Kamis, 02 November 2017
KETAHUAN BELANGNYA
(Lukas 15:11-32)
Manusia, ketika dalam keadaan normal, dalam keadaan yang happy-happy saja, memang tak kentara belangnya. Tetapi bagaimana ketika dalam keadaan tidak nyaman? Ketika kenyamanan dirinya terusik? Ketika kurang dianggap, kurang perhatian, kurang diperdulikan, merasa diremehkan, mendapat kritikan tajam, merasa kalah pamor, kalah saingan, dst? Nah…nah…nah…. saat itulah akan sangat terlihat jelas belang aslinya. Diri seseorang yang sebenar-benarnya. Ini secara gamblang dapat kita lihat pada diri si anak sulung dalam perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas 15:11-32. Sikap si anak sulung dalam “perumpamaan tentang anak yang hilang” memang sedikit sekali disinggung. Dan mungkin selama ini jarang dikhotbahkan, ketimbang si bungsu yang duhay begitu menyita waktu dalam pemaparannya!
Dari 22 ayat yang ada dalam nas ini hanya 5 ayat yang secara khusus menyinggung tentang si anak sulung. Padahal sebenarnya bukan tanpa arti sama sekali. Berbeda dengan si bungsu. Si anak bungsu yang hilang, oh indah sekali cerita perjalanan hidupnya. Dari 22 ayat yang ada dalam Injil Lukas 15, secara khusus 14 ayat berbicara tentangnya. Kisahnya pun mampu membuat si pembaca atau si pendengar terkesima. Sedangkan si anak sulung? Amit-amit! Padahal (maaf!), jangan-jangan bahwa kita justru adalah para anak sulung itu. Tipe dan sikap hidup keseharian kita tanpa disadari lebih banyak menggambarkan si anak sulung itu ketimbang si anak bungsu? Kelihatan di luarnya baik, tetapi akhirnya ketahuan juga belangnya. Belang si anak sulung. Bukan si anak bungsu yang bertobat dan mendapat kasih anugerah dari bapaknya.
Si anak sulung (baca: orang Kristen). Itu juga anak yang baik. Baik-baik saja. Anak yang patuh. Anak yang mengabdi kepada bapaknya (baca: kepada Tuhan-nya). Anak yang selama ini tidak banyak menuntut. Tidak pernah berhura-hura. Bukan pembuat keonaran apalagi jadi masalah bagi keluarga, lingkungan, persekutuan dan gereja segala! Kehidupan yang tidak senonoh tak pernah dilakukannya. Lebih banyak kerja, mengabdi ketimbang bicara. Saking asyiknya mengabdi dan bekerja bagi ayahnya diladang, sampai tidak diketahuinya ada pesta di rumah mereka. Berbeda dengan si amak bungsu. Dalam nas disebutkan: “Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian.” (ay.25).
Tapi, eeeeiiiiiiitttt....! Karena inilah episode selanjutnya pembuka tabir semakin gamblang. Bagai genderang perang si Anak sulung semakin membuka tabir keasliannya jauh dari apa yang terlihat selama ini. Itu terjadi persis seperti situasi yang sudah kita sebutkan di atas tadi. Ketika dalam situasi ketidaknyamanan itu tentu saja! Tabiatnya yang asli dimulai dari apa yang dipaparkan pada bunyi nas berikut: “Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk…” (ay.28). Si anak sulung ini “marah”. Kenapa marah? Tentu saja karena merasa kalah pamor. Seharusnya dia yang menurutnya layak lebih dahulu diprioritaskan! Ternyata tidak. Akhirnya kecewa! Lalu bermacam-macam intrik busuk dilakukan, entah melalui ucapan, menfitnah, menjatuhkan nama baik si saingan, bahkan berbagai ntrik lainnya entah yang kentara atau terselubung dalam kelicikan sebagai ungkapan kekecewaan! Oh, tipe si anak sulung, kapan saja dan di mana saja, cirinya pasti sama. Merasa tidak nyaman bila kalah pamor!
Semakin kentara, ayat berikutnya menyebutkan: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan kepadaku seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.” (ay.29). Apa yang bisa kita tangkap dari pernyataannya ini? Sikap merasa berjasa. Itu menjadi senjata kelicikan supaya mendapat penghargaan. Dia merasa banyak berjasa selama ini yang semestinya pantas untuk diadakan pesta.Setali tiga uang dengan si penjilat. Hanya caranya lebih halus dilakukan. Oh, si anak sulung. Tipe orang-orang yang merasa berjasa, pura-pura paling berjasa, seolah-olah berjasa, tapi ada udang di balik batu!
Lalu apa berikutnya? Nah ini. Merasa diri bersih, suci, taat aturan, patuh, paling baik, sempurna, dan karena itu layak untuk mendapat prioritas dan penghargaan. Seharusnya dia yang menurutnya layak menduduki kursi nomor satu. Seharusnya dia yang menurutnya layak jadi ketua/pimpinan. Tapi ternyata tidak. Ia pun kecewa! Ia membandingkan dirinya dengan si bungsu si pendosa, penuh kecacatan, meremehkan dan menganggap hanya dirinya yang layak ketimbang si bungsu, di pendosa! (ay.30). Kekecewaannya syah-syah saja. Kedengarannya benar saja. Tapi tunggu dulu! Karena ternyata segala sikap tindakannya yang rajin melayani, mengabdi, patuh kepada bapanya selama ini, ternyata tidak kurang dan tidak lebih adalah sikap kemunafikan. Sikap yang pura-pura. Ada motivasi yang lain dibalik semua yang dilakukan.
Kepura-puraan saudara, sejatinya adalah penyakit yang paling menyiksa jiwa. Bersemanyam di dalam batin membuat hati berdarah-darah, bernanah tak kentara! Ditutup-tutupi sebagaimana pun caranya, pada saatnya akan kentara juga. Sebagaimana si anak sulung, bertahun-tahun ia bersandiwara, pada saatnya terungkap juga. Jiwanya pastilah sangat menyiksanya oleh kepura-puraannya sendiri. Karena itu, mari merenung sejenak, mari bercermin diri dalam kebeningan jiwa dalam tekad. Dari pada menutup-nutupi diri dengan kepura-puraan, lebih baik menyesali segala dosa perbuatan kepada Tuhan lalu hidup menghasilkan buah-buah pertobatan. Jiwa pun pasti tentram dan nyaman. Dan kita pasti tak akan pernah merasa terganggu walau dalam situasi yang tak nyaman sekali pun! Amin!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar