Renungan GKE

Selasa, 30 April 2019

GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBAKU



Yohanes 21:15-19

Menurut saudara, mengapa Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Bukankah apabila kita baca dalam Alkitab, tanpa diragukan, bahwa Petrus adalah seorang murid beriman yang sangat mengasihi Yesus? Di Kaisaria Filipi, bukankah dia yang mewakili para murid lainnya mengungkapkan pernyataan bersejarah bahwa Yesus itu adalah “Anak Allah yang hidup”? (Matius 16:16). Ketika Perjamuan malam sebelum Yesus ditangkap, bukankah Petrus pula satu-satunya murid yang berikrar kepada Yesus: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau? (Lukas 22:23). Tidak kurang di taman Getsemai, bukankah dia juga satu-satunya murid yang mebuktikan kasihnya kepada Yesus, yang dengan gagah berani menetakkan telinga seorang hamba Imam Besar dengan pedangnya, ketika peristiwa penangkapan Yesus?

Bukankah dari semua yang ia ucapkan dan lakukan itu menunjukkan bahwa Petrus sangat mengasihi Yesus? Apakah yang masih dianggap kurang pada diri Petrus? Adakah yang salah dalam penghayatan iman dan kasihnya kepadaYesus? Dan kenapa ia mesti ditanya tentang sesuatu yang malah sudah ia buktikan, bahkan pertanyaan yang sama sampai diulang tiga kali oleh Yesus? Saudara, secara kebiasaan, apabila kita menanyakan seseorang untuk meminta pernyataannya lebih dari satu kali atau berulang-ulang, boleh jadi bahwa sebenarnya kita masih menyangsikan pernyataan orang tersebut. Atau mungkin pula kita menginginkan suatu pernyataan yang sungguh-sungguh sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari orang yang kita tanya.

Pertanyaan Yesus ini pasti menunjukkan ada yang salah dalam penghayatan iman dan kasih Petrus. Andaikata tidak ada yang kurang atau salah pada iman dan kasih Petrus, Yesus pasti tidak bertanya dan memberikan tantangan: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Lalu apa yang salah atau kurang dalam penghayatan iman dan kasih Petrus itu? Nah, disinilah letak persoalannya! Saudara, benar bahwa Petrus mengasihi Yesus, tapi apa yang ia nyatakan atau lakukan bagi Yesus itu adalah didasarkan pada motivasi yang salah! Artinya, bahwa apa yang dilakukan oleh Petrus bukanlah dalam pengabdian kasih yang sesungguhnya. Ia mau berbuat dan bertindak, tetapi juga diiringi harapan agar nama juga ikut besar dan popoler.

Karena itu tidak heran bila Petrus melakukan semuanya kadang-kadang disertai sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu yang utama, sok tahu, sok pahlawan. Tidak jarang pula dibumbui sikap kesombongan dan kecongkakaan yang berbuahkan ketakaburan. Menurut Alkitab, bahwa sikap congkak adalah dosa dan pasti menerima hukuman Tuhan: “Sebab Tuhan semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh serta menghukum semua yang meninggikan diri, supaya direndahkan.” (Yesaya 2:12). Di dalam Alkitab juga dikatakan: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18). Pernyataan Alkitab ini terbukti saudara, sebab bukankah sikap seperti ini yang menghantarkan Petrus kepada pengkhianatan?

Pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah suatu tantangan dalam rangka pembaharuan iman dan kasih Petrus supaya diletakkan pada dasar motivasi yang benar. Saudara, soal motivasi itu sangat penting dan menentukan! Sebaik dan sebesar apapun yang dilakukan orang bila tanpa dilandasi motivasi yang benar tentulah sia-sia dan percuma! Bila kita teliti dengan cermat, kita dapat melihat dengan jelas motivasi yang salah dari Petrus dalam menyatakan kasihnya kepada Yesus.

Pertama: Kasih yang dilandasi sikap “pamrih”.

Sikap pamrih adalah suatu sikap dimana orang mau berbuat, dan dibalik apa yang diperbuatnya dianggap mendatangkan keuntungan. Itulah juga motivasi Petrus mengasihi Yesus. Benar bahwa Petrus berikrar: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau.” (Lukas 22:33). Tetapi ucapan itu dinyatakannya setelah murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Setelah Yesus memperbincangkan soal kerajaan dan tahta, tentang siapa yang akan menghakimi ke-12 suku Israel dan tentang siapa yang akan duduk makan semeja dengan Yesus nantinya (Lukas 22:24-33). Sebab itu saudara, orang yang memiliki sikap pamrih tidak mungkin mau berkorban apalagi sampai menanggung resiko.

Apabila situasi menguntungkan, sebesar apa pun pengorbanan itu pasti akan dilakukan. Tetapi sekiranya situasi tidak menguntungkan, sekecil apa pun itu pasti sulit dilakukan. Perhatikan sikap Petrus. Dalam situasi yang menguntungkan dapat saja ia berjanji setia kepada Yesus: “Sekalipun aku harus mati bersama-sama dengan Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” (Matius 26:35). Tetapi ketika menghadapi situasi yang sulit dan tidak menguntungkan, bukankah dari mulut yang sama terlontar kata-kata penyangkalan? Sikap pamrih memang penuh dengan pertimbangan. Ya, pertimbangan untung rugi tentu saja! Sebab itu tidak heran apabila segala waktu, tenaga, pengorbanan atau juga uang segala macam sulit diberikan, walau itu untuk gereja atau untuk Tuhan sekali pun.

Kedua: Kasih yang didasarkan pada ukuran “prestise”

Saudara, kasih yang didasarkan pada prestise adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan hanya demi gengsi, martabat atau hanya demi mendapatkan nama baik dan kehormatan pribadi. Apabila kita membaca dakam Alkitab, ini juga motivasi Petrus kepada Yesus. Dari data pribadi Petrus terlihat dengan jelas suatu sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu menjadi yang utama. Dari nada bicaranya terdapat kesan kesombongan. Sebagai contoh, dalam ucapannya: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.” (Matius 26:33).

Lalu bagaimana ketika tantangan yang sesungguhnya benar-benar tiba? Nah…nah…nah… kita semua pun tahu dari catatan sikap Petrus dalam Alkitab di sekitar peristiwa penyaliban Yesus. Semua orang Kristen pun tahu itu! (Matius 26:69-74; Markus 14:66-72; Lukas 22:56-62; Yohanes 18:15-18, 25-27). Ya, ternyata Petrus tak mampu membuktikan imannya kepada Yesus. Hanya gara-gara tanya sederhana dari si tua renta kepada Petrus dalam situasi yang agak terjepit di tengah orang banyak. Tapi toh pun demikian, Petrus yang penuh dengan cacat dan kekurangan, tetap saja diterima oleh kasih dari Yesus yang terulur membentang…..

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?”. Bagai rembulan tertusuk ilalang, pertanyaan itu membentang jalang! Bahwa kenyataannya kasih Petrus yang selama ini dilakukan belumlah merupakan kasih yang sebenarnya! Artinya, bahwa kasih yang selama ini Petrus lakukan belumlah benar-benar mengasihi Yesus, tetapi kurang lebih suatu sikap penonjolan diri semata. Ya, pertanyaan yang menantang untuk dijawab dengan pembaharuan iman dan kasih!

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Sekarang Yesus semakin memperlunak pertanyaan-Nya (tanpa tambahan kalimat “lebih daripada mereka ini?”). Seolah alam pun ikut muram, pertanyaan kedua menyesak dada! Betapa tidak, suatu pertanyaan halus tapi juga menyengat rasa! Menyadarkan Petrus bahwa kasih yang benar kepada Yesus itu haruslah dimulai dari kerendahan hati, bukan keakuan dan kesombongan diri seperti yang pernah terjadi!

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Laksana bumi gemetar menahan kedahsyatan kawah api, seluruh jiwa raga menatang pertanyaan ketiga! Ya, pertanyan yang meminta kejujuran untuk menyadarkan Petrus, bahwa iman dan kasih yang benar itu haruslah iman dan kasih yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sebatas janji ucapan! Bahwa iman dan kasih yang benar kepada Yesus itu adalah soal tanggungjawab dan harus berani menerima segala konsekwensinya!

Pertanyaan-pertanyaan Yesus pasca kebangkitan-Nya ini adalah dalam rangka pemugaran iman dan kasih, untuk meluruskan motivasi Petrus yang keliru selama ini. Membaharui iman dan kasih Petrus yang masih dianggap kurang mapan! Pertanyaan-pertanyaan Yesus ini bak sembilu menusuk dada, untuk melahirkan kesadaran penuh, untuk menangisi nanah penyangkalan yang pernah dilakukan. Untuk menyesali dan mau membaharui diri dari kejatuhan yang pernah terjadi. Ya, pertanyaan menyala pemberi upaya, supaya bangkit membangun kembali kisah kasih sejati dalam tekad baru kerendahan hati: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (ayat 17c).

Inilah sikap Petrus yang baru. Sikap yang terpuji. Sikap yang perlu kita teladani! Ya, sikap yang berani membaharui diri dan tidak akan pernah berhenti lagi untuk mengasihi Yesus. Inilah sikap yang baru yang seharusnya dimiliki oleh setiap kita yang mengaku-aku percaya kepada Yesus. Ya, ucap janji dan bukti harus sejalan. Karena memang itulah yang paling menentukan! Amin.

Sabtu, 27 April 2019

YESUS MENEMUI SANG REALIS





Yohanes 20:24-29

Banyak orang nyinyir pada Tomas, karena dia sulit percaya akan berita kebangkitan Yesus sementara murid lain semua pada percaya. Tipe Tomas memang tipe manusia yang sulit percaya sebelum melihat bukti. Apakah bagi Yesus sikap Tomas ini dipersalahkan begitu saja? Tidak! Yesus juga menghargai sang realis. Justru untuk itulah Yesus hadir secara khusus. Khusus untuk Tomas sang realistis.

Saudara, iman yang sekedar asal percaya, itu juga berbahaya. Iman yang menjadi sebuah pilihan setelah dimantapkan oleh bukti, itu juga belumlah berarti sebuah dosa! Bukankan di dunia kekinian kita banyak juga orang dibodohi oleh berita hoax atau isyu-isyu menyesatkan karena hanya didasarkan pada asal percaya saja? Tanpa berupaya memahami, mengkaji, meneliti terlebih dahulu kebenarannya?

Sikap Tomas, bukanlah 100% salah semata. Karena demikianlah sisi kehidupan ini. Terlebih ketika iptek seolah mendominasi di segenap kehidupan manusia. Haruskah kita memaksa semua orang percaya dengan iman saja? Salahkah bila mereka juga menuntut bukti untuk lebih meyakinkan? Yesus yang penuh kasih, tidak menolak Tomas, atau memarahi Tomas atas caranya untuk percaya. Yesus juga datang padanya dengan pembuktian hingga akhirnya Tomas pun percaya!

Apa yang Yesus lakukan kepada Tomas, seharusnya juga membuka cakrawala baru bagi kita sebagai Gereja atau umat percaya secara kreatif menyaksikan Yesus yang bangkit dan menang atas kuasa kematian. Tidak melulu hanya memaksa dunia menerima begitu saja tentang Yesus yang menang tanpa dapat membuktikan. Sementara dunia menawarkan jalan keluar terhadap aneka persoalan dengan caranya untuk membuktikan.

Berita tentang Yesus yang bangkit dan berkemenangan, juga mengharuskan kita untuk secara kreatif sebagaimana Yesus lakukan kepada Tomas. Dunia yang kepadanya Injil diberitakan bukanlah dunia yang adem ayem. Tetapi dunia yang galau, penuh curiga. Adalah naif bila memberitakan Yesus yang bangkit dan memaksa semua orang untuk menerima hanya dengan percaya saja sebagai satu-satunya cara, tanpa bisa membuktikan apa-apa bahwa Yesus sungguh bangkit bagi mereka. Yang benar adalah, Yesus juga mengasihi Tomas sang realis dengan pembuktian, hingga akhirnya Tomas bertelut “Ya Tuhanku dan Allahku!” Amin!

Jumat, 26 April 2019

BERKAT PASKAH BAGI UMAT PERCAYA




Yohanes 20:19-29

Pada tahun 1957, Letnan David Steeves berjalan keluar dari Pegunungan Sierra di Nevada, Kalifornia, setelah 54 hari pesawat jet pelatih Air Force-nya menghilang. Ia menceritakan kisah yang tak masuk akal tentang bagaimana ia bertahan hidup di belantara bersalju setelah terjun dengan parasut dari pesawatnya yang mati mesin.

Sebelum ia menunjukkan bahwa dirinya masih hidup, sebenarnya secara resmi ia dinyatakan telah mati. Saat penyelidikan selanjutnya gagal menemukan bangkai pesawat, Steeves dianggap berbohong dan ia dipaksa mengundurkan diri karena ceritanya diragukan. Lebih dari 20 tahun kemudian, kisahnya terbukti dengan ditemukannya bangkai pesawat oleh sebuah regu Pramuka.

“Kisah bertahan hidup” lain yang terjadi berabad-abad lalu juga masih kontroversial sampai saat ini. Seorang lelaki bernama Yesus Kristus yang berjalan keluar dari padang gurun Yudea membuat banyak pernyataan yang sulit dipercaya banyak orang. Lalu Dia dihukum mati dan dinyatakan mati. Namun, tiga hari kemudian Dia muncul dan menunjukkan bahwa diri-Nya hidup. Sejak itu muncul berbagai pandangan skeptis.

Tidak kurang bagi para murid, penyiksaan, pembunuhan, hingga akhirnya Yesus mati disalibkan, bagi mereka adalah pengalaman paling menyakitkan. Putus asa, ketakutan, was-was, rasa tidak aman, ketiadaan pengharapan mengisi hari-hari hidup mereka.

Tidak mudah untuk menerima begitu saja berita tentang kebangkitan. Yang ada adalah duka mendalam. Yang mereka lakukan kini hanyalah berkumpul bersama para murid lain untuk saling menguatkan. Itu pun diselingi rasa ketakuan. Tidak heran bila mereka berkumpul dengan pintu-pintu yang terunci, takut serta rasa was-was pada orang-orang Yahudi yang dapat mengancam keselamatan mereka.

Namun, di tengah suasana ketidakpastian, Yesus hadir di tengah-tengah mereka secara ajaib, menyapa para murid: “Damai sejahtera bagi kamu.” Hingga dua kali kalimat yang sama Yesus ucapkan kepada para murid tercatat dalam nas ini dalam rangka pemulihkan rasa putus asa mereka, memberikan penguatan supaya sungguh-sungguh berpengharapan. Kuasa kemenangan Paskah menginspirasi mereka untuk ke luar, menyaksikan Yesus yang bangkit dan menjadi berkat.

Lalu bagaimana dengan Tomas? Banyak orang nyinyir pada Tomas, karena dia sulit percaya akan berita kebangkitan Yesus sementara murid lain semua pada percaya. Tipe Tomas memang tipe manusia yang sulit percaya sebelum melihat bukti. Apakah bagi Yesus sikap Tomas ini dipersalahkan begitu saja? Tidak! Yesus juga menghargai sang realis. Justru untuk itulah Yesus hadir secara khusus. Khusus untuk Tomas sang realistis.

Saudara, iman yang sekedar asal percaya, itu juga berbahaya. Iman yang menjadi sebuah pilihan setelah dimantapkan oleh bukti, itu juga belumlah berarti sebuah dosa! Bukankan di dunia kekinian kita banyak juga orang dibodohi oleh berita hoax atau isyu-isyu menyesatkasn karena hanya didasarkan pada asal percaya saja? Tanpa berupaya memahami, mengkaji, meneliti terlebih dahulu kebenarannya?

Sikap Tomas, bukanlah 100% salah semata. Karena demikianlah sisi kehidupan ini. Terlebih ketika iptek seolah mendominasi di segenap kehidupan manusia. Haruskah kita memaksa semua orang percaya dengan iman saja? Salahkah bila mereka juga menuntut bukti untuk lebih meyakinkan? Yesus yang penuh kasih, tidak menolak Tomas, atau memarahi Tomas atas caranya untuk percaya. Yesus juga datang padanya dengan pembuktian hingga akhirnya Tomas pun percaya.

Apa yang Yesus lakukan kepada Tomas, semestinya membuka cakrawala baru bagi kita sebagai Gereja atau umat percaya secara kreatif menyaksikan Yesus yang bangkit dan menang atas kuasa kematian. Tidak melulu hanya memaksa dunia menerima begitu saja tentang Yesus yang menang tanpa dapat membuktikan. Sementara dunia menawarkan jalan keluar terhadap aneka persoalan dengan caranya untuk membuktikan.

Berita tentang Yesus yang bangkit dan berkemenangan, juga mengharuskan kita untuk secara kreatif sebagaimana Yesus lakukan kepada Tomas. Dunia yang kepadanya Injil diberitakan bukanlah dunia yang adem-ayem. Tetapi dunia yang galau, penuh curiga. Adalah naif bila memberitakan Yesus yang bangkit dan memaksa semua orang untuk menerima hanya dengan percaya saja sebagai satu-satunya cara, tanpa bisa membuktikan apa-apa bahwa Yesus sungguh bangkit bagi mereka. Yang benar adalah, Yesus juga mengasihi Tomas sang realis dengan pembuktian, hingga akhirnya Tomas bertelut “Ya Tuhanku dan Allahku!” Amin!

Minggu, 21 April 2019

MATI DAN BANGKIT DENGAN KRISTUS


Roma 6:1-11

“Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” (Ay.1). Pertanyaan retoris Rasul Paulus tersebut adalah sanggahan atas pandangan orang-orang yang keliru memahami anugerah Allah yang mahal namun dijadikan murah, bahwa sebaiknya kita semakin banyak berbuat dosa agar kasih-karunia Allah semakin bertambah? Pemikiran yang sempit tentang kasih-karunia Allah tersebut melahirkan suatu teologi “anugerah yang murah”(cheap grace).

Mengutip Dietrich Bonhoeffer dalam “The Cost of Discipleship” (New York: Macmillan, 1959:47-48,53) dikatakan: “Anugerah yang murah adalah pengampunan yang tanpa menuntut pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja, Komuni tanpa pengakuan dosa, pengampunan dosa tanpa pengakuan dosa pribadi. Anugerah yang murah adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus, yang hidup dan menjelma.

Anugerah yang mahal adalah harta yang terpendam di ladang; demi harta itu seseorang dengan gembira akan pergi dan menjual segala miliknya. Anugerah yang mahal adalah mutiara mahal yang untuk mendapatkannya, si pedagang harus menjual semua barang-barangnya. Anugerah yang mahal adalah pemerintahan Kristus, yang untuk-Nya seseorang akan rela mencungkil matanya sehingga membuatnya jatuh tersandung; Anugerah yang mahal adalah panggilan Yesus Kristus yang menyebabkan seorang murid meninggalkan jalanya dan mengikut Dia.

Anugerah yang mahal adalah Injil yang harus terus-menerus dicari, karunia yang harus diminta, pintu yang seseorang harus mengetoknya. Anugerah ini mahal karena menuntut kita supaya mengikuti, dan berupa anugerah karena memanggil kita untuk mengikuti Yesus Kristus. Anugerah ini mahal sebab menuntut dari seseorang seluruh hidupnya, dan berupa anugerah sebab memberikan kehidupan yang sejati kepada seseorang.

Anugerah ini mahal sebab menghukum dosa, dan adalah anugerah sebab membenarkan orang berdosa. Di atas semuanya itu, anugerah ini mahal sebab menuntut Allah memberikan hidup Anak-Nya: “Engkau dibeli dengan harga tunai,” dan apa yang sangat mahal bagi Allah tidak murah bagi kita. Di atas semuanya itu, disebut anugerah sebab Allah tidak menganggap Anak-Nya terlalu sayang untuk dipakai membayar hidup kita, tetapi menyerahkan-Nya bagi kita. Anugerah yang mahal adalah Inkarnasi Allah….”

Anugerah Allah yang mahal melalui kematian dan kebangkitan Krisutus merupakan kekuatan transformatif sehingga kita sebagai umat percaya dimampukan untuk hidup benar menurut kekayaan kasih-karunia Allah tersebut. Sebagai orang yang sudah ikut dalam kematian dan kebangkitan Kristus, kita sudah bebas dari kuasa dosa, sehingga kita mampu berjuang melawan dosa. Menjadi hamba kebenaran yang berpusat pada Kristus. Di dalam Kristus dan oleh Dialah dosa dibunuh. Namun, semuanya ini tentu menjadi sia-sia saja jika kita tetap bersikeras di dalam dosa dan kembali kepada apa yang terhadapnya kita sudah mati. Amin!

Sabtu, 20 April 2019

KUASA KEMENANGAN PASKAH YANG MENGUBAHKAN


 Lukas 23:56b-24:12

“Pada hari pertama minggu itu…..” demikian kalimat pada ayat pembuka penuh makna. Itulah hari pertama menjadi era baru yang mengubahkan. Ibadah seremonial Sabat sarat beban, berganti pada titik sentral Yesus yang bangkit dan membebaskan! Sejak kebangkitan Kristus, itulah titik balik awal para murid yang takut mengasingkan diri tanpa harapan, sekarang menjadi para murid yang bersaksi bagi dunia untuk memberitakan kasih Tuhan yang memang. Menang atas maut dan kematian.

Tidak mudah memang mempercayai soal kebangkitan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu panjang. Demikian pun yang terjadi dengan para murid. Berita yang disampaikan para perempuan selepas dari kubur yang kosong, bertemu Malaikat yang menjelaskan, para perempuan itu pun kembali dan menyampaikannya kepada murid lain. Pada awalnya para murid pun menganggap itu hanyalah berita omong kosong!

Ketika akhirnya Petrus sendiri menyaksikan kubur yang kosong, pun bertanya-tanya apa gerangan sesungguhnya yang terjadi. Seiring berjalannya waktu. Pelan tapi pasti, berita tentang kebangkitan semakin menguatkan para murid. Kehadiran Yesus berulang kali di berbagai moment menampakkan diri kepada para murid, hingga akhirnya berita kebangkitan menjadi sempurna. Menjadi darah daging mereka. Mengubah seluruh pola hidup mereka.

Bagi umat percaya, kebangkitan Kristus adalah pesta iman. Pesta kemenangan. Kuasa maut telah dikalahkan. Nasib umat percaya sekarang tidak hanya terhenti sebatas kuburan. Tetapi hidup kekal atas jaminan kebangkitan Yesus yang menang. Namun sebaliknya bagi kuasa setan adalah duka mendalam. Kematian dan kebangkitan Kristus menjadi momok yang sangat menakutkan. Karenanya tidak heran bila kuasa setan masih juga berkeliaran dengan bermacam cara sekiranya berita itu dianggap kebohongan.

Benar saja, enam abad kemudian setan dan antek-anteknya membuat semacam teori yang mengatakan bahwa Yesus itu tidak sungguh-sungguh mati, hanya pingsan saja. Demikian pun waktu disalib, Yesus tidak benar-benar disalib, tetapi diganti, diserupakan oleh Allah dengan yang lain, sementara Yesus sembunyi. Baru kemudian Yesus menampakan diri kepada para murid-murid-Nya. Demikian juga soal kebangkitan, para perempuan itu datang ke kubur mengoleskan minyak untuk menyembuhkan luka Yesus ketika pingsan di salib.

Sederhana saja bantahan saya. Jika Yesus itu diserupakan waktu di salib (karena dikatakan waktu itu Yesus sembunyi), lalu siapa yang dikubur pingsan dan dioleskan minyak luka-lukanya oleh para perempuan yang datang ke kubur itu? Kecuali setan! Lalu teori mana yang bisa menjelaskan selama lebih dari 24 jam disiksa, dicambuk bermata timah mematikan oleh para prajurit terlatih yang telah ribuan kepala melaksakan pembunuhan sadis setiap penyaliban, koq hanya pingsan?

Sedikit tambahan, teori mana yang bisa menjelaskan, bahwa posisi hukuman dipaku menggantung secara vertikal di kayu salib tidak mempercepat kematian akibat sesak nafas karena kekurangan oksigen dalam darah (aspiksiasi)? Demikian pun, tikaman tombak para prajurit hingga keluar darah bercampur air untuk memastikan kematian dianggap tidak mematikan?

Lalu bantahan saya yang paling mendalam. Andai saja Yesus itu (yang juga diakui sebagai nabi oleh berbagai kalangan), hanya disembunyikan ketika peristiwa penyaliban. Lalu bukankan Dia adalah nabi pendusata, manakala Dia memberitahukan Dirinya yang bangkit kepada para murid, padahal waktu itu dia sembunyi? Dan bukankah itu artinya bahwa Allah juga adalah pendusta kepada semua manusia, karena Allah sendiri yang menyerupakan Yesus dengan yang lain waktu di salib?

Dasar setan! Otak setan! Cara setan! Enyahlah setan! Karena kuasa kebangkitan Yesus yang menang tak dapat terbantahkan. Apalagi hanya bantahan murahan. Hai setan, hai maut di manakah sengatmu? Di manakah kemenanganmu? Maut telah ditelah dalam kemenangan. Maut telah dikalahkan oleh Yesus yang bangkit dari kematian! Karena itu wahai umat percaya “ berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Karena kamu tahu, bahwa jerih payahmu dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (I Kor.15:58). Amin!

Jumat, 19 April 2019

YANG BENAR DISALAHKAN, YANG SALAH DIBENARKAN




Yohanes 18:1-40

Barangkali ini adalah nas khotbah terpanjang yang ada selama ini. Terdiri dari empat perikop, dan berjumlah empat puluh ayat secara keseluruhan! Walau terdiri dari empat perikop dan ayatnya panjang, bila diteliti secara saksama, satu saja intinya, semua mengarah ke muara pada satu titik akhir, yaitu Yesus dijadikan bersalah walau sebenarnya tidak terdapat sekecil apaun kesalahan! Hal itu dinyatakan oleh Pilatus sendiri selaku pemegang palu tertinggi mendekati puncak kisah yang sangat mendebarkan (Ay.38b).

Sejak dari penangkapan-Nya di Taman Getsemani hingga akhirnya divonis hukuman mati, sedang Barabas dibebaskan, memang banyak fakta menarik yang dapat diungkapkan. Di taman Getsemani, penangkapan itu didalangi oleh para tokoh agama, orang yang dianggap bertuhan dan orang suci, Para imam-imam kepala dan orang Farisi. Tidak kurang, ditambah bumbu pengkhianatan orang dekat, yaitu si Yudas karena silau akan uang (Ay.2-4).

Di tempat yang sama, seorang murid lain, Petrus sang gagah perkasa, si pembela, namun akhirnya nyalinya ciut, karena menyaksikan sendiri situasi yang semakin memanas, semakin berbahaya hingga akhirnya sangat terjepit dan menyerah pula dalam penyangkalan (Ay.27). Tidak kurang, masalah intervensi, karena Yesus dibawa kepada Hanas (mertua Kayafas) yang mengintervensi orang Yahudi “Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Ay.14).

Di sisi lain, bersandingnya kekuatan agama dan kekuatan politik menyatu jadi satu. Secara hukum agama (dalam hal ini agama Yahudi), tidak diperbolehkan membunuh, karnanya meminjam kekuatan hukum politik sekiranya hukuman mati dapat dijalankan! (Ay.31).

Pada bagian drama penutup, jelas pula terlihat orang banyak yang menjadikan suara teriakan mereka laksana “suara tuhan” (tapi suara tuhan buatan) menentukan keputusan, Yesus yang benar disalahkan, dan si Barabas yang salah dibenarkan. Walau cuma “suara tuhan buatan”, tapi terlihat lebih dari cukup untuk merobah keputusan Pilatus untuk menyerah kalah, juga akhirnya “cuci tangan” (Ay.40).

Di balik pengorbanan Kristus dalam peristiwa ini, terkuak fakta nyata alasan Allah yang indah: “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan Allah.” (Rm.5:6). Bila cermin drama peristiwa pengorbanan Kristus diperjelas dan dihadapkan ke wajah kita, siapa sesungguhnya si pengkhianat, para Farisi, para tukang intervensi itu sebenarnya? Atau yang kehilangan nyali, para penyuara “suara tuhan buatan”, atau yang cuci tangan? Atau, siapa sesungguhnya Barabas si pendosa yang dibebaskan itu?

Dalam peristiwa pengorbanan Kristus, sadarkah kita akan apa yang Allah lakukan untuk kita? Bahwa perbuatan serta tindakan para imam-iman kepala, tua-tua, dan ahli-ahli taurat, Mahkamah Agama adalah gambaran dosa kemunafikan kita? Sadarkah kita bahwa sikap iri hati, dengki, provokasi, fitnah seperti yang mereka perlihatkan adalah cerminan keberdosaan yang sering kita sembunyikan, bila saat yang tepat akan kita munculkan? Sadarkah kita bahwa Barabas yang bebas adalah gambaran diri kita?

Dosa yang ada pada diri setiap manusia (termasuk kita) sungguh mematikan. Secara jujur, rasa-rasanya tidak mungkin ada satu pun di antara kita dapat menyelesaikannya. Ketika roti dan anggur dalam sakramen Perjamuan Kudus ini kita terima, semoga ingatan kita tetap jelas akan ucapan Kristus: “lakukanlah ini menjadi peringatan akan Aku.” Bersyukurlah bila tetap ingat, lalu punya tekat tahu apa yang harus diperbuat. Amin!

Selasa, 16 April 2019

YESUS DITANGKAP


Yohanes 18:1-40

Yesus ditangkap. Alasan apa? Apakah karena Dia membuat keonaran dalam masyarakat? Atau karena menggelapkan uang negara hingga Milyaran rupiah memakan uang rakyat? Tidak! Karena dalam Alkitab mencatat bahwa dalam kurun waktu 24 jam malah diinterogasi sebanyak enam kali, baik oleh lembaga keagamaan mapun oleh lembaga politik Romawi, tak satu pun terdapat kesalahan. Tapi kenapa ditangkap? Siapa yang mendalanginya, dan untuk apa?

Yesus ditangkap oleh orang-orang yang sakit hati karena sering ditempelak dosa dan kemunafikan cara beragama mereka oleh Yesus. Baik para ahli Taurat, juga orang-orang Farisi. Jaga gengsi, demi mempertahankan prestise itulah alasan sesungguhnya. Yang menggelitik, Yesus ditangkap bukan hanya oleh para polisi atau prajurit, tetapi malah para satpam penjaga Bait Allah turut serta turun lapangan. Lengkap dengan lentera, suluh dan senjata. layaknya memburu boronan kelas kapap yang sangat bahayakan (Ay.3).

Ketika mereka bertemu dengan Yesus. Seharusnya Yesus yang dianggap boronan semestinya jatuh tersungkur karena takut, tapi justru sebaliknya, sepasukan prajurit beserta rombongan yang memburu lengkap bersenjata malah mundur, jatuh tersungkur! Jika Yesus mau, dapat saja Dia melarikan diri beserta murid-murid, toh di kegelapan malam, semak dan pepohonan. Tapi itu tidak Yesus lakukan. Yang terjadi malah sampai tiga kali Yesus menegaskan bahwa Dilalah yang mereka cari. Demikian pun ketika Petrus coba membela, Yesus malah memerintahkannya supaya memasukkan kembali pedang itu ke sarungnya! (Ay.4-8, 11).

Berbeda dengan manusia pada umumnya. Sudah nyata-nyata bersalah sekalipun tetap cari kambing hitam sebagai alasan lain, malah dicarikan pengacara handal berapa pun bayarannya, sekiranya dapat bebas lepas. Beda dengan Yesus, justru membela murid-muridnya supaya bebas. Di balik peristiwa penangkapan Yesus adalah tujuan agung kasih Allah bagi manusia digenapkan. Bahkan Yesus pertegas pada ayat terakhir: “bukankah aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku.” (Ay.9, 11).

Siapa yang terlibat bermain di balik layar selain yang telah disebutkan? Siapa lagi jika bukan Si Yudas, yang culas. Yang di otaknya duit melulu. Hingga kejahatan yang sejahat-jahanya sekali pun rela dilakukan, yang penting bisa jadi duit. Dapat yang recehan sekalipun jadilah, asal bisa jadi duit! Kenapa manusia hingga tega berbuat jahat? Bermula saat manusia mengabaikan hati nuraninya.

Hati nurani selalu sejalan dengan nilai kebenaran yang hakiki. Hati nurani berfungsi sebagai “alarm” yang mengingatkan manusia akan hal-hal yang benar dan salah. Hati nurani akan menjadi “tumpul” jika terus diabaikan. Orang yang mengambil hak orang lain misalnya, tentu menyadari bahwa yang dilakukannya salah. Bila hati nurani selalu diabaikan maka orang akan semakin “biasa” berbuat jahat tanpa rasa bersalah sama sekali.

Hati nurani yang selalu diabaikan, maka tingkat kejahatan yang semakin besar akan dilakukan dengan entengnya. Hati nuraninya menjadi mati. Itulah gambaran sikap Yudas yang diperlihatkan. Karenanya, penting kita selalu menjaga hati kita tetap tulus dan murni.

Mintalah pada-Nya dengan sungguh agar Dia selalu menjaga hati kita tetap tulus dan murni. Jagalah hati karena dari situlah terpancar kehidupan. Lakukan apa yang harus dilakukan hari ini. Mungkin saja tak ada lagi esok untuk kita nikmati. Nikmatilah hari ini, lupakan hari lalu. Tataplah hari esok dengan cara hidup, semangat dan harapan baru.

Allah itu kasih. Dimana ada cinta kasih, di situ Tuhan hadir. Hidup tidak diukur dengan seberapa banyak harta tetapi berapa banyak orang yang sudah kita bahagiakan dengan harta kita. Anugerah keselamatan yang mahal telah Dia anugerahkan tanpa mengharapkan bayaran. Jangan bicara tentang cinta jika tidak dapat memaafkan. Jangan bicara tentang kasih jika tak mau berbagi. Bukan kita saja yang punya perasaan. Bila tak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Amin!


Kamis, 11 April 2019

SIAPA LAGI YANG AKAN KAMI SALIBKAN BESOK? TUHAN?




Lukas 22:14-23

(Perjamuan terakhir para Saintis)

Yudas yang selalu dekat bersama dengan Yesus, tidak menjadi jaminan bahwa hatinya juga melekat pada Yesus. Tetapi yang ada adalah pengkhianatan. Kapan-kapan ada kesempatan, niat busuk untuk menjual Yesus demi uang recehan akan dilaksanakan. Hingga di perjamuan terakhir, hatinya tetap tidak berobah (Ay.21).

Yesus tahu bahwa dia yang duduk semeja dengan-Nya akan menyerahkan-Nya. Yudas menentukan pilihannya sendiri. Roh kegelapan menguasai seluruh jiwa raganya. Namun, misi penyelamatan tidak pernah gagal walau adanya pengkhianatan. Buktinya Yesus tetap dengan pasti setapak demi setapak menuju tiang salib! (Ay.22).

Yudas sang pengkhianat yang hidup di jaman sekarang terus gentayangan balas dendam menguasai manusia yang hatinya tidak melekat pada Kristus. Di era digital seperti sekarang ini, Yudas berkolaborasi dengan setan, mengadakan semacam makan paskah bersama ala setan. Berkordinasi mengadakan perlawanan.

Yudas di kekinian, tidak pernah berhenti untuk membalaskan sakit hati. Bahkan dengan cara yang jauh lebih mumpuni. Menunggangi sains (ilmu pengetahuan). Dapat saudara bayangkan apa jadinya bila manusia merasa mapan dengan sains (ilmu pengetahuan) dan tidak diimbangi dengan iman?

Seiring perkembangan yang begitu pesat, Yudas yang telah berkolaborasi dengan antek-antek setan tidak pernah diam, terus menawarkan pemahaman sainsnya pada manusia untuk tujuan yang berbeda. Bukan untuk memuliakan Tuhan tentu saja.

Yudas modern yang hidup di era digital di zaman sekarang, menjadikan sains (ilmu pengetahuan) semacam “tuhan” tandingan untuk memberontak terhadap Allah. Manusia dijadikannnya mulai tidak lagi merasa dirinya menjadi mahluk yang sama sekali tidak berdaya dihadapan alam. Dengan mengerti cara kerja alam, manusia bisa menyesuaikan diri menghadapi alam dan bahkan memanfaatkan alam untuk keuntungannya.

Demikian pun pemahaman mereka tentang Tuhan. Kepercayaan terhadap sains bahkan akan mencapai titik dimana manusia semakin yakin bahwa dengan sedemikian sempurnanya hukum alam, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa terjadi dengan melanggar hukum-hukum alam. Bahkan Tuhan sekalipun harus tunduk dengan hukum alam.

Pada gilirannya, penjelasan mistis atau mukjizat semakin tidak mendapatkan tempat, itu dianggap hanya untuk yang percaya tahayul, kurang pendidikan dan bahkan bodoh. Oh...oh...oh... Ketika para saintis semakin maju pesat dan mendominasi hampir di berbagai sektor kehidupan seperti sekarang ini, secara tidak sadar sains itu sendiri mulai menggusur Tuhan, bahkan menyalibkan Tuhan!

Dari apa yang kita ketahui dan kita baca, tergusurnya Tuhan oleh sains dapat dilihat dari hasil survey mengenai Tuhan terhadap anggota National Academy of Sciences, organisasi ilmuwan Amerika Serikat. Hasil survey tersebut mengejutkan karena 93% dari ilmuwan tersebut tidak percaya lagi pada Tuhan. Bagi mereka para komplotan Yudas di era digital di zaman ini, Tuhan dan agama hanyalah delusi masyarakat kuno, mempertahankannya hanyalah menjadikan penyakit bagi peradaban manusia.

Bagaimana kira-kira gambaran pemahaman komplotan pada Yudas dan antek-anteknya jika dihubungkan dengan peristiwa perjamuan terakhir atau Jumat Agung yang begitu bermakna bagi kita sebagai umat percaya? Perjamuan terakhir kaum saintis, mereka akan seminar mengupas tuntas, bertanya dengan bangga pada sains (pengetahuan) yang mereka miliki: "Siapa yang akan kami salibkan besok? Tuhan?

Saudara, roti dan anggur yang kita terima dalam sakramen Perjamuan Kudus adalah tanda yang menjadi peringatan. Peringatan akan korban Kristus. Kasih Tuhan yang penuh kasih sayang selalu membuka pintu pengampunan. Bagi setiap hati yang mau kembali penuh kesadaran dalam pertobatan.Tetapi pasti tidak bagi yang menjadikan roti dan anggur laksana jimat murahan. Apalagi yang berlaku seperti Yudas, tetap berkutat pada dosa dan kemunafikan. Duduk semeja dalam perjamuan, namun di hatinya tetap recehan yang lebih berharga dari Tuhan. Amin!




Rabu, 10 April 2019

PERBUATLAH DAN INGATLAH!



Lukas 22:14-23

Ketika tiba saat-Nya, jelang penderiaan dan kematian-Nya untuk tebusan dosa manusia, Yesus makan Paskah bersama para rasul-rasul-Nya. Roti tidak beragi dan anggur dibagikan-Nya kepada para rasul-Nya seraya diberikan-Nya penjelasan tentang makna roti dan anggur tersebut, yang melambangkan tubuh dan darah-Nya sendiri sebagai era baru makna Paskah yang sesungguhnya. Dalam peristiwa itu, satu pesan penting kepada para rasul: “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Ay.19).

Apa yang diperbuat? Apa yang diingat? Perbuat sebagaimana Yesus berbuat. Mengingat bukan sekedar mengingat untuk dilupakan. Tetapi mengingat perbuatan Yesus yang menderita dan mati sebagai tebusan dosa manusia yang dilambangkan dengan roti dan anggur untuk dikerjakan.

Ada tiga perbuatan Yesus pada peristiwa makan Paskah yang harus kita perbuat: “mengucap syukur”, “ambillah” dan “bagikanlah”! Perintah yang dilakukan tersebut menjadi cara hidup serta misi para rasul, gereja atau umat Tuhan di sepanjang zaman. Sekaligus sebuah peringatan untuk menghadirkan kasih Tuhan secara kreatif di realitas kehidupan.

Pertama: “mengucap syukur” (Ay.17).

Ketika Yesus membagikan roti dan anggur sebagai simbol tubuh dan darah-Nya kepada para Rasul, sebelumnya Dia mengucap syukur. Walau Yesus tahu, bahwa si pengkhianat sedang menanti saat yang tepat untuk menghantarkannya untuk dihajar, dicambuk, diludah, dan di paku di tiang salib. Bahkan sudah ada, dan sangat dekat, malah duduk semeja dengan-Nya (Ay.21).
Mengucap syukur dalam konteks ini, adalah suatu kesadaran penuh bahwa apa yang Allah berikan bagi hidup ini adalah baik adanya. Suatu sikap pengakuan penuh penyertaan Allah bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup ini (toh pun harus menderita juga), tetap diyakini sebagai sesuatu yang bermakna, ada tujuan yang mulia, tidak sia-sia!

Sikap yang “mengucap syukur” merupakan kualitas dari hidup umat percaya, pengakuan bahwa setiap pemberian Allah adalah baik adanya, tidak ada yang percuma. Menghadapi berbagai penderitaan dalam hidup tidak langsung drop, stress, atau putus asa seperti orang dunia yang tidak memiliki pegangan serta pengharapan. Bahwa di balik penderitaan sekali pun ada sesuatu yang bermakna. Sebagaimana Yesus memaknai penderitaan-Nya sebagai sesuatu yang berharga bagi tebusan dosa manusia!

Kedua: “ambillah” (Ay.17).

Setelah mengucap syukur atasnya, Yesus berkata kepada para rasul “ambillah”! Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya yang mahal tanpa bayaran. Mengambil adalah tindakan mau menerima pemberian yang diberikan. Pemberian itu tidak murah. Karenanya disebut “anugerah” yang hanya karenanya manusia dapat diselamatkan.

Dalam Alkitab dikatakan: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef.2:8-9).

Ketiga: “bagikanlah” (Ay.17).

“Bagikanlah” adalah suatu perintah. Perintah yang harus kita laksanakan sebagai bukti ketaatan. Perintah untuk menghadirkan kasih Kristus. Anugerah keselamatan yang Allah berikan tentu bukanlah untuk dinikmati sendiri. Untuk selamat sendiri. Tetapi selanjutnya untuk dibagikan bagi yang lain. Kita selaku umat Allah yang telah diselamtkan punya tanggungjawab untuk membagikannya kepada orang lain.

Setiap kali kita ambil bagian dalam sakramen Perjamuan kudus, tidak sekedar kita hanya mengingat kebaikan Kristus yang mati menderita ganti kita. Sekedar meneteskan air mata, kagum atas apa yang diperbuat-Nya, lalu dibumbui embel-embel permohonan amun dosa pribadi atas segala dosa. Lalu pulang dari mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus tak berbekas lagi. Tahun depan akan diingat lagi dalam acara seremonial yang sama, tapi tak berbuahkan apa-apa.

Roti dan anggur yang kita terima dalam sakramen Perjamuan Kudus, menjadi sebuah peringatan akan korban Kristus. Menjadi landasan spirit untuk membagikan kasih Kristus secara kreatif bagi yang lain menjadi “ibadah kehidupan”. Bukan sekedar pengulangan seremonial perjamuan, mengingat sebentar, lalu hilang seiring keluar ibadah melangkah pulang! Amin!

Senin, 01 April 2019

DIA HANYALAH SEORANG PEREMPUAN PENDOSA…..

Yohanes 12:1-8

Menelisik riwayat masa lalunya (walau para penafsir banyak berbeda pendapat soal ini), dia hanyalah perempuan sundal alias pelacur. Dia pernah mau dihukum bunuh, dirajam dengan batu karena dianggap melanggar kesucian Hukum Taurat. Menghadapi itu semua, dia hanya pasrah saja menanti ajal tiba. Seorang perempuan lemah tak berdaya. Namun tidak bagi Yesus! Dia begitu berharga di mata Allah. Yesus membelanya waktu itu, bahkan menganugerahkan pengampunan, memulihkan kepercayaan dirinya untuk dapat menatap masa depan yang penuh harapan (Bdk.Luk.7:37; Yoh.8:1-11).

Ketika mengetahui kehadiran Yesus ke Betania (enam hari sebelum Paskah), dalam rangka menghadiri jamuan yang diadakan oleh Simon Si Kusta untuk Yesus, Maria tak menyia-nyiakan waktunya yang berharga. Bersama saudaranya Martha dan Lazarus, mereka juga menghadirinya. Namun bukan sekedar untuk hadir, tetapi berbuat sesuatu. Sesuatu yang bahkan melebihi kemegahan jamuan yang dilaksanakan oleh Simon Si Kusta untuk Yesus dalam cara yang berbeda! (Ay.2-3).

Apa yang dilakukan Maria? Dia tak mampu menuturkannya dalam jalinan indah kata-kata. Dia hanya mampu melakukan apa yang mampu dia rasa dari kedalam naluri hati seorang wanita. Setengah kati minyak narwastu yang mahal menjadi alat bantu untuk mengungkapkan kekudusan apa yang tak mampu dia katakan.

Rambutnya, yang bagi seorang perempuan Yahudi bermakna mahkota yang mestinya dibungkus dengan kerudung pelindung kesucian, tak dihiraukannya. Rela dia rendahkan serendah-rendahnya hingga kotor rata dengan tanah! Rambutnya, lambang mahkota setiap perempuan Yahudi mereka, rela dijadikannya laksana tisu saja untuk menyeka minyak narwatu mahal yang berbaur dengan linangan air mata di kaki Yesus. Pengganti kata dari kedalaman jiwa yang sudah tak mampu diungkapkannya (Ay.4).

Tak ada lagi yang mampu dia ungkapkan sebagai bukti ketundukan, penghormatan, ketidaklayakan diri, rasa terimakasih atas apa yang telah dia terima, dia rasa, yang menjadikan hidupnya kini sangat berarti. Dia memang tak mungkin sanggup adakan jamuan dalam kemegahan ala Simon si Kusta! Namun di hadapan Tuhan, jamuan yang dilakukannya justru menjadi standar yang Tuhan gunakan. Semakin membuka tirai kemunafikan yang ada, di setiap jamuan ala Simon si Kusta yang hanya pura-pura. Yang bukan untuk memuliakan Tuhan. Tetapi kurang lebih jamuan prestise, soal perut semata!

Di sisi lain, jamuan ala Maria, yang dilakukannya untuk Yesus, justru menjadi alat yang Tuhan gunakan untuk membuka tabir setiap manusia yang berpikiran jahat. Dan benar saja, tak lama berselang. Salah seorang murid Yesus bernama Yudas Iskariot buka suara menanggapi apa yang dilakukan Maria. Tanggapannya memang manis, namun di baliknya semakin nyata pikiran korup memenuhi otaknya! Selama ini terungkap perbuatan sering mencuri uang kas yang dipegangnya (Ay.6).

Dia hanyalah seorang perempuan pendosa. Tentu dipandang rendah di mata masyarakat atau dianggap “sampah” masyarakat sekitarnya. Semua orang menjauhi, mencibir, mencemooh, dan bahkan mengucilkannya. Kebanyakan orang memang begitu mudah menghakimi sesamanya karena merasa diri lebih baik dan lebih benar. Namun satu hal, Maria ingin melakukan yang terbaik bagi Yesus sebagai ungkapan terimakasih yang tak terhingga, yang telah membaharui hidupnya. Hanya dia sendiri sebagai pelaku yang paling mengerti apa yang diperbuatnya. Hanya itu yang dia tahu. Hanya itu yang dia rasa.....

Lidah Ludahi Tubuh, Menyingkap Malu Rapuh
Malam Beku, Perawan Subuh Terengkuh
Purnama Kesatu, Sebelum Janji Diteguh
Keluh Kemaluan Keluar Suara Lenguh

Hari Penuh Peluh, Layu
Menanti Dalam Rentang Waktu
Dan Hari Terus Lalu, Lupa Kau, Dengan Hari Tanpa Tuju
Terpojok Di Sudut Pilu, Rongga Dada Bergelantung Debu

Tiba Saatmu, Kau, Pelacur Hancurkan Kalbu Batu
Jiwa Berteriak Dalam Raga Yang Dungu
Air Mata Dari Dada Yang Lepuh
Menyeka Jejak Yang Akan Kau Tempuh

Kau, Magdalena Perempuan Patuh
Setitik Mur Kau Jatuhkan Di Tapak Tuhanmu
Bercampur Air Mata Pengakuan Penuh Haru
Diseka Seribu Urat Rambut Yang Tertunduk
Magdalena, Kau Bukan Perempuan Terkutuk

Hanya Tuhan sendiri yang paling tahu menangkap maknanya, sekaligus memberikan maknanya, memberikan penilaian, menolak atau menerimanya. Amin!


PERUMPAMAAN TENTANG SI KOMUNIS YANG DIVONIS MASUK


Lukas 15:11-32

Alkisah (ini hanya kisah inspiratif saja), di depan pengadilan pintu Sorga, terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan! Betapa tidak, karena yang terjadi justru diluar dugaan rata-rata kita. Si “Komunis” divonis masuk sorga, sedangkan seorang “Anak Tuhan” divonis masuk neraka! Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa sampai terjadi demikian? Seorang yang selama hidupnya di dunia mengaku sebagai “Anak Tuhan” ini, tentu saja protes sama Tuhan! Apa alasan Tuhan menjatuhkan vonis yang demikian?

Inilah beberapa alasannya. Tuhan menjelaskan kepadanya: “Selama hidupmu di dunia engkau sangat menyusahkan Aku! Sedikit-sedikit, lapor sama Aku. Mulai dari bangun pagi hingga tidur malam minta didampingi. Habis uang, habis beras, mau ujian, bisnis, makan, minta diberkati. Bahkan untuk kekasihmu yang di seberang sana, juga kau minta Aku yang melindungi. Padahal engkau hanya sibuk menghabiskan waktu keseharianmu main gadget melulu!”

Tuhan masih melanjutkan alasan: “Bahkan ketika engkau mati karena kolesterol, engkau katakan karena atas kehendak-Ku. Padahal nafsu rakusmu yang mengakibatkan kematianmu. Doyan makan melulu, hingga prioritas korban syukurmu ludes hanya untuk urusan perutmu! Padahal dokter sudah berkali-kali memperingatkanmu. Sungguh, Aku jadi pusing gara-gara kamu, jadi masalah setiap waktu. Bahkan Aku tidak habis pikir, selama hidup di dunia, engkau selalu mengaku-ngaku sebagai “Anak Tuhan”, Padahal, sedikit pun tak ada kemiripan dengan Aku.”

Si “Anak Tuhan” tetap tidak bisa terima. Dia naik banding ajukan gugatan keberatan! Dia berkata: “Tapi aku kan percaya sama Tuhan. Sedangkan si Komunis itu tidak percaya sama Tuhan!” Tuhan menjawab: ”Benar si komonis ini tak percaya selama hidupnya. Tetapi setelah Aku jelaskan di sini bahwa Aku-lah Tuhan, dia langsung percaya, tak ada neko-neko. Selama di dunia dia tidak pernah menyusahkan Aku. Tidak pernah macam-macam! Beda dengan kamu ini, sejak lahir hingga matimu, hanya setengah-setengah percaya. Pura-pura percaya. Itupun percaya ketika ada mujizat. Begitu mengalami masalah, kamu lari ke dukun! Percayamu plin-plan!”

Saudara, entah berapa banyak dari kita yang mengaku-ngaku sebagai “Anak Tuhan”, tapi sikap hidupnya tidak mencerminkan sikap selayaknya sebagai “Anak Tuhan”? Kita memang tidak sampai “terhilang”; kita tetap ke gereja, aktif dalam pelayanan, pendeknya kita adalah orang baik-baik, tidak pernah terjerumus dalam “kemabukan duniawi”. Tetapi, kita hidup dalam ketidaktulusan! Kita melakukan semua kebaikan itu dengan pamrih memperoleh “upah”. Kita merasa lebih layak, lebih baik. Diam-diam kita telah menjadi hakim atas sesama kita.

Ketika ada “pendosa” yang bertobat dan kemudian mendapat pengasihan Tuhan, kita protes laksana anak sulung: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku,” (ay.29), begitu protes si sulung kepada ayahnya. Tidak tulus, bersungut-sungut, cari perhatian.Tidak senang bila ada orang yang diselamatkan Tuhan. Senang bila melihat orang ditendang sama Tuhan!

Entah berapa banyak pula dari kita yang doyan jadi “Si Bungsu” (namun beda konteks dari nas ini). Aji mumpung, melakukan bermacam dosa sebelum bertobat. Dengan anggapan nanti kalau bertobat, pasti diampuni Tuhan. Tapi jangan kira pertobatan yang hanya sebatas permainan kata, Allah lalu terkecoh, mudah dibodohi untuk memenuhi keinginan kita! Allah tetaplah Allah, Bapa yang Maha bijaksana. Bapa yang tahu persis mementukan standar, mana yang main-main, mana yang memang sungguh-sungguh bertobat! Anugerah Allah tidak pernah murah, celakalah bagi yang main-main dan menjadikannya murah! Persoalannya bukanlah si anak sulung atau si anak bungsu yang paling menentukan, tetapi adakah pertobatan yang sungguh-sungguh? Karena itu bertobatlah! Amin!