Renungan GKE

Rabu, 17 Oktober 2018

MEMINTA JATAH KURSI





Markus 10:35-45

Yesus rupanya (menurut versi mereka) makin tenar saja. Para fans berat-Nya dari bermacam latar belakang. Dari bermacam kalangan. Baik dari kalangan orang terhormat setingkat Nikodemus, Zakheus, juga dari kalangan sekelas si pesakitan Lazarus. Para mantan si buta, mantan si timpang, mantan si kusta, mantan si kerasukan setan, mantan si pendosa, dan banyak lagi mantan-mantan yang lain tentu ada. Terlebih mereka yang pernah bersentuhan langsung dan mengalami atau menerima berkat pertolongan-Nya. Tentu tak ketinggalan, mereka yang pernah kekenyangan makan roti manakala ketika itu mujizat terjadi.

Sepertinya (harapan dari kebanyakan mereka) pada Yesus untuk beroleh pembebasan mendekati kenyataan. Terlebih bagi para murid orang dekat-Nya. Membayang, indahnya masa depan cemerlang hidup di alam kemerdekaan hingga di kemuliaan sorga tinggal menunggu waktu saja. Membayang diri jadi seorang boss kecil sebagai orang kepercayaan sang boss besar, duhai sangatlah menggoda! Maklum, di sana tersedia seperangkat nikmat, segudang kesenangan. Hidup dapat dibuatnya terasa nyaman. Serba menjanjikan. Aneka pasilitas pun tentu tak kurang.

Namun anehnya, Yesus sepertinya belum menentukan nama-nama siapa saja sekiranya akan menduduki kursi jabatan untuk melaksanakan roda pemerintahan. Para murid yang berkepentingan harap-harap cemas. Apakah sang boss besar lupa (maklum karena kesibukan dalam rangka persiapan) menaiki tangga jabatan? Atau jangan-jangan sang boss besar sudah ada pilihan mengantongi nama-nama lain, mungkin nanti diumumkan sebagai kejutan? Tak sabar diri, apakah juga termasuk orang yang dalam daftar pilihan?

Adalah dua orang murid, Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus. Para murid yang tergolong terhormat di kalangan para murid. Cukup berjasa manakala menghimpun kesepuluh murid Yesus pada awalnya. Mereka mendekati Yesus, mencari kesempatan untuk menyampaikan maksud hati. Mencalonkan nama untuk menduduki kursi jabatan terhormat nanti. Benar saja, duhai kesempatan itu ada, laksana pepatah “pucuk dicinta ulam tiba”. Singkat kata, mereka meminta “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan seorang di sebelah kiri-Mu.” (Ay.37).

Apa jawab Yesus? “Kamu salah meminta!”. Apanya yang salah? Apakah duduk di kursi jabatan itu salah? Tidak, tidak salah! Itu baik saja. Hanya motivasinya yang perlu diluruskan. Konsekwensinya perlu diketahui. Apakah meminta jatah kursi itu salah? Tidak. Tidak salah! Hanya masalahnya mereka belum mengerti. Sadarkah mereka tanggungjawabnya apa yang mereka terima? Cawan penderitaan sebagai konsewensi sudah menghadang di muka? Namun luar biasa tekad kedua murid ini. Mereka berjanji “sanggup” untuk menerimanya. Sanggup membayar harganya! (Ay.38).

Lalu sikap kesepuluh murid yang lain? Oh, langsung reflek saja. Dikatakan dalam nas, mereka marah. Marah kepada kedua teman mereka itu. Oh, ya? Tapi bila diselidiki lebih dalam, sebenarnya mereka bukan benar-benar marah. Tapi pura-pura marah. Seakan mereka tak ikut terlibat. Cuci tangan istilahnya. Padahal sebelumnya mereka juga punya niat yang sama. Hanya sayang, kalah taktik, kalah cepat dengan kedua teman mereka. Oh, manusia! Dasar manusia! Kemarin bersama untuk tujuan yang sama. Hari ini koq jadi beda? Teman sendiri sudah jatuh malah ikut ditekan demi menyalamatkan diri sendiri? Ehem, sikap cari aman, cari muka. Gambaran kemanusiaan kita sungguh kentara terwakilkan dalam diri mereka! (Ay.40).

Untuk itulah Yesus memperingatkan para murid supaya mengenakan sifat-sifat hamba yang melayani. Sehingga kursi yang diduduki menjadi berarti dan bernilai tinggi. Bukan malah jadi lupa diri. Seperti yang diteladankan oleh Yesus sendiri, walau sebagai sang penguasa tertinggi pemilik alam semesta, justru meninggalkan kursi takhta-Nya, turun langsung ke lapangan untuk kerja. Mengambil rupa seorang hamba, menderita, bahkan taat sampai mati di kayu salib. Bukan dilayani, melainkan melayani, bahkan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Ay.44).

Mengenakan sifat-sifat "hamba", apa sih nikmatnya? Di sinilah masalahnya. Di sinilah sulitnya! Pasalnya? Apabila orang mau sungguh-sungguh mengenakan sifat-sifat "hamba" maka sekaligus ia harus berani berjalan pada jalan salib! Berjalan pada sebuah keberprilakuan solidaritas kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Kenapa mesti jalan salib? Karena hanya jalan saliblah jalan satu-satunya yang telah teruji kualitas kemapanannya untuk sebuah solidaritas. Tak ada jalan lain. Toh pun ada jalan lain, pastilah jalan pintas namanya! (Ay.45).

Gaya hidup kehambaan adalah gaya hidup berteladankan Yesus sendiri dengan komitmen penuh bersedia merendahkan diri, mengabdi. Turun dari kursi ketinggian yang mengawan-awan. Hadir dan berada di tengah-tengah pergumulan manusia nyata. Berjuang untuk kehidupan manusia yang lebih manusiawi. Bukan sebaliknya, untuk menjadi berkuasa, memerintah dengan tangan besi, semakin meninggi mangawang-awang membangun kekuatan bagi pemuliaan diri sendiri!

Apakah meminta jatah kursi itu dosa? Tidak! Hanya masalahnya, dalam dunia nyata, tidak jarang kursi digunakan sebagai sarana pemasyuran diri pribadi. Kekuasaan lalu menjadi tujuan. Dalam keadaan demikian, nilai-nilai pengabdian dan pelayanan sering menjadi persoalan. Sebab itu dapat kita mengerti jika untuk sebuah kekuasaan, kemashuran serta ketenaran, orang bersedia mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Bahkan mengorbankan orang lain kalau perlu. Demi meraup sejumput kekuasaan dan kehormatan, orang tak segan-segan melepaskan seberapa yang ada di tangan, tetapi tidak di kantong-kantong persembahan. Sikap seperti ini yang Yesus peringatkan.

Kursi menjadi berarti bila menjadi titik berangkat peran pengabdian bagi kemanusiaan dijalankan. Hadir dan berjuang untuk kehidupan yang lebih manusiawi. Hadir di tengah-tengah pergumulan manusia nyata. Bagi pembebasan kemanusiaan dari kepekatan dosa. Dari segala macam penderitaan, ketidakadilan, maupun dari berbagai bentuk pelecehan kemanusiaan. Disitulah nilai atau bobot kursi yang diduduki. Di situlah kehormatan dan kemuliaan kita yang sesungguhnya dijumpai. Dengan kata lain, bahwa segala bentuk kehormatan dan kemuliaan itu baru memiliki nilai apabila kursi yang kita duduki, kita tempatkan pada aras yang setara dengan pengabdian, dalam pelayanan, kerja dan karsa yang dilandasi kerendahan hati, ketulusan, dan ketaatan. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar