Renungan GKE

Sabtu, 18 Mei 2019

PERINTAH SALING MENGASIHI


 
Yohanes 13:31-35

Yesus memerintahkan kepada para murid untuk saling mengasihi. Yesus mengistilahkannya sebagai perintah baru. Kenapa disebut Perintah baru”? Baru yang seperti apa? Baru, karena standar yang digunakan bukan standar lama ala Hukum Taurat, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tetapi standar baru seperti yang Yesus contohkan, pengorbanan dan pengampunan.

Kasih yang diajarkan Yesus lebih dari sekedar kasih Eros, Fileal, atau Storge. Tetapi kasih Agape, kasih dalam kualitas tententu hingga jalan salib sekali pun mampu dilalui. Disebut perintah baru karena dampaknya sungguh luar biasa bila dilakukan, yang karenanya manusia akan sampai bertemu Tuhan, bukan kesasar salah jalan! Kenapa Yesus memerintahkan supaya murid-murid-Nya saling mengasihi seperti yang Dia lakukan?

1. Saling mengasihi adalah kekuatan.

Yesus memerintahkan kepada para murid untuk saling mengasihi tentu supaya mereka memiliki kekuatan untuk mampu bertahan. Kekuatan untuk bertahan menghadapi situasi yang sulit. Daya kekuatan untuk tetap bertahan dalam iman. Tidak saling mempersalahkan, tidak saling cari kambing hitam. Saling menjatuhkan, lempar batu sembunyi tangan.  

Bila kita perhatikan konteks, sebentar lagi Yesus akan menjalani siksaan berat hingga mati di salib untuk sebuh misi Ilahi demi kasih-Nya menyelamatkan manusia dari dosa. Tentu para murid (walau belum nampak bagi mereka) akan mengalami situasi yang sulit. Dalam situasi yang sulit, dapat kita bayangkan apa sekiranya akan terjadi. Integritas diri dipertaruhkan, iman dan kesetiaan akan diuji. Di sinilah akan dijumpai hakikat kasih sesungguhnya seperti yang Yesus maksudkan.

2. Saling mengasihi adalah hidup berkemenangan di dalam Tuhan

Firman Tuhan menyaksikan, Allah memenangkan serta menyelamatkan manusia melalu cara kasih. Yesus Kristus berkorban, menderita dan mati, untuk menebus dosa manusia dengan cara kasih. Itulah keteladanan yang Yesus berikan. Kasih bukanlah kelemahan tetapi justru kekuatan. Firman Tuhan berkata: “…..Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya…..” (Rm.1:16).

Dalam kacamata dunia memang salib Kristus sebagai konsekwensi kasih Agape merupakan kekalahan dan kebodohan saja. Kekalahan dan kebodohan dalam cara pandang manusia yang akan binasa. Tetapi beda dari cara pandang Tuhan. Kasih adalah kemenangan. Kemenangan di dalam Tuhan! Firman Tuhan berkata: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (I Kor.1:18).

3. Saling mengasihi adalah standar hidup umat percaya

Kasih adalah ciri khas setiap murid-muridNya. Standar hidup umat percaya, bukan sekedar simbol, slogan, atau wacana semata. Tetapi melekat menjadi gaya hidup setiap kita umat percaya. Untuk itu, Yesus memberi pengajaran sekaligus teladan. Ia berkata: “…..supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu…..” (ay 34).

Yesus tidak sedang berteori soal kasih. Tetapi telah, sedang dan terus melakukan kasih. Kelahiran, kematian, hingga kebangkitan-Nya adalah bukti nyata kasih Allah bagi manusia. Cara hidup berkemenangan di dalam Tuhan bukan membalas kejaharan dengan kejahatan. Tetapi dengan kasih. Dengan pengampunan. Itulah kualitas kasih yang membedakannya dari kasih cara dunia.

4. Saling mengasihi merupakan idenditas diri orang percaya.

Salib di bukit Golgota adalah bukti kasihNya yang tiada taranya. Suatu pembuktian berkorban tanpa pamrih. Kasih yang diajarkan Yesus adalah Kasih Agape. Kasih yang rela berkorban tanpa pamrih. Seperti yang Yesus teladankan, kesediaan  mengampuni murid-muridNya,  bahkan yang mengkhianatiNya sekalipun. Kesediaan untuk menerima keadaan murid-muridNya apa adanya, sekalipun sangat mengecewakanNya.

Tiada yang lebih indah dalam hidup ini, selain kita mampu saling setia dalam suka dan duka. Dalam susah dan senang tetap kuat dalam ikatan kasih pada janji setia sejak pertama di altar gereja sewaktu peenguhan dan pemberkatan nikah diikrarkan. Tiada yang lebih berharga dari hidup ini, selain kekuatan untuk mengampuni kepada setiap mereka yang pernah menyakiti dan mengkhianati kita.

Tiada yang lebih agung dalam hidup ini, selain kesediaan untuk menerima orang lain apa adanya, sebagaimana Kristus menerima kita apa adanya. Tiada yang lebih mulia dalam hidup ini, selain kesediaan untuk berbagi toh dari segala keterbatasan yang ada, bukan sekedar berbangga atas berapa yang didapatkan semata. Di dunia yang semakin renta ini, masihkan Kasih Kristus melekat di darah daging kita?

Kasih yang sesungguhnya, bukan pada waktu yang nyaman biasa-biasa saja, tetapi manakali Ketika iman harus diuji di antara dua pilihan, jalan salib atau harus cari jalan aman, jalan tol bebas hambatan! Tidak mudah memang. Namun di sinilah kentara idenditas sesungguhnya anak-anak Tuhan, membedakannya dengan anak-anak dunia yang akan menuju kebinasaan! Amin!

Rabu, 08 Mei 2019

DIBANGKITKAN UNTUK MENYAKSIKAN KASIH TUHAN



Kisah Para Rasul 9:36-43

Dorkas hanyalah perempuan biasa, sama seperti kita. Tak ada yang terlalu menonjol dan istimewa. Dia bukan seorang pengkhotbah ternama, atau orang besar dengan tindakan spektakuler yang dapat membuat orang terfana. Namun satu hal yang indah dalam hidupnya. Dia mengalirkan kasih Tuhan bagi sesama melalui talenta yang ada padanya. Walau ia hanya menggunakan jarum dan benang yang lekat dengan kesehariannya untuk membuat baju dan pakaian. Hasil karya tangannya dibagikan kepada para janda yang membutuhkan pertolongannya. Jemaat di sekitarnya tertolong atas kehadirannya.

Namun apa dikata, suatu ketika dia mati. Sama seperti manusia lain pada umumnya. Tak ada yang berkuasa menyelamatkannya. Jemaat merasa sangat kehilangan atas kepergiannya. Semua berduka. Namun kuasa Yesus yang bangkit, melalui murid yaitu Petrus membangkitkannya. Suatu bukti bahwa Yesus sanggup membangkitkan manusia dari kematian. Dialah sumber kebangkitan.

Selaku umat Tuhan di kekinian, barangkali kita punya kerinduan yang sama bagi setiap kekasih kita yang berpulang mendahului kita, sekiranya dibangkitkan secara fisik ala Dorkas. Namun kenapa itu tidak terjadi? Dorkas dibangkitkan sungguh dibutuhkan bagi konteks jemaat mula-mula. Untuk membuktikan tentang Yesus sumber kebangkitan dinyatakan. Dorkas dibangkitkan sebagai pembuktian. Persoalannya, bukanlah sekedar hidup secara fisik, tetapi apakah kita percaya bahwa Dia (Yesus) adalah pokok kebangkitan yang menyelamatkan kita dari dosa dan kematian?

Dorkas dibangkitkan, bukan sekedar untuk menikmati hidup untuk pribadinya semata. Tetapi untuk menyaksikan kasih Tuhan bagi sesama. Bagaiamana dengan kita? Tuhan sudah memberikan kepada setiap kita talenta dan kemampuan. Sudahkah kita gunakan untuk menjadi berkat bagi sesama?

Hidup ini, bukan sekedar panjang umur di dunia, apalagi boro-boro minta kuasa dibangkitkan secara fisik ala Dorkas, jika hidup di dunia hanya jadi beban, jadi mayat hidup, mengotori serta memperbanyak samapah hidup yang berdampak negatif bagi kehidupan dan alam lingkungan?

Tuhan rindu menghadirkan setiap kita di dunia untuk menyaksikan kuasa kasih-Nya. Sekiranya melalui sesederhana apa pun yang kita lakukan bagi kemanusiaan serta alam lingkungan, orang dihentarkan untuk semakin mantap mengenal, taat dan beriman, bahwa hanya Yesus saja ada kuasa yang menyelamatkan. Alam pun turut memuji kebesaran Sang penciptanya. Amin!

Jumat, 03 Mei 2019

SUSAH SENANG SELALU BERSAMA



Yohanes 21:1-19

Apa yang menarik dari cara hidup para murid pasca kematian Yesus? Nah, ini. Mereka selalu bersama-sama. Dalam suka maupun duka. Susah senang selalu bersama. Perhatikan apa kata Alkitab, “Kata Simon Petrus kepada mereka: ‘Aku pergi menangkap ikan.’ Kata mereka kepanya: ‘Kami pergi juga dengan engkau.’ Mereka berangkat.” (Ay.3).

Petrus berkeputusan demikian, bisa jadi untuk mengurangi beban yang dirasakan. Dapat dimengerti, karena dia salah satu murid yang paling merasa terbebani. Beban rasa bersalah, dalam peristiwa kematian Yesus sebelumnya, dia juga banyak melakukan kesalahan, hingga penyangkalan sebanyak tigas kali. Para murid yang lain dapat menangkap apa yang dirasakannya. Mereka peka akan apa yang terjadi di antara mereka. Karenanya mereka tak mau Petrus menanggungnya sendiri.

Kebersamaan adalah kekuatan. Terlebih ketika menghadapi krisis kehidupan. Kebersamaan seharusanya menjadi darah daging kita selaku umat percaya, sehingga tetap kuat menjalani hidup ini. Suami atau isteri, atau keluarga yang tetap setia dalam suka dan duka adalah kekuatan menghadapi berbagai gelombang pencobaan di arena kehidupan.

Kebersamaan, oh, sungguh dibutuhkan di dunia kita sekarang ini. Namun sayang, rupanya semakin langka saja. Waktu sang teman mencaleg, mudah saja berjanji akan mendukung dan memilihnya. Banyak uangnya dikuras hingga puas. Pas ketika ada pihak lain yang menawarkan jasa, uang, atau kemudahan lainnya, pilihan jadi beralih. Nilai kebersamaan raib berganti dengan rupiah yang datang. Sungguh malang. Rasa kecewa, dikhianati, rasa senasib sepenanggungan kini tiada lagi. Tinggal meratapi nasib merana sendiri. Tak ada teman yang mendekat untuk saling menguatkan.

Susah senang selalu bersama, sungguh tergambar jelas dari para murid. Itulah tanda yang menjadi berkat hingga mereka menerima berkat demi berkat Paskah dari Yesus yang berkenangan dari maut dan kematian. Lihat juga ketika mereka menjala banyak tangkapan. Mereka saling membantu. Saling merespon, saling mengisi, berbagi tugas. Bukan saling berebut ikan. Atau saling menenggelamkan perahu untuk merampas ikan yang ada. Sungguh, susah senang selalu bersama, banyak untungnya. Juga berkatnya (Ay.7-8).

Susah senang selalu bersama, apa untungnya? Berapa banyak berkatnya? Ya, yang pertama-tama ada kekuatan. Kekuatan untuk mengurangi beban. Beban berkurang membuat pikiran semakin waras dan tenang. Ketika kita dapat tenang, saat itu penglihatan kita semakin jelas untuk melihat bahwa tidak jauh dari kita ternyata ada Tuhan! Orang yang sedang stress mana mungkin merasa Tuhan itu dekat dengannya. Malah Tuhan pun dipersalahkannya. Kedua, bila seseorang mendapat berkat, maka semua kebagian berkat. Coba saja andai petrus hanya berangkat sendiri lalu mendapat berkat. Bisa jadi murid yang tinggal tak kebagian berkat!

Andai saja sikap susah senang selalu bersama itu ada. Ada di keluarga, di kantor, di Gereja, di organisasi, di usaha, di Universitas, di pemerintahan atau di mana saja, betaka kuat dan makmurnya negara kita, oh luar biasa! Ketika lemah, masih ada kekuatan. Ketika diberkati, berkatnya berlipat-lipat ganda! Tidak salahnya kita kembali mencoba, sehingga berkat Paskah menjadi sungguh nyata. Paskah sungguh-sungguh hidup dan menghidupan. Bukan sekedar Paskah terpampang di tema setiap perayaan, atau di acara malam perenungan. Lalu setelah acara berakhir, kembali lagi merenungi nasib malang karena dikalahkan oleh roh jaman dengan aneka tawaran mematikan hingga ke sum-sum, tulang, hingga aliran darah kita seolah hanya hidup bila gadget laksana infus yang memberi kehidupan setiap menit ada di tangan! Amin!

Kamis, 02 Mei 2019

“ITU TUHAN!”



Yohanes 21:1-19

Betapa sulitnya melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita, manakala peristiwa pahit melanda. Demikian pun keadaan para murid pasca kematian Yesus. Hidup laksana tanpa harapan. Putus asa mengisi hari-hari hidup mereka. Mereka pun kembali dalam kehidupan semula, menjala ikan di danau. Itu pun tak cukup membantu. Keterampilan yang biasa mereka lakukan, juga menemui kegagalan. Betapa semakin berat beban dirasa. Terlebih pengalaman masa lalu di saat-saat penyiksaan Yesus selalu terngiang di telinga. Yang terlihat di depan serba gelap saja (Ay.1-3).

Namun Yesus yang bangkit, tidak meninggalkan para murid. Terus membimbing mengarahkan mereka untuk beroleh kepercayaan diri serta keyakinan akan kuasa Tuhan yang telah bangkit. Tidak mudah memang. Tidak heran bila biasanya orang mempertanyakan kuasa, kehadiran Tuhan, rada-rada mempersalahkan serta menyangsikan tentang Tuhan manakala hidup sarat beban!

Yesus yang bangkit tidak sedang meninggalkan para murid. Tetapi selalu ada hadir bersama mereka. Yesus tahu keberadaan mereka. Kini Yesus berdiri di pantai danau Tiberias menyatakan kuasa-Nya yang telah bangkit. Tapi sayang seribu sayang, kehadiran Yesus tak nampak bagi mereka. Tentu saja, karena kegamangan hidup membuat mereka hanya terfokus pada masalah mereka (Ay.4-5).

Hati yang terluka oleh berbagai peristiwa pahit dalam hidup, beratnya beban yang dihadapi memang sulit bagi kebanyakan orang melihat Tuhan hadir dalam hidupnya. Juga sulit untuk mendengar tuntunan-Nya apa sekiranya terbaik untuk menuju jalan berkat. Namun, tidak kurang cara Tuhan untuk memulihkan hati yang terluka. Penampakkan Yesus bagi para murid kini untuk yang ketiga kalinya. Bukan yang pertama atau kedua. Tuhan dengan sabar membimbing para murid, sedikit demi sedikit, tapi pasti, hingga mereka akhirnya kuat kembali (Ay.6).

Dan benar saja, tanda-tanda pengharapan untuk mengenal Tuhan yang telah bangkit kini mulai tumbuh. Perintah dari seseorang di tepi pantai yang belum jelas bagi mereka untuk menebarkan jala ke tempat yang dalam hingga sesutu yang di luar nalar mereka terjadi, pembuka tirai kepekaan seorang murid (Yohanes) sudah dapat mengenal bahwa “Itu Tuhan!”. Melihat kehadiran Tuhan dalam hidup memerlukan penalaran dan kepekaan. Terlalu fokus pada masalah dan beban membuat mata rohani kita kabur untuk melihat kehadiran Tuhan (Ay.7).

Kehadiran Tuhan tidak cukup hanya dilihat dari cara pandang ketika kita memikirkan beban. Karena penglihatan kita sedang bermasalah. Itulah salah satu pelajaran penting peristiwa Paskah yang memberkati. Itulah awal titik terang yang membuat penglihatan para murid semakin terang untuk melihat dengan jelas bahwa “Itu Tuhan!” Jangan biarkan kegamangan hidup menggelapkan kehadiran Tuhan untuk mengarahkan, menolong, menguatkan serta memberkati hidup kita. kuasa kebangkitan kristus adalah kuasa kemenangan, Tuhan selalu hadir di keseharian kita. Memulihkan keadaan kita.

Yesus yang telah bangkit, mengenal kita secara pribadi. Tuhan mau memulihkan keadaan kita. Petrus, tentu salah seorang dari sekian murid yang paling terluka. Betapa tidak! Peristiwa kematian Yesus sebelumnya, adalah pengalaman pahit baginya. Pembelaan yang konyol, pemahaman yang buta akan maksud sang guru, sikap takabur, penyangkalan hingga tiga kali, tentu terbabawa-bawa di setiap angan. Rasa bersalah, beban dosa, penyesalan seumur hidup, menjadi aib yang tak terhapus. Namun, Yesus yang bangkit dari kuasa maut merangkul Petrus dengan kasih. Yesus tidak membuang Petrus. Yesus tidak membunuh karakter Petrus. Beda dengan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya.

Di mata Tuhan, Petrus tetaplah Petrus. Punya potensi besar menjadi murid yang akan melanjutkan misi menghadirkan tanda-tanda kerjaan Allah di bumi. Yesus memulihkan keterpurukan Petrus. Hanya Yesus yang sanggup memulihkan hati yang terluka. Ya, hanya Yesus! Dengan cara-Nya yang unik, Yesus membangun kembali harapan Petrus. Tiga pertanyan beruntun yang kualitas pertanyannya makin menurun, membuat luluh lantak segala keakuan selama ini. Petrus seolah melihat cermin diri ditelanjangi, dibedah, nanah keberdosaan masa lalu kentara nyata. Lalu diobati, dipulihkan, untuk dikuatkan olehTuhan kembali (Ay.15-16).

Mengasihi Tuhan, harus dimulai dengan kerendahan hati, bukan keakuan diri! Dengan apa adanya, tanpa pura-pura, apalagi dengan ambisi pribadi yang saatnya akan melahirkan penyangkalan semata. Itulah pelajaran penting berikutnya. Seberdosa apa pun kita, Tuhan tidak pernah membuang kita. Asal saja kita mau diubahkan oleh-Nya. Tuhan tahu bahwa setiap kita punya potensi. Tuhan memberkatinya. Tanpa kehadiran kuasa Tuhan, kecerdasan, atau segala kemapanan hanyalah kegagalan semata. Seperti para murid yang telah berpengalaman, namun semalaman seekor ikan pun tak didapatkan (Ay.17-18).

Tuhan tidak pernah membunuh karakter kita. Tetapi membaharuinya untuk semakin mapan dan berdayaguna dan menjadi berkat dalam hidup. Berhentilah menyesali nanah penyangkalan akan kasih Tuhan. Yesus yang bangkit dengan kuasa kemenangan pasti dan selalu hadir di tepi pantai menanti kita. Memberikan petunjuk, arahan, pemulihan, bahkan berkat, jika kita bernalar serta peka untuk melihat kehadiran Tuhan di setiap jerih juang kita, walau secara tersamar melihat bahwa “Itu Tuhan!”, hidup kita tidak pernah tersia-sia! Amin!