Lukas 6:27-36
Ada yang mengatakan bahwa ajaran Yesus tentang kasih yang mengampuni, itu tidak mungkin dilakukan oleh kita manusia biasa. Bayangkan bila dikutuk, malah didoakan. Ditampar pipi kanan, malah beri juga pipi yang lainnya. Itu hanya dapat dilakukan oleh Yesus saja, dengan alasan karena Dia adalah anak Allah. Mengampuni musuh saja sudah setengah mati susahnya. Apalagi jika sampai mendoakannya, berbuat baik padanya segala. Oh…oh…oh… jauh panggang dari api!
Bukankah yang namanya musuh perlu dilawan, kapan perlu disingkirkan? Bukankah disebut musuh, karena kita ditipu, dikhianati, disakiti, kecewa, terluka, terhina, hingga nama baik kita tercemar karenanya? Mendoakannya? Berbuat baik padanya? Sejujurnya, itu tak mudah dilakukan. Bahkan, nyaris mustahil dilakukan!
Ada pula yang mengatakan, bahwa ajaran kasih yang diajarkan Yesus merupakan ajaran yang tidak masuk akal (abnormal), suatu kelemahan, memperbesar peluang bagi kejahatan, ketidakadilan, dan perlakuan semena-mena. Masa mau diperlakukan oleh musuh semena-mena? Masa ditampar pipi yang satu, diberi juga pipi yang lainnya? Masa ditipu, diambil rumah dan tanahnya, koq malah diberikan juga mobil untuknya? Tidak diadukan supaya dipenjara dan dibiarkan melenggang saja? (Ay.27-29).
Saudara, sekilas memang tampaknya demikian. Tapi tunggu dulu. Dalam nas ini, Yesus tidak berteori tentang kasih. Tapi Dia adalah personifikasi dari Kasih Allah itu sendiri. Ketika Yesus berbicara soal mengampuni, Dia sebenarnya dalam kapasitas sebagai seorang hamba, manusia seperti kita. Yang dapat merasakan secara utuh perasaan dan penderitaan kita sebagai manusia (Bdk. Flp.2:6-8).
Demikian pun, tentu saja Yesus tidak mengajarkan untuk membiarkan perlakuan semena-mena, ketidakadilan. Atau diajar supaya menyerah, pasrah, adem ayem saja. Tidak! Justru sebaliknya! Yesus mengajarkan bagaimana cara melawan kejahatan terhadap musuh dalam cara yang lebih baik, yang lebih kreatif, supaya tidak menambah terjadinya kejahatan. Cara melawan dalam konsep kualitas ilahi, standar sorgawi. Bukan standar murahan ala duniawi! Bukan melawan kejahatan dengan kejahatan, tetapi melawan dengan kebaikan. Dengan kasih!
Apakah mungkin mengasihi serta berbuat baik kepada musuh? Jawabnya bisa “Tidak”, bisa “Ya”. Bisa “Tidak” bila kita mempergunakan standar manusiawi keberdosan kita. Persis seperti yang dilakukan Kain terhadap adiknya Habel, yang pasti membalas sakit hati karena merasa tersaingi (Bdk. Kej. 4:4-8). Namun bisa “Ya” bila kita menggunakan “standar kasih Kristus”, seperti yang diperbuat oleh seorang perempuan pendosa yang meminyaki kaki Yesus (Bdk.Luk. 7:37-38).
“Standar kasih Kristus” itu apa maksudnya dan seperti apa bentuknya? “Standar kasih Kristus” adalah standar melalui mana seseorang sadar akan keberdosaan dirinya di hadapan Allah, yang hanya bergantung pada anugerah pembenaran Allah. Pada gilirannya, Roh Allah akan memotivasinya untuk menggunakan standar yang sama ketika berhadapan dengan sesamanya, hingga di kedalaman kasih sebagaimana Kristus telah menerima dan mengampuninya. Kita tidak mungkin mengasihi musuh, jika kita tidak terlebih dahulu diisi oleh kasih Kristus.
“Standar kasih Kristus” dapat dimiliki, diawali sikap kesadaran penuh akan siapa diri kita di hadapan Allah, suatu pengakuan dosa secara utuh, hingga aliran-aliran kasih Kristus mengisi hati, jiwa, dan roh kita, menjadi darah daging, menjadi standar kualitas kasih ilahi laksana metacentrum yang siap dialirkan kepada siapa saja. Untuk lebih jelas, sebagaimana penegasan Kristus terhadap sikap seorang perempuan pendosa: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Luk.7:47).
Apakah ajaran Yesus tentang kasih pengampunan itu suatu kekeliruan, kelemahan? Atau membiarkan perlakuan sewenang-wenang dan ketidakadilan? Bisa jadi, bila salah mengartikan. Yesus di sini tidak mengajarkan kita dalam arti harafiah, ditampar pipi yang satu, lalu dikasih lagi pipi yang lainnya. Tetapi lebih pada gaya bahasa hiperbola, melebih-lebihkan untuk mempertajam maksud yang sebenarnya.
Para pendengar melalui mana ucapan Yesus ini ditujukan (yang hidup dalam lingkungan Hukum Taurat) paham betul apa yang Yesus maksudkan. Bahwa menurut hukum rabinis Yahudi, menampar (lebih tepat diterjemahkan menempeleng orang) dengan memakai bagian belakang telapak kanan mengandung arti penghinaan dua kali lipat ketimbang kalau menampar (menempeleng) dengan telapak bagian dalam tangan saja.
Makna yang terkandung di dalam perkataan Yesus “berikan juga pipimu yang lain” jauh lebih mendalam ketimbang tindakan yang nampak secara kasat mata mempermalukan seseorang. Dapatkah saudara bayangkan, ketika pipi yang satunya lagi ditampar (ditempeleng) dengan menggunakan telapak tangan bagian dalam, bukankah terlapak tangan bagian luar sedang mengarah pada pipi si pelaku sendiri? Dengan kata lain (secara hukum moral-etika orang Yahudi), bukankah itu artinya lebih mempermalukan si pelaku sendiri? (Ay.29a).
Demikian juga ucapan Yesus: “barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.” Bukan dalam arti harafiah, tetapi lebih kepada makna. Orang Yahudi (yang biasa menggunakan dua lapisan baju), bila dilepaskan jubahnya (baju luar), masih belum seberapa. Tetapi apabila melepaskan juga pakaian dalamnya, berarti mempermalukan si pelaku sendiri. Karena menelanjangi orang, itu sama artinya dengan tindakan paling jahat tak bermoral, yang mempermalukan si pelaku sendiri (Ay.29b; bdk. Mat.5:27-28).
Apa yang Yesus ajarkan, sebenarnya bukan kelemahan, atau pasrah diperlakukan semena-mena, tetapi memperlihatkan bahwa ajaran kasih yang mencirikan sifat ilahi jauh lebih berkualitas, ketimbang ajaran Taurat sekedar gigi ganti gigi, mata ganti mata, yang begitu diagungkan dan disombongkan (Bdk. Mat.5:17-48).
Ajaran Yesus tentang kasih, pengampunan, serta perbuatan baik kepada musuh, bukan kelemahan, bukan dalam arti membiarkan orang tidak adil, terus membiarkan kejahatan dan semena-mena, boleh melenggang merdeka seenaknya tanpa penjara. Tetapi perlawanan dalam cara kualitas ilahi, sekaligus mengajarkan pelaku untuk melihat betapa segala tindakan jahat yang dilakukan justru nampak jelas semakin mempermalukan diri sendiri.
Kemenangan terbesar sebagai umat beriman adalah ketika kita melawan dengan cara kasih dan berhasil mengasihi musuh. Menurut Alfred Plummer, bahwa “Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah tabiat Iblis; membalas kebaikan dengan kebaikan adalah tabiat manusiawi; membalas kejahatan dengan kebaikan adalah tabiat ilahi”. Amin!