Renungan GKE

Selasa, 02 Oktober 2018

NAMA DI ATAS SEGALA NAMA




Ibrani 1:1-4

Bak istilah “tak kenal maka tak sayang” demikianlah penulis Kitab Ibrani memperkenalkan sekaligus menjelaskan secara mendalam tentang satu nama, yaitu Yesus Kristus, “nama di atas segala nama” kepada para pembacanya. Nama itu, tidak sekedar klaim kebanggaan ilahi layaknya nama sebuah bangunan kosong yang bernama gedung “gereja”, yang berdiri dengan congkaknya di tengah korban tsunami melanda, dimana para mayat korban bergelimpangan di sekitarnya. Bukan, bukan semacam itu! Tetapi tentang satu nama, melalui mana rahasia kuasa dan rencama Allah yang tersembunyi selama ini bagi dunia dinyatakan (Ay.1).

Nama Yesus itu, seperti dimaksudkan penulis kitab Ibrani, adalah nama yang pada-Nya terkuak nyata “cahaya kemuliaan Allah” sangat kentara. Dia bukan perantara seperti para nabi sebelumnya, atau para malaikat, tetapi “Anak Allah” sendiri. Istilah “Anak Allah” yang digunakan tentu bukanlah dimaksudkan bahwa Allah telah beranak dalam pengertian manusia umumnya, tetapi “Anak Allah” dalam pengertian teologis, dari pemahaman filsafat, dalam arti bahwa Allah rela merendahkan diri-Nya menjadi manusia, mengambil rupa sebagai hamba yang melayani, maka istilah “Anak” digunakan! Nama itu adalah penopang (penyangga) dari semua ciptaan yang ada, melalui-Nya nasib seluruh ciptaan dipertaruhkan. Termasuk nasib manusia, penentu sorga atau neraka (Ay.2).

Yesus, yang adalah “Anak Allah” (dalam pengertian teologi) adalah gambaran wujud nyata dari sang pencipta alam semesta dalam rupa insan hadir di bumi, berbicara langsung (tanpa perantara), akrab menyapa manusia, menyatakan isi hati, memperlihatkan kasih Allah secara nyata melalui korban dan mati-Nya di kayu salib, penyempurna dari apa yang ada dalam Taurat sebelumnya! Dia hadir ke bumi untuk menuntaskan perkara dosa manusia, yang selama ini belum tuntas sepenuhnya. Dan setelah menuntaskan penyucian dosa, Dia kembali ke Sorga, duduk “di sebelah kanan” sebagai yang berkuasa. Itulah sebabnya Dia lebih tinggi dari para Malaikat, para nabi, para hamba Tuhan mana pun yang pernah ada. (Ay.3).

Istilah duduk “di sebelah kanan” bukan maksudnya sama seperti pemahaman manusia biasa, bahwa Yesus yang naik ke sorga duduk bersamaan dua orang, yang duduk di sebelah kirinya adalah Allah, dan yang duduk di sebelah kanannya adalah Yesus. Bukan! Bukan demikian. Duduk “di sebelah kanan” adalah istilah teologi untuk sebutan “kehormatan” atau “kemuliaan” (lawan dari istilah kiri yang berkonotasi kurang terhotmat, kurang suci). Artinya, bahwa Yesus itu layak ditinggikan, layak mendapat kehormatan, duduk bertahta sebagai yang termulia, kembali pada kodrat ke-Allah-an-Nya sebagai satu-satunya yang Maha Kuasa!

Nama Yesus, nama termulia, bukan pada merek luarnya, seperti yang sering orang membanggakan merek nama Tuhan atau merek nama gerejanya atau merek nama Pendetanya. Bukan! Tetapi pada pekerjaan yang dilakukan oleh nama itu, nama yang paling peka dan perduli pada keprihatinan terdalam manusia, satu nama dimana “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi.” (Flp.2:10). Nama yang sanggup turun langsung ke jurang maut, ke dasar inti persoalan untuk mengangkat manusia yang terpuruk oleh kungkungan dosa api neraka di bawah sana.

Nama itu, adalah nama di atas segala nama, nama termulia, nama yang paling ditakuti oleh setan, karena nama itu dianggap gangguan terbesar bagi setan untuk leluasa dengan berbagai cara memperdaya dan menjerumuskan manusia. Karenanya tidak heran bila setan bersama antek-anteknya berusaha keras siang dan malam, sampai kapan pun, berapa pun biayanya, apa pun caranya, asal nama itu dapat dikaburkan dari pandangan manusia (jika mungkin dimusnahkan), sehingga manusia tak pernah mengenalnya, salah jalan dan selalui menuju ke neraka (Ay.4).

Singkat kata, nama Yesus itu jauh lebih tinggi, lebih indah dari nama semua malaikat, menjadi sentral dari segalanya. Melalui-Nya, wajah Allah sendiri dihadapkan pada kita para pendosa, manusia hina dan celaka. Setiap kali kita mengingat korban yang dilakukan oleh nama itu, seharusnya membuat kita tersadar akan segala dosa, betapa hinanya kita. Tak dapat dibayar oleh apa pun termasuk oleh perbuatan amal baik kita. Setiap kali kita mengingat nama teragung itu, seharusnya membuat kita lebih bersyukur, karena kita begitu berharga di mata-Nya, tanpa memperhitungkan pelanggaran kita. Masihkah kita rela menyia-nyiakan hidup ini, sengaja merusaknya dengan berbagai bentuk dosa, keserakahan, hidup dalam kuasa kegelapan? Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar