Renungan GKE

Senin, 18 Februari 2013

TAAT SYARIAT AGAMA TAPI LALAI MELAKSANAKAN KASIH




Lukas 6:6-11

Dikisahkan dalam nas ini, Yesus menyembuhkan seorang yang mati tangan kanannya. Menurut saudara, apakah yang dilakukan Yesus ini salah? Oh, tentu saja ini tindakan yang mulia. Andaikata si penderita itu adalah Anda dan saya, tentu terimakasih tak terhingga kita haturkan. Menurut catatan Injil Lukas, bahwa hal itu dilakukan Yesus di rumah ibadat (ay. 6). Ya, rumah ibadat! Tempat yang suci tentu saja. Tapi apa dinyana, menurut cerita nas ini juga, yang terjadi justru sebaliknya. Ahli-Ahli Taurat dan orang-orang Farisi gusar. Apa pasalnya? Ya, karena dianggap bertentangan dengan peraturan agama. Melanggar Hukum Taurat, peraturan mengenai Sabat. Bahwa hari sabat tidak diperbolehkan bekerja, termasuk pekerjaan menyembuhkan orang seperti yang Yesus lakukan!

Saudara, itulah juga gambaran dunia nyata kita sekarang ini. Konon katanya, bangsa kita adalah bangsa yang paling religius. Sebagai orang Indonesia tentu kita bangga dengan predikat itu. Dan memang terang bagai siang, banyak tanda-tanda dapat kita jumpai sebagai bukti bahwa pernyataan tersebut ada benarnya juga. Tanpa mengada-ada. Lihat saja di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok desa, rumah-rumah ibadah yang baru terus dibangun, dari bentuk yang sederhana sampai yang istimewa bak rumah surga. Seolah Tuhan pun berdecak kagum tak berkedip memandang ke setiap menaranya, berjuntai lambang-lambang agama. Di setiap ibadah-ibadah selalu dihadiri umat. Bahkan pada kebaktian-kebaktian "Kebangunan Rohani" (KKR) atau pun pada perayaan hari-hari besar agamawi saat tertentu, selalu dikunjungi banyak umat hingga tak tertampung. Sampai meluap-luap. Tapi apa maknanya bagi keutuhan dan kesejahteraan sesama umat manusia? Umat yang mengaku beragama?

Tapi tidak jarang, peraturan agama ( sabat-sabit, halal-haram, suci-najis, kawin-mawin, mayoritas-minoritas, dst.), lebih cenderung digunakan sebagai senjata untuk menghakimi sesamanya. Padahal, bukankah keluhuran dan universalitas agama tidak terletak pada kalimat "teks" dogmatisnya semata, melainkan pada kualitas energi "produk riil" etisnya, yaitu kualitas kreatif iman hayatiahnya? Karena itu, adalah suatu kenaifan beragama apabila rumusan dogmatis secara vertikal sedemikian jelas hitam putihnya - sementara iman dan tindakan etisnya - yang bergerak pada medan horizontal kehidupan antar-manusia justru menjadi sedemikian ambigu: menjadi kabur batas antara hitam dan putihnya?! Karena sudah lama secara umum diakui - bahwa garis vertikal dan horizontal - merupakan kaidah penentu kenormalan, bobot, isi, bentuk, arah dan fungsi agama sesuai makna dan hakikatnya.

Saudara, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ini rupanya sangat terikat kepada syariat agama, aturan Sabat. Itu tidak salah. Sayangnya, syariat itu lalu dijadikan segala-galanya. Menjadi sekadar peraturan yang harus ditaati tanpa tujuan dan makna yang jelas. Akhirnya, yang mereka utamakan bukan lagi memahami makna dan tujuan Sabat sebagai hari perhentian serta pemulihan jasmani dan rohani umat Allah, melainkan telah diganti dengan beban kewajiban menaati berbagai larangan dan ajang mencari kesalahan. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat telah gagal memahami tindakan Yesus, mereka memandang apa yang dilakukan-Nya sebagai pelanggaran hukum. Sedangkan Yesus sendiri lebih mengutamakan perbuatan kasih dan menyelamatkan manusia daripada sekedar ketaatan buta terhadap peraturan agama yang tak bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.

Yesus mengoreksi konsep keliru ini dengan menyatakan bahwa Dialah "Tuhan atas hari Sabat" (ay. 5). Dia, yang diurapi dan diutus Roh Allah, adalah satu-satunya yang mampu meluruskan makna Sabat sesuai dengan tujuan dan maksud Bapa-Nya. Yesus membuktikan kebenaran pernyataan-Nya itu dengan memperlihatkan kuasa-Nya dalam penyembuhan orang yang mati tangan kanannya (6-10).Yesus mengecam cara beragama yang hanya bangga soal ketaatan syariat agama, pamer kesucian rohani saja tetapi yang tidak ditunjukkannya dalam perbuatan nyata ketika berinteraksi dengan sesama. Hal seperti itu dinyatakan Yesus sebagai sikap beragama orang-orang munafik (bdk. Mat. 23:5; 7:21; 5:20-48; 6:1-4; 6:5).

Ucapan Yesus mengajarkan kita bahwa Hari Tuhan itu harus menjadi suatu kesempatan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan, baik secara rohani maupun secara jasmani. Melalui tindakan-Nya, Yesus ingin menunjukkan kepada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ( bahkan bagi kita semua) semangat hari Sabat yang sebenarnya, yakni Sabat merupakan anugerah Tuhan bagi umat manusia (bdk.Kel.16:21-30); bahwa hari Sabat bukanlah hambatan untuk berbuat kasih terhadap sesama manusia, yang merupakan hukum terutama dalam Taurat! Amin!

(Pdt.Kristinus Unting, M.Div)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar