Renungan GKE

Kamis, 02 November 2017

KETAHUAN BELANGNYA



(Lukas 15:11-32)

Manusia, ketika dalam keadaan normal, dalam keadaan yang happy-happy saja, memang tak kentara belangnya. Tetapi bagaimana ketika dalam keadaan tidak nyaman? Ketika kenyamanan dirinya terusik? Ketika kurang dianggap, kurang perhatian, kurang diperdulikan, merasa diremehkan, mendapat kritikan tajam, merasa kalah pamor, kalah saingan, dst? Nah…nah…nah…. saat itulah akan sangat terlihat jelas belang aslinya. Diri seseorang yang sebenar-benarnya. Ini secara gamblang dapat kita lihat pada diri si anak sulung dalam perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas 15:11-32. Sikap si anak sulung dalam “perumpamaan tentang anak yang hilang” memang sedikit sekali disinggung. Dan mungkin selama ini jarang dikhotbahkan, ketimbang si bungsu yang duhay begitu menyita waktu dalam pemaparannya!

Dari 22 ayat yang ada dalam nas ini hanya 5 ayat yang secara khusus menyinggung tentang si anak sulung. Padahal sebenarnya bukan tanpa arti sama sekali. Berbeda dengan si bungsu. Si anak bungsu yang hilang, oh indah sekali cerita perjalanan hidupnya. Dari 22 ayat yang ada dalam Injil Lukas 15, secara khusus 14 ayat berbicara tentangnya. Kisahnya pun mampu membuat si pembaca atau si pendengar terkesima. Sedangkan si anak sulung? Amit-amit! Padahal (maaf!), jangan-jangan bahwa kita justru adalah para anak sulung itu. Tipe dan sikap hidup keseharian kita tanpa disadari lebih banyak menggambarkan si anak sulung itu ketimbang si anak bungsu? Kelihatan di luarnya baik, tetapi akhirnya ketahuan juga belangnya. Belang si anak sulung. Bukan si anak bungsu yang bertobat dan mendapat kasih anugerah dari bapaknya.

Si anak sulung (baca: orang Kristen). Itu juga anak yang baik. Baik-baik saja. Anak yang patuh. Anak yang mengabdi kepada bapaknya (baca: kepada Tuhan-nya). Anak yang selama ini tidak banyak menuntut. Tidak pernah berhura-hura. Bukan pembuat keonaran apalagi jadi masalah bagi keluarga, lingkungan, persekutuan dan gereja segala! Kehidupan yang tidak senonoh tak pernah dilakukannya. Lebih banyak kerja, mengabdi ketimbang bicara. Saking asyiknya mengabdi dan bekerja bagi ayahnya diladang, sampai tidak diketahuinya ada pesta di rumah mereka. Berbeda dengan si amak bungsu. Dalam nas disebutkan: “Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian.” (ay.25).

Tapi, eeeeiiiiiiitttt....! Karena inilah episode selanjutnya pembuka tabir semakin gamblang. Bagai genderang perang si Anak sulung semakin membuka tabir keasliannya jauh dari apa yang terlihat selama ini. Itu terjadi persis seperti situasi yang sudah kita sebutkan di atas tadi. Ketika dalam situasi ketidaknyamanan itu tentu saja! Tabiatnya yang asli dimulai dari apa yang dipaparkan pada bunyi nas berikut: “Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk…” (ay.28). Si anak sulung ini “marah”. Kenapa marah? Tentu saja karena merasa kalah pamor. Seharusnya dia yang menurutnya layak lebih dahulu diprioritaskan! Ternyata tidak. Akhirnya kecewa! Lalu bermacam-macam intrik busuk dilakukan, entah melalui ucapan, menfitnah, menjatuhkan nama baik si saingan, bahkan berbagai ntrik lainnya entah yang kentara atau terselubung dalam kelicikan sebagai ungkapan kekecewaan! Oh, tipe si anak sulung, kapan saja dan di mana saja, cirinya pasti sama. Merasa tidak nyaman bila kalah pamor!

Semakin kentara, ayat berikutnya menyebutkan: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan kepadaku seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.” (ay.29). Apa yang bisa kita tangkap dari pernyataannya ini? Sikap merasa berjasa. Itu menjadi senjata kelicikan supaya mendapat penghargaan. Dia merasa banyak berjasa selama ini yang semestinya pantas untuk diadakan pesta.Setali tiga uang dengan si penjilat. Hanya caranya lebih halus dilakukan. Oh, si anak sulung. Tipe orang-orang yang merasa berjasa, pura-pura paling berjasa, seolah-olah berjasa, tapi ada udang di balik batu!

Lalu apa berikutnya? Nah ini. Merasa diri bersih, suci, taat aturan, patuh, paling baik, sempurna, dan karena itu layak untuk mendapat prioritas dan penghargaan. Seharusnya dia yang menurutnya layak menduduki kursi nomor satu. Seharusnya dia yang menurutnya layak jadi ketua/pimpinan. Tapi ternyata tidak. Ia pun kecewa! Ia membandingkan dirinya dengan si bungsu si pendosa, penuh kecacatan, meremehkan dan menganggap hanya dirinya yang layak ketimbang si bungsu, di pendosa! (ay.30). Kekecewaannya syah-syah saja. Kedengarannya benar saja. Tapi tunggu dulu! Karena ternyata segala sikap tindakannya yang rajin melayani, mengabdi, patuh kepada bapanya selama ini, ternyata tidak kurang dan tidak lebih adalah sikap kemunafikan. Sikap yang pura-pura. Ada motivasi yang lain dibalik semua yang dilakukan.

Kepura-puraan saudara, sejatinya adalah penyakit yang paling menyiksa jiwa. Bersemanyam di dalam batin membuat hati berdarah-darah, bernanah tak kentara! Ditutup-tutupi sebagaimana pun caranya, pada saatnya akan kentara juga. Sebagaimana si anak sulung, bertahun-tahun ia bersandiwara, pada saatnya terungkap juga. Jiwanya pastilah sangat menyiksanya oleh kepura-puraannya sendiri. Karena itu, mari merenung sejenak, mari bercermin diri dalam kebeningan jiwa dalam tekad. Dari pada menutup-nutupi diri dengan kepura-puraan, lebih baik menyesali segala dosa perbuatan kepada Tuhan lalu hidup menghasilkan buah-buah pertobatan. Jiwa pun pasti tentram dan nyaman. Dan kita pasti tak akan pernah merasa terganggu walau dalam situasi yang tak nyaman sekali pun! Amin!

SAMA-SAMA “MANTAN”



(Lukas 15:11-32)

Si anak sulung dan si anak bungsu dalam perumpamaan Injil Lukas 15:11-32 adalah dua orang saudara kandung dari satu Bapa yang sangat mengasihi mereka. Menggambarkan dua sisi kehidupan manusia yang berbeda. Mereka adalah para “mantan” yang pernah menjalani aneka kehidupan. Si anak sulung adalah mantan orang baik, taat, rajin melayani, setia, tidak banyak menuntut, moral-etis hidupnya terjaga. Namun pada fase berikutnya justru menjadi orang jahat. Cerewet, pemberontak, pemarah, menghakimi, hatinnya ditumbuhi iri dengki.

Si anak bungsu, juga adalah seorang “mantan”. Mantan seorang yang hidupnya tidak senonoh. Mantan seorang pendosa. Seorang yang pernah menjalani sisi gelap di kehidupan ini. Serakah, hanya memenuhi keinginan nafsu dunia dalam berbagai jenis dosa yang dilakukannya. Namun pada fase berikutnya justru menjadi orang baik-baik. Seorang yang mau belajar dari kepahitan hidup dan punya motivasi untuk menjadikan hidupnya 180 derajat berobah dan menjadi lebih baik. Seorang petobat sejati, bukan setengah-setengah bertobat! Untuknya, bapaknya merasa pantas untuk mengadakan pesta untuknya dan menganugerahkan jubah kebesaran badinya!

Dalam kehidupan nyata ini, tidak jarang kita temui orang-orang persis seperti dalam gambaran si anak sulung. Orang baik. Rajin dan taat mengabdi, pemurah, rendah hati, seorang kekasih yang baik lagi setia, dapat dipercaya, memiliki jiwa pengorbanan yang tinggi. Hanya sayang, ibarat pepatah “karena setitik nila, rusaklah susu sebelanga.” Telah sekian lama, hingga puluhan tahun sudah menjalani hidup yang baik, suci, berkat. Gara-gara hal sepele kenikmatan dunia, jadi tergoda. Dulunya rajin mengabdi mengajar Sekolah minggu, tapi sekarang rela meninggalkanYesus ditukar dengan si pilihan pujaan hati yang tak seiman gara-gara tergiur gelimang harta.

Telah sekian lama membangun kehidupan iman. Hidup taat. Hidup jadi orang baik. Hanya gara-gara hal sepele ketersinggungan karena tak dianggap, melakukan tindakan konyol kekanak-kanakan. Tak sempat berpikir panjang. Lalu kejahatan menggoda berbisik lewat pintu hati. Tindakan jahat pun dilaksanakan sebagai ungkapan rasa ketidakpuasan! Jadi laknat, pengkhianat, merusak nama baik diri sendiri. Hingga kiamat tak pernah mau kembali dan bertobat! Malah semakin menjadi-jadi. Pintu sorga pun jadi tertutup selamanya baginya.

Pada sisi lain, sering juga kita jumpai orang-orang seperti dalam gambaran si anak bungsu. Seorang yang pernah menjalani sisi gelap kehidupan. Seorang penipu, pemabuk, ngobat, penjudi, pelacur, penjahat, namun yang mau belajar dari pengalaman pahit, lalu sungguh-sungguh bertobat. Ada kesadaran untuk menjalani hidup yang lebih baik. Sadar akan makna hidup yang sesungguhnya. Sadar akan arti berkat! Untuk orang seperti inilah yang layak menerima kasih anugerah Allah.

Hanya perlu dipahami secara benar, bahwa Kasih Anugerah Allah tentu saja tidak datang begitu saja menghampiri setiap orang. Bila memang ingin menjadi anak-anak Allah yang baik, tidak selalu harus menjadi anak bungsu yang terhilang terlebih dahulu. Apalagi yang dengan sengaja menghilangkan diri dan tak pernah mau kembali lagi! Karena, jangan kira bahwa kasih anugerah Allah diberikan begitu saja dengan percuma. Jangan kira anugerah Allah itu laksana barang murahan, yang dengan seenaknya didapatkan atas pertobatan sebatas ucapan. Tidak. Tidak demikian! Tidak ada tempat kemuliaan bagi setiap orang yang dengan sengaja bermain-main dengan Allah! Amin!

Selasa, 24 Oktober 2017

BERSEDEKAHLAH DENGAN TULUS





Matius 6:1-4


Bersedekah atau memberi sedekah, adalah suatu tindakan mulia. Karenanya tidak heran bila Agama juga menganjurkannya. Bersedekah… oh, itu tanda tulusnya cinta, ungkapan jiwa-jiwa yang mulia. Perduli dengan penderitaan sesamanya. Berbela rasa karena pekanya jiwa. Mana ada orang kikir dapat bersedekah dengan sesamanya. Hanya orang yang mulia jiwanya yang dapat melakukannya.

Hanya persoalannya, tindakan mulia ini juga terkadang menjadi cela. Tercemar oleh dosa kesombongan yang menyertainya. Apa pasalnya? Karena tidak jarang dilandasi motivasi yang salah. Jadi salah arah. Yesus mengkritik cara beragama yang salah. Meluruskan cara bersedekah yang salah: “Tetapi jika engkau member sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (ay.3). Jadi bersedekahlah dengan tulus. Dengan cara yang lurus. Itulah maksud Yesus!

Bersedekah itu memang mulia. Janganlah meremehkannya. Karena tidak tanggung-tanggung keuntungannya. Surga taruhannya! Alkitab sendiri membuktikannya. Yesus sendiri mengucapkannya seperti yang tercantum dalam matius 25:31-46 sungguh nyata! Mumpung kita masih di dunia, marilah kita memikirkan untuk terus melakukannya. Terus mencoba. Semampu kita bisa!

Bersedekah….sebenarnya sederhana saja bila tulus melakukannya. Kisah inspirativ berikut ini gambarannya. Adalah seorang anak berumur 4 tahun yang dengan tulus bertanya kepada ibunya. "bu, kenapa tiap ulang taun gak Pernah ngasih apa-apa?” Ibunya cuma meneteskan air mata belum bisa menjawab, akhirnya berkata : ''Nak kan masih Lama?'' Hari berlalu, dan si anak kini tumbuh semakin besar. Hingga pada suatu hari, saat anak ini umur 6 tahun, dia mengalami kecelakaan.

Sang ibu sangat shock dan bergegas pergi ke rumah sakit, setiba di rumah sakit, seorang dokter berkata pada ibunya itu? ''Maaf bu, saya tidak yakin anak ibu bisa bertahan,Jantungnya terluka dan sangat kecil kemungkinan untuk bertahan. Mendengar itu, ibunya langsung menghampiri anaknya. Anaknya terbaring lemas dan berkata?'' : ''Apakah dokter tadi memberi tahu ibu kalau aku Akan segera mati? Ibunya tak kuasa membendung air matanya,kemudian ia menggengam tangan putranya sambil menangis. Waktupun berlalu dan anaknya yang sekarat Akhirnya udah sembuh.

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke 8 Tahun, ketika ia tiba dirumahnya, dia mendapati secarik kertas diatas kasurnya. Dia membuka pelan-pelan dan membacanya? Dalam surat itu isinya?: ''Nak, ibu senang banget jika akhirnya kamu bisa Membaca surat ini. karena dengan itu, ibu memastikan kamu baik saja. Kamu masih ingat gak hari dimana kamu bertanya apa yang ibu berikan pada hari ulang tahun kamu yang ke 8 Tahun, mungkin ketika itu ibu belum bisa menjawabnya… Pada akhirnya ibu bahagia bisa memberikan kamu hadiah yang tak ternilai. ibu menitipakan jantung ibu padamu. Jaga baik-baik Nak, selamat ulang tahun penuh keberkahan.

Anaknya pun menangis karena tidak lama sebelumnya juga di tinggal ayahnya. Sekarang sang ibunda menyusul telah tiada. Sedih.. Sang bunda sejati meninggal dunia karena lebih memilih mendonorkan jantungnya demi menyelamatkan putranya. Bersedekah…Oh, itu memang mulia. Sebenarnya dapat dilakukan oleh siapa saja. Termasuk oleh Anda dan saya. Sebenarnya tindakan yang mudah untuk dilakukan, tak mesti menunggu kita sudah kaya!

Tapi kenapa perbuatan yang sederhana ini jadi susah dilakukan? Pertama, adalah soal mentalitas. Mentalitas yang sejak kecil dibangun menjadi tukang peminta-minta jadi tukang sedekah, bukan mentalitas pemberi alias bersedekah! Kedua, kita buta oleh keserakahan dan telah lupa, bahwa Yesus tidak hanya memberikan jantung yang fana bagi kita, tapi bahkan telah berkorban, mati dan menderita mebayar lunas dosa-dosa kita! Bersedekah….oh, indahnya. Bila dengan cara yang benar, tanpa terpaksa dan dipaksa, Allah pasti suka! Apalah artinya kita berargumentasi soal hebatnya ritual Agama, bila soal bersedekah yang sederhana saja belum ada, ya nol juga nilai Agama kita. Amin!

Senin, 23 Oktober 2017

KETIKA KANTONG PERSEMBAHAN PERSIS DI DEPAN ANDA!





II Korintus 9:6-15

Ketika kantong persembahan persis di depan Anda, apa yang Anda lakukan…? Entahlah, hanya Anda yang bisa menjawabnya! Karena hati orang siapa yang tahu. Entah biasa-biasa saja. Entah luar biasa. Entah tulus atau tidak. Entah polos atau ada apa-apanya. Entah si merah, si biru atau si recehan yang ikut serta. Persisnya, hanya Anda dan Tuhan saja yang tahu setiap keterlibatan kita dalam persembahan-persembahan dimana kita berperan ambil bagian!

Ketika kantong persembahan persis di depan Anda! Kenapa terasa sulit dan berat? Nah… nah… nah… Ini barangkali sudah dari sononya. Sudah terbiasa. Hanya bisanya menambah dan mengali, tetapi tak bisa mengurang dan membagi! Manusia pada umumnya memang rata-rata hafal betul yang namanya arti untung dan rugi! Ketika kantong persembahan persis di depan Anda, apa yang diikutsertakan? Hanya kita masing-masing yang tahu jawabnya! Berikut sebuah ilustrasi. Sebuah ilustrasi tentang sikap si pemberi dalam persembahan. Tentang si merah dan si hijau yang ikut serta dalam kantong persembahan!

Si merah dan si hijau pun ngobrol: Si merah Rp 100,000 bertanya kepada si hijau Rp 1,000 ; "Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan berbau amis?" Si hijau Rp 1,000 menjawab; "Karena begitu aku keluar dari Bank, terus dibawa si Nyonya ke pasar sayur, untuk sayur, ikan, urusan dapur Juga aku diberikannya kepada tukang parkir dan dan kepada para pengemis." Lalu si hijau Rp 1,000 bertanya balik kepada si merah Rp.100,000; "Kenapa kau begitu baru, rapi dan masih bersih?" Si merah Rp 100,000 dengan bangga menjawab; "Karena begitu aku keluar dari bank, terus dibawa sang majikan dan disambut perempuan cantik, dan beredarnya pun di restoran mahal, di kompleks pasar raya mall bergengsi dan juga hotel berbintang. Keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet."

Lalu si hijau Rp 1,000 bertanya lagi; "Pernahkah engkau berada di tempat ibadah?" Si merah Rp 100,000 menjawab; "Belum pernah". Si hijau Rp.1,000 pun berkata lagi; "Ketahuilah walaupun aku hanya Rp 1,000 tetapi aku selalu dibawa sang majikan dan nyonya ke ibadah. Aku juga dibawa ke tempat duka. Juga ada di tangan anak-anak yatim piatu dan fakir miskin bahkan aku bersyukur kepada Tuhan semesta alam, karena aku sering masuk ke kantong-kantong persembahan. Tentu akulah calon penghuni kerajaan Sorga! Lantas menangislah si merah Rp 100,000 karena merasa besar, hebat, tinggi tetapi tidak begitu bermanfaat selama ini. Saudara, berbicara soal persembahan memang tidak sederhana. Itu soal yang peka. Apalagi ini menyangkut soal uang segala.

Berbicara soal sikap orang terhadap persembahan, ada yang menggambarkannya, layaknya tiga model seperti berikut ini: si batu api, si spon dan si sarang lebah. SI BATU API: Untuk mendapatkan si batu api, saudara harus menghantam dia. Walau sudah dihantam, biasanya saudara hanya mendapat sedikit serpihan dan percikan bunga api. Pelit untuk memberi. Kalau pun mau memberi itu selalu dengan pertunjukan besar-besaran. Pemberi macam ini akan selalu menuntut agar namanya harus diumumkan dan berharap semua orang tahu. SI SPON: Untuk mendapatkan sesuatu dari si spon, saudara harus memerasnya lebih dulu, kalau perlu dengan aksi mengancam segala. Barulah si spon mau memberi. Artinya ia memberi karena terpaksa. Memberi bukan dari hati. SI SARANG LEBAH: Sarang lebah senang memberi, tanpa tekanan dan tanpa harus menunggu lebih dulu seseorang merengek-rengek kepadanya. Dia membiarkan madu yang dihasilkan terus mengalir agar orang yang sedang membutuhkannya bisa mendapatkannya. Uniknya, sarang lebah tidak akan pernah kehabisan. Ia akan selalu memberi, memberi dan selalu ada saja madu yang diberikannya, seolah tidak ada habisnya.

Ketika kantong persembahan tepat di depan Anda! Bagaimana sikap kita? Apakah kita pemberi macam bunga api yang selalu gembar-gembor ke sana ke mari untuk mengumumkan kedermawanan kita? Apakah kita pemberi macam spon yang menunggu ditekan dan dipaksa terlebih dahulu? Ataukah kita seperti sarang lebah yang memberi karena ketulusan? Entahlah…. hanya kita masing-masing yang tahu jawabnya!

Ketika kantong persembahan persis di depan Anda! Kenapa Anda tulus mempersembahkan persembahan Anda? Tentu saja, bila Anda sungguh menyadari dan mengakui bahwa Tuhan saja sumber segalanya. Tahu mensyukuri segala apa yang ada! Rasul Paulus memuji ketulusan pemberian jemaat di Makedonia (Psl.8:1-3), bukan karena mereka mampu dan berkelebihan. Tetapi justru dalam kekurangan, mereka bahkan mampu berbagi melebihi kemampuan mereka untuk membantu saudara-saudara mereka yang sedang berkekurangan di Jemaat Yerusalem! Demikian pun Rasul Paulus mengharapkan kepada Jemaat Korintus untuk meneladani hal yang sama (ay.5).

Ketika kantong persembahan persis di depan Anda! Apa perasaan Anda? Apakah Anda sebagai Anak-Anak Tuhan yang rindu menjadikan persembahanya menjadi persembahan yang diberkati danberkenan kepada Tuhan? Bila jawabnya adalah “YA”, maka ini yang harus Anda lakukan. Pertama: jangan mulai dari dompet Anda, tetapi mulailah dari hati Anda! Sebab bila Anda mulai dari dompet, maka Anda akan hitung-hitungan sama Tuhan. Kedua: Memberi persembahanan dari kelimpahan itu hal biasa, tetapi memberi persembahan dari kekurangan itu baru luar biasa! Ketiga: Sadarilah bahwa persembahan yang Anda berikan, bukan karena Tuhan membutuhkan pemberian Anda, tetapi ujian kualitas Iman Anda secara nyata! Apakah selama ini Anda sudah merasa sebagai orang beriman? Karena ukuran seorang beriman sejati tentu saja tidak sekedar dari apa yang ia dapatkan, tetapi juga dari apa yang dapat ia berikan. Amin!

SIAPA YANG BERTAHTA DI HATI ANDA?



2 Samuel 15:13-37

Alkisah (ini hanya kisah fiktif saja), bertemulah dua sosok setan mengadakan dialog. Yang satu kelihatan sangat gemuk, segar dan ceria. Sedangkan setan yang satunya lagi sangat kurus, sakit-sakitan, muram dan mirip seperti kata pepatah, hanya tinggal tulang. Apa masalah mereka? Apa yang mereka perbincangkan? Nah, ikuti dialog mereka seperti berikut ini. Setan yang gemuk membuka pembicaraan: “Koq kamu kelihatannya sangat kurus, sakit-sakitan, dan muram? Ada apa dengan mangsa anda?” (mangsa: maksudnya manusia yang mereka goda).

Dengan wajah sedih, setan yang kurus memberi jawaban: “Ya, itulah masalahnya. Habis mangsa saya itu sulit saya taklukkan. Bagai tembok beton, susah ditembus. Habis kalau saya goda bila ia makan, ia berdoa sebelum makan. Bila saya mau menyimpangkan jalannya, ia duluan berdoa ‘Tuhan, tuntunlah jalan hamba’. Bila saya goda tawarkan tempat foya-foya dan tempat remang-remang sehabis gajian, ia juga terlebih dahulu berdoa: ‘Tuhan, berkatilah uangku ini supaya dapat aku gunakan secara baik dan benar serta bersyukur’. Mau kerja berdoa, mau makan berdoa, merencanakan sesuatu berdoa. Aku tawarkan koran, ia malah baca Firman Tuhan. Aku tawarkan tempat menarik hiburan pada hari minggu, ia malah berangkat ke gereja.”

“Hahahaha......” setan yang gemuk tertawa ngakak setengah mengejek kawannya si setan yang kurus. “Kalau dengan mangsa saya beda” katanya. Terus ia menambahkan: “Kalo mangsa saya itu rapuh. Bagai rumah tampa pagar. Jadi mudah saya goda. Mau makan, nda berdoa, jadi saya yang gemuk makan. Bila jalan, saya belokkan jalannya ke tempat hiburan. Bila sehabis gajian, saya tawarkan tempat hiburan remang-remang, ia sangat suka. Bila bepergian perjalanan dinas, saya tawarkan perselingkuhan, ia semakin tak tau diri. Saya semakin bahagia. Jadi saya makin gemuk. Bangun tidur langsung baca koran, bukan Firman Tuhan. Apalagi hari minggu, saya tawarkan tempat rekreasi yang menggiurkan, ia langsung bagai kerbau ditarik moncongnya. Jadi saya makin gemuk. Pokoknya, di hatinya saya yang bertahta, sehingga saya mudah menguasainya”, ungkap setan yang gemuk. Setan yang kurus rupanya hanya tertunduk merenungkan nasibnya!

Saudar, sadarkah kita, bahwa sejak bangun tidur pagi, berpikir, dan beraktivitas sepanjang hari, hingga mau tidur di malam hari, ada dua kuasa yang siap akan bertahta di hati kita? Kuasa Allah dan kuasa setan tentu saja! Kuasa terang dan kuasa gelap istilahnya! Mana yang kita perkenankan bertahta di hati kita? Apakah kuasa Allah? Atau kuasa setan? Salah satu kuasa yang bertahta di hati kita, sangat menentukan karakter, cara berpikir dan cara bertindak kita! Menyinggung masalah sikap hati, melalui nas ini memperlihatkan kepada kita sikap orang-orang, seperti digambarkan berikut ini.

Nas ini diawali dengan pernyataan: “...Hati orang Israel telah condong kepada Absalom.” (ay.13). Hati orang Israel yang condong kepada Absalom tentu ada penyebabnya. Ya, apalagi kalau bukan hati mereka telah buta terhadap kebenaran. Hati mereka ditipu oleh kelicikan hati Absalom yang jahat. Lalu tentang Absalom sendiri? Dari beberapa keterangan ayat sebelumnya (misalnya psl. 15:1-7), jelas memperlihatkan niat jahat hatinya, dan apa-apa saja yang hendak dilakukannya. Segala pikiran dan niat jahat yang ada dalam hatinya tentu saja karena dikuasai oleh kuasa kegelapan yang menuntunnya. Firman Tuhan berkata: “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging. Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian.....“ (Gal. 5:17, 19-20).

Lalu bagaimana gambaran hati Daud dalam kasus cerita ini? Kenapa Daud mesti melarikan diri dari Absalom? Apakah Daud tidak sanggup melawan? Oh, saudara... kita tidak boleh meremehkan begitu saja akan kemampuan Daud. Terlebih panglimanya bernama Yoab adalah tangan kanannya, dan sudah banyak membuktikan kemenangan di dalam medan pertempuran! Tapi kenapa harus melarikan diri? Jawabnya tentu adalah ini. Daud tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Daud tidak ingin menyaksikan darah dagingnya sendiri terbantai di medan pertempuran. Bagaimana pun juga Absalom adalah anak kandungnya sendiri. Sejahat-jahatnya Absalom, sebagai seorang ayah yang punya perasaan tentu Daud tidak tega membantai anaknya! Inilah gambaran hati Daud. Hati yang punya perasaan. Hati yang tidak tega! Oh..... Berbeda dalam pengalaman nyata kita, tidak jarang atas nama agama, orang tega membantai sesamanya!

Saudara, melalui nas ini juga memperlihatkan kepada kita sisi lain hati manusia. Hati yang setia. Coba kita baca certinya. Pada saat yang genting itu juga, manakala 600 orang, baik orang Kreta dan orang Pleti, rombongan raja Daud melarikan diri, terdapat seorang asing, orang Gad bernama Itai. Daud memperingatkannya supaya kembali ke tempat asalnya, namun Itai bersikeras tetap mengikuti rombongan Daud dengan setia. Bahkan Itai berikrar: “Tetapi Itai menjawab raja: Demi Tuhan yang hidup, dan demi hidup tuanku raja, di mana tuaku raja ada, baik hidup atau mati, di situ hambamu juga ada.” (ay.21). Oh luar biasa, ungkapan yang menempelak kita! Karena, benarkah selama ini, kita adalah hamba Tuhan yang setia? Benarkah selama ini kita adalah sahabat yang setia dalam suka dan duka? Atau hanya sahabat waktu suka, sementara dalam keadaan sulit kepepet, kita entah di mana....?!

Saudara, saya percaya, kita pasti menginginkan hidup kita sebagai orang percaya yang diberkati oleh Tuhan. Saya percaya bahwa kita menghendaki hidup ini baik adanya. Jika demikian jadikan Allah yang berkuasa dalam hati kita, menuntun cara berpikir kita, langkah dan tindakan kita. Karena itu, pagarilah hidup kita dengan doa. Jadikan Firman Tuhan sebagai landasannya. Serta ibadah sebagai lukisan keindahan jiwa! Jagalah hati kita, seperti dalam ungkapan Firman Tuhan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Ams. 4:23). AMIN!

Rabu, 27 September 2017

JANGAN BERKECIL HATI WALAU DIREMEHKAN



II Korintus 10:1-11

Barangkali saudara punya pengalaman diremehkan orang lain. Diremehkan karena berbagai alasan. Bisa jadi karena dianggap tidak punya kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kurang ini, kurang itu. Karena begini, karena begitu. Bisa jadi diremehkan justru sebenarnya karena dianggap saingan. Atau sikap balas dendam karena ada rasa ketersinggungan. Merasa kehilangan harga diri karena dikoreksi. Maka salah satu cara yang dianggap mudah dilakukan adalah balik membalas dengan cara mencari apa kekurangannya untuk dilecehkan. Saudara, itulah dunia nyata kita. Manusia lebih cenderung suka mencari kesalahan sesamanya yang dalam kesempatan tertentu dapat digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkannya. 

Demikian pun yang dialami oleh Rasul Paulus. Dia diremehkan oleh kelompok-kelompok tertentu di Jemaat Korintus. Itu terjadi karena ulah para pengajar rohani abal-abal yang ada di Korintus. Cari muka dengan menampilkan kehebatan mereka. Baik dalam cara pelayanan, pendekatan mereka kepada warga jemaat, seolah terkesan mereka adalah para hamba yang rajin dan sungguh melayani. Khotbah mereka berapi-api, menyanjung-nyanjung jemaat, isinya hampir semua tentang Tuhan yang penuh berkat tercurah nikmat. Berbeda dengan Rasul Paulus yang lemah lembut bersahaja, lebih mengutamakan isi, lurus, penyadaran kepada umat tentang hukuman Tuhan, hari kiamat dan tentang bertobat!

Bila kita mengikuti secara lengkap dalam Alkitab, khususnya kitab II Korintus, kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang tuduhan kekurangan Rasul Paulus mereka ungkapkan. Rasul Paulu bagi mereka tidak ubahnya bak singa ompong yang hanya berani mengaum dari jauh, berkata-kata, menasihati dari jauh, tapi tidak berani bila berdekatan (ay. 1-2). Berapa hal seperti yang terungkap dalam nas ini ialah, bahwa menurut mereka Rasul Paulus itu hidup keduniawian, sombong, hanya tau menuntut (ay. 2-3, 8). 

Saudara, dalam hidup ini kisah pengalaman Rasul Paulus juga sebenarnya pengalaman manusia masa kini. Bisa jadi, itu yang saudara alami juga. Sudah melakukan yang benar, tetapi tetap dianggap salah juga. Apalagi bila yang dilakukan itu memang nyata-nyata suatu kesalahan. Oh, tak dapat terbayangkan apa yang terjadi! Ketika dalam keadaan terpuruk, tak ada satu pun yang perduli. 

Ketika kita mengalami penolakan yang mendalam dan begitu menyakitkan, tanpa sadar kita pun cenderung menolak orang lain. Namun demikian, pengalaman ditolak dapat kita olah menjadi sumber rahmat. Orang yang mampu mengolah pengalaman pahit ditolak, dapat menolong orang lain yang mengalami hal yang sama. Kita belajar dari Paulus, yang tidak menyimpan dendam meskipun ditolak. Melalui nas ini Rasul Paulus bagai Bapak yang sabar penuh kasih terhadap anak yang cerewet menjelaskan tentang keadaanya yang sebenarnya. Dia meminta jemaat Korintus untuk lebih berpikir secara dewasa untuk menilai dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Tidak hanya memahami sekilas, tetapi secara tuntas (ay.9-11). 

Jika kita ingin mengalami damai dan kebenaran sejati dalam hidup ini, kita perlu belajar terus menerus untuk dibentuk oleh tangan Allah, membuka hati dan pikiran kita dengan Roh hikmat-Nya agar kita mampu mengenal Kuasa Illahi dalam diri orang-orang yang nampaknya sederhana. Karya dan Kuasa Allah sering terjadi melalui pribadi-pribadi yang sederhana.

Bisa jadi dalam kehidupan sehari-hari ada kecenderungan dari kita meremehkan dan juga meragukan sesama kita terutama orang-orang yang sejak kecil kita kenal. Sering kita menganggap orang lain tidak bisa dan tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Dalam pergaulan hidup , berteman serta beroganisai kita juga terlalu mudah dan cepat menyalahkan bahkan menghakimi orang lain, menilai orang lain dan menjatuhkan nama baok orang lain. Apa yang tersembunyi di balik itu semua? Tidak lain adalah perasaan paling baik, paling benar, paling hebat, paling berjasa dan paling pandai...

Sadarilah bahwa Allah terkadang memberikan kuasaNya melalui orang-orang yang nampaknya sederhana untuk berbicara, melayani, melakukan perbuatan besar untuk mendatangkan damai sejahtera. Banyak orang disekitar kita yang nampaknya sederhana namun mempunyai kelebihan yang luarbiasa. Percaya dan berharaplah kepad aTuhan yang Maha pengasih dan penyayang dengan lebih sungguh. Jika apa yang saudara lakukan adalah sesuatu yang benar, maka tidak perlu berkecil hati bila ada orang yang mempersalahkan. Yakinilah bahwa Tuhan tidak pernah tutup mata di atas sana. Tuhan juga pasti memberkati Anda. Amin!

Senin, 25 September 2017

MEMBANGUN KEPERCAYAAN



(II Korintus 8:16-24)

Mencari orang yang benar-benar dapat dipercaya seperti dalam situasi kita saat ini memang amat sulit. Apalagi bila itu berhubungan dengan yang namanya keuangan. Bak pepatah “titip omong bisa lebih, titip uang bisa kurang.” Betapa tidak, sebab bukankah kenyataannya dalam hidup keseharian memperlihatkan kepada kita korupsi terjadi dimana-mana? Bukan saja dalam kehidupan sosial di masyarakat, tapi malah hal yang demikian terkadang dapat juga melanda kehidupan gereja. Katanya minta bantuan dana untuk penimbunan perluasan halaman parkir gereja. Setelah dana terkumpul bantuan dari para donator, dari warga jemaat sana sini? Eh malah dana yang ada raib tak jelas rimbanya. Bahkan warga jemaatnya sendiri rame-rame pinjam dana tak pernah dikembalikan.

Rasul Paulus punya niat yang tulus untuk membangun jemaat. Terutama untuk membantu Jemaat Yerusalem yang berkekurangan. Dia mempunyai semacam proyek besar dalam pengumpulan dana tersebut. Namun Paulus tak mau berspekulasi. Dia ingin bahwa pekerjaan ini dapat terlaksana dengan baik. Dia ingin supaya para jemaat donator yang membantu tidak kehilangan kepercayaan untuk maksud tersebut. Titus dan beberapa orang lain pun diutus ke Jemaat Korintus dan Jemaat sekitarnya untuk pengumpulan dana dimaksud.

Tentu saja Paulus sangat berhati-hati dalam hal ini. Paulus tidak ingin pekerjaan mulia ini menjadi cela (ay.20). Titus dan beberapa orang yang mendampinginya pun diutus. Untuk membangun kepercayaan jemaat yang akan membantu, dalam suratnya Rasul Paulus menjelaskan tentang beberapa hal. Pertama, bahwa mereka yang diutus adalah orang-orang yang telah teruji punya jiwa yang tulus mengabdi. Tidak mencari keuntungan (ay.17). Kedua, mereka adalah orang-orang yang berkepribadian baik, para pemberita injil yang sudah dikenal punya nama baik di jemaat (ay.18). Ketiga, mereka yang diutus memang orang yang punya jiwa sosial yang tinggi (ay.22a). Keempat, mereka yang diutus adalah orang-orangt yang memang dipercayakan secara penuh oleh seluruh jemaat yang mengutus (ay.19,23). Semua ini paulus ungkapkan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka membangun kepercayaan kepada warga jemaat yang akan membantu.

Untuk pekerjaan yang mulia semacam apa yang Paulus laksanakan, niat baik saja tentu belum cukup. Membangun kepercayaan itu tentu amat perlu! Terkadang, bukan para donator atau jemaat yang berkemampuan tidak ingin membantu. Tapi masalahnya bila bantuan yang diberikan tidak dikelola dengan baik,tidak adanya transparansi, penggunaan dana yang tidak tepat sasaran, pertanggungjawaban yang tak jelas, tidak jarang para donator, warga jemaat yang berkerinduan untuk membantu akhirnya menjadi jera membantu, gara-gara bantuan mereka hilang percuma menjadi sia-sia.

Saudara, kita selaku gereja atau orang-orang percaya yang hidup ditengah-tengah dunia yang semakin sulit menemukan orang-orang yang dapat dipercayai, ada baiknya belajar dari cara kerja Paulus. Segala harta milik Gereja perlu ditata, didata, dipelihara dan dipertanggunjawabkan secara benar. Segala bentuk-bentuk usaha, apalagi yang menyangkut pencarian dana untuk rehab gedung gereja, membangunan fasilitas SHM, Pastory, tempat parker, taman gereja dan fasilitas lainnya mesti dikelola dengan baik.

Jadilah para pekerja (Baik pengelola, pengurus, atau panitia) Gereja yang sungguh-sunguh melayani untuk kemajuan bersama, tanpa mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Bagi yang dipercayakan melaksanakan tugas pencarian dana, jadilah orang yang dapat diandalkan, jujur dan bertanggungjawab. BHangunlah kepercayaan warga jemaat, niscaya semakin banyak berkat mengalir dan gereja pun pasti semakin baik dan diberkati. Amin!