Renungan GKE

Kamis, 17 Januari 2019

TEKNIK MEMBANGUN RUMAH KEHIDUPAN ANTI GEMPA

 I Petrus 2:1-10

Tempatnya jelas-jelas disebutkan di “pejuru” alias di “pojok”. Tapi bukan berarti suka “mojok” alias menyendiri, menyembunyikan diri, tak mau ikut repot atau direpotkan. Karena memang letaknya di “pojok”, maka kebanyakan orang pun memandangnya seolah “dipojokkan”, namun banyak orang tersandung karenanya, terutama bagi yang kurang memperhatikan. Apalagi yang suka melintas jalan pojok sambil main gadget!
Batu yang satu ini memang letaknya di pojok, tempat yang tidak spesial menarik, tapi fungsi serta peranannya sungguh menentukan daya tahan serta kestabilan bangunan (tidak miring, tidak roboh), sekaligus menjadi semacam tali sifat yang meluruskan bangunan, merekatkan dinding pada sisi yang satu dengan sisi lainnya. Para ahli teknik bangunan pasti mengetahui betapa pentingnya fungsi batu yang satu ini, “batu penjuru”.
Bukan hanya bangunan gedung mewah yang memerlukan teknik bangunan yang menjadikannya kokoh, kuat dan megah, tetapi kehidupan persekutuan kita selaku bangunan imamat yang rajani pun harus dibangun berdasarkan teknik bangunan Firman Tuhan sehingga menjadikannya kokoh, kuat, dan menjadi berkat!
Lalu apa makna serta hubungannya Yesus yang digambarkan sebagai “batu penjuru” oleh Rasul Yakobus dengan kehidupan umat Tuhan yang tersebar di berbagai tempat di perantauan? Dan bagaimana teknik membangun kehidupan persekutuan sehingga menjadi sebuah bangunan rumah rohani, kudus, tahan terhadap gempa kehidupan dan menjadi berkat? Bukan menjadi gudang roboh angker terbengkalai, hanya dihuni para hantu, dracula atau kuntilanak? Ada empat (4) teknik yang harus dikerjakan:
1. Datanglah Pada Yesus Sebagai Batu Hidup (Ay.2, 4).
Untuk membangun kehidupan menjadi rumah imamat yang rajani, yang kudus, yang layak sesuai dengan maksud Allah, maka pertama-tama kita harus datang kepada Yesus Kristus. Bukan datang kepada dukun, tukang santet, ke botol minyak urapan, atau ke pohon besar tempat para jin bersemayam.Tetapi datang kepada Yesus Kristus yang memberi hidup dan menghidupkan.
Istilah “datang” bukan sekedar datang doank! Tapi mensifatkan kesediaan untuk rindu datang dengan pertobatan dan kerendahan diri, lalu diisi, ibarat diisi oleh air susu yang murni, bukan air susu kalengan yang telah bercampur dengan berbagai zat sekedar penyedap rasa! Apalagi susu yang telah kadaluarsa, menjadi racun yang mematikan (Bdk. Ay.2).
Disamping sebagai “batu penjuru”, Yesus juga digambarkan sebagai “batu hidup”. Istilah untuk sebutan kebermaknaan nilai berharga bagi suatu persembahan rohani, kudus dan yang berkenan kepada Allah. Seberapa pun tingginya bangunan yang akan dibangun, bila bukan untuk kegiatan kudus, tidak digunakan untuk kemuliaan Allah, tak ada nilainya bagi Allah. Seberapa pun luasnya bangunan, bila mring, retak, tidak lurus, mudah ambruk oleh berbagai macam tawaran miring di kehidupan. Karenanya, Yesus menjadi batu penjuru yang mahal, sekaligus menjadi “batu hidup” bagi setiap yang percaya, tetapi menjadi batu sandungan bagi yang hidupnya rapuh terombang ambing dan suka menjalani hidup yang miring-miring! (Ay.4).
2. Kesediaan Untuk Dipergunakan Sebagai Batu Hidup (Ay.5).
Dari gambaran yang ada dalam nas, jemaat Tuhan di perantauan bukan lagi gambaranan sebuah bangunan yang kokoh, tetapi bangunan yang tanpa dasar kuat, sehingga rapuh, tidak lurus, retak, dan akhirnya roboh. Kenapa sampai hal yang demikian terjadi? Karena mereka menggunakan patokan standar mereka sendiri. Mereka tak ubahnya semacam “batu mati”, tak mau dijadikan “batu hidup” untuk membangun terus diatas dasar batu penjuru yang ada.
Ketimbang ambil bagian menjadi “batu hidup” bagian utama bangunan, mereka malah lebih memilih untuk menjadi kusen pintu, jendela atau aksesoris lainnya di ruang tamu atau ruang makan, pusat perhatian, atau di tempat-tempat sentral menawan. Atau malahmalah lebih memilih jadi garasi mobil mewah, biar dianggap keren. Bangunan utama tidak terbangun, terbengkalai. Atau dibangun juga ala kadarnya, tidak kokoh, retak, dan menunggu saatnya akan roboh.
Allah tidak menghendaki umat-Nya menjadi “batu mati”, tetapi menjadi batu hidup untuk terus membangun dari dasar batu penjuru yang ada secara kreatif. Segala karunia Allah, berkat, kemampuan, serta segala talenta yang dimiliki harus dipergunakan menjadi “batu hidup” yang memberikan arti tanda-tanda kehidupan bagi bangunan (Ay.5).
3. Bangunlah Bangunan Rohani Untuk memberitakan Perbuatan Allah Yang Besar (Ay.9).
Yesus Kristus adalah batu penjuru Gereja. Itulah dasar dan alasan adanya gereja. Gereja tidak dibangun atas dasar “batu-batu tonjolan” kita manusia. Gereja yang dibangun atas dasar “batu-batu tonjolan” akan menjadi bangunan persekutuan yang aneh dan angker kayak rumah dracula!
Gereja bukanlah pula semacam bangunan casino, komplek pelacuran rohani, atau bamngunan tempat kumpulan sampah. Tetapi semacam rumah kerja para umat terpilih, imamat yang rajani, umat kudus, yang memberitakan serta menampakkan perbuatan-perbuatan besar dari Allah, yang pada gilirannya dihadirkan di berbagai aktivitas realita kehidupan, di keluarga, di kantor, di sekolah atau Universitas, di Rumah sakit, di kerukunan, di pasar, di berbagai aspek kehidupan.
Gereja memang bukanlah kumpulan manusia sempurna, tetapi yang telah disempurnakan oleh Allah. Orang-orang yang telah dipanggil keluar dari kegelapan menjadi terang, mejadi umat kudus milik Allah untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia sebagaimana Dia kehendaki. Hal ini dimungkinkan, bila Kristus benar-benar dijadikan sebagai batu penjuru (Ay.9).
4. Jagalah Mutu standar Bangunan Produk Standar Ilahi (Ay.10).
Allah memanggil umat-Nya atau gereja keluar dari kegelapan ke dalam terang dengan satu maksud yang jelas! Allah tidak menghendaki umat-Nya menjadi “batu tonjolan”, batu yang menonjol sendiri-sendiri lepas dari prosedur bangunan di berbagai tempat yang hanya menjadi beban bagi bangunan. Bangunan menjadi tidak rata, hanya mempersempit bangunan, dan mempercepat robohnya bangunan. Tentu tidak!
Mutu standar kehidupan umat Tuhan atau Gereja akan terjaga bila bermacam kejahatan, tipu muslihat, segala macam kemunafikan, iri dengki, dan saling fitnah, yang membuat miring dan retaknya lingkungan persekutuan harus dibuang. Jika ini masih bercokol, bukan perbuatan Allah yang besar yang diberitakan, tapi kurang lebih tempat kumpulan pelarian manusia sampah, memindahkan sampah dan hanya memperbanyak jumlah “manusia sampah”.
Allah sendiri yang menjadikan standar mutu. Allah sendiri yang menetapkan kita dan menempatkan kita pada kualitas standar mutu, yang dulunya bukan umat Allah, sekarang menjadi umat Allah. Yang dulunya adalah calon penghuni neraka, sekarang diberi belas kasihan oleh korban Kristus. Karenanya, kita hidup bukan asal hidup, tetapi kesadaran akan maksud Allah menjadikan kita untuk menjadi “batu hidup” untuk terus membangun hidup secara kreatif ke arah yang lebih baik berdasarkan kualitas standar ilahi, bukan menjadi “sampah hidup”. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar