Renungan GKE

Senin, 22 Oktober 2012

MENCINTAI TAURAT TUHAN


Mazmur 119:97-104

Hal paling mendasar bagi kita sebagai orang beriman adalah, sejauh mana kita mencintai Taurat Tuhan (titah-titah/firman Tuhan). Sepanjang hidup kita dilandasi rasa cinta akan Taurat Tuhan sebagai pedoman, sepanjang itu pula kita dapat menjalani hidup sebagai orang Kristen sungguhan. Bukan yang kristen-kristenan! (bdk. ay.90). Sebab bila tidak, maka bahaya terbesar yang segera menghadang adalah, bahwa kekristenan kita sudah menjadi serupa dengan dunia (bdk. Rm.12:12). Bila ini yang terjadi, bagaimana kita dapat memperlihatkan kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah? Ibarat pohon, ia hanya menghasilkan buah yang masam, busuk, atau gugur sebelum matang. Padahal, menurut Berkhof (seorang ahli teologi) bahwa kehidupan Kristen itu mestinya harus dapat menjadi semacam “experimen garden” (kebun percontohan) yang dapat menghasilkan buah yang berkualitas baik.

Apa pentingnya mencintai Taurat Tuhan? Menurut Mazmur ini, bahwa dengan mencintai Taurat Tuhan maka orang menjadi bijaksana (ay.98). Orang yang bijaksana tentu tau apa yang harus dilakukan dan apa yang semestinya dihindarkan. Apa yang sekiranya membawa kepada kebahagiaan, dan apa saja yang sekiranya bisa menjadi bencana! Dengan mencintai Taurat Tuhan, orang diantar untuk lebih berakal budi (ay.99). ini penting! Terlebih karena kita hidup di jaman yang serba keras dan penuh dengan kejahatan seperti sekarang ini, akal budi sangat diperlukan. Tidak cukup hanya bertadah tangan dalam doa kepada Tuhan semata. Tetapi dengan usaha. Usaha yang berakal budi tentu saja! Usaha yang selaras dengan maksud Tuhan, itu persisnya! Orang yang mencintai Taurat Tuhan juga pasti tahu jalan mana yang harus ia lalui. Jalan kejahatan yang membawa bencana semisal korupsi umpama, tentu dihindarinya (ay.101). Ya, jalan yang belok-belok, atau mudah terobang ambing oleh berbagai bujukan atau tawaran dunia yang menyesatkan tentu tidak ia suka (ay.102,104).

Kita hidup di jaman di mana ilmu pengetahuan semakin tinggi. Namun sekaligus moral-etis semakin menuju ke titik nadir terendah. Jalan pintas tidak jarang seolah jadi pilihan untuk mengatasi segala kesulitan. Tuhan semakin dikebelakangkan. Nilai-nilai kejujuran semakin langka. Dusta, penipuan, intrik-intrik busuk merajalela. Menghalalkan segala cara juga seolah hal biasa demi untuk mendapatkan kedudukan, jaminan hidup, dan kebahagiaan. Toh semuanya hanyalah semu semata (ay.104). Orang mungkin pergi ke gereja juga, tapi tidak jarang hanya dijadikan semacam obat stress penenang bathin yang sementara, sebelum bertarung kembali dalam kancah kehidupan selanjutnya. Karenanya tidak heran bila yang dicari adalah soal kepuasan untuk mendapatkan ketenangan bathin saja, bukan kekuatan yang dari Tuhan supaya diberikan kesanggupan untuk menjadi saluran berkat, toh pun situasi sekarat!

Dalam situasi yang demikian, nas ini menantang kita selaku umat Tuhan untuk lebih mawas diri. Untuk menjadikan Taurat Tuhan sebagai landasan kehidupan. Sudahkah saya selaku “bue” (kakek) atau “tambi” (nenek) mewariskan nilai-nilai luhur kehidupan sebagai bukti betapa dicintainya Taurat Tuhan? Sudahkah saya selaku “abah” (ayah) atau “umai” (ibu) meneladankan kesetiaan iman kepada “anak-esu” (anak-cucu) untuk mewariskan “hadat pambelom utus itah” (kehidupan etis-moral kaum kita)? Atau juga, sudahkah saya selaku orang muda mempersiapkan diri sebagai generasi penerus yang dapat dibanggakan bagi orang tua, keluarga, masyarakat atau gereja? Atau malah menjadi sampah yang kehadirannya hanya tambah mengotori dunia? Semua  jawabannya tentu berpulang pada seberapa besar rasa cinta kepada Taurat Tuhan dijadikan pedoman. Seberapa besar rasa takut akan Tuhan dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan!

Pdt. Kristinus  Unting, M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar