I Korintus 10:1-11:1
Pada tahun 1911, seorang pemeran pengganti bernama Bobby Leach terjun di air terjun Niagara dalam sebuah tong baja yang sudah dirancang secara khusus. Ia berhasil terjun dengan selamat dan menceritakan tentang hal itu. Meskipun mengalami beberapa cedera ringan, ia bertahan hidup karena menyadari bahaya yang sangat besar dalam tindakan tersebut, dan ia telah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari bahaya.
Beberapa tahun kemudian, ketika sedang berjalan menyusuri sebuah jalan di New Zealand, Bobby Leach terpeleset kulit jeruk, jatuh, dan mengalami patah kaki yang parah. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal di sana akibat komplikasi dari peristiwa itu. Ia justru mengalami cedera yang lebih parah saat berjalan kaki di New Zealand daripada saat ia terjun di air terjun Niagara. Ia tidak siap menghadapi bahaya di situasi yang dianggapnya aman.
Nas ini memperlihatkan kepada kita tentang keadaan jemaat Korontus. Mereka telah mengalihkan perhatian mereka dari Kristus dan para pemimpin jemaat. Alih-alih meniru sifat-sifat yang menyerupai Kristus, mereka malah membiarkan kesetiaan mereka mengarah pada perpecahan dan perselisihan dalam gereja (1Kor. 1:10-13). Saudara, mungkin godaan hebat bagai gemuruh air di Niagara tidak akan membahayakan kita. Akan tetapi, suatu peristiwa kecil yang tampaknya tidak berarti bisa jadi malah dapat membuat kita jatuh. Mengapa demikian? Karena kita tidak hati-hati dan tak menyadari bahaya yang mungkin terjadi. Kita keliru karena berpikir bahwa kita berada dalam keadaan aman (1Korintus 10:12).
Kita diingatkan tentang perjalanan bangsa Israel di masa lalu dalam mengikuti pimpinan Tuhan. Semuanya dicatat "sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita" (ayat 11). Bukan hanya itu, Alkitab memuat banyak kisah dari masa lalu; supaya kita juga belajar mengetahui kehendak Allah bagi hidup kita. Paulus menasihatkan, "Sebab itu, siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (ay.12).
Bisa jadi sewaktu-waktu kita pun bisa jatuh. Jatuh memang tidak menyenangkan. Mungkin di masa lalu kita menyimpan kegagalan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang membuat kita bergumul hebat. Namun, di masa lalu kita juga mencatat kemenangan atas pergumulan, kebangkitan dari kegagalan, kelegaan dan pemulihan dari dukacita. Namun, siapa pun yang pernah terjatuh dalam hidupnya, akan mendapatkan pelajaran positif, jika peristiwa itu membuat kita lebih berhati-hati menjalani hidup.
Kita hidup di jaman di mana ilmu pengetahuan semakin tinggi namun moral-etis semakin menuju ke titik nadir terendah. Jalan pintas tidak jarang seolah jadi pilihan untuk mengatasi segala kesulitan. Tuhan semakin dikebelakangkan. Nilai-nilai kejujuran semakin langka. Dusta, penipuan, intrik-intrik busuk merajalela. Menghalalkan segala cara juga seolah hal biasa demi untuk mendapatkan kedudukan, jaminan hidup, dan kebahagiaan. Orang mungkin pergi ke gereja juga, tapi tidak jarang hanya dijadikan semacam obat stress penenang bathin sementara, sebelum bertarung kembali dalam kancah kehidupan selanjutnya. Karenanya tidak heran bila yang dicari adalah soal kepuasan untuk mendapatkan ketenangan bathin saja, bukan sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan supaya diberikan kesanggupan menghadapi tantangan.
Apa pentingnya kita belajar dari pengalaman masa lalu? ini penting! Terlebih karena kita hidup di jaman yang serba keras dan penuh kejahatan seperti sekarang ini. Orang yang belajar dari pengalaman kegagalan masa lalu pasti tahu jalan mana yang harus ia laluinya ke depan. Jalan kejahatan semisal korupsi yang dapat membawa bencana, tentu dihindarinya. Ya, jalan yang belok-belok, atau mudah terobang ambing oleh berbagai bujukan atau tawaran dunia yang menyesatkan tentu tidak disukainya. Dalam situasi yang demikian, nas ini menantang kita selaku umat Tuhan untuk lebih mawas diri.
Sudahkah saya selaku “bue” (kakek) atau “tambi” (nenek) mewariskan nilai-nilai luhur cara hidup rumah betang yang mengutamakan kebersamaan, handep hapakat, rasa senasib sepenanggungan? Sudahkah saya selaku “abah” (ayah) atau “umai” (ibu) meneladankan kesetiaan iman kepada “anak-esu” (anak-cucu) untuk mewariskan “hadat pambelom utus itah” (kehidupan etis-moral kaum kita)? Atau juga, sudahkah saya selaku orang muda mempersiapkan diri sebagai generasi penerus yang dapat dibanggakan bagi orang tua, keluarga, masyarakat atau gereja? Atau malah menjadi sampah yang kehadirannya hanya tambah mengotori dunia?
Semua jawabannya tentu berpulang pada diri kita masing-masing. Tergantung dari seberapa besar rasa takut akan Tuhan dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan! Sebagai orang percaya kita harus belajar dari pengalaman hidup. Harus selalu waspada terhadap godaan. Orang kristiani yang berkemenangan adalah seorang kristiani yang waspada, yang selalu berhati-hati bahkan ketika menghadapi kulit jeruk yang kecil, yang tampaknya sederhana namun yang justru mambuat kita dapat tergelincir! Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar