Renungan GKE

Senin, 22 Oktober 2012

SUPAYA BENAR-BENAR BERBAHAGIA


Mazmur 119:105-112

Pada hakikatnya bahwa semua orang menginginkan “kebahagiaan” dalam hidupnya. Bukan yang sebaliknya. Tetapi apa sih sebenarnya “kebahagiaan“ itu? Ini penting! Karena tidak sedikit orang keliru memahaminya. Tidak sedikit pula orang keliru dalam cara dan tempat dimana memperolehnya. Ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu sama dengan kepuasan, sesuatu yang segera dapat dicicipi, dapat memuaskan keinginan hati. Atau apabila sesuatu cita-cita dapat dicapai. Apa hanya ini yang disebut kebahagiaan?

Ada juga yang beranggapan bahwa orang akan berbahagia apabila ia dapat memenuhi segala kebutuhannya: uang yang banyak, memiliki cukup fasilitas, mobil-mobil yang memenuhi selera, pakaian-pakaian yang memenuhi selera, obat agar tetap awet muda, shampoo, cream yang membuat rambut dan wajah tetap ayu dan segar. Oh, saudara…. siapa yang mengatakan bahwa semuanya itu tidak perlu? Siapa yang mengatakan bahwa orang yang memilikinya tidak disebut berbahagia? Tetapi tetap pertanyaannya, apa itukah letak kebahagiaan yang sesungguhnya? Atau hanya sekedar kebahagiaan yang sementara?

Beberapa tahun yang lampau, putri salah seorang jutawan di Korea bunuh diri. Padahal ayahnya adalah seorang jutawan yang sanggup memberikan kepada putrinya apa saja yang dibutuhkannya. Dia bisa membeli segala makanan yang diinginkannya. Dia bahkan memiliki sebuah mobil yang indah lengkap dengan sopirnya. Dia selalu mempunyai uang yang cukup, namun dia masih belum mempunyai kebahagiaan dalam hatinya. Akhirnya dia masuk dalam WC, menuangkan bensin pada tubuhnya dan membakar dirinya sampai mati.

Lalu apa sesungguhnya “kebahagiaan” itu? Dan dimana mendapatkannya? Nah, ini! Bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya, sebenarnya terletak dalam gaya hidup yang takut akan Tuhan, selalu berusaha menempatkan diri di jalan Tuhan. Rasa takut kepada Tuhan adalah rasa takut yang mengandung unsur pengagungan yang penuh hikmat, rasa tunduk yang suci, pengagungan yang kudus, penuh dengan rasa hormat kepada Sang Pencipta. Seluruh akal budi, hati dan rasa ditundukkan kepada keagungan dan kebesaran akan cinta kasih Tuhan. Diterangi oleh Firman Tuhan! Atau dalam bahasa puitis, seperti yang digambarkan pemazmur: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (ay. 105).

Apa alasannya? Karena kebahagiaan semacam ini adalah kebahagiaan yang langgeng dan mampu bertahan; kebahagiaan yang tidak tergantung pada situasi apa pun, tidak tergantung dari kecukupan atau kekurangan materi. Inilah dasar kebahagiaan yang kokoh, selalu segar. Kebahagiaan yang mendalam, yang mampu melenyapkan segala ketakutan, dan tidak pernah menyesatkan. Itulah sebabnya pemazmur dengan nada pengharapan mampu mengungkapkan, “Aku sangat tertindas, ya TUHAN, hidupkanlah aku sesuai dengan firman-Mu.” (ay.107). Bahkan sungguh luar biasa, pemazmur katakan bahwa ia mampu selalu menyatakan persembahan sukarela dalam puji-pujian senantiasa, toh pun mempertaruhkan nyawa, Taurat Tuhan takkan pernah mau ia lupakan! (ay.108-109). Tidak hanya terhenti sampai di situ, bahkan ketika menghadapi jerat dari orang-orang fasik, pemazmur tidak sampai terjerat dan tersesat. Ia tetap hidup dalam kebenaran menurut ketetapan dan jalan Tuhan (ay.110).

Di mana letak “kebahagiaan” itu yang sesungguhnya? Tidak lain dan tidak bukan, seperti kata pemazmur, milikilah firman Tuhan layaknya sebagai harta pusaka. Kenapa dikatakannya kebahagiaan yang seperti ini sempurna? Pemazmur sendiri memberikan jawaban secara jelas, bahwa harta pusaka, yaitu firman adalah sempurna, karena dapat memberikan secara utuh kegirangan bagi hatinya (ay.111). Ya, kegirangan secara utuh dan menyeluruh, bukan yang setengah-setengah, atau tergantung situasi! Kebahagiaan seperti inilah yang pasti mampu bertahan toh pun menghadapi berbagai pergumulan kehidupan, bahkan tahan hingga ketika menghadapi hari penghakiman! AMIN.

Pdt.  Kristinus Unting, M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar