Renungan GKE

Minggu, 22 Juli 2012

GEREJA YANG LAYAK DISEBUT SEBAGAI "GEREJA"



Efesus 4:1-16

Ada sebuah nyanyian dalam Kidung Jemaat nomor 257 yang menggambarkan tentang Gereja. Lagu tersebut berbunyi demikian:

Aku gereja, kau pun gereja
Kita sama-sama gereja
Dan pengikut Yesus di seluruh dunia
Kita sama-sama gereja

Gereja bukanlah gedungnya,
Dan bukan pula menaranya;
Bukalah pintunya, lihat di dalamnya,
Gereja adalah orangnya.

Dari nyanyian tersebut dapatlah kita fahami bahwa gereja sebenarnya bukanlah sebuah benda mati, museum atau sebuah monument yang bisu. Dan memang, gereja itu sebenarnya adalah persekutuan yang senantiasa bergerak. Ia harus selalu berkembang dan bertumbuh, seperti setiap manusia pun harus bertumbuh, makin lama makin dewasa. Terlebih lagi bila mengingat akan makna tugas panggilannya di dunia dimana ia ditempatkan. Karena itu, berbicara tentang gereja, mau tidak mau kita harus berbicara tentang orang-orang yang bergereja.

Lalu bagaimanakan sebuah gereja itu layak disebut sebagai sebuah gereja? Apakah kita yang bergereja bukan menjadi sebuah gereja yang sedang sakit, mandul atau lumpuh? Atau sebaliknya, sebuah gereja yang bertumbuh, berbuah dan benar-benar menjadi berkat, melaksanakan tugas panggilannya di dunia ini sebagaimana layaknya seperti dikehendaki oleh Kristus sendiri sebagai kepala gereja? Berdasarkan nas ini, paling tidak ada tiga factor penting sebagai batu uji sebuah gereja yang dapat menjadi berkat:

I. MEMELIHARA PERSEKUTUAN (ay.1-6)

Persekutuan tentu saja tidak terjadi begitu saja, yang selalu begitu dan harus tetap tinggal begitu. Persekutuan dapat tercipta bila orang saling rendah hati, saling mau mendengar saling sabar, dan saling membantu. Tanpa hal tersebut mustahil persekutuan dapat terpelihara dengan baik. Tapi disinilah masalahnya. Sebab tidak jarang, saling merendahkan diri, saling mau mendengarkan, saling sabar, saling membantu hanyalah semacam slogan tanpa makna. Sebabnya ialah karena kecenderungan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri. Ketimbang persekutuan, mungkin perpecahan yang sering dijumpai. Bahkan tidak jarang di dalam tubuh yang namanya gereja sekalipun. Persekutuan tidak lagi dinikmati laksana sebuah pohon beringin yang rindang, nyaman dan menyenangkan. Tapi malah sebaliknya bagai sebuah padang gurun yang panas dan gersang. Maka yang terjadi akibatnya: orang saling sikut-menyikut, saling kalah-mengalahkan, dsb.

Apabila semua orang yang bergereja memiliki kemauan atau tekat bersama untuk memajukan persekutuan, maka di dalamnya harus terdapat unsur sehati dan sejiwa, saling mau mendengar, saling mengerti, saling mau mengalah, saling mau berkorban. Bukankah sikap seperti ini yang memampukan jemaat mula-mula untuk menjadikan milik pribadi menjadi kepunyaan bersama? Itulah konsekwensinya bila kita mau menjadikan persekutuan yang utuh.

Gereja memerlukan keperdulian kita bersama. Ya, oleh semua orang yang menginginkan pertumbuhan dan kemajuan. Kemajuan dan pertumbuhan sebuah gereja, tidak pernah bekerja seperti lampu aladin, yang sekali gosok, dan semua seketika menjadi beres. Tidak! Ia harus diusahakan, dikerjakan. Oleh siapa? Oleh setiap orang di gereja itu, yang menginginkan kemajuan dan perkembangannya.

II. EFEKTIVITAS SEMUA POTENSI KARUNIA YANG ADA (ay. 7-12)

Berbicara soal pelayanan gereja, barangkali yang ada dalam benak kita adalah para petugas gereja, baik Pendeta, Penatua & Diakon, ataupun pengurus-pengurus kategorial atau pengurus lingkungan yang menjalankan tugas pelayanan. Sebenarnya ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab apabila kita mempelajari dari cara hidup jemaat mula-mula, maka nyatalah bagi kita suatu pengertian tentang pelayanan secara utuh.

Di satu sisi memang dibicarakan pelayanan dan kesaksian para Rasul. Tapi di sisi lain juga dibicarakan pelayanan dalam cara yang lain. Di sini kita melihat adanya sikap saling melayani. Kita ambil contoh: Yusuf seorang anggota jemaat, toh pun bukan dalam golongan rasul-rasul, tetapi dalam segi lain ia melayani. Dikatakan: “Ia menjual lading, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki Rasul-Rasul.” (Kis. 4:36-37). Cara hidup bergereja memang jauh berb eda dari hal-hal yang biasa. Karena itu hal semacam ini yang tidak orang suka. Yang penting gedung dan menaranya, bahkan orangnya asal ada!

 III. PERTUMBUHAN MENUJU KEDEWASAAN YANG BERKARAKTER (ay. 13-16)

Tanpa adanya pertumbuhan menuju kedewasaan yang berkarakter, maka gereja itu laksana katak di bawah tempurung. Bila kita ingin kesaksian gereje lebih bergema ke luar, maka mulai di dalamnya perlu dirapikan, didewasakan, dikuatkan! Kalau di dalam lemah, bagaimana ia bias kuat ke luar? Tetapi proporsi persoalannya sering tidak di situ. Yang sering menjadi kenyataan ialah, bahwa pelayanan ke dalam itu lalu kemudian menjadi tujuan pokok, dan pelayanan ke luar adalah pekerjaan sambilan.

Gereja yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri ke dalam adalah seperti mobil dalam garasi. Mesinnya hidup, tetapi tidak pernah jalan-jalan juga. Hanya menghabiskan bensin saja! Atau ada juga yang terjadi sebaliknya, bahwa tugas gereja hanya dipahami sebatas memberitakan Injil ke luar, atau hanya mencari jiwa-jiwa baru menjadi anggota gereja. Itu memang penting! Tetapi itu hanya salah satu bagian dari tugas gereja. Tetapi yang benar adalah, bahwa kedua-duanya memang semua penting! Harus seimbang!

Pembinaan di dalam memang merupakan semacam dasar suatu bangunan. Ia harus kuat. Suatu gereja dapat bergerak dan bersaksi ke luar apabila iman jemaatnya mengalami pertumbuhan dan semakin dewasa melalui pembinaan dan pendewasaan iman. Tapi masalahnya, bagaimana gereja memiliki dasar dan pemahaman iman yang matang bila katekisasi saja dilakukan hanya menjelang mau menikah?  Karena itu, harus kita pahami, bahwa kesaksian gereja itu adalah suatu sikap yang menjadikan baik, sesuatu yang salah menjadi benar, segala sesuatu yang gelap menjadi terang, segala sesuatu yang bengkok menjadi lurus! Atau dalam istilah Yesus dalam Alkitab: “Menjadi terang dan garam dunia.”  AMIN! *(KU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar