Markus 9:42-50
Kenapa Yesus berbicara soal penyesatan kepada para murid? Kenapa soal anak kecil koq dibawa-bawa? Apa istimewanya? Bahkan Yesus sangat keras menyoal penyesatan jika hal itu terjadi terhadap para anak kecil yang percaya. Ucapan Yesus pasti ada dasar dan alasannnya. Yang pasti, tentu karena ada penyesat dan banyak orang dirinya tersesat. Jika tidak, mana mungkin Yesus bicara sangat keras soal penyesatan yang terjadi.
Bila kita menyimak konteks nas sebelumnya, maka semakin jelas duduk perkara soal penyesatan seperti Yesus maksudkan. Dua peristiwa dekat sebelum Yesus memperingatkan soal penyesatan kepada para murid. Pertama-tama, para murid mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka (Ay.33-37). Lalu peristiwa berikutnya, manakala para murid mau melarang karena ada seorang yang bukan murid Yesus (bukan golongan mereka) mengusir setan demi nama Yesus (Ay.36-41).
Rupanya para murid masih diliputi pemikiran kedagingan untuk menjadi yang terpenting, selamat sendiri, senang sendiri, merasa sebagai yang paling istimewa, paling berhak tentang kerajaan Sorga, dan dengan berbagai cara untuk menggapainya. Sedangkan yang lain (yang bukan golongan kita), tidak berhak, tidak penting (apalagi anak-anak) atau orang kecil dianggap tidak level, tak perlu dijatahkan. Prioritas paling belakangan. Sekedar jadi objek. Atau seperti dalam istilah: “Senang bila melihat orang susah, dan susah bila melihat orang senang”.
“Penyesatan” berakar di ranah hitam pemikiran, niat, kehendak yang dikendalikan oleh illah roh jaman keinginan daging untuk mencari keuntungan diri sendiri. Menghalang-halangi orang lain, menjadi batu sandungan, membuat orang lain tersakiti, terperangkap, tidak bisa bergerak maju. Hingga akhirnya orang lain terjatuh, tersesat. Malah menyimpang dari ajaran Tuhan. Tepat sekali untuk menggambarkan apa yang Yesus maksudkan, seperti dalam bahasa aslinya “skandalon” (Ibrani) yang berarti "jerat”, “perangkap" atau "batu sandungan".
Kenapa Yesus sangat keras memperingatkan tentang penyesatan terhadap seorang anak? Karena merekalah para generasi penerus yang akan menggantikan generasi pendahulunya. Cara hidup, persekutuan, pola bergereja, keadaan masyarakat akan ditentukan oleh apa yang ditanamkan kepada mereka sejak kecil. Mentalitas, moralitas, spiritualitas sejak kecil menjadi darah daging mereka, dan sulit untuk dirobah manakala mereka telah menjadi dewasa atau menjadi orang tua. Akan berdampak ketika mereka jadi para penatua & Diakon, atau jadi pemimpin masyarakat. Bisa menbawa kemajuan berkat atau malah jadi penghambat kemajuan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila sejak kecil diajarkan sesuatu yang salah. Akan sangat kuat berpengaruh pada jiwanya dan sulit untuk dirobah. Bila sejak kecil sudah diajar sesuatu yang salah, Tuhan itu seolah teman sepermainan mereka. Dengan enteng saja mengatakan “Selamat pagi Bapa, selamat pagi Yesus, selamat pagi Roh Kudus”!
Dapat dibayangkan bila sejak kecil mereka sudah terbiasa belajar lebih banyak waktu ke mall, belanja apa saja sesuka-suka, berapa pun habisnya, tapi tidak untuk gereja, atau persembahan dari yang sisa-sisa, sesuka-suka, sambil terngiang di otaknya ajaran salah kaprah “biar memberi sedikit, yang penting hatinya banyak”. Atau pengajaran penyesatan yang salah ditafsirkan: “bila tangan kananmu memberi, jangan sampai diketahui tangan kirimu”, untuk menutupi pemberiannya yang sedikit, malu entar keliatan yang duduk di dampingnya. Mentalitas korup sudah tertanam sejak kecil. Sungguh berbahaya!
Kenapa terjadi penyesatan? Yang jelas, karena waktu kecil tidak mendapat pembinaan mental, moral, spiritual yang memadai dalam keluarga. Tidak tahu (buta akan kebenaran Firman Allah). Keinginan daging lebih dominan dalam kehidupan. Juga sikap skeptis (kekuatiran berlebihan) tentang hidup. Masalah hidup selalu dicarikan jalan keluar yang serba mujizat cepat, doa serba terjawab cepat saji. Menginginkan yang serba instan, jalan pintas untuk mendapatkan apa yang diharapkan (Bdk. Yud.1:20-22).
Kenapa orang bisa tersesat? Karena tidak memiliki rasa takut akan Tuhan. Dibakar oleh api dosa. Dosa dianggap hal yang sepele saja. Uang kolekte bisa-bisa disunat juga kayak copet, karena Tuhan-kan "maha pengampun"? Juga tidak heran bila orang rela jadi gembong narkoba karena sulitnya lapangan kerja. Para generasi muda jadi sasaran. Jaringannya kayak ranjau di mana-mana. Jangan coba-coba, tidak cukup dikhotbahkan hingga berliuran dari atas mimbar saja.
Menghadapi penyesatan tidak cukup oleh satu dua orang saja. Tidak cukup dibebankan lewat khotbah para ulama semata. Karena yang di luar sana tertawa-tawa kayak Ninja misterius entah siapa, dari mana dan akan ke mana. Karena (seperti yang diberitakan oleh berbagai media), eh ada juga ulama jadi gembong narkoba! Masalah mentalitas, moralitas, spiritualitas ditambah pengaruh lingkungan, serta pendidikan seharusnya sebuah rangkaian yang mestinya menjadi satu kesatuan untuk menuntaskan. Dapat dibayangkan bila itu tidak jalan. Hanya menyalahkan para orang tua yang sibuk kerja mencari sesuap makan.
Menarik untuk disimak pendapat Seto Mulyadi (seorang Psikolog anak) tentang apa yang terjadi berkaitan dengan dunia pendidikan anak-anak kita: “Ini kekeliruan dunia pendidikan kita, yang menganggap mata pelajaran sains lebih penting, dan mendiskriminasi budi pekerti. Akibatnya banyak anak cerdas yang justru terjerumus dalam narkoba, seks bebas, tawuran, dan korupsi ketika dewasa.” Hanya dipicu supaya otaknya cerdas, tapi miskin mentalitas dan spiritualitas? Apalagi bila ditunggangi intrik-intrik busuk politik membangun dinasti kekuatan. Dapat dibayang kan di dunia kita apa yang terjadi?
Oh, penyesatan…. Menjelang akhir jaman, semakin kentara penyesatan. Terjadi di mana-mana. Kapan saja. Oleh siapa saja. Salah siapa? Kenapa? Kita tak perlu cari kambing hitam. Kita semua harus berbenah diri. Bukan sekedar hanya menyalahkan para orang tua, ulama, gereja, dunia pendidikan, atau para penguasa. Tapi kita semua. Kita semua perlu bebenah diri. Mulai dari mana? Mulai dari di sendiri! Kita sendiri jangan tersesat. Sebab bila tersesat, bagaimana dapat menuntun orang lain ke jalan yang benar? Bila kita sendiri tidak memiliki dasar iman dan kokoh, gereja sini, gereja sana, ikut sini, kadang-kadang ikut sana. Tuhan sini Tuhan sana, apa yang dapat diharapkan?
Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan anggap enteng dosa. Jangan coba-coba. Atau hukuman Tuhan dianggap sepi saja. Cermati secara dalam apa kata Yesus: “Dan jika tangamu menyesatkan engkau, penggallah…..Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah….. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah…..” (Ay.43-47). Tentu saja Yesus tidak berbicara secara harapafiah. Tetapi memperingatkan dengan keras supaya sungguh-sungguh serius untuk menjaga tangan, kaki, dan mata yang sekiranya menjadi batu sandungan bagi orang lain, atau malah menyesatkan diri sendiri.
Penyesatan memang selalu ada, tak mesti kita harus jadi korban penyesatan bila kita memang tegas tak ingin tersesat! Walau terlindung camera CCTV dan ada kesempatan untuk curi uang orang, bila kita memiliki kepribadian yang mapan, tak bakalan jadi batu sandungan, atau kaki melangkah menuju penyesatan. Bila sudah terbina, terlatih sejak kecil memberi persembahan yang terbaik dan terbanyak, tidak ada yang menjadi persoalan dalam kehidupan beriman. Ibarat garam murni yang asin, tak bakalan jadi hambar oleh perobahan situasi dan kondisi.
Masalahnya, bagaimana kita akan mewariskan nilai-nilai kejujuran, jiwa pemurah bila sejak kecil kita sendiri hidup di lingkungan orang tua yang pelit, sebelum berangkat ke gereja selalu diajar disuruh ke warung menukarkan uang besar dengan recehan untuk dimasukan ke kantong-kantong persembahan? Setiap Om atau Tante yang bertamu ke rumah datang dari kota, selalu dibisikan ke telinga sang anak, “Nak…nah…coba minta duit sama Om/Tante, mereka banyak duit!”.
Lalu ketika jadi orang sekali pun, tak pernah memiliki jiwa pemurah dan memberi, yang ada di otaknya adalah tukang meminta. Minta pelayanan, minta dinomorsatukan, minta diprioritaskan, minta diutamakan. Tapi tak pernah memberi apa yang terbaik dari dompetnya. Buah yang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya.
Persoalannya, apakah kita selalu mempunyai “garam” yang murni dalam diri kita? Jujur, pemurah, perduli, sikap menghargai, tidak cari masalah dengan orang laiin sudah diwariskan dari sononya? Garam yang murni pasti selalu berasa, selalu ada asinnya. Pasti mencegah pembusukan, bahkan setiap masakah selalu nikmat di mana saja. Kecuali kalau garam itu (hambar), apa yang dapat diteladankan, dicontohkan dan dikatakan kepada para anak kecil, remaja, para pewaris nilai-nilai luhur kita untuk masa yang akan datang? Amin!
Selamat hari Anak, Remaja & Kesejahteraan keluarga GKE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar