Renungan GKE

Sabtu, 09 Maret 2019

YESUS DIMULIAKAN DI ATAS GUNUNG





Lukas 9:28-36

Pada suatu ketika Yesus naik ke atas gunung. Petrus, Yohanes dan Yakobus dibawa-Nya ikut serta. Yesus naik ke atas gunung itu tentu ada maksudnya. Bukan perjalanan biasa, bukan untuk piknik menikmati keindahan alam biasa. Bukan, bukan demikian! Tetapi ada sesuatu yang khusus. Sesuatu yang amat penting. Ia naik ke atas gunung untuk berdoa. Kenapa harus naik berlelah-lelah ke atas gunung bila hanya sekedar untuk berdoa? Kenapa tidak di rumah saja, atau di pinggir pantai, atau di Bait Allah saja? Atau di tempat lain misalnya?

Di atas gunung, jauh dari hiruk pikuk keramaiaan. Situasi yang tepat untuk berdoa. Tenang, teduh, dan fokus. Di samping itu, menurut para penafsir, bahwa gunung juga melambangkan tempat yang tinggi! Dan di tempat yang tinggi itu Yesus hendak membawa beberapa murid kepada hadirat Allah, eksistensi tertinggi dari kemahakuasaan Bapa-Nya. Sepanjang malam itu Yesus berdoa.

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya atas pergumulan yang maha berat. Pergumulan berat atas cawan penderitaan yang sebentar akan ditanggung-Nya atas dosa-dosa manusia. Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilauan. Yesus penuh cahaya menyilaukan. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya.

Dalam kemuliaan itu nampak Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus dan tampaklah tiga orang sedang bercakap-cakap dalam kemulian: Yesus, Musa, dan Elia. Dalam ayat 31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan sorgawi yang ada di bumi.

Bagaimana reaksi tiga murid menyaksikan suasana kemulian? Oh, saudara… para murid terbangun setelah ketiduran. Petrus secara spontan menjadi juru bicara mewakili para murid dan kita semua: “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (ay.33b).

Kenapa Petrus berkata demikian? Karena kagum, heran bercampur takut, menyaksikan kedahsyatan kemuliaan yang terjadi. Petrus tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, selain hanya ingin mengabadikan peristiwa yang baru saja mereka saksikan. Tidak! Peristiwa tersebut tidak hanya untuk diabadikan! Mereka tidak boleh berlama-lama di atas gunung itu. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera memikul salib. Dan para murid harus turun menghadapi realita kehidupan!

Ketiga murid Yesus ini mewakili para murid, juga mewakili karakter pada umumnya kita manusia. Petrus adalah karakter si pemberani tetapi terkadang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Yakobus tipe murid yang tidak banyak bicara, jarang tampil memukau di depan umum, namun banyak karya. Sedangkan Yohanes adalah karakter orang cerdas, punya potensi besar, tetapi sedikit mandul dalam karya nyata.

Di atas gunung itu mereka perlu dibentuk untuk menjadi manusia-manusia berkarakter, dibaharui dan dikuatkan. Para murid akan melewati masa-masa sulit dalam hal mengikut Yesus, sementara iman mereka masih kerdil serta kurang mengerti pengajaran Yesus tentang penderitaanNya.

Pergumulan yang dihadapi Yesus adalah gambaran pergumulan yang juga kita hadapi dalam dunia nyata kita. Sebagai anak-anak Tuhan bagaimana sikap kita ketika menghadapi pergumulan dan penderitaan? Yang terbaik adalah ini! Milikilah sikap Yesus yang lebih bersungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya. Berdoa dan berserah. Berserah bukan menyerah! Tetapi berserah untuk diisi penuh oleh Allah sehingga beroleh kekuatan hadapi seberat apa pun masalah!

Berdoa dan berserah berarti mengarahkan hati kita kepada Allah, menyisihkan waktu untuk mendengar, merenungkan karya Allah dalam keheningan, memberi perhatian hanya kepada Allah, dan masuk ke dalam kehendak-Nya. Seorang teolog termasykur Paul Tillich pernah mengatakan “Jika kita mampu menyerahkan diri kepada Allah di tengah pergumulan, tetap percaya kepada-Nya, maka rahmat Allah menyentuh kita justru bila kita sedang dalam kesusahan dan kegelisahan besar, rahmat Allah tetap menyentuh kita, toh pun kita berjalan di lorong-lorong kehidupan yang kosong dan hampa.” Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar