Lukas 6:17-26
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, yang lapar, yang menangis, yang dianiaya…..” demikian ucapan Yesus yang diarahkan khusus kepada para murid, setelah Dia mengajar dan menyembuhkan orang banyak dari berbagai pergumulan, derita, air mata, penyakit yang dialami, yang datang kepada-Nya dari berbagi tempat, dari seluruh Yudea, Yerusalem, bahkan yang datang dari daerah orang kafir, yaitu daerah pantai Tirus dan Sidon, (Ay.17; bdk. Mat.).
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, yang lapar, yang menangis, yang dianiaya….” Apa iya sih??? Apakah “miskin”, dalam pengertian secara umum (miskin harta, miskin jabatan, miskin penghargaan, dst.) adalah patokan standar syarat ideal untuk “berbahagia”? Apakah orang menderita, teraniaya hingga masuk ke penjara karena narkoba dan karena berbuat kejahatan dalam masyarakat otomatis masuk Sorga? Tentu bukan demikian yang Yesus maksudkan (Ay.20-23).
Apakah ucapan Yesus “celaka”, ditujukan kepada semua orang “kaya”, yang kenyang (makmur dan sejahtera), yang mendapat pujian (penghargaan), yang bisa tertawa-tawa, yang dapat makan di restauran otomatis semua dikategorikan “celaka”? Apakah seorang kaya yang berimaan, pemurah, tidak dapat “berbahagia” dan semua masuk neraka? Apakah Yesus mengajarkan kita anti terhadap kekayaan dan tidak boleh menjadi “kaya”? (Ay.24-26).
Entah berapa banyak orang Kristen sendiri yang menjadikan nas ini seolah menjadi patokan standar beroleh “kebahagiaan” karena menelan mentah-mentah, tanpa memahami konteks maksud dan tujuan Yesus secara dalam. Pokoknya asal miskin, asal menderita, asal menangis, asal teraniaya, pasti “berbahagia”. Juga buru-buru dengan seenaknya begitu saja menghakimi orang kaya. Pokoknya asal “kaya” pasti celaka, pasti dosa, pasti tidak boleh masuk sorga!
Lalu mengapa Yesus menggunakan kata “miskin” untuk beroleh bahagia? Bukankah orang miskin bisa jadi sangat repot sendiri ketika biaya rumah sakit, atau biaya sekolah anaknya tak mampu dipenuhi? Bahagia orang “miskin” yang dimaksudkan itu yang seperti apa? Mengapa Yesus menyinggung soal “kaya” dan mengatakannya celaka? Bukankah Abraham, Daud, Salomo, Yusuf juga kaya? Bukankah Firman Tuhan juga mengatakan bahwa kekayaan juga anugerah Tuhan, bukan pemberian setan? (Bdk. Kej.13:2; Pkh.5:18).
Istilah “miskin” dalam Perjanjian Baru menggunakan dua istilah, yaitu : πενης (penês) dan πτωχος (ptôkhos). πενης (penês) berarti miskin sedemikian rupa sehingga penghasilan sehari habis buat makan sehari. Sedangkan Kata πτωχοι (ptôkhoi), bentuk jamak dari πτωχος (ptôkhos) berarti mereka yang hidup dari meminta sedekah. Istilah “miskin” (ptokhos) yang digunakan dalam Injil Lukas mempunyai arti Sosio-Ekonomi-Religius.
Rabbi Jonathan Sack (seorang Yahudi Rabinik), dalam bukunya yang berjudul “The Great Partnership” (halaman 59), memberikan perspektif Yahudinya tentang latar belakang dari pengucapan “Berbahagialah orang yang miskin” yang disabdakan oleh Tuhan Yesus. Menurut Rabbi Sack (yang hafal betul konteks Yahudi mereka), bahwa ucapan Yesus tersebut, persis sama seperti yang dilakukan oleh seorang Khazan (seorang pemimpin ibadah dalam Sinagoge Yahudi), bahwa seorang Khazan selalu memulai pelayanannya dengan ucapan: “הִנְנִי הֶעָנִי מִמַּעַשׂ” (“HINENI HE’ANI MIMA’AS”: Ini aku, seorang miskin yang melayani, ingin melakukan suatu perbuatan baik).
Ketika Yesus mengambil filosofi tradisi pelayanan Khazan Yahudi tersebut, dihadapan pada audience-Nya yang terdiri dari orang-orang Yahudi, maka menjadi sangat nyambung dengan tradisi ibadah mereka, sangat jelas dan dimengerti oleh mereka bahwa “ptôkhos” (miskin) yang dimaksudkan Yesus bukan “miskin” dalam arti yang sempit, asal miskin!
Dalam konteks ini jelas, bahwa Yesus pada masa itu (yang tetap identik dengan masa kini) melawan pendapat yang mengatakan: “Orang menjadi miskin pasti karena hukuman atas dosa-dosanya dan orang menjadi kaya pasti karena ganjaran atas kebaikannya”. Karenanya, orang menjadi “berbahagia” seperti yang dimaksudkan Yesus, tentu bukan karena asal “miskin”. Atau celaka, masuk neraka asal “kaya”. Tetapi lebih pada soal sikap hati, entah ketika seorang dalam kondisi “miskin” atau pun ketika dalam kondisi “kaya”.
Masalahnya menjadi semakin jelas, manakala kita menyimak ajaran Yesus dalam perumpamaan dua orang yang berdoa di rumah ibadah, antara seorang Farisi dan Seorang Pemungut cukai. Seorang Farisi dengan bangga dan mebusungkan dada dalam doanya, merasa “kaya” (rohani), mengklaim sorga sebagai pahala. Sementara seorang pemungut cukai merasa tak layak, merasa “ptokos” (miskin) walau pun ia “kaya” (materi) di hadapan Allah. Dalam konteks “miskin” seperti inilah ucapan Yesus “berbahagialah, hai kamu yang miskin…” ditujukan.
Istilah “ptokos” (miskin) yang digunakan Yesus, mengajarkan kepada kita supaya sadar bahwa hidup kita hanya dari “sedekah” dari Allah. Menyadari bahwa yang namanya “berkat” bahkan anugerah keselamatan itu hanya bergantung pada Allah atas kemurahannya. Sikap hati yang demikian pada gilirannya, menyadarkan orang siapa dirinya di hadapan Allah.
Allah menghendaki manusia memiliki sikap “pokos” (miskin) di hadapan-Nya (bukan sekedar asal miskin harta, asal menangis, asal menderita), tetapi lebih pada kesadaran bahwa kehidupan kita sepenuhnya hanya bergantung dari belas-kasihan Allah. Hanya membutuhkan Allah untuk memberi kekuatan serta berkat-berkat dalam hidup kita. Karena di hadapan-Nya, siapapun kita, apapun jabatan atau pangkat kita, jalan kaki atau naik becak sampai Marcedez, makan nasi putih atau pizza, semua sama dihadapan-Nya.
Yesus mengkritik, bahkan menyebut “celaka” kepada orang “kaya” tentu saja bagi yang sombong, tamak, pelit, memandang rendah orang lain, meng-klaim sesuatu yang ada pada dirinya sebagai kepemilikan, yang seolah merasa sudah aman, seolah telah mendapatkan sorga sesungguhnya, menjadikannya standar kebahagiaan. Seolah telah menemukan “tuhan” bagi hidup, dan seakan tidak memerlukan “Tuhan” yang sesungguhnya. Tetapi pasti tidak bagi orang “kaya” yang beriman, pemurah, yang merasa “ptokos” (miskin) bila tanpa Allah. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar