Renungan GKE

Sabtu, 22 Juni 2013

SIAPA YANG BERTAHTA DI HATI ANDA?



2 Samuel 15:13-37

Alkisah (ini hanya kisah fiktif saja), bertemulah dua sosok setan mengadakan dialog. Yang satu kelihatan sangat gemuk, segar dan ceria. Sedangkan setan yang satunya lagi sangat kurus, sakit-sakitan, muram dan mirip seperti kata pepatah, hanya tinggal tulang. Apa masalah mereka? Apa yang mereka perbincangkan? Nah, ikuti dialog mereka seperti berikut ini. Setan yang gemuk membuka pembicaraan: “Koq kamu kelihatannya sangat kurus, sakit-sakitan, dan muram? Ada apa dengan mangsa anda?” (mangsa: maksudnya manusia yang mereka goda).

Dengan wajah sedih, setan yang kurus memberi jawaban: “Ya, itulah masalahnya. Habis mangsa saya itu sulit saya taklukkan. Bagai tembok beton, susah ditembus. Habis kalau saya goda bila ia makan, ia berdoa sebelum makan. Bila saya mau menyimpangkan jalannya, ia duluan berdoa ‘Tuhan, tuntunlah jalan hamba’. Bila saya goda tawarkan tempat foya-foya dan tempat remang-remang sehabis gajian, ia juga terlebih dahulu berdoa: ‘Tuhan, berkatilah uangku ini supaya dapat aku gunakan secara baik dan benar serta bersyukur’. Mau kerja berdoa, mau makan berdoa, merencanakan sesuatu berdoa. Aku tawarkan koran, ia malah baca Firman Tuhan. Aku tawarkan tempat menarik hiburan pada hari minggu, ia malah berangkat ke gereja.”

“Hahahaha......” setan yang gemuk tertawa ngakak setengah mengejek kawannya si setan yang kurus. “Kalau dengan mangsa saya beda” katanya. Terus ia menambahkan: “Kalo mangsa saya itu rapuh. Bagai rumah tampa pagar. Jadi mudah saya goda. Mau makan, nda berdoa, jadi saya yang gemuk makan. Bila jalan, saya belokkan jalannya ke tempat hiburan. Bila sehabis gajian, saya tawarkan tempat hiburan remang-remang, ia sangat suka. Bila bepergian perjalanan dinas, saya tawarkan perselingkuhan, ia semakin tak tau diri. Saya semakin bahagia. Jadi saya makin gemuk. Bangun tidur langsung baca koran, bukan Firman Tuhan. Apalagi hari minggu, saya tawarkan tempat rekreasi yang menggiurkan, ia langsung bagai kerbau ditarik moncongnya. Jadi saya makin gemuk. Pokoknya, di hatinya saya yang bertahta, sehingga saya mudah menguasainya”, ungkap setan yang gemuk. Setan yang kurus rupanya hanya tertunduk merenungkan nasibnya!

Saudar, sadarkah kita, bahwa sejak bangun tidur pagi, berpikir, dan beraktivitas sepanjang hari, hingga mau tidur di malam hari, ada dua kuasa yang siap akan bertahta di hati kita? Kuasa Allah dan kuasa setan tentu saja! Kuasa terang dan kuasa gelap istilahnya! Mana yang kita perkenankan bertahta di hati kita? Apakah kuasa Allah? Atau kuasa setan? Salah satu kuasa yang bertahta di hati kita, sangat menentukan karakter, cara berpikir dan cara bertindak kita! Menyinggung masalah sikap hati, melalui nas ini memperlihatkan kepada kita sikap orang-orang, seperti digambarkan berikut ini.

Nas ini diawali dengan pernyataan: “...Hati orang Israel telah condong kepada Absalom.” (ay.13). Hati orang Israel yang condong kepada Absalom tentu ada penyebabnya. Ya, apalagi kalau bukan hati mereka telah buta terhadap kebenaran. Hati mereka ditipu oleh kelicikan hati Absalom yang jahat. Lalu tentang Absalom sendiri? Dari beberapa keterangan ayat sebelumnya (misalnya psl. 15:1-7), jelas memperlihatkan niat jahat hatinya, dan apa-apa saja yang hendak dilakukannya. Segala pikiran dan niat jahat yang ada dalam hatinya tentu saja karena dikuasai oleh kuasa kegelapan yang menuntunnya. Firman Tuhan berkata: “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging. Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian.....“ (Gal. 5:17, 19-20).

Lalu bagaimana gambaran hati Daud dalam kasus cerita ini? Kenapa Daud mesti melarikan diri dari Absalom? Apakah Daud tidak sanggup melawan? Oh, saudara... kita tidak boleh meremehkan begitu saja akan kemampuan Daud. Terlebih panglimanya bernama Yoab adalah tangan kanannya, dan sudah banyak membuktikan kemenangan di dalam medan pertempuran! Tapi kenapa harus melarikan diri? Jawabnya tentu adalah ini. Daud tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Daud tidak ingin menyaksikan darah dagingnya sendiri terbantai di medan pertempuran. Bagaimana pun juga Absalom adalah anak kandungnya sendiri. Sejahat-jahatnya Absalom, sebagai seorang ayah yang punya perasaan tentu Daud tidak tega membantai anaknya! Inilah gambaran hati Daud. Hati yang punya perasaan. Hati yang tidak tega! Oh..... Berbeda dalam pengalaman nyata kita, tidak jarang atas nama agama, orang tega membantai sesamanya!

Saudara, melalui nas ini juga memperlihatkan kepada kita sisi lain hati manusia. Hati yang setia. Coba kita baca certinya. Pada saat yang genting itu juga, manakala 600 orang, baik orang Kreta dan orang Pleti, rombongan raja Daud melarikan diri, terdapat seorang asing, orang Gad bernama Itai. Daud memperingatkannya supaya kembali ke tempat asalnya, namun Itai bersikeras tetap mengikuti rombongan Daud dengan setia. Bahkan Itai berikrar: “Tetapi Itai menjawab raja: Demi Tuhan yang hidup, dan demi hidup tuanku raja, di mana tuaku raja ada, baik hidup atau mati, di situ hambamu juga ada.” (ay.21). Oh luar biasa, ungkapan yang menempelak kita! Karena, benarkah selama ini, kita adalah hamba Tuhan yang setia? Benarkah selama ini kita adalah sahabat yang setia dalam suka dan duka? Atau hanya sahabat waktu suka, sementara dalam keadaan sulit kepepet, kita entah di mana....?!

Saudara, saya percaya, kita pasti menginginkan hidup kita sebagai orang percaya yang diberkati oleh Tuhan. Saya percaya bahwa kita menghendaki hidup ini baik adanya. Jika demikian jadikan Allah yang berkuasa dalam hati kita, menuntun cara berpikir kita, langkah dan tindakan kita. Karena itu, pagarilah hidup kita dengan doa. Jadikan Firman Tuhan sebagai landasannya. Serta ibadah sebagai lukisan keindahan jiwa! Jagalah hati kita, seperti dalam ungkapan Firman Tuhan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Ams. 4:23). AMIN! *KU).

Rabu, 19 Juni 2013

MENGATASI PENDERITAAN


(Matius 15:21-28)

Seorang dramawan Inggris pernah berkata: "Hidup ini memang berat tidak berjalan seperti yang kita ingini. Tetapi inilah satu-satunya hidup yang kita miliki!." Artinya, bahwa hidup ini tidak selalu menyenangkan kita, selalu saja ada hal-hal yang menyedihkan, menyakitkan, mendukakan kita. Selalu saja ada hal-hal yang mengakibatkan penderitaa dalam hidup kita. Penderitaan tidak pernah pilih bulu terhadap siapa pun. Entah orang dia orang miskin, kaya, orang berdosa, orang saleh, semua dihinggapinya. Walau penderitaan bagi orang yang satu tidak sama dengan penderitaan orang yang lainnya. Pokoknya, selama kita dalam dunia ini kita tidak pernah luput dari segala penderitaan. Selama kita adalah manusia, selama itu pula penderitaan itu adalah bagian dari hidup kita. Yang harus kita hadapi.

Penderitaan memang bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tapi itulah kenyataan yang kita hadapi. Kita tidak mungkin dapat menghindarkannya, toh pun kita tidak setuju atas kenhadirannya. Namun saudara, bukan berarti kita hanya pasrah saja terhadapnya. Seberat apapun penderitaan itu pastilah juga ada jalan keluarnya. Coba kita perhatikan apa yang terjadi dengan seorang perempuan dalam nas ini. Ia diliputi penderitaan. Anak yang sangat dikasihinya menderita karena dirasuk setan. Sesuatu yang tidak diharapkannya memang. Tapi itu juga yang dialaminya, men jadi beban dan penderitaan baginya. Namun dari nas ini pula kita mengetahui bahwa ia berusaha mencari penyelesaian untuk mengatasi penderitaan anaknya. Ia mendapatkannya, ketika ia memohon Yesus untuk menolongnya, penderitaan besar yang dialaminyapun dapat diatasi.

Saya tidak tahu apa beban kita satu-persatu saat ini. Tapi yang pasti bahwa beban-beban yang menjadi penderitaan itu pasti kita alami. M ungkin saat ini ada diantara kita yang merasa bersedih gara-gara anak yang sangat dikasihinya meninggalkan imannya. Yang lain pula mungkin menghadapi kesulitan biaya. Ada pula yang bersedih karena difitnah orang, menghadapi masa depan yang suram. Atau mungkin juga ada yang menghadapi masalah teman-teman sekantor, masalah usaha dan pekerjaan, masalah keluarga, masalah sakit-penyakit, dsb. Pokoknya penderitaan pasti kita alami dan tidak pernah menjadi kata akhir dalam kehidupan kita.

Terhadap penderitaan saudara, pasti pula kita berhadapan dengan dua pilihan. Kita menyerah kalah, atau kita berjuang memenangkannya. Dikalahkannya, berarti kita rela mematika.n diri sendiri, sebelum kita mati. Kita mengalahkannya berarti kita tetap hidup betapapun keadaan kita. Lalu bagaimanakan bila kita sendiri berhadapan dengan penderitaan-penderitaan? Apakah kita bersikap pasrah dan menyerah, atau mengalahkannya, mengubahnya menjadi kemenangan? Bila kita bersikap pasrah dan menyerah, maka cita-cita, langkah-langkah kehidupan kita, rencana dan harapan kita akan hancur berantakan. Tidak jarang akibatnya orang menjadi sangat berputus asa, tidak dapat menerima kenyataan dalam hidup ini. Lalu menjadi frustrasi. Tidak sedikit yang menjadi penghuni rumah sakit jiwa atau sampai bunuh diri. Tidak sedikit pula yang menjadi murtad dan semakin menjauh dari Tuhan.

Apabila kita mengalahkannya, berarti kita harus berjuang mengatasinya, untuk mengubannya menjadi kemenangan. Namun ini tidak mudah, diperlukan perjuangan yang gigih. Diperlukan keberanian, kesabaran, kesungguhan, dan pengorbanan serta kebesaran jiwa. Tidak hanya sampai di disitu. Sebab ia harus didukung dengan sikap ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan. Hal itu mutlak perlu dilakukan, sebab hanya dengan sikap itulah orang dapat mengatasi segala bentuk-bentuk penderitaan dalam hidup ini. Sikap inilah juga yang dimiliki si wanita ini, sehingga ia benar-benar dapat keluar dari penderitaannya. Terhadap anaknya yang sangat menderita.

Coba kita perhatikan sikapnya tersebut di dalam mengatasi penderitaannya. Ketika ia berjumpa dengan Tuhan Yesus dan mnrid-muridNya. Yesus tidak menjawab atas permintaannya, tidak memperdulikannya. Bahkan murid-murid Yesus meminta agar perempuan itu disuruh pergi saja. Ia dianggap mengganggu perjalanan Yesus dan murid-morid-Nya (ay.23). Jawaban Yesus pun sangat menyakitkannya. Dalam ayat ke 24 Yesus menjawab: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel".

Kemudian dalam ayat ke 26 Yesus memberikan jawaban: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing". Bahkan apabila kita memperhatikan dengan teliti, bahwa Yesus tidak berbicara dan menghadap langsung kepada wanita ini. Tetapi berkata-kata dan menghadap ke arah murid-rnurid-Nya. Wanita ini dianggap tidal ada, dianggap angin saja. Dari sikap Yesus dan murid-muridNya itu dapat kita simpulkan bahwa permohonannya itu ditolak, bahkan dengan jawaban-jawaban yang sangat menyakitkan. Ia dianggap tidak layak mendapat pertolongan, sebab ia adalah seorang Kanaan. Yang bagi orang Yahudi dianggap sebagai orang kafir, orang berdosa, bukan umat pilihan. Orang Yuhudi sering mencela orang kafir dengan menyebutnya "anjing". Ucapan yang sama juga dipergunakan Yesus disini terhadap wanita Kanaan ini.

Kita pasti memahami bahwa sikap dan ucapan Yesus disini hanyalah untuk menguji iman wanita ini, bukan berdasarkan kebencian seperti orang-orang Yahudi. Saudara, disinilah kita berjumpa dengan arti iman yang sesungguhnya, yang diteladankan oleh wanita Kanaan ini. Ia tidak menyerah, tidak undur, terhadap sikap "tidak" dari Tuhan yang pertama. Ia tidak marah toh pun ia disamakan dengan anjing. Ia mengakui bahwa sebenarnya ia tidak pantas menerima pertolongan dari Tuhan, sebab ia seorang kafir, bangsa yang dianggap berdosa. Bangsa Israelah bangsa yang terpilih, aku ini hanya perempuan kafir raja. Tapi ya Tuhan, berikanlah aku berkat-Mu yang berlimpah itu berdaskan kasih-Mu saja, walau pun aku hanya menerima remah-remahnya saja. Itu nyata dari ucapannya: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya"(ay. 27).

Benar bahwa ia seorang wanita bangsa kafir, tetapi kepercayaannya kepada Yesus sangat besar, dan ia sangat rendah hati. Atas sikap dari imannya yang luar biasa itu ia mendapat pembenaran dan pertolongan dari Yesus: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.” Ketika kita menghadapi berbagai macam penderitaan, mungkin kita telah berusaha mencari jalan penyelesaiannya. Barangkali pula kita telah berdoa kepada Tuhan. Tapi tidak sedikit orang mengeluh, karena merasa doanya tidak didengar-dengar Tuhan. Tapi saudara, benarkah doa kita selama ini betul-betul merupakan suatu pergumulan untuk memperoleh berkat? Ataukah hanya sekedar permohonan dalam kebimbangan, yang dikacaukan pula oleh keragu-raguan, apakah ia diterima atau ditolak?

Apakah doa kita itu sedah undur dalam sikap "tidak" yang pertama dari Tuhan? Sering pula kita mendengar nasihat tentang doa bahwa kita tidak boleh mendesak Tuhan. Bukankah kita di¬ajar untuk berdoa: "Bukannya kehendakku, melaikan kehendak-Mu yang jadi? Tapi cerita ini tadi juga mengajarkan kita bergumul berdoa: “Biarlah kehendakku jadi, sesuai dengan kehendak-Mu.”? Cerita ini bukan kiasan atau perunpamaan. Ia adalah suatu peristiwa yang ter jadi dalam sejarah kehidupan nyata. Malah tempat terjadinya peristiwa itu dilukiskan secara geographis yang jelas.

Ia memperlihatkan kepada kita bahwa Yesus itu maha pengasih. Ia tidak membatu dan membeku bila kita bertekun dalam iman, bertahan dalam permohonan seperti harapan si wanita Kanani ini: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Cerita ini hendak mengajak kita supaya bertahan, bertahan terus. Sampai kita menerima apa yang kita mohonkan. "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketolah, maka pintu akan dibukakan bagimu." (Mat. 7:7). Wanita Kanaan ini juga manusia biasa, bahkan berasal dari bangsa kafir, orang berdosa. Namun permohohanannya didengarkan oleh Tuhan. Tuhan itu maha kasih adanya. Tidakah terlebih lagi Ia akan mendengar, menjawab permohonan kita sebagai anak-anak-Nya? Dalam Matius 7:11b dikatakan: “Apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Saudara, ada satu cerita yang menarik. Di dermaga di tepi sungai besar yang biasanya dilayari kapal, seorang anak kecil sedang mengail ikan dekat seorang tua yang tak dikenalnya yang juga sedang mengail di sana. Mata kail mereka telah dilemparkan ke dalam sungai namun ikan tak kunjung datang untuk menyentuh umpan di kailnya. Sambil melihat kapal yang hilir mudik di sungai itu anak kecil itu terperanjat melihat kapal yang tampak di kejauhan sana. Anak itu melepaskan bajunya sambil melambai-lambaikannya ke arah kapal itu. Orang tua yang di sebelahnya itu heran dan berpikir, “mungkin anak tersebut sudah tidak waras lagi. Apakah mungkin kapal tersebut mau mendekati anak tersebut. Itu tidak mungkin.” Tak lama kemudian kapal tersebut menuju pada tempat anak itu mengail. Orang tua itu heran, apa yang akan terjadi? Kapal itu memang menjemput anak itu. Anak itu berkata kepada orang tua itu, “Tahukah Anda bahwa nakhoda kapal itu adalah bapak saya, karena itu dia menjawab lambaian tangan saya.”
.
Lambaian tangan minta tolong kepada Allah dan teriakan mita tolong kita kepada-Nya hanya akan dikabulkan oleh sebab kita dikenal oleh Allah sebagai anak-anak-Nya yang kekasih. Sebab itu saudara, apabila kita sedang menngalami apapun dalam hidup ini yang merupakan penderitaan, kita tidak sendirian. Kita memiliki Dapa yang di sorga. Maka ingatlah kepada-Nya. Sebab dengan ingat kepada-Nya adalah obat yang paling mujarab ketika kita menghadapi penderitaan. Berharap kepada Tuhan menjadikan kita memiliki kekuatan yang luar biaa untuk menghadapi penderitaan. Dengan berharap kepada Tuhan ada 1001 jalan dan pertolongan yang disediakan-Nya bagi kita, bahkan ketika menghadapi persoalan yang tidak mungkin diselesaikan oleh manusia sekalipun. AMIN.

BERUSAHALAH DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH


II Petrus 1:3-15

Nas ini berisi pesan moral, meminta kita untuk berusaha secara sungguh-sungguh: panggilan untuk lebih bersemangat yang dinyatakan melalui perkataan “berusahalah sungguh-sungguh”. Panggilan untuk terus maju. Kita diingatkan tentang sederetan nilai-nilai berharga yang perlu untuk dimbangkan (menggunakan ungkapan yang serupa dengan “berusahalah sungguh-sungguh”), mengembangkan kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan (takut akan Tuhan), kasih kepada saudara-saudara, dan kasih kepada semua orang. Mengembangkan nilai-nilai yang baik tersebut akan membuat kita efektif dan produktif dalam hubungan dengan Kristus.

Jika kita melakukannya, maka tidak ada keraguan tentang keselamatan maupun penyambutan kita dalam Kerajaan Allah. Kita dingatkan kita tentang panggilan Tuhan yang harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh. Tidak ada kata setengah-setengah dalam menjalani kehidupan kekristenan; sebaliknya kita harus mengerjakan keselamatan itu dengan takut dan gentar (baca Filipi 2:12). Karena itu Petrus menasihati agar kita berusaha dengan sungguh-sungguh, “…untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.” (ay.5-7).

Sifat-sifat baik seperti: kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan (takut akan Tuhan), kasih kepada saudara-saudara, dan kasih kepada semua orang harus ada dalam diri kita sebagai orang-orang yang percaya kepada-Nya. Dan apabila semua sifat-sifat ini telah Kristen tambahkan pada imannya, maka Allah akan membuat kita giat dan berhasil dalam pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhan kita (8). Panggilan dan janji-janji Allah yang besar untuk masa depan kita yang kekal janganlah dijadikan dasar untuk membenarkan Kristen menjadi manusia yang statis, pasif, dan tanpa inisiatif.

Seharusnya kita terdorong aktif untuk memacu semangat hidup kekristenan kita, penuh inisiatif dan dinamis. Sikap ini mengarahkan kita pada pertumbuhan dan perkembangan yang normal, sehat, dan bertanggung jawab. Tidak hanya itu, kita juga dimampukan untuk menjalani kehidupannya dengan penuh dinamika, bertumbuh, dan berkembang. Keadaan seperti ini hanya akan dialami oleh setiap orang yang telah melekatkan diri dalam jalinan persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan tidak membiarkan diri hidup dalam kepasifan tanpa inisiatif. Kata sungguh-sungguh berarti melakukan dengan sepenuh hati, tidak asal-asalan atau main-main. Berusaha dengan sungguh-sungguh juga berarti bahwa kita berusaha tidak dengan kekuatan sendiri dalam melakukan apa yang difirmankan, tetapi mengacu pada respons kita terhadap panggilan Tuhan itu.

Sebagai orang beriman kita diingatkan supaya sungguh-sungguh berusaha mengembangkan kualitas dan citra Kristus di dalam dirinya. Sebab itu, seharusnya tidak ada istilah “jalan di tempat” dalam perjalanan iman seorang percaya. Orang beriman harus menghasilkan kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih terhadap saudara-saudara seiman, dan kasih terhadap semua orang (ayat 5-7). Itulah bukti iman. Jika semua itu ada di dalam diri kita dan bertumbuh, niscaya hidup kita akan berbuah (ayat dan kita tidak akan tersandung (ayat 10). AMIN!* (KU).