Filipi 4:2-9
Saya tidak tahu andai kata suatu saat anda ditawarkan sebuah barang
dengan mutu rombeng tapi dengan harga yang selangit. Harga sama, bahkan
lebih mahal dari barang berkualitas. Anda berminat? Oh…oh…oh…! Bukankah
yang rasional pada umumnya bahwa yang rombeng, barang bekas, lebih murah
dari yang berkualitas? Bukankah wajar bila yang berkualitas lebih mahal
dari yang rombeng? Dapatkah anda bayangkan bila orang berkelas, koq
memakai baran rombeng? Gengsi dong? Di sisi lain, demikian pun para
penjaja barang, tentu bersaing untuk menampilkan barang-barang terabik
mereka dengan tujuan agar nilai jual melambung tinggi! Itu wajar semata!
Dengan mutu berkualitas si pembeli pun merasa puas, berapa pun harganya
akan dibayar walau isi dompet habis terkuras!
Oh, saudara….
Bukan hanya di dunia bisnis, tetapi hampir di berbagai aktivitas
kehidupan prisif ini berlaku. Lihat saja di sekolah-sekolah, bukankan
para murid yang akan diterima harus memenuhi standar tertentu? Bukankan
itu juga menyangkut kualitas? Mau jadi CPNS? Oh, anda juga pasti di tes!
Bukankah itu juga artinya masalah kualitas? Lalu tentang gereja? Apakah
menurut saudara tidak hubungannya dengan masalah kualitas? Bukankah
sering kita dengar orang menuntut pelayanan yang berkualitas? Khotbah
yang berkualitas, ibadah yang berkualitas, ya pokoknya yang serba oke,
serba berkualitas? Tidak heran bila banyak juga gereja melakukan
berbagai renovasi maupun pembenahan di berbagai bidang, baik dari sarana
pisik, sarana penunjang, bentuk ibadah , strategi, keuangan, hingga
soal teologis. Sebab, bila tidak menarik, siapa yang tertarik?
Siapa yang tertarik, bila misalkan para pengurusnya sendiri
gontok-gontokan? Bagaimana mungkin Gereja menyaksikan kebenaran Injil
Kristus di tengah dunia, bila fakta menunjukkan bahwa di dalamnya
sendiri terjadi konflik? Bagaimana kehidupan persekutuan dapat teratur,
bila orang-orang yang seharusnya jadi pengatur malah cenderung susah
diatur? Bagaimana mungkin warga jemaat mendengarkan kebenaran firman dan
bersatu bila yang seharusnya menjadi panutan, justru menjadi pemicu
konflik dan perpecahan? Akibatnya tentu saja pertumbuhan jemaat menjadi
terhambat. Sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang percaya akan
pemerintahan Kristus atas Gereja-Nya, konflik tidak semestinya terjadi.
Tapi di sinilah titik persoalannya. Apa itu? Apalagi kalau bukan
kurangnya rasa rendah hati dan semangat bersekutu dalam jemaat.
Seorang wartawan pernah bertanya kepada penginjil ternana D.L. Moody,
orang mana yang memberi kesulitan paling besar dalam pelayanannya. Moody
menjawab seketika, "Saya mempunyai kesulitan paling banyak dengan D.L.
Moody dibandingkan dengan orang-orang mana pun yang masih hidup."
Pernyataan Moody menggarisbawahi bahwa problem terbesar kita ternyata
bukanlah setan dan anak buahnya. Mereka sudah dikalahkan oleh Tuhan
Yesus di kayu salib. Problem terbesar kita tidak lain adalah diri
sendiri. Sekalipun kita sudah percaya kepada Yesus, sifat kedagingan
manusia yang berpusat pada diri sendiri dan egois itu masih melekat.
Keakuan bahkan sering masih sangat kuat. Ketidakserasian hubungan,
apalagi itu terjadi di antara para aktivis seperti Euodia dan Sintikhe,
adalah hal yang tidak baik dibiarkan. Kita perlu waspada jika ada
kecenderungan untuk mati-matian menjunjung gengsi.
Kita perlu
waspada jika selalu berusaha keras agar setiap orang menghormati kita
dan tidak ada yang meremehkan kita. Karena tanpa kita sadari, sikap
semacam itu malah memperkuat keangkuhan dan kesombongan. Sederet masalah
lain akan mengikutinya, seperti tidak mau ditegur, tidak mau
mengampuni, dan merasa diri paling benar. Inilah keakuan yang perlu kita
taklukan di dalam kehidupan kita. Inilah kondisi yang perlu kita
waspadai agar tidak membelenggu hati kita. Sebelum orang bisa sepikir
didalam Tuhan, maka sehati dan setujuan tentu tak pernah terwujud
menjadi kenyataan!
Seperti juga yang kita ketahui, Mahatma
Gandhi sendiri tidak pernah menjadi orang kristiani. Apa penyebabnya?
Ya, tentu saja kalau bukan dari apa yang dilihatnya bahwa kehidupan
Kristen itu justru tidak lebih baik dari yang lain. Bahkan ia pernah
membuat pernyataan bahwa kita, para pengikut Yesus, seharusnya
memikirkan hidup dengan baik. Ketika diminta untuk menyampaikan pesan
pendek, ia menjawab, “Hidupku adalah kesaksianku.” Oh…oh…oh…! Rupanya
kita juga perlu diajar atau belajar dari yang diluar kekristenan? Ya,
itu perlu! Tak perlu malu-malu! Kita perlu rendah hati mengkoreksi diri
seperti yang diungkapkan oleh Gandhi tersebut. Bila cara hidup
kekristenan tidak jauh lebih baik dari yang lain, siapa yang tertarik?
Sebagai Gereja atau selaku orang percaya, kita memang perlu menjelaskan
pesan Injil sejelas mungkin. Namun, penjelasan yang paling jelas
sekalipun tidak akan memenangkan hati banyak orang, bila kasih Kristus
tidak menyatu dalam hidup kita terlebih dahulu.
Dalam nas ini
Paulus menyampaikan sekaligus mengingatkan visi pelayanan Gereja, bahwa
Injil Kristus yang kita perjuangkan adalah Injil yang di dalamnya ada
nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra,
dan belas kasihan. Rupanya di jemaat Filipi juga terjadi konflik, malah
konflik antar pengurus Gereja. Orang-orang terpandang di persekutuan,
antara Euodia dan Sintikhe. Euodia dan Sintikhe adalah dua orang
perempuan yang terlibat dalam jemaat dan menjabat sebagai Diaken.
Rupanya di antara keduanya sering terjadi perselisihan yang
dikhawatirkan akan merusak persekutuan di antara anggota jemaat di
Filipi. oh, ironis memang. Semoga hal yang demikian tidak terjadi di
tempat Anda.
Paulus meminta kepada mereka untuk menunjukan
sikap rendah hati dan juga kepada semua pihak yang terkait dengan
perselisihan kedua perempuan tersebut agar segera menyelesaikan
persoalan yang ada. Sikap mementingkan diri sendiri, acuh tak acuh,
angkuh, yang hanya akan mendatangkan perpecahan, pertikaian,
pertengkaran, perceraian, dlsb. Singkirkanlah itu! Ketidakcocokan
ajaran, konflik antar pemimpin, pertikaian antar ras, pertentangan
konsep, dlsb. tidak jarang mengakibatkan warga jemaat jadi
kocar-kacir, kebingungan mencari ajaran yang paling pasti, yang paling
benar, dan yang paling teratur.
Dalam dunia ini perbedaan
pendapat pasti selalu ada, bukan barang baru. Kalau ada 10 kepala,
biasanya juga akan ada 10 pemikiran. Banyak hal yang bisa membuat
perbedaan pikiran atau pendapat. Biasanya hal itu terjadi karena
perbedaan pandangan. Yang satu barangkali berpikir begini, yang lain
barangkali begitu. Yang satu berpikir dari sudut pandang rohani, yang
lain mungkin dari sudut pandang jasmani. Atau bisa jadi karena
perbedaan tradisi, golongan, pendidikan, kepentingan dll. Masalah memang
selalu ada. Beda pandangan memang selalu kita hadapi dimana saja. Dalam
keluarga, di kantor, di organisasi, bahkan juga dalam persekutuan.
Masalah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dan diselesaikan.
Jadi, mengapa harus takut menghadapi sebuah perbedaan kalau justru
perbedaan itu akan membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik untuk
sebuah kebersamaan? Hanya saja, bersikaplah cerdas, jangan sampai
masalah yang kecil justru menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Jika perilaku tidak selaras dengan pengakuan iman, maka
ketidakselarasan itu akan menghapuskan kesaksian Injil yang kita
sampaikan. Untuk membangun keserasian atau keharmonisan tentu
dibutuhkan keterbukaan pribadi untuk sehati sepikir dalam Tuhan Yesus
Kristus. Apa dasarnya? Ya, tentu saja seperti kata nasihat Rasul Paulus,
milikilah “damai sejahtera Kristus yg melampaui akal untuk memelihara
hati dan pikiran” (ay.7). Ya, hanya dengan demikian orang dapat
mengungkapkan kebaikan hatinya dalam berbagai aktivitas tindakan. Itulah
dasar orang dapat menaikan syukur. Itulah kunci melalui mana orang
dapat berpikir positif, hidup rendah hati, sehati dan setujuan! Ya,
itulah kehidupan gereja yang tentu Allah berkenan. Kehidupan persekutuan
yang berkualitas. Gereja dengan kesaksian kehidupan yang menarik.
Membuat banyak yang tertarik. Bukan sebaliknya, ibarat mutu rombeng
harga selangit! Amin!