bila nda jelas berapa uang saku atau bonus yang akan diterima. Terlebih bila nyawa sendiri jadi taruhannya? Akh, siapa yang mau mati muda dengan sia-sia? Anda mau?

Sama seperti manusia normal pada umumnya, seperti Anda dan saya, Yeremia pun dengan secara halus menyampaikan alasan penolakan. Suatu tugas pekerjaan yang mengusik kemapanan, menggoncang ’status quo’, menjungkirbalikkan konsep-konsep yang sudah dianut masyarakat, hanya mendatangkan risiko yang tidak kecil bagi sang pembawa berita, mungkin nyawa pembawa berita itu menjadi taruhannya.

Itulah sebabnya Yeremia gentar karena ia memahami betul risiko ini. Alasannya memang rasional. Dia masih muda, kurang pengalaman. Apa nanti kata orang bila seorang biasa, tak berpengalaman, tak punya nama, tak punya backing kuat, koq berani-beraninya menggugat cara kerja pemerintah yang nda becus soal hokum, soal kredit macet di Bank, soal korupsi, atau membongkar selingkuhan para pejabat?! Atau coba-coba menggubris perjuadian “dadu gurak” di setiap peristiwa menunggu jenazah, karena ternyata juga siapa sebenarnya backing kuat di balik semua itu? Oh, pantas saja bila masalah ini sepertinya tak pernah kunjung tuntas! Anda pasti tahu sendiri akibatnya bila berani sendiri menuntaskannya. Bisa jadi Anda sendiri yang akan dituntaskan!

Bila kita amati semua peristiwa pemanggilan Yeremia, memang unik. Secara saksama, di hadapan kita dipaparkan tentang Allah yang menjumpai dan menyentuh anak-Nya. Di sini Allah memperlihatkan kepada Yeremia bahwa kuat, hebat, mampu, dan keberanian hanya bersumber dari Dia semata! Inilah dasar pemanggilan Yeremia. Allah menjadikannya bukan sebagai seorang pengecut! Ya, “…untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” Melihat begitu banyaknya tantangan yang kita hadapi di tengah-tengah dunia ini, bisa saja kita takut memainkan peran kita dan menunjukkan identitas kita sebagai duta-duta Tuhan.

Melihat situasi jamannya Yeremia, rasa-rasanya koq hampir persis sama kayak yang ada di sekitar kita. Kebejatan moral para elit politik yang tak terelakkan dibarengi merosotnya rasa takut akan Allah dan hormat akan Taurat-Nya. Percabulan dan kecurangan menjadi biasa bahkan di tengah-tengah para “imam agama” (5:30 dab; 6:13-15; 14:14). Kemerosotan moral bangsa tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun telah menjamur hingga pelosok negeri.

Indikator yang bisa dijadikan dasar acuan kemerosotan moral bangsa Indonesia dapat terlihat dari memudarnya nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi. Menurunnya rasa hormat terhadap orang tua juga merupakan fenomena tersendiri. Terlepas dari pola-pola perilaku yang berkembang dari hubungan anak dan orang tua, secara keseluruhan orang tua yang mengeluhkan “kekurangajaran” anaknya banyak terdengar. Oh, menyedihkan sekali! Para elit politik hanya sibuk berebutan kursi jabatan, menghambur-hamburkan uang kepada para bidadari hanya memuaskan birahi!

Kebanyakan orang juga berebutan ingin jadi pemimpin, tapi jalan saja banyak yang tak terurus alias rusak. Lalu peran para pejabat Kristen yang ada di kantor, di kursi dewan, di depan kelas para mahasiswa, atau yang bekerja sebagai penegak hokum, dsb.? “Kami kan hanya melaksanakan urusan dunia, apa yang telah menjadi kewajiban. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Akh, maaf…maaf…maaf…! Akh, menggelitik sekali. Pantas saja soal judi “dadu gurak” di setiap peristiwa kematian saja tak pernah tuntas-tuntas juga! Apalagi persoalan lain yang semuanya menurun tajam!

Sementara peran Agama? Para tokoh agama? Atau Gereja? Akh…. Paling-paling bermanis-manis menyarakan “berkat” atau “damai sejahtera” semata. Promosi pun dibuatkan dalam baleho-baleho besar di pinggir jalan: “Hadirilah wisata rohani seorang Hamba Tuhan yang sudah sering pulang pergi ke sorga!” Atau hanya sibuk cari jiwa-jiwa, alih-alih ajaran dogma yang sesungguhnya, domba gereja tetangga dimasukan ke kandang memperbanyak gedung gerejanya.

Oh, menggelitik sekali! Sementara kemerosotan moral terus merosot tajam! Dan masih banyak anak-anak tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya! Sibuk persekutuan? Itu memang bagus! Sibuk mengikuti seminar rohani sana-sini! Sibuk cari gereja kesana-kemari, sibuk cari minyak urapan, sibuk cari berkat Tuhan? Ya, itu memang tak salah! Tapi hanya sibuk mencari “hak” dengan gereja, dengan Tuhan ini sikap kekristenan yang perlu dipertanyakan! Tuhan memang harus kita agungkan. Rutinitas agama memang terlaksana. Gedungnya memang semakin megah, ucapan syukur setiap waktu tak ketinggalan dilantunkan. Namun bila sumbangsih Agama begitu berhadapan dengan dunia nyata lalu menjadi mandeg ini yang disayangkan. Padahal Tuhan memanggil kita bukan menjadi Kristen pengecut. Dan ini yang memang tidak mudah! Amin!