Renungan GKE

Senin, 18 Maret 2019

DOSA DAN PENDERITAAN


Lukas 13:1-5

Apakah manusia menderita dan mati dilanda musibah umpama, selalu akibat dosa-dosanya? Apakah manusia yang sukses, melimpah segalanya, anak-anaknya berhasil pendidikan, terhindar dari bencana hingga mati dengan tenang selalu dianggap sebagai orang benar karena Allah berkenan memberkatinya? Jika demikian adanya betapa jahat dan kejamnya Allah itu.

Beberapa waktu lalu, manakala peristiwa bencana melanda di Palu, ada yang dengan bangga memposting gambar gereja tetap berdiri kokoh di kelilingi bangunan lain yang telah roboh dihantam bencana. Secara implisit, si pengirim gambar seolah mau mengatakan “lihatlah rumah Tuhan, tempat suci, tempat beribadah umat setia tanpa dosa, tetap kokoh karena Tuhan yang melindungi dan memberkatinya.”

Cara berpikir orang-orang pada zaman Yesus, terus melekat dan banyak mempengaruhi cara berpikir manusia dalam menilai sesamanya. Hingga mengokohnya dalam suatu ajaran yang disebut “Teologi sukses”! Bila tak sembuh-sembuh dari sakit, nah, pasti karena kurang beriman! Kena kutukan Tuhan! Bila sukses, nah, pasti karena hidup taat dan beriman! (Ay.1).

Apakah orang-orang Galiea yang mati dibantai Pilatus ketika mempersembahkan korban karena dosa mereka? Betapa naifnya cara berpikir yang demikian. Yang hanya menghakimi orang berdosa atau tidak berdosa hanya menilai berdasarkan dari cara mati seseorang.

Menentang pemikiran yang keliru, Yesus membentangkan suatu peristiwa yang hampir sama, peristiwa yang juga telah berlangsung tidak begitu lama berselang, soal delapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Bukankah di Siloam ada sebuah kolam, Malaikat Allah sesekali turun menggocangkan kolam itu dan menyembuhkan banyak orang? Tapi kenapa musibah itu koq juga bisa terjadi di sana? (Ay.4).

Menurut Yesus, bahwa orang yang mati karena ditimpa musibah, belum tentu lebih berdosa dari orang yang mati tanpa kena musibah. Dosa seseorang tidak dapat dinilai dari cara matinya. Tetapi kemana setelah dia mati. Yang sangat prinsip, bukanlah soal bagaimana cara mati, tetapi apakah ada pertobatan sebelum menuju mati?

Yesus sendiri bahkan mati dengan cara paling keji yang pernah ada di muka bumi. Mengalami penderitaan, terhina, hingga mati di salib, laksana seorang penjahat besar! Namun matinya justru laksana pupuk yang memberikan arti kehidupan. Dan apakah artinya mati dengan tenang tetapi akhirnya binasa menuju neraka, karena selama hidup tiada pertobatan? Karenanya, bertobatlah selagi ada kesempatan pintu pengampunan, sehingga beroleh kehidupan kekal setelah kematian! Bukan sekedar sukses selama hidup, tetapi menderita setelah kematian. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar