Lukas
9:28-38
Pada
suatu ketika Yesus naik ke atas gunung. Petrus, Yohanes dan Yakobus dibawa-Nya ikut
serta. Yesus naik ke atas gunung itu tentu ada maksudnya. Tapi bukan maksudnya untuk piknik menikmati
keindahan alam biasa. Bukan, bukan demikian! Tetapi ada sesuatu yang khusus. Sesuatu yang amat penting. Apa itu? Nah
ini! Ia naik ke atas gunung untuk berdoa. Kenapa harus naik berlelah-lelah ke atas gunung bila
hanya sekedar untuk berdoa? Kenapa tidak di rumah saja, atau di pinggir pantai,
atau di Bait Allah saja? Atau di tempat lain misalnya? Kenapa untuk doa yang
khusus ini Yesus dan mengajak tiga orang muridnya harus bersusah payak naik ke
atas gunung segala? Dan kenapa hanya
tiga orang murid yang dibawa serta? Kenapa tidak semuanya? Gunung melambangkan tempat yang tinggi! Dan di tempat
yang tinggi itu Yesus hendak membawa mereka kepada hadirat Allah, eksistensi
tertinggi dari kemahakuasaan Bapa-Nya.
Yesus
naik ke atas gunung bukanlah dalam
rangka perjalanan biasa-biasa. Seperti Abraham membimbing anaknya Ishak ke
puncak gunung, demikian Yesus membimbing para murid. Sesuatu yang ‘ajaib’ akan
terjadi. Ketika Abraham membawa Ishak, di puncak gunung hanya ada mereka berdua
dan kuasa Allah yang menaungi mereka. Demikianlah ketika Yesus membawa para
murid, di sana hanya ada mereka saja dan kuasa Allah. Bagi Abraham, peristiwa
di gunung adalah ujian bagi keteguhan imannya. Allah melihat keteguhan iman
Abraham, Ishak tidak jadi dibunuh, Allah menyediakan seekor domba jantan
sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Demikian pun pada peristiwa Yesus membawa para murid ke atas
gunung, untuk melihat keteguhan imannya.
Dan, oh,
ya… kenapa hanya tiga murid yang dibawa ikut serta? Kenapa tidak semuanya?
Karena tiga orang murid ini, Petrus, Yakobus, Yohanes, adalah kelompok inti
dari duabelas murid Yesus. Ketiga murid
Yesus ini mewakili para murid, juga
mewakili karakter pada umumnya kita manusia. Petrus adalah karakter si
pemberani tetapi terkadang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Yakobus
tipe murid yang tidak banyak bicara, jarang tampil memukau di depan umum, namu
banyak karya. Sedangkan Yohanes adalah karakter orang cerdas, punya potensi
besar, tetapi sedikit mandul dalam karya nyata. Di atas gunung itu mereka perlu
dibentuk untuk menjadi manusia-manusia berkarakter, dibaharui dan dikuatkan. Para murid akan melewati masa-masa sulit
dalam hal mengikut Yesus, sementara iman mereka masih kerdil serta kurang
mengerti pengajaran Yesus tentang penderitaanNya.
Alkitab mencatat: “Kira-kira delapan hari sesudah segala pengajaran itu, Yesus membawa Petrus,
Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa.” (ay.28). Sepanjang malam itu Yesus
berdoa.Tentu saja ini bukan doa biasa. Tapi doa dalam pergumulan. Doa memohon
kekuatan kepada Bapa-Nya atas pergumulan yang maha berat. Ya, pergumulan berat
atas cawan penderitaan yang sebentar akan ditanggung-Nya atas dosa-dosa
manusia.
Apa
yang menarik dalam peristiwa itu? Ketika
berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih
berkilau-kilauan. Untuk menggambarkan pemandangan unik ini, Injil Lukas mencoba
menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengelantang pakaian seperti
itu. Kesan ini memberi makna bahwa yang terjadi pada Yesus bukan karena
pakaiannya. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia,
tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya. Pengetahuan kita mengenai
alam baka terbatas, sehingga kita tidak dapat memahami dengan baik peristiwa
ini. Yang jelas, Yesus penuh cahaya menyilaukan. Alkitab juga menyaksikan bahwa
dalam kemuliaan itu juga Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus dan
tampaklah tiga orang sedang bercakap-cakap dalam kemulian: Yesus, Musa, dan
Elia.
Kenapa
hanya Musa dan Elia? Musa
dan Elia mewakili setiap orang yang pernah diutus oleh Allah menjadi perantara
kepada manusia. Musa diutus untuk membawa pembebasan kepada bangsa Israel.
Pembebasan itu bersifat duniawi. Pembebasan seperti itu tidak pernah dapat
membebaskan dengan sepenuhnya. Manusia tetap berdosa, pemberontakan terhadap
TUHAN tetap akan terjadi. Oleh karena itu kali ini, Allah mengutus AnakNya
sendiri (Yoh. 3:16). Pembebasan yang dibawa oleh Yesus bukan semata-mata
pembebasan secara duniawi, tetapi kehidupan kekal. Dalam
ayat 31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya
yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa
Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan
sorgawi yang ada di bumi.
Bagaimana
reaksi tiga murid menyaksikan suasana kemulian? Oh, saudara…para murid
terbangun setelah ketiduran. Petrus secara spontan menjadi juru bicara mewakili
para murid dan kita semua: “Guru, betapa
bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah,
satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (ay.33b). Nah..nah..nah…
sekarang muncullah sifat kedagingan manusia! Hanya ingin bernikmat-nikmat saja!
Hanya kerasan di tempat kemuliaan saja. Tidak! Mereka tidak boleh berlama-lama
di atas gunung itu. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera
memikul salib. Dan para murid harus turun menghadapi realita kehidupan!
Pergumulan
yang dihadapi Yesus adalah gambaran pergumulan yang juga kita hadapi dalam dunia
nyata kita. Sebagai anak-anak Tuhan bagaimana sikap kita ketika menghadapi
pergumulan dan penderitaan? Yang terbaik adalah ini! Milikilah sikap Yesus yang
lebih bersungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya. Ya…berdoa dan berserah. Berdoa
dan berserah berarti mengarahkan hati kita kepada Allah, menyisihkan waktu
untuk mendengar, merenungkan karya Allah dalam keheningan dan memperlambat
keinginan-keinginan kita, sehingga kita memberi perhatian hanya kepada Allah,
dan secara rahasia hadir dan masuk ke dalam kehendak-Nya. Seorang
teolog termasykur Paul Tillich pernah mengatakan “Jika kita mampu menyerahkan diri kepada
Allah di tengah pergumulan, tetap percaya kepada-Nya, maka rachmat Allah menyentuh
kita justru bila kita sedang dalam kesusahan dan kegelisahan besar, rahchmat
Allah tetap menyentuh kita, toh pun kita berjalan di lorong-lorong kehidupan
yang kosong dan hampa.” Amin!
(Pdt.Kristinus
Unting, M.Div)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar