Renungan GKE

Jumat, 25 Januari 2019

HANYA MENERIMA ALLAH YANG NECIS



Lukas 4:14-21

Yesus menyatakan kuasa dan kasih Allah. Ia mengajar kebenaran supaya manusia bertobat, mengenal Allah dan diselamatkan. Tidak kurang, mujizat sebagai penyerta pembuktikan kuasa kasih Allah Ia nyatakan. Namun, anugerah Allah tidak serta-merta diterima semua orang. Ada yang menerima dengan sukacita dan menjadi berkat bagi hidup mereka. Tapi sebaliknya, ada juga yang menolak anugerah yang begitu berharga, yang menentukan akhir perjalanan manusia.

Yang menarik dan unik, bila kita teliti secara cermat (dari beberapa nas terkait yang sejajar) di sepanjang pelayanan Yesus menyusuri Wilayah Galilea, justru daerah-daerah yang dianggap orang kafir (Tirus dan Sidon) menerima-Nya dengan antusias dan sukacita. Mereka bertobat, menerima anugerah Allah yang menyelamatkan mereka (Ay.14-5; Bdk.Luk.10:13-15).

Namun sebaliknya, justru di daerah Khorazim, Betsaida, kapernaum, bahkan Nazaret, yang nota bene taat syariat Taurat, rutin beribadah pada setiap Sabat justru yang menolak dengan keras. Padahal di daerah mereka, seperti tercatat dalam Alkitab, adalah daerah yang paling banyak terjadi mujizat. Bahkan tidak jarang mujizat Yesus lakukan di rumah sembahyang mereka. Mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, bukan sekedar mendengar kabar dari orang lain.

Dari beberapa catatan Alkitab, betapa banyak mujizat Yesus lakukan ketimbang di daerah lain. Misalnya: Anak perempuan Jairus dibangkitkan (Mrk. 5:22; Luk. 8:41); Melepaskan orang yang kerasukan setan di Sinagoge (Mrk. 1:21-28); Orang lumpuh yang diturunkan dari atap dan sembuh (Mrk. 2:1-12); Yesus membuat empat murid menangkap ikan dengan cara yang ajaib (Luk. 5:1-11); Dengan ikan, Yesus menyediakan uang pajak yang harus dibayar Petrus (Mat. 17:24-27); Menyembuhkan pegawai panglima Roma yang sakit parah (Mat. 8:5-13); Menyembuhkan anak seorang pegawai raja di pengadilan raja Herodes (Yoh. 4:46-54); Menyembuhkan banyak orang dan mengusir setan, maka “berkerumunlah orang-orang di kota itu didepan pintu” (Mrk. 1:29-34).

Mereka kagum. Mereka terpukau pada ajaran Yesus, namun tidak berdampak apa-apa pada perobahan hati mereka. Mereka tak ubahnya sekelompok orang para pencari ajaran yang menyenangkan telinga. Ibarat orang cari Gereja atau pengkhotbah yang hanya indah dipandang mata. Mujizat harus dihadirkan sebagai pembuktian Allah yang hebat. Bukan ajaran sehat yang mengkoreksi dosa hingga bertobat dan mengenal jalan selamat.

Kenapa terjadi demikian? Kenapa tidak berdampak bagi hidup mereka? Padahal Allah punya niat baik menyelamatkan mereka. Kitab nabi Yesaya yang mereka dengar melalui pembacaan, sekarang digenapkan bagi mereka. Ada di hadapan mata mereka (Ay.18-19). Bila kita cermati, ada beberapa penyebab yang paling mendasar. Inilah beberapa penyebabnya.

PERTAMA: MUIZAT HANYA DIJADIKAN SIRKUS TONTONAN

Di tempat mereka, setelah Yesus membacakan Kitab nabi Yesaya, Yesus tidak melakukan mujizat. Dikatakan dalam nas: “Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk.” “Yesus lalu duduk”. Yesus tahu apa yang mesti dilakukannya. Yesus tidak ingin menjadikan mujizat barang murahan. Mujizat bukanlah tujuan, melainkan sarana sebagai pembuka pintu, supaya manusia mengenal, mengerti, lalu percaya kepada Dia yang adalah berasal dari Allah. Yang menyelamatkan dosa manusia (Ay.20a).

Yesus tahu, bahwa percuma saja melakukan mujizat bagi mereka, tanpa terlebih dahulu mereka membuka hati untuk bertobat. Mujizat bukan bujukan rayuan kekanakan Ilahi supaya orang bermanja-manja memenuhi selera manusia. Tapi sebaliknya, manusia harus bertobat, percaya, maka Allah menganugerahkan kasih-Nya yang melimpah, tidak membiarkan manusia menderita begitu saja tanpa pertolongan apa-apa. Bisa saja dengan cara-Nya yang diluar dugaan manusia, yaitu mujizat!

Kita tidak diajar menjadi orang beriman pemburu mujizat. Cara beriman kekanak-kanakan, yang menjadikan Tuhan laksana jongos memenuhi selera. Tetapi menjadi manusia hidup benar, yang diawali dengan kesadaran akan dosa, bertobat, dan sungguh-sungguh percaya kepada Dia, dan hanya Dia yang dapat menyelamatkan. Tidak pada yang lain.

KEDUA: TIDAK MAU DIKOREKSI DOSANYA

Perhatikan apa kata nas : “…..dan mata semua orang yang ada dalam rumah ibadat itu tertuju pada-Nya” (Ay.20b). Kenapa semua mata mereka tertuju pada-Nya? Karena yang mereka perhatikan adalah gerak-gerik-Nya. Namun dalam hati mereka curiga, seribu tanya dalam benak mereka. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik pikiran mereka. Masa si anak tukang kayu mengajari kita? Apa lebihnya dari kita? Apalagi yang dapat mengampuni dosa kita? Namun mereka jadi kebingungan, karena Yesus mengajar tidak seperti Ahli Taurat mereka.

Ajaran Yesus sungguh memukau. Membuat mereka terpesona. Maksud baik Allah disampaikan dengan jelas bagi mereka. Namun mereka lebih memperhatikan tampilan luar-Nya. Yesus yang compang camping, tampilan yang tak lebih baik dari mereka. Mereka jadi bingung campur curiga. Mujizat yang Yesus lakukan di daerah mereka, tidak cukup kuat untuk membuktikan kepada mereka, siapa Yesus itu sebenarnya. Karena mereka lebih tertarik kepada status sosial-Nya, ketimbang misi apa yang sedang disampaikan-Nya.

Benar saja. Coba perhatikan pada ayat-ayat selanjutnya, ketika Yesus mulai menempelak kedegilan hati mereka dengan keras. Dalam nas dikatakan, mereka sangat marah. Mereka hanya ingin mendengar firman untuk telinga, tetapi bukan untuk hati. Ingin mendengar apa yang menyenangkan, tapi bukan untuk pertobatan (Bdk. Ay.28-29).

KETIGA: HANYA MENERIMA ALLAH YANG NECIS

Mereka sulit menerima Allah yang compang camping, kayak anak si tukang kayu. Mereka hanya memahami Allah itu hanya boleh ada di sorga, tidak mungkin bisa menjelma jadi manusia menginjakkan kaki di bumi. Apalagi jadi manusia Yesus yang compang camping. Hikmat dunia memang sangat sulit menerima Allah bisa jadi manusia. Apalagi sampai menderita, mati, disalib, dikuburkan. Allah tidak mungkin bisa menderita. Allah tidak mungkin bisa mati. Allah tidak mungkin disalib dan dikuburkan. Allah itu satu, maha Kuasa, tiada Tuhan selain Allah. Allah itu harus necis, elegan, berwibawa. Tidak mungkin jadi manusia, apalagi compang camping kayak anak si tukang kayu!

Hal itu terjadi tentu saja karena ajaran Taurat sudah melekat, sejak dari kandungan hingga mereka lahir, jadi kanak-kanak hingga dewasa, sudah menjadi darah daging mereka. Mereka hanya sibuk mempersoalkan identitas Yesus yang tidak necis. Itu artinya, mereka berkesimpulan (menurut ide dasar ajaran Taurat mereka) bahwa Yesus itu tidak mungkin Allah. Karenanya mereka menolak mentah-mentah. Atas penolakan dan kekerasan hati mereka, tidak heran ketiga kota ini mendapat kutukan(Bdk.Mat.11:20-24: Luk.10:13-15).

Puing-puing kota yang telah menghitam berantakan rata dengan tanah layaknya sehabis dilalap api membara kebakaran ini masih bisa disaksikan hingga kini sebagai bukti sejarah hukuman Tuhan atas penolakan terhadap-Nya. Bagaimana dengan saudara dan saya? Anugerah, berkat dan keselamatan hanya berlaku bagi manusia yang merasa tak berdaya, merasa compang-camping, merasa hina di hadapan Allah. Bukan bagi manusia yang berbangga atas kemapanan diri, yang merasa necis, yang tak pernah sadar bahwa Allah sedang menyamar dan menguji nyali kita dengan cara-Nya yang compang-camping! Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar