Yohanes 21:15-19
Menurut saudara, mengapa Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Bukankah apabila kita baca dalam Alkitab, tanpa diragukan, bahwa Petrus adalah seorang murid beriman yang sangat mengasihi Yesus? Di Kaisaria Filipi, bukankah dia yang mewakili para murid lainnya mengungkapkan pernyataan bersejarah bahwa Yesus itu adalah “Anak Allah yang hidup”? (Matius 16:16). Ketika Perjamuan malam sebelum Yesus ditangkap, bukankah Petrus pula satu-satunya murid yang berikrar kepada Yesus: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau? (Lukas 22:23). Tidak kurang di taman Getsemai, bukankah dia juga satu-satunya murid yang mebuktikan kasihnya kepada Yesus, yang dengan gagah berani menetakkan telinga seorang hamba Imam Besar dengan pedangnya, ketika peristiwa penangkapan Yesus?
Bukankah dari semua yang ia ucapkan dan lakukan itu menunjukkan bahwa Petrus sangat mengasihi Yesus? Apakah yang masih dianggap kurang pada diri Petrus? Adakah yang salah dalam penghayatan iman dan kasihnya kepadaYesus? Dan kenapa ia mesti ditanya tentang sesuatu yang malah sudah ia buktikan, bahkan pertanyaan yang sama sampai diulang tiga kali oleh Yesus? Saudara, secara kebiasaan, apabila kita menanyakan seseorang untuk meminta pernyataannya lebih dari satu kali atau berulang-ulang, boleh jadi bahwa sebenarnya kita masih menyangsikan pernyataan orang tersebut. Atau mungkin pula kita menginginkan suatu pernyataan yang sungguh-sungguh sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari orang yang kita tanya.
Pertanyaan Yesus ini pasti menunjukkan ada yang salah dalam penghayatan iman dan kasih Petrus. Andaikata tidak ada yang kurang atau salah pada iman dan kasih Petrus, Yesus pasti tidak bertanya dan memberikan tantangan: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Lalu apa yang salah atau kurang dalam penghayatan iman dan kasih Petrus itu? Nah, disinilah letak persoalannya! Saudara, benar bahwa Petrus mengasihi Yesus, tapi apa yang ia nyatakan atau lakukan bagi Yesus itu adalah didasarkan pada motivasi yang salah! Artinya, bahwa apa yang dilakukan oleh Petrus bukanlah dalam pengabdian kasih yang sesungguhnya. Ia mau berbuat dan bertindak, tetapi juga diiringi harapan agar nama juga ikut besar dan popoler.
Karena itu tidak heran bila Petrus melakukan semuanya kadang-kadang disertai sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu yang utama, sok tahu, sok pahlawan. Tidak jarang pula dibumbui sikap kesombongan dan kecongkakaan yang berbuahkan ketakaburan. Menurut Alkitab, bahwa sikap congkak adalah dosa dan pasti menerima hukuman Tuhan: “Sebab Tuhan semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh serta menghukum semua yang meninggikan diri, supaya direndahkan.” (Yesaya 2:12). Di dalam Alkitab juga dikatakan: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18). Pernyataan Alkitab ini terbukti saudara, sebab bukankah sikap seperti ini yang menghantarkan Petrus kepada pengkhianatan?
Pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah suatu tantangan dalam rangka pembaharuan iman dan kasih Petrus supaya diletakkan pada dasar motivasi yang benar. Saudara, soal motivasi itu sangat penting dan menentukan! Sebaik dan sebesar apapun yang dilakukan orang bila tanpa dilandasi motivasi yang benar tentulah sia-sia dan percuma! Bila kita teliti dengan cermat, kita dapat melihat dengan jelas motivasi yang salah dari Petrus dalam menyatakan kasihnya kepada Yesus.
Pertama: Kasih yang dilandasi sikap “pamrih”.
Sikap pamrih adalah suatu sikap dimana orang mau berbuat, dan dibalik apa yang diperbuatnya dianggap mendatangkan keuntungan. Itulah juga motivasi Petrus mengasihi Yesus. Benar bahwa Petrus berikrar: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau.” (Lukas 22:33). Tetapi ucapan itu dinyatakannya setelah murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Setelah Yesus memperbincangkan soal kerajaan dan tahta, tentang siapa yang akan menghakimi ke-12 suku Israel dan tentang siapa yang akan duduk makan semeja dengan Yesus nantinya (Lukas 22:24-33). Sebab itu saudara, orang yang memiliki sikap pamrih tidak mungkin mau berkorban apalagi sampai menanggung resiko.
Apabila situasi menguntungkan, sebesar apa pun pengorbanan itu pasti akan dilakukan. Tetapi sekiranya situasi tidak menguntungkan, sekecil apa pun itu pasti sulit dilakukan. Perhatikan sikap Petrus. Dalam situasi yang menguntungkan dapat saja ia berjanji setia kepada Yesus: “Sekalipun aku harus mati bersama-sama dengan Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” (Matius 26:35). Tetapi ketika menghadapi situasi yang sulit dan tidak menguntungkan, bukankah dari mulut yang sama terlontar kata-kata penyangkalan? Sikap pamrih memang penuh dengan pertimbangan. Ya, pertimbangan untung rugi tentu saja! Sebab itu tidak heran apabila segala waktu, tenaga, pengorbanan atau juga uang segala macam sulit diberikan, walau itu untuk gereja atau untuk Tuhan sekali pun.
Kedua: Kasih yang didasarkan pada ukuran “prestise”
Saudara, kasih yang didasarkan pada prestise adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan hanya demi gengsi, martabat atau hanya demi mendapatkan nama baik dan kehormatan pribadi. Apabila kita membaca dakam Alkitab, ini juga motivasi Petrus kepada Yesus. Dari data pribadi Petrus terlihat dengan jelas suatu sikap penonjolan diri, ingin menjadi selalu menjadi yang utama. Dari nada bicaranya terdapat kesan kesombongan. Sebagai contoh, dalam ucapannya: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.” (Matius 26:33).
Lalu bagaimana ketika tantangan yang sesungguhnya benar-benar tiba? Nah…nah…nah… kita semua pun tahu dari catatan sikap Petrus dalam Alkitab di sekitar peristiwa penyaliban Yesus. Semua orang Kristen pun tahu itu! (Matius 26:69-74; Markus 14:66-72; Lukas 22:56-62; Yohanes 18:15-18, 25-27). Ya, ternyata Petrus tak mampu membuktikan imannya kepada Yesus. Hanya gara-gara tanya sederhana dari si tua renta kepada Petrus dalam situasi yang agak terjepit di tengah orang banyak. Tapi toh pun demikian, Petrus yang penuh dengan cacat dan kekurangan, tetap saja diterima oleh kasih dari Yesus yang terulur membentang…..
“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?”. Bagai rembulan tertusuk ilalang, pertanyaan itu membentang jalang! Bahwa kenyataannya kasih Petrus yang selama ini dilakukan belumlah merupakan kasih yang sebenarnya! Artinya, bahwa kasih yang selama ini Petrus lakukan belumlah benar-benar mengasihi Yesus, tetapi kurang lebih suatu sikap penonjolan diri semata. Ya, pertanyaan yang menantang untuk dijawab dengan pembaharuan iman dan kasih!
“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Sekarang Yesus semakin memperlunak pertanyaan-Nya (tanpa tambahan kalimat “lebih daripada mereka ini?”). Seolah alam pun ikut muram, pertanyaan kedua menyesak dada! Betapa tidak, suatu pertanyaan halus tapi juga menyengat rasa! Menyadarkan Petrus bahwa kasih yang benar kepada Yesus itu haruslah dimulai dari kerendahan hati, bukan keakuan dan kesombongan diri seperti yang pernah terjadi!
“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”. Laksana bumi gemetar menahan kedahsyatan kawah api, seluruh jiwa raga menatang pertanyaan ketiga! Ya, pertanyan yang meminta kejujuran untuk menyadarkan Petrus, bahwa iman dan kasih yang benar itu haruslah iman dan kasih yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sebatas janji ucapan! Bahwa iman dan kasih yang benar kepada Yesus itu adalah soal tanggungjawab dan harus berani menerima segala konsekwensinya!
Pertanyaan-pertanyaan Yesus pasca kebangkitan-Nya ini adalah dalam rangka pemugaran iman dan kasih, untuk meluruskan motivasi Petrus yang keliru selama ini. Membaharui iman dan kasih Petrus yang masih dianggap kurang mapan! Pertanyaan-pertanyaan Yesus ini bak sembilu menusuk dada, untuk melahirkan kesadaran penuh, untuk menangisi nanah penyangkalan yang pernah dilakukan. Untuk menyesali dan mau membaharui diri dari kejatuhan yang pernah terjadi. Ya, pertanyaan menyala pemberi upaya, supaya bangkit membangun kembali kisah kasih sejati dalam tekad baru kerendahan hati: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (ayat 17c).
Inilah sikap Petrus yang baru. Sikap yang terpuji. Sikap yang perlu kita teladani! Ya, sikap yang berani membaharui diri dan tidak akan pernah berhenti lagi untuk mengasihi Yesus. Inilah sikap yang baru yang seharusnya dimiliki oleh setiap kita yang mengaku-aku percaya kepada Yesus. Ya, ucap janji dan bukti harus sejalan. Karena memang itulah yang paling menentukan! Amin.