Renungan GKE

Jumat, 03 Agustus 2012

JANGANLAH LUPAKAN KEBAIKAN ORANG LAIN


2 Samuel 14:22-33

Ada suatu kisah yang menarik, tentang dua orang yang bertetangga. Yang seorang adalah peladang, yang seorang pegawai di suatu instansi. Si peladang ini termasuk dalam kelompok penggarap hutan, pembagian areal kaplingan tanah. Waktu itu belum ada jalan yang bagus di sekitar tempat itu. Maklum daerah baru. Karena kesulitan biaya untuk menyekolahkan adiknya yang bungsu, si peladang tadi menjual tanah bagiannya kepada si tetangga sahabatnya. Padahal si tetangganya banyak juga biaya tanggungan untuk menyekolahkan anaknya yang empat orang. Setengah memaksa sambil memohon belas kasihan, akhirnya permintaan si peladang tadi dikabulkan oleh sahabat tetangganya. Walau tetangganya itu harus ngutang di tempat lain untuk membayar harga tanah seperti yang dimintannya.

Berselang beberapa tahun kemudian, si tetangganya yang pegawai tadi dimutati ke daerah lain. Tapi karena rasa percaya (maklum karena dianggap sahabat), si tetangga ini meminta kepada sahabatnya si peladang, supaya tanah yang dibelinya tadi sambil dilihat, supaya tidak diambil orang. Karena kebetulan tanah mereka letaknya berdekatan. Tetangganya tadi lalu berangkat memenuhi tugas di tempat yang baru. Selang beberapa tahun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, daerah itu semakin maju. Jembatan dan jalan mulai dibangun. Banyak sudah bangunan, bahkan perkantoran dekat wilayah itu. Dulu hutan, sekarang semi perkotaan. Dulu komunikasi begitu sulit hanya lewat surat, sekarang tinggal angkat hp karena sinyal sudah kuat!

Di kesempatan waktu cuti (maklum sambil kumpul-kumpul uang untuk pulang), si tetangga ini berkeinginan untuk pulang dengan rasa sukacita mendengar kabar betapa majunya daerah tanah yang dibelinya dulu. Sambil rencana ingin membenahinya. Setelah pulang dan bertemu dengan tetangganya si peladang, ia berkeinginan untuk menengok lokasi tanahnya. Maklum situasi telah berobah, bisa kesasar tak jelas arah bila tak ada pemandu karena lokasi sudah berbeda keadaannya. Tapi apa dinyana? Sahabatnya si peladang memberikan petujuk yang tak jelas arah, kong-kolingkong, dan bersikap dingin. Malah ia menagih biaya pemeliharaan segala macam, tanpa pernah ada kesepakatan. Rumitlah urusan.

Bahkan selanjutnya, ketika si sahabatnya tadi ingin berjumpa menyelesaikan, si peladang pasti menyembunyikan diri atau mengadakan perjalanan, entah kemana. Usut punya usut, ternyata tanah tetangganya tadi dijualnya kepada orang lain dengan harga tinggi. Maklum daerahnya sudah maju. Tak habis pikir, seorang sahabat yang telah dikasihani di saat kepepet, sekarang dengan mudahnya menipu milik sahabat setianya yang telah berjasa membantunya. Oh....manusia, disaat susah, menjilat-jilat, merengek minta pengasihan. Tapi setelah keadaan nyaman. Haknya pun dirampas dengan berbagai alasan oh... manusia..... Kisah nyata ini mirip-mirip dengan peristiwa seperti yang terjadi dalam nas ini. Walau jalan ceritanya tidak sama. Orang-orang yang telah dikasihani, namun tak tau diri!

Dalam nas ini, “bagai kacang lupa akan kulitnya,” demikianlah kira-kira istilah yang pantas diberikan kepada Absalom. Betapa tidak, ia yang seharusnya terbuang dari Israel, bahkan terancam bunuh oleh dendam dari saudara-saudara Amnon, akibat ulahnya di masa lalu. Tapi sekarang Absalom mendapat kesempatan untuk kembali ke Israel dan keselamatannya dijamin. Tapi apa yang terjadi? Oh, sungguh tak tak tahu diri. Jangankan berterima kasih, baik kepada Yoab yang bermurah hati, atau pun kepada sang raja Daud (ayahnya) yang memberikan kesempatan. Justru sebaliknya. Ia berbuat seenaknya. Maklum, sekarang ia banyak mendapat sanjungan dan simpatisan karena penampilan (ay.25-26).

Pemaksaan kehendak itu yang diperlihatkannya. Dan terbukti ketika Absalom menyuruh para hamba-hambanya membakar ladang Yoab ketika keinginannya untuk di hadapkan kepada raja tidak dikabulkan (ay.29-30). Tidak hanya itu, malah Absalom merancangkan niat jahat berikutnya, hendak menumbangkan kekuasaan ayahnya Daud. Oh, tak tahu diri. Rupanya Absalom mengambil kesempatan dalam kesempitan. Oh, mengerikan sekali. Tak tahu diuntung sama sekali. Saudara, apa yang ada dalam benak kita terhadap kisah nyata ini? Sebenarnya kisah ini juga adalah kisah nyata yang bisa kita jumpai masa ikini. Baik di lingkungan rumah kita, di tetangga, di kantor, di sekolah, di lingkungan bisnis, dan dimana saja. Kapan saja! Benar saudara?

Tidak jarang dalam hidup nyata kita juga sering bertemu dengan orang semacam tipe Absalom. Ketika dalam keadaan kesulitan merengek-rengek supaya dipilih, diangkat jadi pimpinan. Setelah memimpin, bagai singa si raja hutan. Semena-mena membuat kebijakan yang merugikan orang. Ketika sebenarnya tidak memungkinkan lulus ferivikasi, merengek rengek supaya dibantu diluluskan. Sekarang setelah lulus? Kerja pun tak becus. Aset-aset yang mestinya dipelihara dan dikembangkan, malah digelapkan. Setiap gaji bulanan bukannya bersyukur kepada Tuhan, tapi dihabiskan semalaman untuk hura-hura dengan temang di tempat remang-remang! Padahal dulu merengek-rengek minta Hamba Tuhan mendoakan supaya naik pangkat dan melimpah berkat. Sekarang? Jangankan sembahyang, pintu gereja pun ia tak tau di mana tempatnya. Oh manusia....

Melalui nas ini menyadarkan kita, janganlah lupakan kebaikan orang. Janganlah kita lupa, bila menjadi orang. Hargai orang tua yang telah berjuang membanting tulang untuk biasa studi hingga jadi seperti apa kita sekarang ini. Hargai orang-orang yang telah memberikan dukungan dan kesempatan melalui mana kita mendapat peluang. Ingatlah jasa orang yang pernah menolong kita di saat susah. Jangan juga menganggap remeh Tuhan yang mengaruniakan berkat dan keselamatan. Sebenarnya kita adalah manusia berdosa, hanya karena kasih karunia-Nya kita diselamtkan (bdk. Ef.2:8-10). Pergunakan segala talenta untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan malah sebaliknya, merusak diri sendiri dengan berbagai kenikmatan dunia yang menjerumuskan. Hargai hidup, dan bersyukurlah senantiasa. AMIN*(KU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar