Kamis, 14 Mei 2015
BERJUANG HINGGA GARIS AKHIR
Filipi 1:27-30
Zoe Koplowitz, wanita berusia 59 tahun, setiap tahun mengikuti lomba lari maraton di New York. Ia selalu menjadi peserta terakhir yang tiba di finis. Tahun sebelumnya, juara pertama mencatat waktu 2 jam 9 menit. Zoe? 28 jam 45 menit! Harap maklum; Zoe lumpuh sejak 30 tahun lalu. Ia hanya bisa berjalan tertatih dengan dua tongkat penyangganya. Zoe ikut lomba bukan untuk menjadi juara. Ia ingin membuktikan bahwa kelumpuhan tak membuatnya berhenti berjuang. Buktinya? Walau susah payah, ia selalu mencapai finis!
Hidup kristiani ibarat lomba lari. Kita harus memelihara iman sampai akhir. Di akhir hidupnya, Paulus berkata mantap bahwa ia telah berhasil mencapai garis akhir. Apa rahasianya? Paulus menekankan perlunya 3 hal: penguasaan diri, kesabaran menderita, dan ketekunan menjalankan panggilan Tuhan dalam situasi dan kondisi apa pun. Ibarat lomba lari, semua atlet bersemangat ketika berangkat dari titik start. Titik kritis terjadi saat masalah menghadang. Kelelahan, kepanasan, dan kehausan menggoda untuk berhenti. Hanya mereka yang terus berjuang sambil sabar menanggung ketidaknyamanan, akan tiba di garis akhir.
Saudara, bagi sebagian besar orang menderita berarti tidak bahagia, tidak disayang Tuhan dan nasib sial. Bagi orang lain penderitaan adalah cara untuk memurnikan diri untuk dapat menikmati surga mulia kelak. Bagi Paulus, kedua anggapan itu tidak tepat. Penderitaan demi Kristus adalah karunia (ayat 29). Paulus sadar panggilan untuk menderita demi Kristus adalah panggilan mulia. Ia mendorong jemaat Filipi untuk tetap hidup sepadan dengan Injil (ayat 27) dan tiada gentar akan musuh-musuh yang akan menyerang mereka (ayat 28) walaupun menghadapi resiko sama seperti yang sedang dihadapi Paulus saat itu. Mengapa demikian?
Pertama, adalah kehormatan bila seseorang menderita bagi Kristus karena itu berarti ia dipercaya untuk memikul salib dan mengikut Dia. Penderitaan menjadi suatu karunia sebab penderitaan itu karena melayani Dia yang telah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.
Kedua, penderitaan mempersatukan Kristen. Bukan hanya berpegang pada prinsip Alkitab mempersatukan umat melalui disiplin ilahi, kenyataan hidup kita juga mempersatukan saat-saat Kristen menghadapi penganiayaan untuk menyangkal imannya, saat-saat itulah persekutuan doa dimulai. Saat-saat itulah Kristen saling menolong dan saling menguatkan.
Ketiga, penderitaan merupakan latihan iman. Dengan melatih diri setia walaupun menderita, tetap melayani walaupun sakit, iman menjadi kuat dan tangguh. Tuhan dapat memakai kita untuk menjadi berkat bagi orang lain.
Keempat, penderitaan beroleh makna baru. Bagi orang tidak beriman, penderitaan demi Injil adalah kekalahan. Bagi orang beriman, penderitaan demi Injil justru merupakan tanda keselamatan Allah sedang berlaku. Allah menyertai hamba-hamba-Nya dan menyelamatkan orang lain melalui penderitaan para hamba-Nya itu (ayat 28).
Penderitaan bukan semata bagian yang tak terelakkan dalam hidup ini. Penderitaan demi Kristus adalah panggilan bahkan karunia mulia yang patut kita sambut dari-Nya dalam hidup ini. Dalam perjuangan iman bisa jadi banyak masalah menghadang,sehingga mengikut Yesus tak lagi gampang. Godaan dunia begitu memikat. Tawaran untuk menikmati kesuksesan semu atau memuaskan nafsu bisa membuat Anda keluar jalur. Banyak orang dengan mudah meninggalkan gereja hanya karena alasan yang kekanak-kanakan. Hanya sekedar mencari “apa yang saya butuhkan”. Atau hanya karena merasa di gerejanya kurang ini dan itu. Tetapi sedikit yang berani berkorban demi kemajuan.
Saudara, asam garam perjuangan kehidupan telah dirasa. Pahit getir hidup bergereja telah bersama kita lalui. Karenanya jadilah warga gereja yang matang soal iman. Jangan mudah diombang-ambingkan orang. Atau hanya pandai menuntut atau hanya menyalahkan mencari kelemahan. Tapi mari tunjukkanlah kemampuan sebagai orang yang telah dewasa dalam iman, untuk berbuat secara kreatif demi kemajuan.Teruslah berjuang, bertahanlah sampai akhir. Jangan sampai kehilangan mahkota kebenaran kekal, hanya karena lalai berjuang dalam hidup yang singkat ini. Untuk menjadi pemenang, yang paling dibutuhkan ialah semangan juang. AMIN!
PERSEMBAHAN: BELAJAR MEMBERI DARI KEKURANGAN
Markus 12:41-44
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Dan memang, di setiap ibadah-ibadah yang kita ikuti, “persembahan” merupakan salah satu bagian dari unsur tata ibadah yang ada. Bila kita mempelajari dari Alkitab sendiri, rupanya persembahan juga memang telah dilakukan sejak manusia pertama ada. Seperti yang dilakukan Kain dan Habil yang tercatat dalam kitab Kejadian 4:3-5. Dalam kehidupan bangsa Israel sendiri , persembahan merupakan sesuatu yang tidak asing. Karenanya tidak heran bila di rumah-rumah ibadah Israel disiapkanlah peti persembahan.
Berbicara lebih jauh tentang persembahan saudara, tentu ada banyak versi pemikiran. Juga dalam praktek-praktek nyata yang diperlihatkan. Ada yang mengatakan bahwa persembahan itu, yang penting ketulusan hatinya, jumlahnya tidaklah yang menentukan. Karenanya tidak heran, bila sejak Sekolah Hari Minggu, ketika kantong persembahan diedarkan, diiringi dengan nyanyian: “Persembahan kami sedikit sekali... Kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati......”
Tidak kurang, bagaimana praktek ketika uang persembahan dipersiapkan sebelum disampaikan ke kantong-kantong persembahan? Oh, dari rumah sudah dicari mana uang recehan. Atau bila dianggap nilai nominalnya agak besar maka ditukar terlebih dahulu di kios-kios terdekat. Beli korek api atau rokok terlebih dahulu umpama, sehingga tukaran uang recehan itu dapat dibagi-bagi nantinya sesuai dengan jumlah kantong yang disediakan.
Lalu ketika persembahan dimasukan ke kantong-kantong persembahan? Ada yang beranggapan, bahwa ketika menyampaikan persembahan, bila tangan kananmu memberi maka jangan sampai diketahui tangan yang kiri. Ada ayatnya kata mereka untuk membenarkan diri, dengan penafsiran yang dibuat sendiri. Makanya ketika menyampaikan persembahan tidak jarang disampaikan secara “karupet” (istilah bahasa Ngaju: uang yang digenggam erat hingga sampai kumal), ketika dimasukan ke kantong persembahan. Tidak kurang, untuk memberikan motivasi kepada umat dalam soal memberi, diberikan semacam iming-iming, “siapa banyak memberi, maka Allah akan melipatgandakannya, ada yang lima kali ganda, sepuluh kali ganda, bahkan seratus kali ganda”. Bahkan juga hingga dibuat lagunya.
Lalu ketika seolah-olah Allah belum melipatgandakannya? Nah...nah...nah... Maka terjadilah kecewa. Pada kali persembahan berikutnya, nilai nominalnya dikurangi juga. Bila hati sedang tulus, berkatnya melimpah persembahan tulus dan mulus! Bila sedang berat hati atau kecewa, oh.... persembahan kami sedikit sekali, kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati.....” Kan sukarela katanya, tak ada yang memaksa ?! karenanya tidak heran, orang rela kehilangan ratusan ribu rupiah untuk bersenang-senang, ada yang mabuk-mabukan segala macam, atau rela keluarkan jutaan rupiah untuk urusan dunia di meja judi umpama, karena rasa-rasanya hasilnya bisa terasa segera. Kalau persembahan? Oh, entah kapan Tuhan mengembalikannya. Apalagi yang berlipat-lipat ganda katanya!?
Pada suatu kali, seorang bapak seusai ibadah minggu di gereja merasa kecewa. Karena itu ia mengusulkan supaya nas pengantar persembahan yang ada itu dirobah. Karena setiap kali mengikuti kebaktian, begitu katanya, hatinya selalu gundah gulana, ketika nas persembahan dibaca, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9:6). Kan katanya, bagaimana saya bisa mendapat berkat yang banyak dari Allah, sementara persembahan saya sedikit ketimbang orang lain, soalnya saya memang miskin, tak sengaja memberi yang sedikit. Wah...wah..wah... berani-beraninya bapak ini mau merobah isi ayat Alkitab, karena motivasi yang keliru soal persembahan. Sangkanya dengan memberi banyak otomatis Alla memberinya lebih banyak lagi, segala penyakit akan sembuh, bebas dari segala masalah. Ya, seperti uang sogokan kepada Allah kurang lebihnya. Itu yang dimengertinya.
“Persembahan” .....! Karena sudah terlalu biasa, maka maknanya pun semakin tidak jelas. Jadilah salah kaprah sesuai dengan pemahaman masing-masing, selera masing-masing. Dan dalam rapat-rapat Majelis kekerejaan kita, yang dibicarakan tidak lebih sekedar masalah teknis, berapa jumlah kantong persembahan yang akan diedarkan. Pada suatu kali, seorang Hamba Tuhan yang telah purna bhakti alias pensiun pernah bersaksi, bahwa ia merasa bangga karena selama melaksanakan tugas tidak pernah menyinggung-nyinggung jemaat masalah persembahan. Makanya disenangi oleh umat.
Hamba Tuhan yang satu ini memang bukan seorang hamba uang, dan memang perlu menjadi teladan bagi para hamba-hamba Tuhan jonior. Ia memang disukai oleh umat, karena memang tidak pernah menyinggung soal tanggungjawab, beban berat, soal persembahan yang benar, selaku pengikut Kristus. Hanya sayang, karena bisa jadi dalam penilaian Tuhan justru berbeda, menjadi hamba yang tidak setia karena membiarkan umat mempraktekkan cara persembahan yang tidak berkenan kepada Tuhan (bdk. Maleakhi pasal 2 dan 3).
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan! Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal persembahan juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).
Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karena hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Itu dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!
Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah persembahan! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Demikian pun seperti yang dilakukan oleh seorang janda miskin seperti dalam nas ini. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Bdk. juga Luk. 21:1-4).
Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.
Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?
Tapi dalam nas ini, nyata-nyata Yesus juga memperhatikan jumlah pemberian dalam persembahan, baik para orang kaya, juga seorang janda miskin. Demikian juga, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).
Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahannya yang berkualitas kepada Allah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.
Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati kita. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.
Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terbaik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).
Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki rasa kesungguhan hormat kepada Allah, dan memiliki ketulusan hati yang sungguh-sungguh saja yang dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih kita kepada Tuhan. AMIN. *
Kamis, 07 Mei 2015
MENGEMBANGKAN POTENSI POSITIF DALAM DIRI
Efesus 4:17-32
Manusia adalah makhluk paling istimewa ketimbang makhluk lainnya. Apa istimewanya? Alkitab sendiri menyaksikan: “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Maz. 8:5-6). Oh…..fantastis….. diciptakan hampir sama seperti Allah, dimahkotai dengan kemuliaan dan kehormatan. Oh, luar biasa…. Karenanya tidak heran bila dikatakan bahwa makhluk yang bernama “manusia” itu adalah makhlu yang mulia. Berbeda dari makhluk lainnya. Kucing, ayam, singa, atau buaya umpama.
Lalu, apa sih yang menjadikan manusia itu lebih mulia dari makhluk lainnya? Oh. Luar biasa saudara. Menurut para ahli otaknya saja luar biasa! Otak manusia lebih canggih dari komputer. Bayi yang baru lahir saja memiliki 100 miliyar sel otak yang aktif. Sel otak ini akan terus bekembang menjadi bermiliyar-miliyar sel aktif dalam otak manusia. Sedangkan setiap sel dapat membuat jaringan dengan kecepatan 20.000 sambungan setiap detik. Proses pembentukan sambungan pada otak terjadi dengan sangat cepat yakni 26 kali lebih cepat dari pembentukan jaringan pada komputer. Pantas saja bila “manusia” itu disebut-sebut sebagai mahkota ciptaan Allah. Dia bias berpikir. Dia bias membedakan mana yang baik atau buruk, mana pintu sorga, atau mana pintu sorga.
Lalu tentang tubuhnya? Oh, bukan sekedar diciptakan cantik atau tampan! Menurut Slamet Wiyono (2006:38) potensi diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh manusia sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila dibandingkan dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainya, seperti binatang, malaikat, atau iblis atau setan. Bahkan Firman Tuhan katakana bahwa itu adalah adalah Bait Allah itu sendiri: 1 Korintus 3 : 16 3:16 “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1 Korintus 3:16). Oh, sungguh mengagumkan. Pantas bila makhluk yang bernama “manusia” itu disebut makhluk yang “ber-Tuhan” alias mengenal Tuhan, mengenal kehendak Tuhan. Berbeda dengan makhluk lain, yang kerjanya hanya kerja sekedar cari makan, makan, makan. Bukan cari Tuhan.Kita manusia macam apa bila tidak bisa mensyukurinya!
Manusia, oh “manusia”….memang luar biasa. Dia juga secara special memiliki potensi Spiritual. Danah Zohar penggagas istilah tehnis SQ(dalam Dwi Sunar P, 2010: 14) mengatakan bahwa IQ bekerja untuk melihat keluar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang didalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi “pusat diri”. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Pokok dari SQ adalah kemampuan seseorang untuk memahami keberadaan Tuhan, memahami hakikat diri secara utuh, hakikat dibalik realitas, membedakan yang benar dan yang salah serta kemampuan memaknai bahwa kehadiran kita entah profesi atau status kita mampu membuat orang lain merasa dihargai dan mempunyai penghargaan.
Nah, lalu berikutnya bagaimana tentang kehidupan sosialnya? Bila hidup bersama orang lain? Ternyata makhluk yang bernama “manusia” itu juga memiliki potensi sosial yang besar, memiliki kapasitas menyesuaikan diri dan mempengaruhi orang lain. Kemampuan menyesuaikan diri dan mempengaruhi orang lain didasari kemampuan belajarnya, baik dalam dataran pengetahuan maupun ketrampilan. Oh, pantas ia berbeda dari binatang, singa umpama, yang tahunya hanya hukum rimba. Saling memangsa untuk mempertahankan diri, dan sekedar hidup untuk makan. Bukan kaidah-kaidah hukum sosial, saling menghormati, menjaga perasaan, saling berbagi, perduli, juga cari sorga segala macam! “Manusia” memang makhluk luar biasa. Karenanya ia berbeda bak langit dan bumi dengan makhluk lainya, dengan binatang tentu saja!
Tapi sayangnya (maaf), bukankah katanya bahwa makhluk yang bernama “manusia” itu mempunyai akal budi dan mestinya tau memilih apa yang baik dan buruk, benar dan salah? Bahkan (seharusnya) tahu persis soal mana yang kutuk mana yang berkat?! Hanya sayang, dalam kenyataanya banyak juga kasus kehidupan memperlihatkan bahwa manusia sering salah pilih, salah jalan! Apa umpama? Nah ini, saudara pasti tahu bahwa spiritus bukan untuk diminum, tapi malah banyak juga manusia yang sengaja meminumnya untuk aplosan! Anda juga pasti tahu bahwa obat antalgin boleh diminum dalam dosis tertentu sesuai aturan. Tapi bila dimunum 20 biji sekaligus dicampur Extra Jos tentu bisa mampus. Tapi banyak juga yang melakukannya dengan sengaja! Entah oleh yang muda atau tua, oleh yang berpendidikan atau bukan. Ada apa sih dengan makhluk yang bernama “Manusia” ini yang katanya makhluk mulia?
Masih tentang makhluk yang bernama “manusia”. Bukankah semestinya ia punya perasaan, peka terhadap keadaan, lingkungan, dan sesama? Tapi ironisnya justru sering mati rasa, malah melukai perasaan, saling menjatuhkan, merampas milik orang lain, bahkan kayak Dracula haus darah membantai sesamanya atas nama alasan dan tujuan segala?! Celakanya malah ada yang mengatasnamakan Tuhan dan Agama? Manusia oh manusia.....ckckckckckck..... Ada apa sih sebenarnya tentang makhluk yang bernama “manusia” ?! Oh, iya…. Bila dalam hatinya penuh kecemburuan terhadap kelebihan orang lain, kerjanya hanya jadi tukang kritik dan menjatuhkan orang, tidak kurang dari mulutnya hanya keluar kata-kata yang kotor saja, mempersulit urusan, suka mengambil milik orang (termasuk milik gereja?), cara hidupnya hanya membuat Allah berduka, masih pantaskah ia disebut sebagai “manusia”? terlebih, pantaskah ia disebut sebagai umat Pilihan, orang beriman? “Manusia” adalah makhluk terhormat dan mulia! Apakah predikat itu tetap melekat pada diri kita? Bagaimana dengan Anda dan saya? Amin!
Selasa, 05 Mei 2015
BILA "AMBISI" MENJELMA JADI "AMBISIUS"
II Samuel 18:19-33
“Absalom”... itu adalah nama sosok seorang muda yang luar biasa. Seorang muda yang sempurna. Maklum, ia anak keturunan raja. Bukan anak raja sembarangan, sebab Daud nama bapaknya! Absalom, wuuiii..... ! Bahkan Alkitab sendiri mengatakan bahwa di seluruh Israel tidak ada yang seperti dia. Ia begitu dipuji. Bayangkan saudara: “Dari telapak kakinya sampai ujung kepalanya tidak ada yang cacat padanya.” (psl. 14:25-26). Oh, luar biasa! Dan bukan hanya itu saudara. Bukan hanya kegantengannya, berbadan tegap, berwajah keras, tapi juga berwatak tegas! Karakter yang luar biasa!
Tidak hanya itu, karena ia juga memiliki semacam kemampuan mengambil simpatisan orang. Tentu saja karena sikap keramahan dan kebijaksanaannya. Sebab bila tidak, mana mungkin ia bisa mencuri hati banyak orang Israel menjadi pemuja dan pengikutnya! Mungkin Anda bertanya, apakah Absalom seorang ahli politik juga? Oh saudara, janganlah kita meragukan kemampuannya di bidang yang satu ini! Ia juga seorang yang pandai melihat peluang dan kesempatan, juga memanfaatkan keadaan. Ya, begitulah biasanyanya orang politik! Bayangkan saja bagaimana Absalom memperhatikan (dan sekaligus memanfaatkan) situasi yang ada. Memanfaatkan persoalan-persoalan sosial rakyat kecil. Ia mengambil kebijakan-kebijakan yang membantu dan menarik simpati mereka.
Absalom, oh seorang sosok yang luar biasa. Sosok yang sempurna, dari segala segi. Baik fisik ,sikap, dan kemampuannya. Bahkan kekuatan politiknya. Segala rencananya seolah tak ada rintangan untuk diraihnya. Musuh-musuhnya seolah berlutut di kakinya. Bayangkan, bagaimana ia berani membakar ladang Yoab, panglima perang rajanya. Bahkan Daud, sang raja (yang juga bapak kandungnya) sendiri pun lari terbirit-biri ke tempat pengungsian melarikan diri.
Absalom, oh... begitu sempurna. Begitu dikjaya! Ibarat perpaduan kegantengan Kenny G, keganasan Bronson atau Jamens Bon. Juga dilengkapi kebijaksanaan semacam dokter Gillespie dalam filem seri dokter Kildare! Karenanya tidak heran bila tive manusia sempurna semacam Absalom juga punya ambisi yang luar biasa. Tidak tanggung-tanggung. Ingin jadi penguasa. Ingin naik takhta. Ingin jadi raja. Salahkan? Salahkah bila manusia atau kita punya ambisi? Bukankah Presiden pertama kita Bung Karno pernah berujar: “Kejarlah cdita-citamu setinggi bintang di langit”?
Menyinggung masalah ambisi, saudara. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan yang namanya “ambisi”. Manusia yang tidak punya ambisi sebenarnya adalah manusia yang tidak tahu apa tujuan hidupnya, apa yang mau dicapainya. Ya, asal hidup! Ya pasrah apa adanya. Bisa jadi pasrah menyerah tak sanggup menjalani hidup, lalu ingin cepat-cepat masuk ke pintu kubur. Ambisi, bila hanya sebatas normal, ya baik saja. Yang juga sebenarnya kita perlukan dalam hidup menghadapi berbagai rintangan hingga akhirnya berkemenangan sampai ke cita-cita luhur yang diharapkan.
Ambisi, bisa juga menjadi bencana! Kenapa? Nah, inilah persoalannya! Dan memang, banyak manusia terjerat dalam lingkarannya! Juga bila tidak diwaspadai, keserakahan adalah saudara kembarnya! Akibatnya menghalalkan segala cara, melakukan apa saja untuk meraihnya. “Ambisi” lalu berobah menjadi “ambisius”. Ya embel-embel akhiran “us” di belakang ambisi, ini yang banyak menjatuhkan orang. Lihatlah Absalom dalam cerita nas ini. Bahkan ia begitu tega mau menggulingkan takhta raja, Daud, ayah kandungnya sendiri. Bukan dengan cara yang biasa. Tapi mau membantai semua, termasuk tega akan membunuh sang raja dalam pertempuran di medan perang! Awalnya memang terlihat hebat. Seolah tak ada kendala. Jalan secara luar biasa. Seolah Tuhan sekali pun tak ada.
Oh... manusia yang tidak jarang memiliki tive semacam Absalom! Wasdadalah! Jangan merasa punya kemampuan lalu seenaknya berbuat apa saja terhadap sesama manusia, alam lingkungan. Wahai para orang-orang muda yang sudah merasa mafan! Cantik atau tampan! Punya pendidikan yang brilian dan merasa hidupmu lebih dalam segalanya dari yang lain. Meremehkan manusia lain, orang tua sendiri mau dibinasakan bahkan Tuhan sekali pun disepelekan! Waspadadalah!
Belajarlah dari akhir riwayat Absalom yang mengenaskan. Ya, bukan kemenangan gemilang dalam peperangan. Tetapi kalah dan mati dengan cara yang mengenaskan sekaligus memalukan. Betapa tidak, sebab Alkitab mencatat bahwa bahwa kepalanya terangkut pada jalinan dahan-dahan pohon tarbantin yang besar akibat bagal yang ditungganginya tak dapat dikendalikan, dan tiga tikaman tombak Yoab tepat ke dada Absalom menamatkan riwayat seorang muda Absalom yang sombong dan serakah (ay. 9, 14). Lalu cara penguburannya?
Oh, cara penguburan seorang pembesar yang tidak seharusnya. Bukan dengan penghormatan kebesaran! Tapi itulah yang terjadi pada manusia serakah. Mayatnya hanya dilempar saja ke lobang yang besar di hutan (ay.17). Oh, orang muda yang sempurna, seharusnya masa depan orang tua, bangsa dan negara, tapi matinya sia-sia! Saudara, Itulah cara Tuhan memberikan semacam ganjaran kepada manusia-manusia ambisius semacam Absalom. Itu juga menyadarkan kita tentang cara Tuhan menghajar orang-orang yang durhaka kepada orang tua setive Absalom! (ingat perintah ke-5 dari hukum taurat).
Semoga nas ini menjadi pembelajaran buat kita semua! Bagaimana semestinya supaya hidup ini berharga dan mati tidak tersia-sia. Ya, seharunya demikianlah indahnya harapan kita menjalani hidup ini dan bila sampai saatnya akan kembali ke pangkuan Bapa dalam damai sejahtera! AMIN!
(Oleh: Pdt.Kristinus Unting, M.Div)
Jumat, 01 Mei 2015
KUNCI MERAIH KEBAHAGIAAN
Mazmur 119:1-13
“Kebahagiaan”……Oh, semua manusia pasti mendambakannya. Tapi apa sih sebenarnya sesuatu yang bernama “kebahagiaan” itu? Di mana kita dapat menemukannya? Samakah “kebahagiaan” dengan “kesenangan”? Kebahagiaan adalah hakikat kehidupan, cahaya bening yang dihembuskan dari langit, dari Sang sumber kebahagiaan sejati, diturunkan ke lubuk hati orang beriman! Ya, itulah sumber kebahagiaan sejati, Kebahagiaan selalu tampak kecil saat Anda mendapatkannya, tapi coba biarkan kebahagiaan itu pergi. Saat itulah Anda akan merasakan betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu.
Kebahagiaan sejati laksana cahaya bening, murni nan elok. Walau diremukkan dalam jutaan keping, namun berkas-berkas cahayanya mampu menembus hingga di sepanjang lorong-lorong kehidupan! Kebahagiaan selalu bersifat konsisten terhadap situasi apa pun. Baik suka atau duka. Susah atau senang. Kebahagiaan yang tidak konsisten, bukanlah kebahagiaan. Tetapi lebih tepat disebut “kesenangan”. “Kebahagiaan lebih dari sekedar “kesenangan”. Kesenangan relative sifatnya. Bisa jadi hari ini senang, besok kecewa! Itu belumlah dalam arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Apa sih rahasinya untuk meraih kebahagiaan? Kebahagiaan itu adalah pilihan. Boleh jadi Anda membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi Anda. Dan boleh jadi Anda mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi Anda. Allah maha mengetahui, sedangkan kita terbatas untuk mengetahui segala sesuatu. Allah adalah sumber kebahagiaan sejati. Karenanya setiap orang yang menjatuhkan pilihannya pada apa yang Allah mau, maka merekalah yang menemukan kebahagiaan sejati itu. Tetapi bila orang menjatuhkan pilihannya hanya sekedar dari apa yang ia suka, nah….nah…nah…itulah namanya kesenangan. Yang namanya kesenangan tidak akan pernah konsisten terhadap keadaan! Apakah pilihan-pilihan Anda selama ini didasarkan pada apa kehendak Tuhan? Atau hanya sekedar apa yang Anda senang?
Kita tak perlu jauh-jauh mencari kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari di luar, tetapi sebenarnya ada mulai dari dalam diri kita sendiri. Bersemayam di dalam hati. Firman Tuhan berkata: “ Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat. 5:7). Apakah Anda memiliki kemurahan hati?Ya, itulah kunci pertama meraih kebahagiaan! Lalu berikutnya? Nah, ini! Laksanakan apa yang Tuhan perintahkan. Takutlah akan Tuhan, “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada perintah-Nya (Mzm. 112:1). Anda tak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sempurna jika Anda tidak memiliki ketaatan dan rasa takut akan Tuhan!
Kebahagiaan…..Oh, kebahagiaan….. siapakah orang yang telah mendapatkannya? Orang yang paling bahagia adalah orang yang memiliki hati yang ikhlas! Belajarlah menyingkirkan ketakutan, kesedihan, kekuatiran yang berlebihan, yang merintangi Anda meraih kebahagiaan! Sikap bersungut-sungut hanya melahirkan kekecewaan. Kekuatiran hanyalah biang yang menciptakan aneka jalan pintas yang menyesatkan! Pembuka jalan kesenangan yang tidak jarang bukanlah jalan Tuhan! Karenanya, hanya orang yang ikhlaslah yang mampu mensyukuri apa yang ada, menjadikan gubuk bambu bagai istana raja, dipan reot layaknya tempat pembaringan di hotel berbintang lima!
Kebahagian…..Oh, kebahagiaan……Apakah Anda telah mendapatkannya? Bila benar Anda telah mendapatkannya maka ciri yang paling nyata terlihat ia mampu berbagi dengan apa yang ia miliki untuk membahagiakan orang lain! Di sinilah bedanya! Kesenangan berangkat dari keserakahan hati, keinginan daging, dari apa yang harus aku dapatkan, yang sekiranya aku senang. Sedangkan kebahagiaan berangkat dari kekayaan hati, dari apa yang dapat aku berikan, “Adalah lebih berbahagia member dari pada menerima.” (Kis. 20:35b). Astaga! Inikah kebahagiaan itu? Jawabnya adalah “Ya”, bila yang Anda cari adalah kebahagiaan sejati. Jawabnya mungkin “tidak”, bila yang anda cari hanyalah soal kesenangan dunia yang sementara! Apa yang Anda cari sebenarnya? Amin!
Langganan:
Postingan (Atom)