Renungan GKE

Minggu, 02 Juni 2019

DOA YESUS SEBAGAI IMAM BESAR AGUNG



Yohanes 17:20-26

Inilah doa Tuhan dalam kapasitas-Nya selaku Imam Besar Agung. Doa dalam dimensi karya penyelamatan Allah bagi manusia. Doa Yesus ini menekankan dua tujuan utama, yaitu: “supaya mereka semua menjadi satu,” dan “supaya dunia percaya, bahwa Allah yang telah mengutus Yesus.”

Yesus tidak sekedar menyatakan berkat Allah bagi manusia, tetapi sekaligus melaksanakan secara nyata berkat itu bagi manusia. Demikian pun, Yesus tidak sekedar menaikkan doa kepada Bapa Sorgawi mewakili manusia untuk pengampunan dosa serta mempersembahkan korban seperti yang dilakukan para imam biasanya, tetapi justru sekaligus mempersembahkan Diri-Nya sendiri menjadi korban yang sempurna untuk tebusan dosa manusia.

Yesus tidak hanya berdoa bagi para murid, tetapi juga berdoa bagi orang-orang yang akan percaya karena pemberitaan para murid, agar semua orang yang percaya atas pemberitaan itu mengalami kasih karunia Allah yang sama. Kenapa Yesus memandang penting berdoa bagi orang lain juga? Tentu saja, karena hakikat, maksud dan tujuan dari misi Allah bagi penyelamatan semua manusia! Kesatuan yang bagaimana yang dimaksudkan, didoakan atau diinginkan oleh Yesus? Apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya?

1. KESATUAN DALAM KEBERAGAMAN (unity in diversity).

Yesus tahu apa sekiranya yang akan terjadi dengan para murid jika saatnya nanti tidak selalu bersama-Nya. Doa Yesus tersebut sebagai penguatan bagi para murid dan sekaligus menjadi daya dorong gerakan ekumenis, yaitu gerakan keesaan gereja yang diwujudkan dalam keberagamannya, sehingga dunia percaya bahwa Yesus adalah Tuhan.

“Satu” yang dimaksud di sini adalah satu di dalam “keberagaman” (diversity), laksana perpaduan dalam paduan suara, walau berbeda-beda suara namun berpadu menjadi sebuah nyanyian yang indah. Bukan menyeragamkan perbedaan secara formalitas dalam arti “keseragaman” (uniformity), bahwa kita harus satu dalam bentuk organisasi, model atau pola, tetapi kesatuan dalam arti “keterpaduan” walau dalam perbedaan.

“Satu” yang dimaksud tentu bukan keseragaman formalitas semu, monoton dan dipaksakan. Tetapi kesatuan yang berkualitas. Kesatuan yang fungsional selaku tubuh Kristus untuk mencapai tujuan yang sama itu walau dalam cara yang berbeda. Keberagaman tidaklah identik dengan perpecahan. Perpecahan justru merusak keberagaman yang merupakan kekayaan dalam kehidupan gereja Tuhan. Karena perpecahan mensifatkan orang percaya atau gereja sebagai persekutuan memperlihatkan kegagalannya untuk menyatakan kasih Kristus.

2. KESATUAN SEBAGAI PERWUJUDAN TUBUH KRISTUS YANG EFEKTIF

Lalu persekutuan orang percaya macam apa yang Yesus rindukan dan doakan? Kesatuan Gereja macam apa yang sedang kita bangun bersama saat ini? Mengutip pandangan William Barclay: “It was not a unity of administration or organization; it was not in any sense an ecclesiastical unity….. Christians will never organize their Churches all in the same way. They will never worship God all in the same way. They will never even all believe precisely the same things. But Christian unity transcends all these differences and joins men together in love.

The cause of Christian unity at the present time, and indeed all through history, has been injured and hindered, because men loved their own ecclesiastical organizations, their own creeds, their own ritual, more than they loved each other. If we really loved each other and really loved Christ, no Church would exclude any man who was Christ’s disciple. Only love implanted in men’s hearts by God can tear down the barriers which they have erected between each other and between their Churches”

Bila diterjemahkan, kurang lebih demikian: “Itu bukan kesatuan pemerintahan atau organisasi; itu sama sekali bukan kesatuan gereja….. Orang-orang Kristen tidak akan pernah mengorganisir gereja-gereja mereka dengan cara yang sama. Mereka tidak akan pernah menyembah atau beribadah kepada Allah dengan cara yang sama. Bahkan mereka tidak akan pernah mempercayai hal-hal yang persis sama. Tetapi kesatuan Kristen melampaui semua perbedaan-perbedaan ini dan menggabungkan orang-orang dalam kasih.

Kesatuan Kristen pada saat ini, dan bahkan dalam sepanjang sejarah, telah dilukai dan dihalangi, karena manusia mengasihi organisasi gereja mereka sendiri, pengakuan iman mereka sendiri, upacara mereka sendiri, lebih dari pada mereka mengasihi satu sama lain. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi satu sama lain dan sungguh-sungguh mengasihi Kristus, tidak ada gereja yang akan mengeluarkan siapapun yang adalah murid Kristus. Hanya kasih yang ditanamkan dalam hati manusia oleh Allah bisa merobohkan penghalang-penghalang yang telah mereka dirikan di antara mereka dan di antara gereja-gereja mereka”. Demikian Barclay.

3. KESATUAN SEBAGAI PERWUJUDAN TUBUH KRISTUS YANG BERDAYAGUNA

Sebagai umat Tuhan, memang kita berbeda, tidak harus sama budaya, warna kulit, bahasa, tetapi berpadu menjadi kesatuan. Kesatuan dalam tujuan, pengharapan, iman dan kasih. Kesatuan yang memungkinkan terbuka ruang untuk berdialog walau saling berbeda, sehingga yang berbeda tidak selalu dianggap sebagai lawan atau musuh.

Apabila gereja Kristus masih hidup dalam tembok atau bentengnya masing-masing secara eksklusif dan saling membenarkan diri, maka dunia tidak akan terdorong untuk ambil bagian dalam realitas Tubuh Kristus tersebut. Namun sebaliknya, malah menjadi batu sandungan,sehingga dunia menolak percaya Kristus selaku Tuhan dan Juruselamatnya.

Doa Tuhan Yesus selaku Imam Besar Agung tidak mengajarkan kita akan makna kesatuan, keesaan gereja yang salah kaprah. Kesatuan yang dimaksudkan bukan bertujuan supaya gereja tampil sebagai organisasi atau lembaga keagamaan yang super-power. Doa Tuhan Yesus, adalah untuk mewujudkan kesatuan orang percaya atau gereja yang berdayaguna, dalam keanekaragaman sebagai tubuh Kristus yang fungsional untuk menjangkau sehingga semakin efektif menyatakan karya keselamatan Allah kepada dunia. Amin!

Sabtu, 18 Mei 2019

PERINTAH SALING MENGASIHI


 
Yohanes 13:31-35

Yesus memerintahkan kepada para murid untuk saling mengasihi. Yesus mengistilahkannya sebagai perintah baru. Kenapa disebut Perintah baru”? Baru yang seperti apa? Baru, karena standar yang digunakan bukan standar lama ala Hukum Taurat, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tetapi standar baru seperti yang Yesus contohkan, pengorbanan dan pengampunan.

Kasih yang diajarkan Yesus lebih dari sekedar kasih Eros, Fileal, atau Storge. Tetapi kasih Agape, kasih dalam kualitas tententu hingga jalan salib sekali pun mampu dilalui. Disebut perintah baru karena dampaknya sungguh luar biasa bila dilakukan, yang karenanya manusia akan sampai bertemu Tuhan, bukan kesasar salah jalan! Kenapa Yesus memerintahkan supaya murid-murid-Nya saling mengasihi seperti yang Dia lakukan?

1. Saling mengasihi adalah kekuatan.

Yesus memerintahkan kepada para murid untuk saling mengasihi tentu supaya mereka memiliki kekuatan untuk mampu bertahan. Kekuatan untuk bertahan menghadapi situasi yang sulit. Daya kekuatan untuk tetap bertahan dalam iman. Tidak saling mempersalahkan, tidak saling cari kambing hitam. Saling menjatuhkan, lempar batu sembunyi tangan.  

Bila kita perhatikan konteks, sebentar lagi Yesus akan menjalani siksaan berat hingga mati di salib untuk sebuh misi Ilahi demi kasih-Nya menyelamatkan manusia dari dosa. Tentu para murid (walau belum nampak bagi mereka) akan mengalami situasi yang sulit. Dalam situasi yang sulit, dapat kita bayangkan apa sekiranya akan terjadi. Integritas diri dipertaruhkan, iman dan kesetiaan akan diuji. Di sinilah akan dijumpai hakikat kasih sesungguhnya seperti yang Yesus maksudkan.

2. Saling mengasihi adalah hidup berkemenangan di dalam Tuhan

Firman Tuhan menyaksikan, Allah memenangkan serta menyelamatkan manusia melalu cara kasih. Yesus Kristus berkorban, menderita dan mati, untuk menebus dosa manusia dengan cara kasih. Itulah keteladanan yang Yesus berikan. Kasih bukanlah kelemahan tetapi justru kekuatan. Firman Tuhan berkata: “…..Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya…..” (Rm.1:16).

Dalam kacamata dunia memang salib Kristus sebagai konsekwensi kasih Agape merupakan kekalahan dan kebodohan saja. Kekalahan dan kebodohan dalam cara pandang manusia yang akan binasa. Tetapi beda dari cara pandang Tuhan. Kasih adalah kemenangan. Kemenangan di dalam Tuhan! Firman Tuhan berkata: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (I Kor.1:18).

3. Saling mengasihi adalah standar hidup umat percaya

Kasih adalah ciri khas setiap murid-muridNya. Standar hidup umat percaya, bukan sekedar simbol, slogan, atau wacana semata. Tetapi melekat menjadi gaya hidup setiap kita umat percaya. Untuk itu, Yesus memberi pengajaran sekaligus teladan. Ia berkata: “…..supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu…..” (ay 34).

Yesus tidak sedang berteori soal kasih. Tetapi telah, sedang dan terus melakukan kasih. Kelahiran, kematian, hingga kebangkitan-Nya adalah bukti nyata kasih Allah bagi manusia. Cara hidup berkemenangan di dalam Tuhan bukan membalas kejaharan dengan kejahatan. Tetapi dengan kasih. Dengan pengampunan. Itulah kualitas kasih yang membedakannya dari kasih cara dunia.

4. Saling mengasihi merupakan idenditas diri orang percaya.

Salib di bukit Golgota adalah bukti kasihNya yang tiada taranya. Suatu pembuktian berkorban tanpa pamrih. Kasih yang diajarkan Yesus adalah Kasih Agape. Kasih yang rela berkorban tanpa pamrih. Seperti yang Yesus teladankan, kesediaan  mengampuni murid-muridNya,  bahkan yang mengkhianatiNya sekalipun. Kesediaan untuk menerima keadaan murid-muridNya apa adanya, sekalipun sangat mengecewakanNya.

Tiada yang lebih indah dalam hidup ini, selain kita mampu saling setia dalam suka dan duka. Dalam susah dan senang tetap kuat dalam ikatan kasih pada janji setia sejak pertama di altar gereja sewaktu peenguhan dan pemberkatan nikah diikrarkan. Tiada yang lebih berharga dari hidup ini, selain kekuatan untuk mengampuni kepada setiap mereka yang pernah menyakiti dan mengkhianati kita.

Tiada yang lebih agung dalam hidup ini, selain kesediaan untuk menerima orang lain apa adanya, sebagaimana Kristus menerima kita apa adanya. Tiada yang lebih mulia dalam hidup ini, selain kesediaan untuk berbagi toh dari segala keterbatasan yang ada, bukan sekedar berbangga atas berapa yang didapatkan semata. Di dunia yang semakin renta ini, masihkan Kasih Kristus melekat di darah daging kita?

Kasih yang sesungguhnya, bukan pada waktu yang nyaman biasa-biasa saja, tetapi manakali Ketika iman harus diuji di antara dua pilihan, jalan salib atau harus cari jalan aman, jalan tol bebas hambatan! Tidak mudah memang. Namun di sinilah kentara idenditas sesungguhnya anak-anak Tuhan, membedakannya dengan anak-anak dunia yang akan menuju kebinasaan! Amin!

Rabu, 08 Mei 2019

DIBANGKITKAN UNTUK MENYAKSIKAN KASIH TUHAN



Kisah Para Rasul 9:36-43

Dorkas hanyalah perempuan biasa, sama seperti kita. Tak ada yang terlalu menonjol dan istimewa. Dia bukan seorang pengkhotbah ternama, atau orang besar dengan tindakan spektakuler yang dapat membuat orang terfana. Namun satu hal yang indah dalam hidupnya. Dia mengalirkan kasih Tuhan bagi sesama melalui talenta yang ada padanya. Walau ia hanya menggunakan jarum dan benang yang lekat dengan kesehariannya untuk membuat baju dan pakaian. Hasil karya tangannya dibagikan kepada para janda yang membutuhkan pertolongannya. Jemaat di sekitarnya tertolong atas kehadirannya.

Namun apa dikata, suatu ketika dia mati. Sama seperti manusia lain pada umumnya. Tak ada yang berkuasa menyelamatkannya. Jemaat merasa sangat kehilangan atas kepergiannya. Semua berduka. Namun kuasa Yesus yang bangkit, melalui murid yaitu Petrus membangkitkannya. Suatu bukti bahwa Yesus sanggup membangkitkan manusia dari kematian. Dialah sumber kebangkitan.

Selaku umat Tuhan di kekinian, barangkali kita punya kerinduan yang sama bagi setiap kekasih kita yang berpulang mendahului kita, sekiranya dibangkitkan secara fisik ala Dorkas. Namun kenapa itu tidak terjadi? Dorkas dibangkitkan sungguh dibutuhkan bagi konteks jemaat mula-mula. Untuk membuktikan tentang Yesus sumber kebangkitan dinyatakan. Dorkas dibangkitkan sebagai pembuktian. Persoalannya, bukanlah sekedar hidup secara fisik, tetapi apakah kita percaya bahwa Dia (Yesus) adalah pokok kebangkitan yang menyelamatkan kita dari dosa dan kematian?

Dorkas dibangkitkan, bukan sekedar untuk menikmati hidup untuk pribadinya semata. Tetapi untuk menyaksikan kasih Tuhan bagi sesama. Bagaiamana dengan kita? Tuhan sudah memberikan kepada setiap kita talenta dan kemampuan. Sudahkah kita gunakan untuk menjadi berkat bagi sesama?

Hidup ini, bukan sekedar panjang umur di dunia, apalagi boro-boro minta kuasa dibangkitkan secara fisik ala Dorkas, jika hidup di dunia hanya jadi beban, jadi mayat hidup, mengotori serta memperbanyak samapah hidup yang berdampak negatif bagi kehidupan dan alam lingkungan?

Tuhan rindu menghadirkan setiap kita di dunia untuk menyaksikan kuasa kasih-Nya. Sekiranya melalui sesederhana apa pun yang kita lakukan bagi kemanusiaan serta alam lingkungan, orang dihentarkan untuk semakin mantap mengenal, taat dan beriman, bahwa hanya Yesus saja ada kuasa yang menyelamatkan. Alam pun turut memuji kebesaran Sang penciptanya. Amin!

Jumat, 03 Mei 2019

SUSAH SENANG SELALU BERSAMA



Yohanes 21:1-19

Apa yang menarik dari cara hidup para murid pasca kematian Yesus? Nah, ini. Mereka selalu bersama-sama. Dalam suka maupun duka. Susah senang selalu bersama. Perhatikan apa kata Alkitab, “Kata Simon Petrus kepada mereka: ‘Aku pergi menangkap ikan.’ Kata mereka kepanya: ‘Kami pergi juga dengan engkau.’ Mereka berangkat.” (Ay.3).

Petrus berkeputusan demikian, bisa jadi untuk mengurangi beban yang dirasakan. Dapat dimengerti, karena dia salah satu murid yang paling merasa terbebani. Beban rasa bersalah, dalam peristiwa kematian Yesus sebelumnya, dia juga banyak melakukan kesalahan, hingga penyangkalan sebanyak tigas kali. Para murid yang lain dapat menangkap apa yang dirasakannya. Mereka peka akan apa yang terjadi di antara mereka. Karenanya mereka tak mau Petrus menanggungnya sendiri.

Kebersamaan adalah kekuatan. Terlebih ketika menghadapi krisis kehidupan. Kebersamaan seharusanya menjadi darah daging kita selaku umat percaya, sehingga tetap kuat menjalani hidup ini. Suami atau isteri, atau keluarga yang tetap setia dalam suka dan duka adalah kekuatan menghadapi berbagai gelombang pencobaan di arena kehidupan.

Kebersamaan, oh, sungguh dibutuhkan di dunia kita sekarang ini. Namun sayang, rupanya semakin langka saja. Waktu sang teman mencaleg, mudah saja berjanji akan mendukung dan memilihnya. Banyak uangnya dikuras hingga puas. Pas ketika ada pihak lain yang menawarkan jasa, uang, atau kemudahan lainnya, pilihan jadi beralih. Nilai kebersamaan raib berganti dengan rupiah yang datang. Sungguh malang. Rasa kecewa, dikhianati, rasa senasib sepenanggungan kini tiada lagi. Tinggal meratapi nasib merana sendiri. Tak ada teman yang mendekat untuk saling menguatkan.

Susah senang selalu bersama, sungguh tergambar jelas dari para murid. Itulah tanda yang menjadi berkat hingga mereka menerima berkat demi berkat Paskah dari Yesus yang berkenangan dari maut dan kematian. Lihat juga ketika mereka menjala banyak tangkapan. Mereka saling membantu. Saling merespon, saling mengisi, berbagi tugas. Bukan saling berebut ikan. Atau saling menenggelamkan perahu untuk merampas ikan yang ada. Sungguh, susah senang selalu bersama, banyak untungnya. Juga berkatnya (Ay.7-8).

Susah senang selalu bersama, apa untungnya? Berapa banyak berkatnya? Ya, yang pertama-tama ada kekuatan. Kekuatan untuk mengurangi beban. Beban berkurang membuat pikiran semakin waras dan tenang. Ketika kita dapat tenang, saat itu penglihatan kita semakin jelas untuk melihat bahwa tidak jauh dari kita ternyata ada Tuhan! Orang yang sedang stress mana mungkin merasa Tuhan itu dekat dengannya. Malah Tuhan pun dipersalahkannya. Kedua, bila seseorang mendapat berkat, maka semua kebagian berkat. Coba saja andai petrus hanya berangkat sendiri lalu mendapat berkat. Bisa jadi murid yang tinggal tak kebagian berkat!

Andai saja sikap susah senang selalu bersama itu ada. Ada di keluarga, di kantor, di Gereja, di organisasi, di usaha, di Universitas, di pemerintahan atau di mana saja, betaka kuat dan makmurnya negara kita, oh luar biasa! Ketika lemah, masih ada kekuatan. Ketika diberkati, berkatnya berlipat-lipat ganda! Tidak salahnya kita kembali mencoba, sehingga berkat Paskah menjadi sungguh nyata. Paskah sungguh-sungguh hidup dan menghidupan. Bukan sekedar Paskah terpampang di tema setiap perayaan, atau di acara malam perenungan. Lalu setelah acara berakhir, kembali lagi merenungi nasib malang karena dikalahkan oleh roh jaman dengan aneka tawaran mematikan hingga ke sum-sum, tulang, hingga aliran darah kita seolah hanya hidup bila gadget laksana infus yang memberi kehidupan setiap menit ada di tangan! Amin!

Kamis, 02 Mei 2019

“ITU TUHAN!”



Yohanes 21:1-19

Betapa sulitnya melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita, manakala peristiwa pahit melanda. Demikian pun keadaan para murid pasca kematian Yesus. Hidup laksana tanpa harapan. Putus asa mengisi hari-hari hidup mereka. Mereka pun kembali dalam kehidupan semula, menjala ikan di danau. Itu pun tak cukup membantu. Keterampilan yang biasa mereka lakukan, juga menemui kegagalan. Betapa semakin berat beban dirasa. Terlebih pengalaman masa lalu di saat-saat penyiksaan Yesus selalu terngiang di telinga. Yang terlihat di depan serba gelap saja (Ay.1-3).

Namun Yesus yang bangkit, tidak meninggalkan para murid. Terus membimbing mengarahkan mereka untuk beroleh kepercayaan diri serta keyakinan akan kuasa Tuhan yang telah bangkit. Tidak mudah memang. Tidak heran bila biasanya orang mempertanyakan kuasa, kehadiran Tuhan, rada-rada mempersalahkan serta menyangsikan tentang Tuhan manakala hidup sarat beban!

Yesus yang bangkit tidak sedang meninggalkan para murid. Tetapi selalu ada hadir bersama mereka. Yesus tahu keberadaan mereka. Kini Yesus berdiri di pantai danau Tiberias menyatakan kuasa-Nya yang telah bangkit. Tapi sayang seribu sayang, kehadiran Yesus tak nampak bagi mereka. Tentu saja, karena kegamangan hidup membuat mereka hanya terfokus pada masalah mereka (Ay.4-5).

Hati yang terluka oleh berbagai peristiwa pahit dalam hidup, beratnya beban yang dihadapi memang sulit bagi kebanyakan orang melihat Tuhan hadir dalam hidupnya. Juga sulit untuk mendengar tuntunan-Nya apa sekiranya terbaik untuk menuju jalan berkat. Namun, tidak kurang cara Tuhan untuk memulihkan hati yang terluka. Penampakkan Yesus bagi para murid kini untuk yang ketiga kalinya. Bukan yang pertama atau kedua. Tuhan dengan sabar membimbing para murid, sedikit demi sedikit, tapi pasti, hingga mereka akhirnya kuat kembali (Ay.6).

Dan benar saja, tanda-tanda pengharapan untuk mengenal Tuhan yang telah bangkit kini mulai tumbuh. Perintah dari seseorang di tepi pantai yang belum jelas bagi mereka untuk menebarkan jala ke tempat yang dalam hingga sesutu yang di luar nalar mereka terjadi, pembuka tirai kepekaan seorang murid (Yohanes) sudah dapat mengenal bahwa “Itu Tuhan!”. Melihat kehadiran Tuhan dalam hidup memerlukan penalaran dan kepekaan. Terlalu fokus pada masalah dan beban membuat mata rohani kita kabur untuk melihat kehadiran Tuhan (Ay.7).

Kehadiran Tuhan tidak cukup hanya dilihat dari cara pandang ketika kita memikirkan beban. Karena penglihatan kita sedang bermasalah. Itulah salah satu pelajaran penting peristiwa Paskah yang memberkati. Itulah awal titik terang yang membuat penglihatan para murid semakin terang untuk melihat dengan jelas bahwa “Itu Tuhan!” Jangan biarkan kegamangan hidup menggelapkan kehadiran Tuhan untuk mengarahkan, menolong, menguatkan serta memberkati hidup kita. kuasa kebangkitan kristus adalah kuasa kemenangan, Tuhan selalu hadir di keseharian kita. Memulihkan keadaan kita.

Yesus yang telah bangkit, mengenal kita secara pribadi. Tuhan mau memulihkan keadaan kita. Petrus, tentu salah seorang dari sekian murid yang paling terluka. Betapa tidak! Peristiwa kematian Yesus sebelumnya, adalah pengalaman pahit baginya. Pembelaan yang konyol, pemahaman yang buta akan maksud sang guru, sikap takabur, penyangkalan hingga tiga kali, tentu terbabawa-bawa di setiap angan. Rasa bersalah, beban dosa, penyesalan seumur hidup, menjadi aib yang tak terhapus. Namun, Yesus yang bangkit dari kuasa maut merangkul Petrus dengan kasih. Yesus tidak membuang Petrus. Yesus tidak membunuh karakter Petrus. Beda dengan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya.

Di mata Tuhan, Petrus tetaplah Petrus. Punya potensi besar menjadi murid yang akan melanjutkan misi menghadirkan tanda-tanda kerjaan Allah di bumi. Yesus memulihkan keterpurukan Petrus. Hanya Yesus yang sanggup memulihkan hati yang terluka. Ya, hanya Yesus! Dengan cara-Nya yang unik, Yesus membangun kembali harapan Petrus. Tiga pertanyan beruntun yang kualitas pertanyannya makin menurun, membuat luluh lantak segala keakuan selama ini. Petrus seolah melihat cermin diri ditelanjangi, dibedah, nanah keberdosaan masa lalu kentara nyata. Lalu diobati, dipulihkan, untuk dikuatkan olehTuhan kembali (Ay.15-16).

Mengasihi Tuhan, harus dimulai dengan kerendahan hati, bukan keakuan diri! Dengan apa adanya, tanpa pura-pura, apalagi dengan ambisi pribadi yang saatnya akan melahirkan penyangkalan semata. Itulah pelajaran penting berikutnya. Seberdosa apa pun kita, Tuhan tidak pernah membuang kita. Asal saja kita mau diubahkan oleh-Nya. Tuhan tahu bahwa setiap kita punya potensi. Tuhan memberkatinya. Tanpa kehadiran kuasa Tuhan, kecerdasan, atau segala kemapanan hanyalah kegagalan semata. Seperti para murid yang telah berpengalaman, namun semalaman seekor ikan pun tak didapatkan (Ay.17-18).

Tuhan tidak pernah membunuh karakter kita. Tetapi membaharuinya untuk semakin mapan dan berdayaguna dan menjadi berkat dalam hidup. Berhentilah menyesali nanah penyangkalan akan kasih Tuhan. Yesus yang bangkit dengan kuasa kemenangan pasti dan selalu hadir di tepi pantai menanti kita. Memberikan petunjuk, arahan, pemulihan, bahkan berkat, jika kita bernalar serta peka untuk melihat kehadiran Tuhan di setiap jerih juang kita, walau secara tersamar melihat bahwa “Itu Tuhan!”, hidup kita tidak pernah tersia-sia! Amin!



Selasa, 30 April 2019

GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBAKU



Yohanes 21:15-19

Menurut saudara, mengapa Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Bukankah apabila kita baca dalam Alkitab, tanpa diragukan, bahwa Petrus adalah seorang murid beriman yang sangat mengasihi Yesus? Di Kaisaria Filipi, bukankah dia yang mewakili para murid lainnya mengungkapkan pernyataan bersejarah bahwa Yesus itu adalah “Anak Allah yang hidup”? (Matius 16:16). Ketika Perjamuan malam sebelum Yesus ditangkap, bukankah Petrus pula satu-satunya murid yang berikrar kepada Yesus: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau? (Lukas 22:23). Tidak kurang di taman Getsemai, bukankah dia juga satu-satunya murid yang mebuktikan kasihnya kepada Yesus, yang dengan gagah berani menetakkan telinga seorang hamba Imam Besar dengan pedangnya, ketika peristiwa penangkapan Yesus?

Bukankah dari semua yang ia ucapkan dan lakukan itu menunjukkan bahwa Petrus sangat mengasihi Yesus? Apakah yang masih dianggap kurang pada diri Petrus? Adakah yang salah dalam penghayatan iman dan kasihnya kepadaYesus? Dan kenapa ia mesti ditanya tentang sesuatu yang malah sudah ia buktikan, bahkan pertanyaan yang sama sampai diulang tiga kali oleh Yesus? Saudara, secara kebiasaan, apabila kita menanyakan seseorang untuk meminta pernyataannya lebih dari satu kali atau berulang-ulang, boleh jadi bahwa sebenarnya kita masih menyangsikan pernyataan orang tersebut. Atau mungkin pula kita menginginkan suatu pernyataan yang sungguh-sungguh sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari orang yang kita tanya.

Pertanyaan Yesus ini pasti menunjukkan ada yang salah dalam penghayatan iman dan kasih Petrus. Andaikata tidak ada yang kurang atau salah pada iman dan kasih Petrus, Yesus pasti tidak bertanya dan memberikan tantangan: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Lalu apa yang salah atau kurang dalam penghayatan iman dan kasih Petrus itu? Nah, disinilah letak persoalannya! Saudara, benar bahwa Petrus mengasihi Yesus, tapi apa yang ia nyatakan atau lakukan bagi Yesus itu adalah didasarkan pada motivasi yang salah! Artinya, bahwa apa yang dilakukan oleh Petrus bukanlah dalam pengabdian kasih yang sesungguhnya. Ia mau berbuat dan bertindak, tetapi juga diiringi harapan agar nama juga ikut besar dan popoler.

Karena itu tidak heran bila Petrus melakukan semuanya kadang-kadang disertai sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu yang utama, sok tahu, sok pahlawan. Tidak jarang pula dibumbui sikap kesombongan dan kecongkakaan yang berbuahkan ketakaburan. Menurut Alkitab, bahwa sikap congkak adalah dosa dan pasti menerima hukuman Tuhan: “Sebab Tuhan semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh serta menghukum semua yang meninggikan diri, supaya direndahkan.” (Yesaya 2:12). Di dalam Alkitab juga dikatakan: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18). Pernyataan Alkitab ini terbukti saudara, sebab bukankah sikap seperti ini yang menghantarkan Petrus kepada pengkhianatan?

Pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah suatu tantangan dalam rangka pembaharuan iman dan kasih Petrus supaya diletakkan pada dasar motivasi yang benar. Saudara, soal motivasi itu sangat penting dan menentukan! Sebaik dan sebesar apapun yang dilakukan orang bila tanpa dilandasi motivasi yang benar tentulah sia-sia dan percuma! Bila kita teliti dengan cermat, kita dapat melihat dengan jelas motivasi yang salah dari Petrus dalam menyatakan kasihnya kepada Yesus.

Pertama: Kasih yang dilandasi sikap “pamrih”.

Sikap pamrih adalah suatu sikap dimana orang mau berbuat, dan dibalik apa yang diperbuatnya dianggap mendatangkan keuntungan. Itulah juga motivasi Petrus mengasihi Yesus. Benar bahwa Petrus berikrar: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau.” (Lukas 22:33). Tetapi ucapan itu dinyatakannya setelah murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Setelah Yesus memperbincangkan soal kerajaan dan tahta, tentang siapa yang akan menghakimi ke-12 suku Israel dan tentang siapa yang akan duduk makan semeja dengan Yesus nantinya (Lukas 22:24-33). Sebab itu saudara, orang yang memiliki sikap pamrih tidak mungkin mau berkorban apalagi sampai menanggung resiko.

Apabila situasi menguntungkan, sebesar apa pun pengorbanan itu pasti akan dilakukan. Tetapi sekiranya situasi tidak menguntungkan, sekecil apa pun itu pasti sulit dilakukan. Perhatikan sikap Petrus. Dalam situasi yang menguntungkan dapat saja ia berjanji setia kepada Yesus: “Sekalipun aku harus mati bersama-sama dengan Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” (Matius 26:35). Tetapi ketika menghadapi situasi yang sulit dan tidak menguntungkan, bukankah dari mulut yang sama terlontar kata-kata penyangkalan? Sikap pamrih memang penuh dengan pertimbangan. Ya, pertimbangan untung rugi tentu saja! Sebab itu tidak heran apabila segala waktu, tenaga, pengorbanan atau juga uang segala macam sulit diberikan, walau itu untuk gereja atau untuk Tuhan sekali pun.

Kedua: Kasih yang didasarkan pada ukuran “prestise”

Saudara, kasih yang didasarkan pada prestise adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan hanya demi gengsi, martabat atau hanya demi mendapatkan nama baik dan kehormatan pribadi. Apabila kita membaca dakam Alkitab, ini juga motivasi Petrus kepada Yesus. Dari data pribadi Petrus terlihat dengan jelas suatu sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu menjadi yang utama. Dari nada bicaranya terdapat kesan kesombongan. Sebagai contoh, dalam ucapannya: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.” (Matius 26:33).

Lalu bagaimana ketika tantangan yang sesungguhnya benar-benar tiba? Nah…nah…nah… kita semua pun tahu dari catatan sikap Petrus dalam Alkitab di sekitar peristiwa penyaliban Yesus. Semua orang Kristen pun tahu itu! (Matius 26:69-74; Markus 14:66-72; Lukas 22:56-62; Yohanes 18:15-18, 25-27). Ya, ternyata Petrus tak mampu membuktikan imannya kepada Yesus. Hanya gara-gara tanya sederhana dari si tua renta kepada Petrus dalam situasi yang agak terjepit di tengah orang banyak. Tapi toh pun demikian, Petrus yang penuh dengan cacat dan kekurangan, tetap saja diterima oleh kasih dari Yesus yang terulur membentang…..

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?”. Bagai rembulan tertusuk ilalang, pertanyaan itu membentang jalang! Bahwa kenyataannya kasih Petrus yang selama ini dilakukan belumlah merupakan kasih yang sebenarnya! Artinya, bahwa kasih yang selama ini Petrus lakukan belumlah benar-benar mengasihi Yesus, tetapi kurang lebih suatu sikap penonjolan diri semata. Ya, pertanyaan yang menantang untuk dijawab dengan pembaharuan iman dan kasih!

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Sekarang Yesus semakin memperlunak pertanyaan-Nya (tanpa tambahan kalimat “lebih daripada mereka ini?”). Seolah alam pun ikut muram, pertanyaan kedua menyesak dada! Betapa tidak, suatu pertanyaan halus tapi juga menyengat rasa! Menyadarkan Petrus bahwa kasih yang benar kepada Yesus itu haruslah dimulai dari kerendahan hati, bukan keakuan dan kesombongan diri seperti yang pernah terjadi!

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Laksana bumi gemetar menahan kedahsyatan kawah api, seluruh jiwa raga menatang pertanyaan ketiga! Ya, pertanyan yang meminta kejujuran untuk menyadarkan Petrus, bahwa iman dan kasih yang benar itu haruslah iman dan kasih yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sebatas janji ucapan! Bahwa iman dan kasih yang benar kepada Yesus itu adalah soal tanggungjawab dan harus berani menerima segala konsekwensinya!

Pertanyaan-pertanyaan Yesus pasca kebangkitan-Nya ini adalah dalam rangka pemugaran iman dan kasih, untuk meluruskan motivasi Petrus yang keliru selama ini. Membaharui iman dan kasih Petrus yang masih dianggap kurang mapan! Pertanyaan-pertanyaan Yesus ini bak sembilu menusuk dada, untuk melahirkan kesadaran penuh, untuk menangisi nanah penyangkalan yang pernah dilakukan. Untuk menyesali dan mau membaharui diri dari kejatuhan yang pernah terjadi. Ya, pertanyaan menyala pemberi upaya, supaya bangkit membangun kembali kisah kasih sejati dalam tekad baru kerendahan hati: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (ayat 17c).

Inilah sikap Petrus yang baru. Sikap yang terpuji. Sikap yang perlu kita teladani! Ya, sikap yang berani membaharui diri dan tidak akan pernah berhenti lagi untuk mengasihi Yesus. Inilah sikap yang baru yang seharusnya dimiliki oleh setiap kita yang mengaku-aku percaya kepada Yesus. Ya, ucap janji dan bukti harus sejalan. Karena memang itulah yang paling menentukan! Amin.

Sabtu, 27 April 2019

YESUS MENEMUI SANG REALIS





Yohanes 20:24-29

Banyak orang nyinyir pada Tomas, karena dia sulit percaya akan berita kebangkitan Yesus sementara murid lain semua pada percaya. Tipe Tomas memang tipe manusia yang sulit percaya sebelum melihat bukti. Apakah bagi Yesus sikap Tomas ini dipersalahkan begitu saja? Tidak! Yesus juga menghargai sang realis. Justru untuk itulah Yesus hadir secara khusus. Khusus untuk Tomas sang realistis.

Saudara, iman yang sekedar asal percaya, itu juga berbahaya. Iman yang menjadi sebuah pilihan setelah dimantapkan oleh bukti, itu juga belumlah berarti sebuah dosa! Bukankan di dunia kekinian kita banyak juga orang dibodohi oleh berita hoax atau isyu-isyu menyesatkan karena hanya didasarkan pada asal percaya saja? Tanpa berupaya memahami, mengkaji, meneliti terlebih dahulu kebenarannya?

Sikap Tomas, bukanlah 100% salah semata. Karena demikianlah sisi kehidupan ini. Terlebih ketika iptek seolah mendominasi di segenap kehidupan manusia. Haruskah kita memaksa semua orang percaya dengan iman saja? Salahkah bila mereka juga menuntut bukti untuk lebih meyakinkan? Yesus yang penuh kasih, tidak menolak Tomas, atau memarahi Tomas atas caranya untuk percaya. Yesus juga datang padanya dengan pembuktian hingga akhirnya Tomas pun percaya!

Apa yang Yesus lakukan kepada Tomas, seharusnya juga membuka cakrawala baru bagi kita sebagai Gereja atau umat percaya secara kreatif menyaksikan Yesus yang bangkit dan menang atas kuasa kematian. Tidak melulu hanya memaksa dunia menerima begitu saja tentang Yesus yang menang tanpa dapat membuktikan. Sementara dunia menawarkan jalan keluar terhadap aneka persoalan dengan caranya untuk membuktikan.

Berita tentang Yesus yang bangkit dan berkemenangan, juga mengharuskan kita untuk secara kreatif sebagaimana Yesus lakukan kepada Tomas. Dunia yang kepadanya Injil diberitakan bukanlah dunia yang adem ayem. Tetapi dunia yang galau, penuh curiga. Adalah naif bila memberitakan Yesus yang bangkit dan memaksa semua orang untuk menerima hanya dengan percaya saja sebagai satu-satunya cara, tanpa bisa membuktikan apa-apa bahwa Yesus sungguh bangkit bagi mereka. Yang benar adalah, Yesus juga mengasihi Tomas sang realis dengan pembuktian, hingga akhirnya Tomas bertelut “Ya Tuhanku dan Allahku!” Amin!

Jumat, 26 April 2019

BERKAT PASKAH BAGI UMAT PERCAYA




Yohanes 20:19-29

Pada tahun 1957, Letnan David Steeves berjalan keluar dari Pegunungan Sierra di Nevada, Kalifornia, setelah 54 hari pesawat jet pelatih Air Force-nya menghilang. Ia menceritakan kisah yang tak masuk akal tentang bagaimana ia bertahan hidup di belantara bersalju setelah terjun dengan parasut dari pesawatnya yang mati mesin.

Sebelum ia menunjukkan bahwa dirinya masih hidup, sebenarnya secara resmi ia dinyatakan telah mati. Saat penyelidikan selanjutnya gagal menemukan bangkai pesawat, Steeves dianggap berbohong dan ia dipaksa mengundurkan diri karena ceritanya diragukan. Lebih dari 20 tahun kemudian, kisahnya terbukti dengan ditemukannya bangkai pesawat oleh sebuah regu Pramuka.

“Kisah bertahan hidup” lain yang terjadi berabad-abad lalu juga masih kontroversial sampai saat ini. Seorang lelaki bernama Yesus Kristus yang berjalan keluar dari padang gurun Yudea membuat banyak pernyataan yang sulit dipercaya banyak orang. Lalu Dia dihukum mati dan dinyatakan mati. Namun, tiga hari kemudian Dia muncul dan menunjukkan bahwa diri-Nya hidup. Sejak itu muncul berbagai pandangan skeptis.

Tidak kurang bagi para murid, penyiksaan, pembunuhan, hingga akhirnya Yesus mati disalibkan, bagi mereka adalah pengalaman paling menyakitkan. Putus asa, ketakutan, was-was, rasa tidak aman, ketiadaan pengharapan mengisi hari-hari hidup mereka.

Tidak mudah untuk menerima begitu saja berita tentang kebangkitan. Yang ada adalah duka mendalam. Yang mereka lakukan kini hanyalah berkumpul bersama para murid lain untuk saling menguatkan. Itu pun diselingi rasa ketakuan. Tidak heran bila mereka berkumpul dengan pintu-pintu yang terunci, takut serta rasa was-was pada orang-orang Yahudi yang dapat mengancam keselamatan mereka.

Namun, di tengah suasana ketidakpastian, Yesus hadir di tengah-tengah mereka secara ajaib, menyapa para murid: “Damai sejahtera bagi kamu.” Hingga dua kali kalimat yang sama Yesus ucapkan kepada para murid tercatat dalam nas ini dalam rangka pemulihkan rasa putus asa mereka, memberikan penguatan supaya sungguh-sungguh berpengharapan. Kuasa kemenangan Paskah menginspirasi mereka untuk ke luar, menyaksikan Yesus yang bangkit dan menjadi berkat.

Lalu bagaimana dengan Tomas? Banyak orang nyinyir pada Tomas, karena dia sulit percaya akan berita kebangkitan Yesus sementara murid lain semua pada percaya. Tipe Tomas memang tipe manusia yang sulit percaya sebelum melihat bukti. Apakah bagi Yesus sikap Tomas ini dipersalahkan begitu saja? Tidak! Yesus juga menghargai sang realis. Justru untuk itulah Yesus hadir secara khusus. Khusus untuk Tomas sang realistis.

Saudara, iman yang sekedar asal percaya, itu juga berbahaya. Iman yang menjadi sebuah pilihan setelah dimantapkan oleh bukti, itu juga belumlah berarti sebuah dosa! Bukankan di dunia kekinian kita banyak juga orang dibodohi oleh berita hoax atau isyu-isyu menyesatkasn karena hanya didasarkan pada asal percaya saja? Tanpa berupaya memahami, mengkaji, meneliti terlebih dahulu kebenarannya?

Sikap Tomas, bukanlah 100% salah semata. Karena demikianlah sisi kehidupan ini. Terlebih ketika iptek seolah mendominasi di segenap kehidupan manusia. Haruskah kita memaksa semua orang percaya dengan iman saja? Salahkah bila mereka juga menuntut bukti untuk lebih meyakinkan? Yesus yang penuh kasih, tidak menolak Tomas, atau memarahi Tomas atas caranya untuk percaya. Yesus juga datang padanya dengan pembuktian hingga akhirnya Tomas pun percaya.

Apa yang Yesus lakukan kepada Tomas, semestinya membuka cakrawala baru bagi kita sebagai Gereja atau umat percaya secara kreatif menyaksikan Yesus yang bangkit dan menang atas kuasa kematian. Tidak melulu hanya memaksa dunia menerima begitu saja tentang Yesus yang menang tanpa dapat membuktikan. Sementara dunia menawarkan jalan keluar terhadap aneka persoalan dengan caranya untuk membuktikan.

Berita tentang Yesus yang bangkit dan berkemenangan, juga mengharuskan kita untuk secara kreatif sebagaimana Yesus lakukan kepada Tomas. Dunia yang kepadanya Injil diberitakan bukanlah dunia yang adem-ayem. Tetapi dunia yang galau, penuh curiga. Adalah naif bila memberitakan Yesus yang bangkit dan memaksa semua orang untuk menerima hanya dengan percaya saja sebagai satu-satunya cara, tanpa bisa membuktikan apa-apa bahwa Yesus sungguh bangkit bagi mereka. Yang benar adalah, Yesus juga mengasihi Tomas sang realis dengan pembuktian, hingga akhirnya Tomas bertelut “Ya Tuhanku dan Allahku!” Amin!

Minggu, 21 April 2019

MATI DAN BANGKIT DENGAN KRISTUS


Roma 6:1-11

“Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” (Ay.1). Pertanyaan retoris Rasul Paulus tersebut adalah sanggahan atas pandangan orang-orang yang keliru memahami anugerah Allah yang mahal namun dijadikan murah, bahwa sebaiknya kita semakin banyak berbuat dosa agar kasih-karunia Allah semakin bertambah? Pemikiran yang sempit tentang kasih-karunia Allah tersebut melahirkan suatu teologi “anugerah yang murah”(cheap grace).

Mengutip Dietrich Bonhoeffer dalam “The Cost of Discipleship” (New York: Macmillan, 1959:47-48,53) dikatakan: “Anugerah yang murah adalah pengampunan yang tanpa menuntut pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja, Komuni tanpa pengakuan dosa, pengampunan dosa tanpa pengakuan dosa pribadi. Anugerah yang murah adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus, yang hidup dan menjelma.

Anugerah yang mahal adalah harta yang terpendam di ladang; demi harta itu seseorang dengan gembira akan pergi dan menjual segala miliknya. Anugerah yang mahal adalah mutiara mahal yang untuk mendapatkannya, si pedagang harus menjual semua barang-barangnya. Anugerah yang mahal adalah pemerintahan Kristus, yang untuk-Nya seseorang akan rela mencungkil matanya sehingga membuatnya jatuh tersandung; Anugerah yang mahal adalah panggilan Yesus Kristus yang menyebabkan seorang murid meninggalkan jalanya dan mengikut Dia.

Anugerah yang mahal adalah Injil yang harus terus-menerus dicari, karunia yang harus diminta, pintu yang seseorang harus mengetoknya. Anugerah ini mahal karena menuntut kita supaya mengikuti, dan berupa anugerah karena memanggil kita untuk mengikuti Yesus Kristus. Anugerah ini mahal sebab menuntut dari seseorang seluruh hidupnya, dan berupa anugerah sebab memberikan kehidupan yang sejati kepada seseorang.

Anugerah ini mahal sebab menghukum dosa, dan adalah anugerah sebab membenarkan orang berdosa. Di atas semuanya itu, anugerah ini mahal sebab menuntut Allah memberikan hidup Anak-Nya: “Engkau dibeli dengan harga tunai,” dan apa yang sangat mahal bagi Allah tidak murah bagi kita. Di atas semuanya itu, disebut anugerah sebab Allah tidak menganggap Anak-Nya terlalu sayang untuk dipakai membayar hidup kita, tetapi menyerahkan-Nya bagi kita. Anugerah yang mahal adalah Inkarnasi Allah….”

Anugerah Allah yang mahal melalui kematian dan kebangkitan Krisutus merupakan kekuatan transformatif sehingga kita sebagai umat percaya dimampukan untuk hidup benar menurut kekayaan kasih-karunia Allah tersebut. Sebagai orang yang sudah ikut dalam kematian dan kebangkitan Kristus, kita sudah bebas dari kuasa dosa, sehingga kita mampu berjuang melawan dosa. Menjadi hamba kebenaran yang berpusat pada Kristus. Di dalam Kristus dan oleh Dialah dosa dibunuh. Namun, semuanya ini tentu menjadi sia-sia saja jika kita tetap bersikeras di dalam dosa dan kembali kepada apa yang terhadapnya kita sudah mati. Amin!

Sabtu, 20 April 2019

KUASA KEMENANGAN PASKAH YANG MENGUBAHKAN


 Lukas 23:56b-24:12

“Pada hari pertama minggu itu…..” demikian kalimat pada ayat pembuka penuh makna. Itulah hari pertama menjadi era baru yang mengubahkan. Ibadah seremonial Sabat sarat beban, berganti pada titik sentral Yesus yang bangkit dan membebaskan! Sejak kebangkitan Kristus, itulah titik balik awal para murid yang takut mengasingkan diri tanpa harapan, sekarang menjadi para murid yang bersaksi bagi dunia untuk memberitakan kasih Tuhan yang memang. Menang atas maut dan kematian.

Tidak mudah memang mempercayai soal kebangkitan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu panjang. Demikian pun yang terjadi dengan para murid. Berita yang disampaikan para perempuan selepas dari kubur yang kosong, bertemu Malaikat yang menjelaskan, para perempuan itu pun kembali dan menyampaikannya kepada murid lain. Pada awalnya para murid pun menganggap itu hanyalah berita omong kosong!

Ketika akhirnya Petrus sendiri menyaksikan kubur yang kosong, pun bertanya-tanya apa gerangan sesungguhnya yang terjadi. Seiring berjalannya waktu. Pelan tapi pasti, berita tentang kebangkitan semakin menguatkan para murid. Kehadiran Yesus berulang kali di berbagai moment menampakkan diri kepada para murid, hingga akhirnya berita kebangkitan menjadi sempurna. Menjadi darah daging mereka. Mengubah seluruh pola hidup mereka.

Bagi umat percaya, kebangkitan Kristus adalah pesta iman. Pesta kemenangan. Kuasa maut telah dikalahkan. Nasib umat percaya sekarang tidak hanya terhenti sebatas kuburan. Tetapi hidup kekal atas jaminan kebangkitan Yesus yang menang. Namun sebaliknya bagi kuasa setan adalah duka mendalam. Kematian dan kebangkitan Kristus menjadi momok yang sangat menakutkan. Karenanya tidak heran bila kuasa setan masih juga berkeliaran dengan bermacam cara sekiranya berita itu dianggap kebohongan.

Benar saja, enam abad kemudian setan dan antek-anteknya membuat semacam teori yang mengatakan bahwa Yesus itu tidak sungguh-sungguh mati, hanya pingsan saja. Demikian pun waktu disalib, Yesus tidak benar-benar disalib, tetapi diganti, diserupakan oleh Allah dengan yang lain, sementara Yesus sembunyi. Baru kemudian Yesus menampakan diri kepada para murid-murid-Nya. Demikian juga soal kebangkitan, para perempuan itu datang ke kubur mengoleskan minyak untuk menyembuhkan luka Yesus ketika pingsan di salib.

Sederhana saja bantahan saya. Jika Yesus itu diserupakan waktu di salib (karena dikatakan waktu itu Yesus sembunyi), lalu siapa yang dikubur pingsan dan dioleskan minyak luka-lukanya oleh para perempuan yang datang ke kubur itu? Kecuali setan! Lalu teori mana yang bisa menjelaskan selama lebih dari 24 jam disiksa, dicambuk bermata timah mematikan oleh para prajurit terlatih yang telah ribuan kepala melaksakan pembunuhan sadis setiap penyaliban, koq hanya pingsan?

Sedikit tambahan, teori mana yang bisa menjelaskan, bahwa posisi hukuman dipaku menggantung secara vertikal di kayu salib tidak mempercepat kematian akibat sesak nafas karena kekurangan oksigen dalam darah (aspiksiasi)? Demikian pun, tikaman tombak para prajurit hingga keluar darah bercampur air untuk memastikan kematian dianggap tidak mematikan?

Lalu bantahan saya yang paling mendalam. Andai saja Yesus itu (yang juga diakui sebagai nabi oleh berbagai kalangan), hanya disembunyikan ketika peristiwa penyaliban. Lalu bukankan Dia adalah nabi pendusata, manakala Dia memberitahukan Dirinya yang bangkit kepada para murid, padahal waktu itu dia sembunyi? Dan bukankah itu artinya bahwa Allah juga adalah pendusta kepada semua manusia, karena Allah sendiri yang menyerupakan Yesus dengan yang lain waktu di salib?

Dasar setan! Otak setan! Cara setan! Enyahlah setan! Karena kuasa kebangkitan Yesus yang menang tak dapat terbantahkan. Apalagi hanya bantahan murahan. Hai setan, hai maut di manakah sengatmu? Di manakah kemenanganmu? Maut telah ditelah dalam kemenangan. Maut telah dikalahkan oleh Yesus yang bangkit dari kematian! Karena itu wahai umat percaya “ berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Karena kamu tahu, bahwa jerih payahmu dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (I Kor.15:58). Amin!

Jumat, 19 April 2019

YANG BENAR DISALAHKAN, YANG SALAH DIBENARKAN




Yohanes 18:1-40

Barangkali ini adalah nas khotbah terpanjang yang ada selama ini. Terdiri dari empat perikop, dan berjumlah empat puluh ayat secara keseluruhan! Walau terdiri dari empat perikop dan ayatnya panjang, bila diteliti secara saksama, satu saja intinya, semua mengarah ke muara pada satu titik akhir, yaitu Yesus dijadikan bersalah walau sebenarnya tidak terdapat sekecil apaun kesalahan! Hal itu dinyatakan oleh Pilatus sendiri selaku pemegang palu tertinggi mendekati puncak kisah yang sangat mendebarkan (Ay.38b).

Sejak dari penangkapan-Nya di Taman Getsemani hingga akhirnya divonis hukuman mati, sedang Barabas dibebaskan, memang banyak fakta menarik yang dapat diungkapkan. Di taman Getsemani, penangkapan itu didalangi oleh para tokoh agama, orang yang dianggap bertuhan dan orang suci, Para imam-imam kepala dan orang Farisi. Tidak kurang, ditambah bumbu pengkhianatan orang dekat, yaitu si Yudas karena silau akan uang (Ay.2-4).

Di tempat yang sama, seorang murid lain, Petrus sang gagah perkasa, si pembela, namun akhirnya nyalinya ciut, karena menyaksikan sendiri situasi yang semakin memanas, semakin berbahaya hingga akhirnya sangat terjepit dan menyerah pula dalam penyangkalan (Ay.27). Tidak kurang, masalah intervensi, karena Yesus dibawa kepada Hanas (mertua Kayafas) yang mengintervensi orang Yahudi “Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Ay.14).

Di sisi lain, bersandingnya kekuatan agama dan kekuatan politik menyatu jadi satu. Secara hukum agama (dalam hal ini agama Yahudi), tidak diperbolehkan membunuh, karnanya meminjam kekuatan hukum politik sekiranya hukuman mati dapat dijalankan! (Ay.31).

Pada bagian drama penutup, jelas pula terlihat orang banyak yang menjadikan suara teriakan mereka laksana “suara tuhan” (tapi suara tuhan buatan) menentukan keputusan, Yesus yang benar disalahkan, dan si Barabas yang salah dibenarkan. Walau cuma “suara tuhan buatan”, tapi terlihat lebih dari cukup untuk merobah keputusan Pilatus untuk menyerah kalah, juga akhirnya “cuci tangan” (Ay.40).

Di balik pengorbanan Kristus dalam peristiwa ini, terkuak fakta nyata alasan Allah yang indah: “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan Allah.” (Rm.5:6). Bila cermin drama peristiwa pengorbanan Kristus diperjelas dan dihadapkan ke wajah kita, siapa sesungguhnya si pengkhianat, para Farisi, para tukang intervensi itu sebenarnya? Atau yang kehilangan nyali, para penyuara “suara tuhan buatan”, atau yang cuci tangan? Atau, siapa sesungguhnya Barabas si pendosa yang dibebaskan itu?

Dalam peristiwa pengorbanan Kristus, sadarkah kita akan apa yang Allah lakukan untuk kita? Bahwa perbuatan serta tindakan para imam-iman kepala, tua-tua, dan ahli-ahli taurat, Mahkamah Agama adalah gambaran dosa kemunafikan kita? Sadarkah kita bahwa sikap iri hati, dengki, provokasi, fitnah seperti yang mereka perlihatkan adalah cerminan keberdosaan yang sering kita sembunyikan, bila saat yang tepat akan kita munculkan? Sadarkah kita bahwa Barabas yang bebas adalah gambaran diri kita?

Dosa yang ada pada diri setiap manusia (termasuk kita) sungguh mematikan. Secara jujur, rasa-rasanya tidak mungkin ada satu pun di antara kita dapat menyelesaikannya. Ketika roti dan anggur dalam sakramen Perjamuan Kudus ini kita terima, semoga ingatan kita tetap jelas akan ucapan Kristus: “lakukanlah ini menjadi peringatan akan Aku.” Bersyukurlah bila tetap ingat, lalu punya tekat tahu apa yang harus diperbuat. Amin!

Selasa, 16 April 2019

YESUS DITANGKAP


Yohanes 18:1-40

Yesus ditangkap. Alasan apa? Apakah karena Dia membuat keonaran dalam masyarakat? Atau karena menggelapkan uang negara hingga Milyaran rupiah memakan uang rakyat? Tidak! Karena dalam Alkitab mencatat bahwa dalam kurun waktu 24 jam malah diinterogasi sebanyak enam kali, baik oleh lembaga keagamaan mapun oleh lembaga politik Romawi, tak satu pun terdapat kesalahan. Tapi kenapa ditangkap? Siapa yang mendalanginya, dan untuk apa?

Yesus ditangkap oleh orang-orang yang sakit hati karena sering ditempelak dosa dan kemunafikan cara beragama mereka oleh Yesus. Baik para ahli Taurat, juga orang-orang Farisi. Jaga gengsi, demi mempertahankan prestise itulah alasan sesungguhnya. Yang menggelitik, Yesus ditangkap bukan hanya oleh para polisi atau prajurit, tetapi malah para satpam penjaga Bait Allah turut serta turun lapangan. Lengkap dengan lentera, suluh dan senjata. layaknya memburu boronan kelas kapap yang sangat bahayakan (Ay.3).

Ketika mereka bertemu dengan Yesus. Seharusnya Yesus yang dianggap boronan semestinya jatuh tersungkur karena takut, tapi justru sebaliknya, sepasukan prajurit beserta rombongan yang memburu lengkap bersenjata malah mundur, jatuh tersungkur! Jika Yesus mau, dapat saja Dia melarikan diri beserta murid-murid, toh di kegelapan malam, semak dan pepohonan. Tapi itu tidak Yesus lakukan. Yang terjadi malah sampai tiga kali Yesus menegaskan bahwa Dilalah yang mereka cari. Demikian pun ketika Petrus coba membela, Yesus malah memerintahkannya supaya memasukkan kembali pedang itu ke sarungnya! (Ay.4-8, 11).

Berbeda dengan manusia pada umumnya. Sudah nyata-nyata bersalah sekalipun tetap cari kambing hitam sebagai alasan lain, malah dicarikan pengacara handal berapa pun bayarannya, sekiranya dapat bebas lepas. Beda dengan Yesus, justru membela murid-muridnya supaya bebas. Di balik peristiwa penangkapan Yesus adalah tujuan agung kasih Allah bagi manusia digenapkan. Bahkan Yesus pertegas pada ayat terakhir: “bukankah aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku.” (Ay.9, 11).

Siapa yang terlibat bermain di balik layar selain yang telah disebutkan? Siapa lagi jika bukan Si Yudas, yang culas. Yang di otaknya duit melulu. Hingga kejahatan yang sejahat-jahanya sekali pun rela dilakukan, yang penting bisa jadi duit. Dapat yang recehan sekalipun jadilah, asal bisa jadi duit! Kenapa manusia hingga tega berbuat jahat? Bermula saat manusia mengabaikan hati nuraninya.

Hati nurani selalu sejalan dengan nilai kebenaran yang hakiki. Hati nurani berfungsi sebagai “alarm” yang mengingatkan manusia akan hal-hal yang benar dan salah. Hati nurani akan menjadi “tumpul” jika terus diabaikan. Orang yang mengambil hak orang lain misalnya, tentu menyadari bahwa yang dilakukannya salah. Bila hati nurani selalu diabaikan maka orang akan semakin “biasa” berbuat jahat tanpa rasa bersalah sama sekali.

Hati nurani yang selalu diabaikan, maka tingkat kejahatan yang semakin besar akan dilakukan dengan entengnya. Hati nuraninya menjadi mati. Itulah gambaran sikap Yudas yang diperlihatkan. Karenanya, penting kita selalu menjaga hati kita tetap tulus dan murni.

Mintalah pada-Nya dengan sungguh agar Dia selalu menjaga hati kita tetap tulus dan murni. Jagalah hati karena dari situlah terpancar kehidupan. Lakukan apa yang harus dilakukan hari ini. Mungkin saja tak ada lagi esok untuk kita nikmati. Nikmatilah hari ini, lupakan hari lalu. Tataplah hari esok dengan cara hidup, semangat dan harapan baru.

Allah itu kasih. Dimana ada cinta kasih, di situ Tuhan hadir. Hidup tidak diukur dengan seberapa banyak harta tetapi berapa banyak orang yang sudah kita bahagiakan dengan harta kita. Anugerah keselamatan yang mahal telah Dia anugerahkan tanpa mengharapkan bayaran. Jangan bicara tentang cinta jika tidak dapat memaafkan. Jangan bicara tentang kasih jika tak mau berbagi. Bukan kita saja yang punya perasaan. Bila tak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Amin!


Kamis, 11 April 2019

SIAPA LAGI YANG AKAN KAMI SALIBKAN BESOK? TUHAN?




Lukas 22:14-23

(Perjamuan terakhir para Saintis)

Yudas yang selalu dekat bersama dengan Yesus, tidak menjadi jaminan bahwa hatinya juga melekat pada Yesus. Tetapi yang ada adalah pengkhianatan. Kapan-kapan ada kesempatan, niat busuk untuk menjual Yesus demi uang recehan akan dilaksanakan. Hingga di perjamuan terakhir, hatinya tetap tidak berobah (Ay.21).

Yesus tahu bahwa dia yang duduk semeja dengan-Nya akan menyerahkan-Nya. Yudas menentukan pilihannya sendiri. Roh kegelapan menguasai seluruh jiwa raganya. Namun, misi penyelamatan tidak pernah gagal walau adanya pengkhianatan. Buktinya Yesus tetap dengan pasti setapak demi setapak menuju tiang salib! (Ay.22).

Yudas sang pengkhianat yang hidup di jaman sekarang terus gentayangan balas dendam menguasai manusia yang hatinya tidak melekat pada Kristus. Di era digital seperti sekarang ini, Yudas berkolaborasi dengan setan, mengadakan semacam makan paskah bersama ala setan. Berkordinasi mengadakan perlawanan.

Yudas di kekinian, tidak pernah berhenti untuk membalaskan sakit hati. Bahkan dengan cara yang jauh lebih mumpuni. Menunggangi sains (ilmu pengetahuan). Dapat saudara bayangkan apa jadinya bila manusia merasa mapan dengan sains (ilmu pengetahuan) dan tidak diimbangi dengan iman?

Seiring perkembangan yang begitu pesat, Yudas yang telah berkolaborasi dengan antek-antek setan tidak pernah diam, terus menawarkan pemahaman sainsnya pada manusia untuk tujuan yang berbeda. Bukan untuk memuliakan Tuhan tentu saja.

Yudas modern yang hidup di era digital di zaman sekarang, menjadikan sains (ilmu pengetahuan) semacam “tuhan” tandingan untuk memberontak terhadap Allah. Manusia dijadikannnya mulai tidak lagi merasa dirinya menjadi mahluk yang sama sekali tidak berdaya dihadapan alam. Dengan mengerti cara kerja alam, manusia bisa menyesuaikan diri menghadapi alam dan bahkan memanfaatkan alam untuk keuntungannya.

Demikian pun pemahaman mereka tentang Tuhan. Kepercayaan terhadap sains bahkan akan mencapai titik dimana manusia semakin yakin bahwa dengan sedemikian sempurnanya hukum alam, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa terjadi dengan melanggar hukum-hukum alam. Bahkan Tuhan sekalipun harus tunduk dengan hukum alam.

Pada gilirannya, penjelasan mistis atau mukjizat semakin tidak mendapatkan tempat, itu dianggap hanya untuk yang percaya tahayul, kurang pendidikan dan bahkan bodoh. Oh...oh...oh... Ketika para saintis semakin maju pesat dan mendominasi hampir di berbagai sektor kehidupan seperti sekarang ini, secara tidak sadar sains itu sendiri mulai menggusur Tuhan, bahkan menyalibkan Tuhan!

Dari apa yang kita ketahui dan kita baca, tergusurnya Tuhan oleh sains dapat dilihat dari hasil survey mengenai Tuhan terhadap anggota National Academy of Sciences, organisasi ilmuwan Amerika Serikat. Hasil survey tersebut mengejutkan karena 93% dari ilmuwan tersebut tidak percaya lagi pada Tuhan. Bagi mereka para komplotan Yudas di era digital di zaman ini, Tuhan dan agama hanyalah delusi masyarakat kuno, mempertahankannya hanyalah menjadikan penyakit bagi peradaban manusia.

Bagaimana kira-kira gambaran pemahaman komplotan pada Yudas dan antek-anteknya jika dihubungkan dengan peristiwa perjamuan terakhir atau Jumat Agung yang begitu bermakna bagi kita sebagai umat percaya? Perjamuan terakhir kaum saintis, mereka akan seminar mengupas tuntas, bertanya dengan bangga pada sains (pengetahuan) yang mereka miliki: "Siapa yang akan kami salibkan besok? Tuhan?

Saudara, roti dan anggur yang kita terima dalam sakramen Perjamuan Kudus adalah tanda yang menjadi peringatan. Peringatan akan korban Kristus. Kasih Tuhan yang penuh kasih sayang selalu membuka pintu pengampunan. Bagi setiap hati yang mau kembali penuh kesadaran dalam pertobatan.Tetapi pasti tidak bagi yang menjadikan roti dan anggur laksana jimat murahan. Apalagi yang berlaku seperti Yudas, tetap berkutat pada dosa dan kemunafikan. Duduk semeja dalam perjamuan, namun di hatinya tetap recehan yang lebih berharga dari Tuhan. Amin!




Rabu, 10 April 2019

PERBUATLAH DAN INGATLAH!



Lukas 22:14-23

Ketika tiba saat-Nya, jelang penderiaan dan kematian-Nya untuk tebusan dosa manusia, Yesus makan Paskah bersama para rasul-rasul-Nya. Roti tidak beragi dan anggur dibagikan-Nya kepada para rasul-Nya seraya diberikan-Nya penjelasan tentang makna roti dan anggur tersebut, yang melambangkan tubuh dan darah-Nya sendiri sebagai era baru makna Paskah yang sesungguhnya. Dalam peristiwa itu, satu pesan penting kepada para rasul: “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Ay.19).

Apa yang diperbuat? Apa yang diingat? Perbuat sebagaimana Yesus berbuat. Mengingat bukan sekedar mengingat untuk dilupakan. Tetapi mengingat perbuatan Yesus yang menderita dan mati sebagai tebusan dosa manusia yang dilambangkan dengan roti dan anggur untuk dikerjakan.

Ada tiga perbuatan Yesus pada peristiwa makan Paskah yang harus kita perbuat: “mengucap syukur”, “ambillah” dan “bagikanlah”! Perintah yang dilakukan tersebut menjadi cara hidup serta misi para rasul, gereja atau umat Tuhan di sepanjang zaman. Sekaligus sebuah peringatan untuk menghadirkan kasih Tuhan secara kreatif di realitas kehidupan.

Pertama: “mengucap syukur” (Ay.17).

Ketika Yesus membagikan roti dan anggur sebagai simbol tubuh dan darah-Nya kepada para Rasul, sebelumnya Dia mengucap syukur. Walau Yesus tahu, bahwa si pengkhianat sedang menanti saat yang tepat untuk menghantarkannya untuk dihajar, dicambuk, diludah, dan di paku di tiang salib. Bahkan sudah ada, dan sangat dekat, malah duduk semeja dengan-Nya (Ay.21).
Mengucap syukur dalam konteks ini, adalah suatu kesadaran penuh bahwa apa yang Allah berikan bagi hidup ini adalah baik adanya. Suatu sikap pengakuan penuh penyertaan Allah bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup ini (toh pun harus menderita juga), tetap diyakini sebagai sesuatu yang bermakna, ada tujuan yang mulia, tidak sia-sia!

Sikap yang “mengucap syukur” merupakan kualitas dari hidup umat percaya, pengakuan bahwa setiap pemberian Allah adalah baik adanya, tidak ada yang percuma. Menghadapi berbagai penderitaan dalam hidup tidak langsung drop, stress, atau putus asa seperti orang dunia yang tidak memiliki pegangan serta pengharapan. Bahwa di balik penderitaan sekali pun ada sesuatu yang bermakna. Sebagaimana Yesus memaknai penderitaan-Nya sebagai sesuatu yang berharga bagi tebusan dosa manusia!

Kedua: “ambillah” (Ay.17).

Setelah mengucap syukur atasnya, Yesus berkata kepada para rasul “ambillah”! Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya yang mahal tanpa bayaran. Mengambil adalah tindakan mau menerima pemberian yang diberikan. Pemberian itu tidak murah. Karenanya disebut “anugerah” yang hanya karenanya manusia dapat diselamatkan.

Dalam Alkitab dikatakan: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef.2:8-9).

Ketiga: “bagikanlah” (Ay.17).

“Bagikanlah” adalah suatu perintah. Perintah yang harus kita laksanakan sebagai bukti ketaatan. Perintah untuk menghadirkan kasih Kristus. Anugerah keselamatan yang Allah berikan tentu bukanlah untuk dinikmati sendiri. Untuk selamat sendiri. Tetapi selanjutnya untuk dibagikan bagi yang lain. Kita selaku umat Allah yang telah diselamtkan punya tanggungjawab untuk membagikannya kepada orang lain.

Setiap kali kita ambil bagian dalam sakramen Perjamuan kudus, tidak sekedar kita hanya mengingat kebaikan Kristus yang mati menderita ganti kita. Sekedar meneteskan air mata, kagum atas apa yang diperbuat-Nya, lalu dibumbui embel-embel permohonan amun dosa pribadi atas segala dosa. Lalu pulang dari mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus tak berbekas lagi. Tahun depan akan diingat lagi dalam acara seremonial yang sama, tapi tak berbuahkan apa-apa.

Roti dan anggur yang kita terima dalam sakramen Perjamuan Kudus, menjadi sebuah peringatan akan korban Kristus. Menjadi landasan spirit untuk membagikan kasih Kristus secara kreatif bagi yang lain menjadi “ibadah kehidupan”. Bukan sekedar pengulangan seremonial perjamuan, mengingat sebentar, lalu hilang seiring keluar ibadah melangkah pulang! Amin!

Senin, 01 April 2019

DIA HANYALAH SEORANG PEREMPUAN PENDOSA…..

Yohanes 12:1-8

Menelisik riwayat masa lalunya (walau para penafsir banyak berbeda pendapat soal ini), dia hanyalah perempuan sundal alias pelacur. Dia pernah mau dihukum bunuh, dirajam dengan batu karena dianggap melanggar kesucian Hukum Taurat. Menghadapi itu semua, dia hanya pasrah saja menanti ajal tiba. Seorang perempuan lemah tak berdaya. Namun tidak bagi Yesus! Dia begitu berharga di mata Allah. Yesus membelanya waktu itu, bahkan menganugerahkan pengampunan, memulihkan kepercayaan dirinya untuk dapat menatap masa depan yang penuh harapan (Bdk.Luk.7:37; Yoh.8:1-11).

Ketika mengetahui kehadiran Yesus ke Betania (enam hari sebelum Paskah), dalam rangka menghadiri jamuan yang diadakan oleh Simon Si Kusta untuk Yesus, Maria tak menyia-nyiakan waktunya yang berharga. Bersama saudaranya Martha dan Lazarus, mereka juga menghadirinya. Namun bukan sekedar untuk hadir, tetapi berbuat sesuatu. Sesuatu yang bahkan melebihi kemegahan jamuan yang dilaksanakan oleh Simon Si Kusta untuk Yesus dalam cara yang berbeda! (Ay.2-3).

Apa yang dilakukan Maria? Dia tak mampu menuturkannya dalam jalinan indah kata-kata. Dia hanya mampu melakukan apa yang mampu dia rasa dari kedalam naluri hati seorang wanita. Setengah kati minyak narwastu yang mahal menjadi alat bantu untuk mengungkapkan kekudusan apa yang tak mampu dia katakan.

Rambutnya, yang bagi seorang perempuan Yahudi bermakna mahkota yang mestinya dibungkus dengan kerudung pelindung kesucian, tak dihiraukannya. Rela dia rendahkan serendah-rendahnya hingga kotor rata dengan tanah! Rambutnya, lambang mahkota setiap perempuan Yahudi mereka, rela dijadikannya laksana tisu saja untuk menyeka minyak narwatu mahal yang berbaur dengan linangan air mata di kaki Yesus. Pengganti kata dari kedalaman jiwa yang sudah tak mampu diungkapkannya (Ay.4).

Tak ada lagi yang mampu dia ungkapkan sebagai bukti ketundukan, penghormatan, ketidaklayakan diri, rasa terimakasih atas apa yang telah dia terima, dia rasa, yang menjadikan hidupnya kini sangat berarti. Dia memang tak mungkin sanggup adakan jamuan dalam kemegahan ala Simon si Kusta! Namun di hadapan Tuhan, jamuan yang dilakukannya justru menjadi standar yang Tuhan gunakan. Semakin membuka tirai kemunafikan yang ada, di setiap jamuan ala Simon si Kusta yang hanya pura-pura. Yang bukan untuk memuliakan Tuhan. Tetapi kurang lebih jamuan prestise, soal perut semata!

Di sisi lain, jamuan ala Maria, yang dilakukannya untuk Yesus, justru menjadi alat yang Tuhan gunakan untuk membuka tabir setiap manusia yang berpikiran jahat. Dan benar saja, tak lama berselang. Salah seorang murid Yesus bernama Yudas Iskariot buka suara menanggapi apa yang dilakukan Maria. Tanggapannya memang manis, namun di baliknya semakin nyata pikiran korup memenuhi otaknya! Selama ini terungkap perbuatan sering mencuri uang kas yang dipegangnya (Ay.6).

Dia hanyalah seorang perempuan pendosa. Tentu dipandang rendah di mata masyarakat atau dianggap “sampah” masyarakat sekitarnya. Semua orang menjauhi, mencibir, mencemooh, dan bahkan mengucilkannya. Kebanyakan orang memang begitu mudah menghakimi sesamanya karena merasa diri lebih baik dan lebih benar. Namun satu hal, Maria ingin melakukan yang terbaik bagi Yesus sebagai ungkapan terimakasih yang tak terhingga, yang telah membaharui hidupnya. Hanya dia sendiri sebagai pelaku yang paling mengerti apa yang diperbuatnya. Hanya itu yang dia tahu. Hanya itu yang dia rasa.....

Lidah Ludahi Tubuh, Menyingkap Malu Rapuh
Malam Beku, Perawan Subuh Terengkuh
Purnama Kesatu, Sebelum Janji Diteguh
Keluh Kemaluan Keluar Suara Lenguh

Hari Penuh Peluh, Layu
Menanti Dalam Rentang Waktu
Dan Hari Terus Lalu, Lupa Kau, Dengan Hari Tanpa Tuju
Terpojok Di Sudut Pilu, Rongga Dada Bergelantung Debu

Tiba Saatmu, Kau, Pelacur Hancurkan Kalbu Batu
Jiwa Berteriak Dalam Raga Yang Dungu
Air Mata Dari Dada Yang Lepuh
Menyeka Jejak Yang Akan Kau Tempuh

Kau, Magdalena Perempuan Patuh
Setitik Mur Kau Jatuhkan Di Tapak Tuhanmu
Bercampur Air Mata Pengakuan Penuh Haru
Diseka Seribu Urat Rambut Yang Tertunduk
Magdalena, Kau Bukan Perempuan Terkutuk

Hanya Tuhan sendiri yang paling tahu menangkap maknanya, sekaligus memberikan maknanya, memberikan penilaian, menolak atau menerimanya. Amin!


PERUMPAMAAN TENTANG SI KOMUNIS YANG DIVONIS MASUK


Lukas 15:11-32

Alkisah (ini hanya kisah inspiratif saja), di depan pengadilan pintu Sorga, terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan! Betapa tidak, karena yang terjadi justru diluar dugaan rata-rata kita. Si “Komunis” divonis masuk sorga, sedangkan seorang “Anak Tuhan” divonis masuk neraka! Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa sampai terjadi demikian? Seorang yang selama hidupnya di dunia mengaku sebagai “Anak Tuhan” ini, tentu saja protes sama Tuhan! Apa alasan Tuhan menjatuhkan vonis yang demikian?

Inilah beberapa alasannya. Tuhan menjelaskan kepadanya: “Selama hidupmu di dunia engkau sangat menyusahkan Aku! Sedikit-sedikit, lapor sama Aku. Mulai dari bangun pagi hingga tidur malam minta didampingi. Habis uang, habis beras, mau ujian, bisnis, makan, minta diberkati. Bahkan untuk kekasihmu yang di seberang sana, juga kau minta Aku yang melindungi. Padahal engkau hanya sibuk menghabiskan waktu keseharianmu main gadget melulu!”

Tuhan masih melanjutkan alasan: “Bahkan ketika engkau mati karena kolesterol, engkau katakan karena atas kehendak-Ku. Padahal nafsu rakusmu yang mengakibatkan kematianmu. Doyan makan melulu, hingga prioritas korban syukurmu ludes hanya untuk urusan perutmu! Padahal dokter sudah berkali-kali memperingatkanmu. Sungguh, Aku jadi pusing gara-gara kamu, jadi masalah setiap waktu. Bahkan Aku tidak habis pikir, selama hidup di dunia, engkau selalu mengaku-ngaku sebagai “Anak Tuhan”, Padahal, sedikit pun tak ada kemiripan dengan Aku.”

Si “Anak Tuhan” tetap tidak bisa terima. Dia naik banding ajukan gugatan keberatan! Dia berkata: “Tapi aku kan percaya sama Tuhan. Sedangkan si Komunis itu tidak percaya sama Tuhan!” Tuhan menjawab: ”Benar si komonis ini tak percaya selama hidupnya. Tetapi setelah Aku jelaskan di sini bahwa Aku-lah Tuhan, dia langsung percaya, tak ada neko-neko. Selama di dunia dia tidak pernah menyusahkan Aku. Tidak pernah macam-macam! Beda dengan kamu ini, sejak lahir hingga matimu, hanya setengah-setengah percaya. Pura-pura percaya. Itupun percaya ketika ada mujizat. Begitu mengalami masalah, kamu lari ke dukun! Percayamu plin-plan!”

Saudara, entah berapa banyak dari kita yang mengaku-ngaku sebagai “Anak Tuhan”, tapi sikap hidupnya tidak mencerminkan sikap selayaknya sebagai “Anak Tuhan”? Kita memang tidak sampai “terhilang”; kita tetap ke gereja, aktif dalam pelayanan, pendeknya kita adalah orang baik-baik, tidak pernah terjerumus dalam “kemabukan duniawi”. Tetapi, kita hidup dalam ketidaktulusan! Kita melakukan semua kebaikan itu dengan pamrih memperoleh “upah”. Kita merasa lebih layak, lebih baik. Diam-diam kita telah menjadi hakim atas sesama kita.

Ketika ada “pendosa” yang bertobat dan kemudian mendapat pengasihan Tuhan, kita protes laksana anak sulung: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku,” (ay.29), begitu protes si sulung kepada ayahnya. Tidak tulus, bersungut-sungut, cari perhatian.Tidak senang bila ada orang yang diselamatkan Tuhan. Senang bila melihat orang ditendang sama Tuhan!

Entah berapa banyak pula dari kita yang doyan jadi “Si Bungsu” (namun beda konteks dari nas ini). Aji mumpung, melakukan bermacam dosa sebelum bertobat. Dengan anggapan nanti kalau bertobat, pasti diampuni Tuhan. Tapi jangan kira pertobatan yang hanya sebatas permainan kata, Allah lalu terkecoh, mudah dibodohi untuk memenuhi keinginan kita! Allah tetaplah Allah, Bapa yang Maha bijaksana. Bapa yang tahu persis mementukan standar, mana yang main-main, mana yang memang sungguh-sungguh bertobat! Anugerah Allah tidak pernah murah, celakalah bagi yang main-main dan menjadikannya murah! Persoalannya bukanlah si anak sulung atau si anak bungsu yang paling menentukan, tetapi adakah pertobatan yang sungguh-sungguh? Karena itu bertobatlah! Amin!

Selasa, 26 Maret 2019

KATA TERUCAP KAKI TERTANCAP !




Lukas 15:11-32

Pilihan kata-kata yang digunakan dapat menentukan kepribadian, kualitas diri, serta isi hati seseorang. Yesus sebenarnya tidak sekedar menanggapi laporan tentang kematian orang-orang Galilea yang dibantai Pilatus ketika mempersembahkan korban yang jadi inti persoalan. Tetapi lebih pada maksud tersembunyi dari kata-kata serta isi hati si penyampai berita yang Yesus persoalkan untuk dikoreksi dan diluruskan (Ay.1).

"Mulut anda yang menentukan siapa Anda” seperti sering orang istilahkan, persis gambaran yang terdapat pada diri para penyampai berita. Sebenarnya (walau secara tersamar), mereka hendak mengatakan bahwa orang Galilea yang mengalami kematian secara mengenaskan itu, karena dosa mereka. Mereka memang layak menerimanya!

Mulut mereka berisi kata-kata penghakiman tentang dosa orang lain. Sementara mereka sendiri tanpa sadar, bisa jadi jauh lebih berdosa dari mereka yang mengalami kematian yang mengenaskan itu. Yesus menegaskan, bahwa setiap orang dapat mengalami hal yang sama sebagai hukuman bila tidak bertobat. Persis seperti Yesus katakan memang akhirnya terjadi pada penduduk kota Yerusalem yang sombong rohani. Rata dengan tanah! (Ay.3).

Tidak ada seorang pun manusia yang suci tak berdosa. Tak ada seorang manusia juapun yang kebal terhadap bencana. Toh ada, itu hanyalah anugerah semata. Janganlah ada manusia yang berbagga, sombong rohani, merasa telah suci dan luput dari ganjaran hukuman akibat dosa-dosa. Tidak terkecuali, mereka para penyampai berita. Juga termasuk kita semua. Kecuali bila bertobat serta membuka diri terhadap anugerah Allah (Ay.5).

Janganlah buru-buru menilai dosa orang lain. Jangan-jangan kita sendiri jauh lebih berdosa dari orang lain. Kita tidak mungkin membebaskan diri sendiri dari dosa. Karena itulah Yesus menderita dan mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. “Bertobat’ adalah kata kunci. Berbenah diri sebelum mati. Sebab bila kita hanya menilai dosa orang lain, tetapi tidak sadar akan dosa sendiri, maka yang akan terjadi, bak pepatah “kata terucap, kaki tertancap”! Amin!

SAMA-SAMA PREMAN


Lukas 15:11-32

Dalam perumpamaan, dua kakak beradik sama-sama preman. Namun dalam situasi yang berbeda. Si bungsu, sungguh tak tau diri. Ayahnya masih belum mati, tapi sudah minta setengah memaksa sang Ayah mengambil semua warisan yang jadi miliknya. Sungguh si anak tak tahu di untung! Terpengaruh gelimangnya kesenangan dunia, semuanya ludes tak bersisa. Hanya melekat compang camping baju dan celana di badan. Jatuh menderita. Untungnya, lahir kesadaran. “Sadar Diri” istilahnya. Bisa menyesal dan bertobat, kembali pada sang Bapa. Bapaknya, menyambut penuh kasih kebapaannya. Dulunya pendosa, bagai anak terhilang, laksana preman, tapi sekarang, preman pensiun!


Berbeda dengan si sulung. Mulanya baik-baik saja. Tak nampak gaya preman. Penurut, rajin bekerja, mengabdi. Taat beragama, Tapi ternyata, akhirnya yang aslinya terlihat juga. Terselubung sesuatu di hatinya. Pura-pura rajin, tapi ada udang di balik batu, diam-diam cari perhatian bapaknya. Berperhitungan atas apa yang dikerjakannya. Merasa diri anak yang baik, yang layak menerima upah lebih dari Bapaknya. Menghakimi dan iri hati! Sekilas terlihat suci, tapi bak kuburan hatinya. Ternyata keras kepala. Dulunya terlihat baik-baik saja, tapi justru akhirnya jadi preman sungguhan! Jadi preman yang semakin naik daun!

Secara implisit, perumpamaan ini ditujukan pada semua orang. Terutama bagi yang mengklaim diri suci, sombong beragama. Bagi Allah sebagai Bapa yang penuh kasih, bukan soal salehnya seseorang menjalankan ritus agama semata, tapi ketulusan dan kasih yang berdampak terhadap sesama. Bagi Allah sebagai Bapa yang Maha pemurah, bukan soal betapa kotor dan berdosanya kehidupan seseorang, tapi yang terpenting adanya sikap sadar diri, bertobat dan kembali. Perumpamaan tentang “anak yang Hilang” sekaligus panggilan bertobat yang ditujukan kepada kita semua, entak kita sebagai si sulung atau si bungsu. Bertobat dan kembalilah pada-Nya, Dia menanti kita dengan penuh kasih ke-Bapa-an-Nya. Kecuali bagi yang hari ini bertobat, besok kumat! Amin!



Senin, 25 Maret 2019

OH…AKU CEMBURU!



Lukas 13:31-35

Beberapa orang Farisi datang pada Yesus. Mereka menyampaikan berita untuk memperingatkan supaya Yesus menyingkir dari daerah itu, berhubung ada kabar ancaman dari Raja Herodes. Tumben? Koq ada Farisi yang baik hati mau menolong Yesus? (demikian ada pendapat sebagian orang). Namun bila diteliti lebih dalam, orang Farisi yang datang pada Yesus, sebenarnya bukan untuk menolong Yesus. Tetapi kurang lebih tindakan “aji mumpung”. Mumpung ada kesempatan untuk menyingkirkan Yesus. Untuk melampiaskan iri hati dan cemburu pada Yesus yang selama ini dikagumi banyak orang (Ay.31-32).

Rasa cemburu memang manusiawi. Bisa melanda siapa saja. Tidak perduli para tokoh agama sekaliber orang Farisi. Juga dapat melanda para umat Tuhan. Iri hati kepada tetangga yang kelihatan diberkati dengan kekayaan yang luar biasa melimpah, jabatan yang tinggi di dalam pekerjaan, istri yang cantik, suami yang tampan, anak-anak yang sukses dan lain sebagainya. Iri hati terhadap teman yang sekerja/sekantor yang memiliki prestasi kerja yang lebih baik dari kita.

Rasa cemburu juga sering terjadi dalam rumah tangga. Cemburu terhadap saudara sendiri yang diperlakukan lebih istimewa oleh orang tua. Dan (maaf), cemburu juga bisa melanda ranah pelayanan. Cemburu kepada rekan sepelayanan karena ia disenangi oleh jemaat. Cemburu melihat orang lain dipakai Tuhan dengan luar biasa di dalam lingkungan pelayanan.

PERTAMA: CEMBURU AKAN MENGGIRING KITA PADA DOSA

Saudara! Ketika cemburu menguasai hati kita, maka rasa tersebut mengakibatkan hal yang lebih buruk dan merugikan diri sendiri. Dapat menjerumuskan kita pada dosa. Mengapa cemburu bisa menjerumuskan kita pada dosa? Coba perhatikan ucapan Yesus: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu.” (Ay.34).

Lihatlah apa yang terjadi. Sikap yang cemburu selalu menutup diri. Mereka selalu berulang kali membunuh para nabi utusan Allah. Tak mau berobah. Tetap melakukan dosa yang sama. Pokoknya susah bila melihat orang senang, dan senang bila melihat orang susah. Demikian kira-kira pola hidup orang yang memiliki sikap cemburu. Jadi, berhati-hatilah! Jagalah emosi, dan jangan suka iri dan cemburu pada setiap kelebihan orang lain. Karena dosa selalu mengintip di depan pintu hati untuk melakukan kejahatan!

KEDUA : SILAHKAN CEMBURU

Statement yg kedua ini mungkin kelihatan bertentangan dengan point pertama, tapi tidaklah demikian adanya. Namun cemburu yantg dimaksudkan disini bukanlah cemburu yang negatif, tetapi cemburu yang positif. Cemburu yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik, pelayanan yang lebih baik, usaha yang lebih baik. Jadi pada saat kita cemburu dengan seseorang, bukan membenamkan diri dengan mengasihani diri sendiri. Tetapi memacu kita untuk melakukan sesuatu untuk tujuan yang lebih baik.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Yesus. Yesus cemburu terhadap penduduk Yerusalem yang berulang kali melakukan dosa yang sama dan tidak pernah mau bertobat. Yesus cemburu untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Kecemburuan Ilahi tersebut, tergambar dalam ungkapan metafora, Yesus gambarkan diri-Nya laksana induk ayam: “Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya, di bawah sayapnya, tapi kamu tidak mau.” (Ay.34).

KETIGA: DIBAKAR CENBURU ILAHI

Dibakar cemburu Ilahi yang dahsyat, memampukan Yesus mengalahkan dosa dengan cinta. Laksana induk ayam yang rela mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak-anaknya. Untuk itulah Ia rela menderita, sengsara, dan mati di kayu Salib demi dosa manusia. Sebagai anak-anak Tuhan, tanyakanlah pada diri kita masing-masing. Roh cemburu model apa yang menguasai hidup kita? Roh cemburu produk setan atau Roh cemburu Ilahi yang menyelamatkan?

Masihkah api cemburu produk setan mengusai dan menghancurlan hidup kita dan selalu mengarahkan kita untuk melakukan dosa? Menutup diri, meremehkan Tuhan, dan orang lain selalu dianggap ancaman? Atau sebaliknya. Adakah cemburu yang dibakar oleh api Ilahi membakar jiwa kita untuk memiliki kerinduan melakukan tindakan kebenaran? Hingga tidak pernah terhenti oleh sehebat apa pun bentuknya tantangan ancaman yang dihadapi? Amin!

Kamis, 21 Maret 2019

SUPAYA TERLUPUT DARI KEBINASAAN



Lukas 13:1-5

Anda pernah mengikuti prosesi pemakaman di pekuburan? Bila pernah (apalagi sering), maka juga pasti mendengar ucapan Hamba Tuhan dari Liturgi yang digunakan sembari menjatuhkan tanah tiga kali ketika peti jenazah diturunkan ke liang lahat: “Tanah memang asal tubuh manusia, sebab itu iapun kembali menjadi tanah, akan tetapi Tuhan Yesus Kristus yang pohon kehidupan, akan menghidupkan tubuh orang yang percaya untuk memperoleh kehidupan yang kekal.”

Menurut kesaksian Alkitab, tubuh manusia memang berasal dari debu tanah! Firman Tuhan berkata: “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej.3:19). Tubuh manusia yang dari materi (debu tanah), yang telah terkutuk karena dosa memang tidak kekal. Rapuh, mengalami penuaan, rentan terhadap sakit penyakit.


Tubuh manusia yang dari materi (debu tanah) tidak kebal terhadap bencana yang melanda. Cepat atau lambat, akan mengalami kematian, dikubur, kembali menjadi debu tanah! Tidak terkecuali, entahlah dia seorang pendosa atau taat beragama. Entah dia seorang pejabat, Mahasiswa, atau orang biasa. Semua mengalami hal yang sama.

Orang-orang di zaman Yesus terjebak pada suatu pemikiran, hanya sibuk mempersoalkan tentang tubuh yang materi. Berdosa atau tidak, masuk sorga atau tidak, dinilai dari cara matinya. Bila mengalami kematian karena musibah menimpa, nah, pasti karena dosa, tidak bakalan masuk sorga! Bila matinya secara tenang dan wajar, nah, pasti orang beriman, melenggang menuju sorga.

Tubuh yang materi, yang memang dosa adanya, yang memang akan binasa, mana mungkin masuk sorga. Lalu bagian mana dari diri manusia yang bersifat kekal? Pada bagian lain, Firman Tuhan katakan: “dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” (Pkh.12:7). Tidak kurang, Rasul Paulus jelaskan atas ketidakmengertian orang di Korintus: “yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah.” (I Kor.15:44b).

Lalu bagaimana supaya terluput dari kebinasaan? Tidak ada kata lain, selain bertobat! Dua kali dalam nas ini Yesus tegaskan jika tidak bertobat, siapa pun manusia pasti binasa! Sehebat apa pun cara beragama, apalagi yang hanya mengandalkan perbuatan, tetap akan binasa!

Suatu saat kita akan mati
Terbujur kaku seukuran peti
Dan dibawa ke tempat yang sepi.....
Harta kekayaan, gelar dan jabatan sudah tak berarti lagi
Kita takkan dapat menikmati makanan enak seperti dulu lagi
Kita tak dapat belanja ke berbagai mall lagi
Atau ketempat renang, atau ke tempat-tempat rekreasi
Semua sudah berakhir dan berhenti
Telpon, sms, masenger, fb tak terhubung lagi

Selagi hidup kita perlu mawas diri…..
Sebelum terbujur kaku di dalam peti
Dan diantar ke tempat yang sunyi
Perlu berbenah diri
Perlu bercermin diri
Perlu berhati-hati
Perlu bertobat dan perbaiki diri
Jangan salahgunakan berkat yang Dia beri
Berbagilah bila mendapat kelimpahan rejeki
Jangan dinikati sendiri

Sadarlah suatu saat kita akan mati…..
Diantar ke tempat yang sunyi
SIM, KTP, Ijazah, rekening Bank sudah tak berguna lagi
Hawa nafsu jangan dituruti
Perlu penguasaan diri
Dan harus peka terhadap segala situasi
Yang sekiranya dapat merugikan diri sendiri
Sikap takabur dan iri hati,
Jangan biarkan bersemayam di dalam hati
Karna itu juga menjadi catatan tersendiri
Yang juga turut menentukan kemana arah kita nati.

Bukan cara mati yang menentukan orang selamat, tetapi pertobatan sebelum mati. Bukan soal cara mati, tetapi kemana setelah mati! Yesus bersabda: “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup, walaupun ia sudah mati.” (Yoh.11:25). Amin!

Senin, 18 Maret 2019

DOSA DAN PENDERITAAN


Lukas 13:1-5

Apakah manusia menderita dan mati dilanda musibah umpama, selalu akibat dosa-dosanya? Apakah manusia yang sukses, melimpah segalanya, anak-anaknya berhasil pendidikan, terhindar dari bencana hingga mati dengan tenang selalu dianggap sebagai orang benar karena Allah berkenan memberkatinya? Jika demikian adanya betapa jahat dan kejamnya Allah itu.

Beberapa waktu lalu, manakala peristiwa bencana melanda di Palu, ada yang dengan bangga memposting gambar gereja tetap berdiri kokoh di kelilingi bangunan lain yang telah roboh dihantam bencana. Secara implisit, si pengirim gambar seolah mau mengatakan “lihatlah rumah Tuhan, tempat suci, tempat beribadah umat setia tanpa dosa, tetap kokoh karena Tuhan yang melindungi dan memberkatinya.”

Cara berpikir orang-orang pada zaman Yesus, terus melekat dan banyak mempengaruhi cara berpikir manusia dalam menilai sesamanya. Hingga mengokohnya dalam suatu ajaran yang disebut “Teologi sukses”! Bila tak sembuh-sembuh dari sakit, nah, pasti karena kurang beriman! Kena kutukan Tuhan! Bila sukses, nah, pasti karena hidup taat dan beriman! (Ay.1).

Apakah orang-orang Galiea yang mati dibantai Pilatus ketika mempersembahkan korban karena dosa mereka? Betapa naifnya cara berpikir yang demikian. Yang hanya menghakimi orang berdosa atau tidak berdosa hanya menilai berdasarkan dari cara mati seseorang.

Menentang pemikiran yang keliru, Yesus membentangkan suatu peristiwa yang hampir sama, peristiwa yang juga telah berlangsung tidak begitu lama berselang, soal delapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Bukankah di Siloam ada sebuah kolam, Malaikat Allah sesekali turun menggocangkan kolam itu dan menyembuhkan banyak orang? Tapi kenapa musibah itu koq juga bisa terjadi di sana? (Ay.4).

Menurut Yesus, bahwa orang yang mati karena ditimpa musibah, belum tentu lebih berdosa dari orang yang mati tanpa kena musibah. Dosa seseorang tidak dapat dinilai dari cara matinya. Tetapi kemana setelah dia mati. Yang sangat prinsip, bukanlah soal bagaimana cara mati, tetapi apakah ada pertobatan sebelum menuju mati?

Yesus sendiri bahkan mati dengan cara paling keji yang pernah ada di muka bumi. Mengalami penderitaan, terhina, hingga mati di salib, laksana seorang penjahat besar! Namun matinya justru laksana pupuk yang memberikan arti kehidupan. Dan apakah artinya mati dengan tenang tetapi akhirnya binasa menuju neraka, karena selama hidup tiada pertobatan? Karenanya, bertobatlah selagi ada kesempatan pintu pengampunan, sehingga beroleh kehidupan kekal setelah kematian! Bukan sekedar sukses selama hidup, tetapi menderita setelah kematian. Amin!

Jumat, 15 Maret 2019

ADA CINTA DI KEDALAMAN LUBUK HATINYA


Lukas 13:31-35

Bukan ancaman raja Herodes yang Yesus takutkan. Karena jangankan Herodes, setan pun ditaklukannya. Tetapi yang membuat Yesus berduka adalah sikap hidup penduduk Yerusalem yang tak pernah mau berobah. Hati yang keras sekeras batu, seolah bangga terus berkubang dalam dosa. Yerusalem yang seharusnya menjadi pusat kesucian Agama dijalankan, namun yang ada hanyalah hidup dalam kebejatan (Ay.31-32).

Di kedalaman lubuk hati-Nya, betapa gambaran lukanya hati Ilahi lewat ungkapan tutur bermakna; “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” (Ay.34).

Namun kasih setia Allah tak pernah terhenti. Kasih-Nya lebih tinggi dari langit biru. Lebih dalam dari lautan. Toh pun hukuman akhirnya juga dijatuhkan bagi penduduk Yerusalem, hingga kotanya rata dengan tanah, itu semata-mata Allah lakukan sebagai bentuk pembelajaran, bahwa “apa yang ditaburkan orang, itu juga yang akan dituainya.”

Dengan cara-Nya yang tak mampu terselami oleh pikiran manusia, Ia hingga rela mati tersalib di Yerusalem untuk membuktikan kasih-Nya yang terdalam. Kasih Allah tentu saja bukan kasih yang memanjakan. Bukan kasih murahan. Dosa tetaplah dosa yang pasti menuai akibatnya. Namun kasih-Nya selalu terulur sejuk manakala manusia membuka hati, bagi yang sadar sesadar-sadarnya akan segala dosanya, bertobat, berbalik mencari wajah Allah, maka hanya Yesuslah jawabannya. Amin!

Sabtu, 09 Maret 2019

YESUS DIMULIAKAN DI ATAS GUNUNG





Lukas 9:28-36

Pada suatu ketika Yesus naik ke atas gunung. Petrus, Yohanes dan Yakobus dibawa-Nya ikut serta. Yesus naik ke atas gunung itu tentu ada maksudnya. Bukan perjalanan biasa, bukan untuk piknik menikmati keindahan alam biasa. Bukan, bukan demikian! Tetapi ada sesuatu yang khusus. Sesuatu yang amat penting. Ia naik ke atas gunung untuk berdoa. Kenapa harus naik berlelah-lelah ke atas gunung bila hanya sekedar untuk berdoa? Kenapa tidak di rumah saja, atau di pinggir pantai, atau di Bait Allah saja? Atau di tempat lain misalnya?

Di atas gunung, jauh dari hiruk pikuk keramaiaan. Situasi yang tepat untuk berdoa. Tenang, teduh, dan fokus. Di samping itu, menurut para penafsir, bahwa gunung juga melambangkan tempat yang tinggi! Dan di tempat yang tinggi itu Yesus hendak membawa beberapa murid kepada hadirat Allah, eksistensi tertinggi dari kemahakuasaan Bapa-Nya. Sepanjang malam itu Yesus berdoa.

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya atas pergumulan yang maha berat. Pergumulan berat atas cawan penderitaan yang sebentar akan ditanggung-Nya atas dosa-dosa manusia. Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilauan. Yesus penuh cahaya menyilaukan. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya.

Dalam kemuliaan itu nampak Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus dan tampaklah tiga orang sedang bercakap-cakap dalam kemulian: Yesus, Musa, dan Elia. Dalam ayat 31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan sorgawi yang ada di bumi.

Bagaimana reaksi tiga murid menyaksikan suasana kemulian? Oh, saudara… para murid terbangun setelah ketiduran. Petrus secara spontan menjadi juru bicara mewakili para murid dan kita semua: “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (ay.33b).

Kenapa Petrus berkata demikian? Karena kagum, heran bercampur takut, menyaksikan kedahsyatan kemuliaan yang terjadi. Petrus tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, selain hanya ingin mengabadikan peristiwa yang baru saja mereka saksikan. Tidak! Peristiwa tersebut tidak hanya untuk diabadikan! Mereka tidak boleh berlama-lama di atas gunung itu. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera memikul salib. Dan para murid harus turun menghadapi realita kehidupan!

Ketiga murid Yesus ini mewakili para murid, juga mewakili karakter pada umumnya kita manusia. Petrus adalah karakter si pemberani tetapi terkadang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Yakobus tipe murid yang tidak banyak bicara, jarang tampil memukau di depan umum, namun banyak karya. Sedangkan Yohanes adalah karakter orang cerdas, punya potensi besar, tetapi sedikit mandul dalam karya nyata.

Di atas gunung itu mereka perlu dibentuk untuk menjadi manusia-manusia berkarakter, dibaharui dan dikuatkan. Para murid akan melewati masa-masa sulit dalam hal mengikut Yesus, sementara iman mereka masih kerdil serta kurang mengerti pengajaran Yesus tentang penderitaanNya.

Pergumulan yang dihadapi Yesus adalah gambaran pergumulan yang juga kita hadapi dalam dunia nyata kita. Sebagai anak-anak Tuhan bagaimana sikap kita ketika menghadapi pergumulan dan penderitaan? Yang terbaik adalah ini! Milikilah sikap Yesus yang lebih bersungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya. Berdoa dan berserah. Berserah bukan menyerah! Tetapi berserah untuk diisi penuh oleh Allah sehingga beroleh kekuatan hadapi seberat apa pun masalah!

Berdoa dan berserah berarti mengarahkan hati kita kepada Allah, menyisihkan waktu untuk mendengar, merenungkan karya Allah dalam keheningan, memberi perhatian hanya kepada Allah, dan masuk ke dalam kehendak-Nya. Seorang teolog termasykur Paul Tillich pernah mengatakan “Jika kita mampu menyerahkan diri kepada Allah di tengah pergumulan, tetap percaya kepada-Nya, maka rahmat Allah menyentuh kita justru bila kita sedang dalam kesusahan dan kegelisahan besar, rahmat Allah tetap menyentuh kita, toh pun kita berjalan di lorong-lorong kehidupan yang kosong dan hampa.” Amin!