Renungan GKE

Selasa, 20 November 2018

KETIKA HATI NURANI DIKALAHKAN KENYAMANAN DIRI




Yohanes 18:33-37

Gedung pengadilan itu, adalah saksi bisu sejarah dimana pernah terjadi peristiwa pengadilan Illahi VS pengadilan manusiawi sedang berlangsung dalam waktu bersamaan! Di ruang pengadilan itu, Yesus diproses perkara-Nya oleh sang penguasa (pengadilan manusiawi) bernama Pontius Pilatus! Namun di ruang pengadilan yang sama, tanpa disadari oleh manusia, juga sedang berlangsung pengadilan terhadap Pontius Pilatus, sang penguasa dunia, oleh sang penguasa alam semesta (pengadilan Ilahi), raja di atas segala Raja, Yesus Kristus yang berasal dari kemuliaan Sorga!

Kalimat padat, bergengsi, sarat makna, terukur penuh isi, silih berganti dilontarkan saling menginterogasi. Forum pengadilan kelas tertinggi yang pernah ada. Bertemunya pengadilan Illahi vs pengadilan manusiawi pernah digelar di bumi. Berakhir pada ketokan palu masing-masing, oleh cara keputusan standar kebenaran manusia dan sekaligus ketokan palu cara keputusan standar kebenaran Ilahi! Di ruang pengadilan itu, sungguh kentara apa yang terjadi. Sifat manusia, penguasa dunia yang rela mengorbankan orang lain demi keamanan dan kenyamanan diri sendiri. Sedangkan Tuhan Yesus rela mengorbankan diri Nya sendiri demi keamanan, kenyamanan, dan keselamatan manusia.

Pada awal pembuka, Yesus diinterogasi oleh Pilatus dengan satu pertanyaan sederhana, namun sarat muatan politis: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” Kenapa pertanyaan seperti ini yang diajukan? Orang sekelas Pilatus tentu tidak sembarangan. Sebagai seorang penguasa digjaya, pemimpin berkelas dan cerdas, seorang ahli strategi politik, pasti tahu persis apa yang hendak dilakukannya dengan pertanyaan semacam itu! “Engkaukah raja orang Yahudi?”. Pertanyaan itu memang sederhana. Tapi yang pasti bukan pertanyaan basa-basi!

Dengan pertanyaan itu, ada dua makna yang bisa kita tangkap di dalamnya. Pertama, Pilatus ingin memastikan, untuk mengukur, sejauh mana kira-kira kekuatan lawan, sekiranya Yesus ini benar-benar raja seperti yang dituduhkan. Kedua, pertanyaan itu adalah jebakan. bila Yesus menjawab ya, berarti dianggap pemberontak yang akan melawan pemerintah Romawi. Dan ini tentu saja menjadi bahan bagi Pilatus untuk menjatuhkan hukuman seperti yang dituduhkan. Dari jawaban yang diberikan, Yesus ini, bukanlah musuh politik yang dianggap membahayakan dan menjadi ancaman. Kedudukan Pilatus tetap aman!

Sekarang giliran sang penguasa Ilahi, Yesus yang datang dari Allah Bapa, menginterogasi Pilatus! Jawaban Yesus atas pertanyan Pilatus, tanpa disadarinya, pikirannya dan sikapnya sedang diinterogasi, dibedah oleh Allah. Interogasi Yesus terhadap Pilatus: “Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya tentang Aku?” Hati nuraninya diuji. Kepekaannya dilucuti. Tantangan untuk menerima “kebenaran” sejati menanti! Namun sayang seribu sayang, itu tak terjadi. Kenyamanan mengalahkan hati nurani.

Yesus terus mendesaknya, membedah hati nuraninya dengan menjelaskan tentang asal, tujuan dan misi yang dijalankan-Nya. Bahkan “kebenaran” Illahi dibentangkan di hadapannya, sekiranya Pilatus tersadar dan membuka diri. Namun ternyata tidak! Hatinya membeku. Pilatus tetap berkutat melekat erat pada kenyaman diri. Bahkan bernada mengejek “Jadi Engkah adalah raja?” ketika Yesus menjelaskan asal usul dan misi yang dijalankan-Nya. Yang dia lihat, hanya sebatas mata melihat, Yesus yang hanya compang camping. Tidak lebih dan tidak kurang!

Sebagai umat percaya, sadarkah kita akan fungsi, peran, dan harapan Allah pada setiap kita? Ketika berbagai perkara dalam kehidupan dibentangkan? Akankah kebijaksanaan untuk memutuskannya secara arif bijaksana, adil dan benar, setiap ketokan palu yang dipakukan? Atau segalanya dijalankan dengan pertimbangan “yang penting aku aman”? Mempertahankan pilihan yang salah adalah kekonyolan! Sadarilah, pada saat yang sama, ketokan palu pengadilan Allah berlaku atas kita. Keadilan yang sejati hanya bisa terjadi bila orang pertama-tama mau datang, bertobat, membuka diri dan mau diisi oleh Yesus sebagai sumber “kebenaran” yang sesungguhnya. Sudahkah itu kita lakukan? Amin!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar