Renungan GKE

Minggu, 22 Juli 2012

KUALITAS HIDUP ORANG PERCAYA



Efesus 6:1-9

Nas ini berisi nasihat-nasihat yang sifatnya praktis atau aplikatif. Konkretnya: nasihat tentang bagaimana seharusnya masing-masing anggota keluarga, khususnya orang tua (ayah dan ibu), anak-anak, dan para pekerja menjalankan peran mereka sehingga idealisme tentang keluarga yang sehat dan harmonis itu dapat terealisasi. Manusia adalah makhluk sosial maka mau tidak mau komunikasi menjadi hal yang  penting bagi kehidupan manusia.

1. Sikap Orang Tua (ayah dan ibu)

Dalam Efesus 6:4. Rasul Paulus berkata bahwa para ayah harus mendidik anak-anaknya "di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Para ayah Kristen yang melakukan hal ini akan menunjukkan bahwa mereka berbeda dari ayah-ayah yang lain, dan taat pada kehendak Allah. Alangkah baiknya bila anak-anak kita diasuh oleh ayah dan ibu yang mengasihi Tuhan! Jika orangtua tak punya waktu untuk membangun komunikasi dan memberi perhatian yang cukup untuk anak, dengan alasan harus bekerja keras demi masa depan anak. Sikap ini justru secara langsung menunjukkan sikap egois orangtua. Jika orangtua rindu anak-anak tetap hormat, peduli, dan mengasihi, sejak dini orangtua harus membangun kasih dan kepedulian. Bukan dengan kasih materialistis membanjiri anak-anak dengan materi tanpa kehadiran orang-tua.

Dalam bukunya yang berjudul “How to really love your child”, Ross Campbell menulis, “Aku sangat heran, betapa banyak orangtua menghabiskan beribu-ribu dolar dan berbuat apa saja demi memastikan anak-anak mereka dipersiapkan pendidikannya secara sempurna. Namun demikian, dalam persiapan yang terpenting, yaitu perjuangan rohani dalam penemuan makna kehidupan, seorang anak dibiarkan mempertahankan dirinya sendiri sehingga mudah menjadi mangsa kuasa kegelapan.” Apakah kita sebagai orangtua berada dalam kelompok yang disebut Ross Champbell? Sebagai orangtua kita mempunyai tanggungjawab utama.

Setiap tahun orang Amerika membelanjakan hampir 24 miliar dollar untuk anak-anaknya. Sebagian besar uang itu memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, namun bermiliar-miliar sisanya dihabiskan untuk membeli "barang-barang" dalam iklan yang tak ada habisnya, seperti boneka Furbie, Barbie, Beanie, serta CD dan TV. Salahkah kita bila membelanjakan uang sebanyak itu untuk anak-anak? Sulit untuk menjawabnya. Namun pertanyaan yang lebih sulit lagi ialah: Apakah para orangtua membelanjakan uang seperti itu supaya mereka tak perlu menyediakan waktu bagi anak-anak? Sebuah penelitian yang dilaporkan The Wall Street Journal memberi kesan demikian: Sebagian besar anak-anak berusia 10 dan 11 tahun di Amerika memiliki TV di kamar dan dapat menonton apa saja yang mereka inginkan.

Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah uang, melainkan alasan di baliknya. Apakah dengan uang itu para orangtua bermaksud memberi hiburan, memanjakan, dan membeli kasih sayang anak-anak mereka? Atau, maukah mereka mendidik anak-anak dalam kesalehan? Hal ini membutuhkan petunjuk yang cermat dari Alkitab.  Dibutuhkan waktu untuk mendidik orang muda (Amsal 22:6). Dibutuhkan ketekunan untuk mendisiplin anak. Dibutuhkan usaha untuk mengajarkan prinsip-prinsip Allah (Ulangan 4:9). Dibutuhkan hikmat untuk dapat bersikap adil (Efesus 6:4; Kolose 3:21). Dibutuhkan kerajinan untuk mengurus keluarga dengan baik (1 Timotius 3:12). “Hadiah terbaik yang dfapat diberikan bagi anak Anda adalah waktu Anda.”

Paul Lee Tan melaporkan data tentang pengakuan dan penerimaan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat seperti ini:
  • 1 dari 10 orang menerima Yesus sebelum mencapai usia 25 tahun
  • 1 dari 10.000 orang menerima Yesus setelah usia 25 tahun
  • 1 dari  50.000 orang menerima Yesus setelah usia 35 tahun
  • 1 dari  200.000 orang menerima Yesus setelah usia 45 tahun
  • 1 dari 300.000 orang menerima Yesus setelah usia 55 tahun
  • 1 dari 500.000 orang menerima Yesus setelah usia 65 tahun
  • 1 dari 700.000 orang menerima Yesus setelah usia 75 tahun
Setidaknya data tersebut  mengingatkan dan menggugah kesadaran kita untuk sedini mungkin memberikan perhatian akan pertumbuhan rohani anak – anak  dan anggota keluarga kita lainnya sebelum semuanya menjadi terlambat. “Memberi teladan yang serupa dengan Kristus adalah hadiah terbesar seorang ayah bagi anak-anaknya.” Sebagai orangtua kita juga diperintahkan untuk konsisten “melakukan apa yang baik dan benar di mata Tuhan” (ayat 18), yang didalamnya terkandung pengertian bahwa pengaruh kuat hanya dimungkinkan melalui keteladanan hidup orangtua. Para orangtua harus memberi teladan untuk dilihat anak-anaknya, bukan sekedar memberikan peraturan-peraturan untuk dipatuhi. Sebagai orangtua, kita adalah cermin bagi anak-anak kita dan merupakan contoh/model kongkrit bagi mereka bagaimana iman dan kehidupan sehari-hari menyatu. Apa yang mereka lihat dalam diri kita adalah cermin yang menunjukkan siapa mereka dan akan menjadi  apa mereka. 

Kita adalah cermin istimewa dan tidak ada duanya, sebuah cermin dengan perasaan, penilaian dan akal. Ketika anak-anak kita berkaca  ke arah kita untuk mencari identitasnya dan kesannya akan dunia, mereka melihat pantulannya yang telah disaring melalui sistem nilai kepercayaan kita. Efesus 6: 4, “…jangan bangkitkan amarah dii dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dii dalam ajaran clan nasihat Tuhan.”

Ada dua prinsip penting yang menonjol dalam Alkitab tentang pendidikan rohani anak. Pertama, dari rumahlah pertama-tama tanggungjawab untuk memperkenalkan pengajaran kristen itu harus diberikan. Kedua, pengajaran iman yang efektif pertama-tama harus dinyatakan melalui tindakan dan keteladanan, baru kemudian dengan kata-kata. Keteladanan orangtua, pengalaman sehari-hari dan keikutsertaan dalam ibadah merupakan bahan dasar untuk memperkenalkan anak pada konsep-konsep berkenaan tentang Allah.

2. Sikap Anak

Alanda Kariza adalah putri pejabat bank yang terlilit kasus hukum dan terancam 10 tahun penjara dan denda 10 miliar. Di blognya, Kariza menulis demi mendapat opini teman-temannya tentang ketidakadilan yang dialami ibunya. Namun, ia justru kebanjiran simpati dan dukungan. Ketika ditanya apa cita-citanya, Kariza hampir selalu menjawab: “Saya ingin membuat Ibu bangga dengan terus berprestasi.”

Adalah suatu keharusan bagi anak untuk menghormati kedua orangtuanya karena orangtua bertindak sebagai wakil Tuhan untuk anak-anaknya dalam hal mengasihi, memelihara, mengasuh dan juga memperhatikan.  Itulah sebabnya firman Tuhan memerintahkan agar anak-anak memiliki rasa hormat dan takut kepada orangtuanya seperti umat takut kepada Tuhan. Takut akan Tuhan mempunyai arti segan dan hormat.  Bukan rasa takut seperti seorang anak yang telah mencuri uang dan kepergok ayah ibunya.  Atau seorang pencuri yang takut terhadap polisi dan sebagainya.  Tetapi rasa takut ini menyebabkan anak-anak bersikap sebaik mungkin kepada orangtuanya supaya jangan sampai membuat kesalahan dan menyakiti hatinya, takut jangan sampai berbuat dosa kepadanya.

Sudah sepantasnya bila anak menghormati orangtua dan takut kepadanya, sebab memang orangtua adalah orang-orang yang sangat terhormat bagi anak-anak, ibarat pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap saat siap menolong, melindungi dan mencintai kita lebih dari pada semua orang lain di dunia ini.  Oleh karenanya anak-anak harus takut, hormat dan selalu taat kepada mereka.  Di zaman sekarang ini banyak anak memberontak dan melawan orangtua, bahkan cenderung meremehkan dan merendahkan mereka.  Salomo memberi nasihat,  "Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku."  (Amsal 4:1-2).

Tuhan sangat benci terhadap anak yang tidak menghormati orangtuanya.  Alkitab menyatakan:  "Terkutuklah orang yang memandang rendah ibu dan bapanya."  (Ulangan 27:16a).  Contohnya Absalom.  Ia menjadi orang yang berhasil dan memiliki segalanya (fasilitas dan harta) karena bapanya (Daud).  Sayang, setelah dewasa ia malah mengusir bapanya sendiri dan hendak membunuhnya. Hidup Absalom pun berakhir tragis sebagai akibat ia berlaku kurang ajar dan tidak menghormati ayahnya! 

Apabila kita tidak mempersiapkan anak-anak kita dengan baik maka di hari depan mereka menjadi generasi yang berperilaku buruk.“Satu generasi di bawah kita selalu terancam menjadi kafir.Jika satu generasi gagal meneruskan obor iman, maka generasi berikutnya takkan mengenal Allah dan akan hidup dengan mengabaikan kehendakNya.” Ada sebuah sajak yang menggambarkan tugas dan panggilan orangtua dalam pendidikan rohani anak: “Bangunlah, namun bukan hanya untuk hari ini. Bangunlah dengan batu cadas dan perkokohlah kerangka di dalamnya agar pada tahun-tahun mendatang anak cucumu akan melihat dan mengecap dan berkata dengan hormat dan cinta “lnilah bebatuan yang sudah disusun orangtua kami Inilah bangunan Yang sudah dibangun orangtua kami.

3. Sikap Majikan

Saat Truett Cathy memulai usaha restoran pertamanya pada tahun 1946, restoran selalu itu tutup pada hari Minggu untuk memberi waktu bagi para karyawannya berkumpul bersama keluarga dan pergi ke gereja. Hal itu masih berlaku sampai sekarang, pada lebih dari 1.000 gerai cepat saji Chick-fil-A milik perusahaan Cathy. Semboyan Cathy adalah "utamakan orang dan prinsip dulu, baru keuntungan". Semboyan ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri, baik saat memberikan perintah maupun saat mempekerjakan seseorang. Rasul Paulus berpesan kepada para majikan dan hamba. Menurutnya, kita perlu ingat bahwa kita mempunyai Tuan di surga.

Kepada tuan-tuan (majikan) diperingatkan juga. “ Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahawa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di Sorga dan Tuhan tidak memandang muka.” (Efesus 6:9). “Hai tuan-tuan berlakulah adail dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di Sorga.” (Kolose 4:1). Sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus, wajiblah kita mentaati perintah-perintah ini.

Orang kadang berlomba-lomba melakukan ibadah ritual pada hari atau bulan tertentu, tetapi lalai atas kehidupan sosialnya. Ibadah terus berjalan, namun korupsi, kolusi, dan segala bentuk penyimpangan terus dilakukan. Perilaku buruk para pemimpin atau majikan bisa berdampak pada nasib para pekerja bawahan. Para pekerja tidak mendapatkan teladan yang baik. Pada akhirnya, para pekerja juga akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.

Berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah bencana yang timbul akibat dosa manusia. Para pemimpin, katanya, sering melakukan perbuatan dosa yang merugikan rakyat.Beragam bencana yang menimpa negeri ini tampaknya belum menyadarkan para pemimpin dan para elit untuk berintropeksi. Bahkan mereka tetap larut dalam korupsi, kolusi, dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang merugikanpin, majikan atau tuan, kita juga harus bersikap serupa yaitu dengan takut dan gentar kepada Tuhan, tidak memperlakukan bawahan seperti binatang, tapi perlakukanlah mereka tanpa memandang muka, karena Tuhan di Sorga juga memperlakukan setiap manusia adalah sama, baik hamba maupun tuan.

Ingatlah kisah tentang Lazarus yang miskin dan orang kaya dimana orang kaya memperlakukan Lazarus seperti seekor binatang (Lukas 16:19-31) dan tidak ada belas kasihan kepadanya untuk memperlakukan Lazarus seperti layaknya seorang manusia. Orang kaya tersebut akhirnya mendapat penderitaan yang kekal setelah mengalami kematian. Menghormati sesama dan memperlakukannya dengan baik, entah bawahan maupun atasan, baik orang miskin maupun kaya, baik muda maupun tua, dan lain sebagainya akan dapat menjadikan hidup kita lebih berarti karena akan menjadi berkat bagi orang lain dan damai sejahtera tercipta diantara umat Tuhan yang melakukan hal demikian.

4.Sikap Para Pekerja 

Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus,” (Efesus 6:5). Secara sederhana ayat ini mengajar kita untuk taat kepada pimpinan di perusahaan atau kepada majikan kita, sehingga apa pun tugas yang diberikan akan kita kerjakan tanpa adanya keluh kesah atau gerutu. Sebagai seorang pekerja Kristen kita harus memiliki rasa hormat dan taat kepada siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan, “…sama seperti kamu taat kepada Kristus,  jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah,”(Efesus 6:5-6).

Di dunia kerja, keberadan orang Kristen dengan orang dunia hampir-hampir setali tiga uang, susah membedakannya dan hampir-hampir tidak ada perbedaan yang mencolok dalam hal nilai dan etika kerja. Kadang orang-orang dunia justru lebih baik dibanding anak-anak Tuhan. Para pekerja Kristen seringkali tidak menunjukkan kualitas sebagai karyawan yang baik. Ketika berada di gereja, kita seolah-oleh berkomitmen penuh untuk menerapkan nilai-nilai firman Tuhan. Tetapi saat di tempat kerja, kita bertindak dan menganut cara-cara kerja duniawi yang sarat dengan kecurangan, rekayasa, kemalasan, serta menghalalkan segala cara.

Pengaruh dunia ini begitu kuat, sehingga banyak pekerja Kristen yang malah menjadi batu sandungan dan tidak lagi menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Firman Tuhan jelas menyatakan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”Dalam segala hal kita harus menjadi pekerja teladan dan bisa dibanggakan atasan kita. Namun, haruskah kita menaati pimpinan kita bila mereka memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang salah, tidak etis dan bertentangan dengan firman Tuhan? Tidak! Kita harus dengan tegas menolaknya, meskipun itu membawa konsekuensi. Ada tertulis, “…kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kisah 5:29). Bila kita tidak menjadi teladan dalam hal pekerjaan berarti kita gagal dalam mengemban tugas sebagai ‘terang’. (Matius 5:16). AMIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar