Renungan GKE

Selasa, 09 Oktober 2018

MENGENAKAN SIFAT-SIFAT SEORANG HAMBA




Filipi 2:5-9

Mendengar istilah “hamba” (abdi, pelayan), atau “jipen” (bhs. Dayak Ngaju), “walah” (bhs.Dayak Maanyan), maka yang segera terlintas dalam benak kita adalah, suatu penempatan posisi yang rendah dalam strata sosial kemanusiaan, yang di lekatkan pada seseorang atau sekelompok orang, Dalam dunia nyata (kalau mau jujur), berstatus “hamba” (abdi, pelayan, jipen atau walah), sekiranya mungkin pastilah dihindari orang. Terhadapnya, komentar pun mungkin bernada sama: “amit-amit, jangan sampai mengenai kita, sebab mendengar namanya saja sudah tak mengundang se­lera!”. Demikian kira-kira tanggapan kebanyakan orang bila diungkap dengan kata-kata.

Hal demikian dapat dimaklumi. Sebab, bukankah berstatus “hamba” gelar-gelar terhormat ja­di susah didapat? Tapi pasti lain sikap orang terhadap istilah “tuan” (majikan, bos, pimpinan atau komandan), umpama. Itu kebalikannya! Ham­pir setiap orang mengidamkannya. Berstatus “tuan”, duhai sangatlah menggoda! Manusia normal macam apa bentuknya bila sampai tak tergiur untuk meraih­nya? Atau paling tidak memimpikannya? Berstatus “tuan”, wahai sangatlah mempesona! Maklum, di sana tersedia seperangkat nikmat segudang kesenangan Boleh jadi hidup dibuatnya terasa nyaman. Serba menjanjikan Tidak heran bila ada orang sampai stres best gara-gara kemilaunya idaman seperti disebutkan tadi karena hanya singgah di penghi­as mimpi-mimpi semata. Tak mampu muncul di alam nyata! Mengenakan sifat-sifat “hamba”, apa sih e­naknya? Ah, itu terang bagai siang! Sebab predi­kat “hamba” bukanlah kemilaunya sosok seorang raja dengan mahkota. Semua orang pun tau itu! Tapi kenapa kepada kita selaku orang percaya atau ge­reja dinasihatkan Rasul Paulus melalui nas ini, supaya kita mengenakan sifat-sifat “hamba” seperti diteladankan oleh Yesus sendiri? Di sinilah intinya. Ini penting dan sangat menentukan! Pasalnya? Karena di sinilah kita menjumpai kedalaman hakikat kekristenan kita, standar kenormalan hidup kekristenan kita (bdk.Matius 20:26-27; bdk. Markus 10:43-44).

Sifat-sifat “hamba” yang dinyatakan di situlah titik berangkat peran keterpanggilan dan pe­ngabdian kita yang sesungguhnya. Bahwa hakikat kekristenan kita adalah pengabdian dan pelayanan bagi kemanusiaan. Hadir dan berjuang untuk kehi­dupan yang lebih manusiawi. Hadir di tengah-tengah pergumulan manusia nyata. Bagi pembebasan kemanusiaan dari kepekatan dosa. Dari segala ma­cam penderitaan, ketidakadilan, maupun dari berbagai bentuk pelecehan kemanusiaan. Itu antinya, sifat-sifat “hamba” yang dinyatakan adalah bobot, nilai dan isi dari kekristenan kita. Di situlah dijumpai kehormatan dan kemuliaan kita yang sesungguhnya. Dengan kata lain, bahwa segala bentuk kehormatan dan kemuliaan itu baru me­miliki nilai apabila kita tempatkan pada aras yang setara dengan pengabdian, dalam pelayanan, kerja dan karsa yang dilandasi kerendahan hati, ketulusan dan ketaatan.

Mengenakan sifat-sifat “hamba”, apa sih nikmatnya? Nah… nah… nah.. disinilah masalah­nya. Di sinilah kesulitannya! Pasalnya? Apabila orang mau sungguh-sungguh mengenakan sifat-si­fat “hamba” maka sekaligus ia harus berani ber­jalan pada jalan salib! Berjalan pada sebuah keberprilakuan solidaritas kemanusiaan secara u­tuh dan menyeluruh. Kenapsa mesti jalan salib? Karena hanya jalan saliblah jalan satu-satunya yang telah teruji kualitas kemafanannya untuk sebuah solidaritas. Tak ada jalan lain. Toh pun ada jalan lain, pastilah jalan pintas namanya! Gaya hidup kehambaan adalah gaya hidup berteladankan Yesus sendiri.dengan komitmen penuh bersedia merendahkan diri, mengabdi. Turun dari ketinggiannya yang mengawan-awan. Hadir dan berada di tengah-tengah-tengah pergumulan manusia nyata. Berjuang untuk kehidupan manusia yang lebih manu­siawi. Bukan sebaliknya, semakin meninggi mangawang-awang membangun kelompok alit rohani bagi pemuliaan diri sendiri!

Tapi di sinilah titik masalahnya! Pasalnya ? Sebab dalam dunia nyata orang lebih suka yang se­baliknya. Kekuasaan, kehormatan dan kemuliaan adalah sarana pemasyuran diri pribadi. Sedangkan materi dan kelimpahan adalah tujuan pemasyhuran untuk di­ri sendiri. Dalam keadaan demikian, nilai-nilai pengabdian dan pelayanan sering menjadi persoal­an. Sebab itu dapat kita mengerti jika untuk sebuah kekuasaan, kemasyhuran dan ketenaran, orang bersedia mengorbankan apa saja untuk nueraihnya ;Bahkan mengorbankan orang lain kalau perlu. Demi meraup sejumput kekuasaan dan kehormatan, orang tak segan-segan melepaskan seberapa yang ada di tangan, tetapi tidak di kantong-kantong persembahan. Karena memang, manusia lebih cenderung sera­kah dan mementingkan diri sendiri. Lebih cenderung menghitung-hitung untung ruginya. Karena i­tu tidak heran bila orang baru mungkin melakukan hal-hal besar dan spektakuler asal nama juga i­kut besar dan popoler! Tidak heran pula bila o­rang sulit berkorban, apalagi sampai mati demi pengabdian dan pelayanan. Tetapi sebaliknya rela berkorban bahkan sampai mati kalau perlu demi kekuasaan, kemasyhuran, ucapan selamat demi tumpukan piagam penghargaan!

Mengenakan sifat-sifat “hamba”, apa sih is­timewanya? Nah… nah…nah… di sinilah tantangannya Di sinilah batu ujiannya! Pasalnya? Apabila orang sungguh-sungguh mengenakan sifat-sifat “hamba” maka sekaligus ia harus berani meng­hadapi resiko yang siap menghadang di muka! Kenapa mesti resiko? Karena itulah harga pantas yang harus dibayar mahal taruhannya! Soalnya, mengenakan sifat-sifat “hamba” memang tidak mudah. Popularitas pun tak cukup kuat untuk ikut serta. Me­ngenakan sifat-sifat “hamba” juga tidak murah. Dacing penimbang untung rugi mana pun tak mampu menimbangnya!

Sebagai orang-orang Kristen yang mengaku percaya pada Yesus atau gereja yang mengaku-nga­ku sebagai tubuh Kristus, apakah kita juga mengenakan sifat-sifat “hamba” yang diteladankan Yesus sendiri? Orang-orang Kristen yang menyadari hakikatnya sebagai pengikut Kristus atau gereja sebagai tubuh Kristus adalah orang-orang Kris­ten atau gereja yang mampu mempersepsikan diri­nya dalam pengabdian dan pelayanannya di tengah-tengah dunia di mana ia hadir di dalamnya. Karena itu, sifat-sifat “hamba” yang dimiliki selaku pengikut-pengikut Kristus mestinya menjadi norma di setiap aktivitas kita; entah kita sebagai pemimpin (abdi negara), entah kita sebagai tokoh (abdi masyarakat), entah kita sebagai pelayan-pelayan gereja atau pun kita sebagai jemaat Tuhan.

Orang-orang Kristen atau gereja yang tidak memiliki sift-sifat “hamba” adalah orang-oramg Kristen atau gereja yang telah kehilangan haki­kat dirinya dan telah kehilangan kesadaran akan panggilannya di tengah-tengah dome di mana is ditempatkan. Karena itu, maaf, mumpung tak lu pa members tahu, bahwa tugas orang Kristen atau gereja bukan nikmat-nikmat rohani saja Atau penjaja doa dan mujizat semata! Kalau hanya i­tu, orang Kristen atau gereja yang pincang namanya, Banci den mandul istilahnya! Orang Kristen atau gereja yang tak bereksistensi lagi bahasa elitnya. Orang Kristen atau gereja yang tak selayaknya hadir di bumi nyata!

Mengenakan sifat-sifat “hamba”, apakah an­da termasuk salah satunya? Bila anda telah faham sampai kedalaman maknanya, renungkan dalam-­dalam dan tariklah nafas panjang! Sebab sifat-sifat “hamba” hanya dapat dikenakan oleh orang-orang Kristen atau gereja sungguhan. Bukan yang tiruan. Dan selanjutnya, gelar-gelar kehormatan dan keagungan yang sesungguhnya diberikan oleh Allah sendiri secara absolut tak meragukan. Tanpa rekayasa apalagi kekeliruan! (bdk, ay.9). A­pakah anda juga termasuk hitungan?

Dan… Oh ya, sifat-sifat “hamba” hanya kemilau, agung, mempesona, jika dikenakan oleh o­rang-orang Kristen sungguhan. Bukan yang “kristen-kristenan”. Hanya oleh orang Kristen atau gere­ja yang bernyali dan paham akan kedalaman makna hidup dan matinya. Ya, hanya bagi orang-orang atau gereja yang paham pula akan letak kehormatan, keagungan dan kemuliaan yang sesungguhnya. Karena memang, keagungan seorang Kristen sejati itu bukan diukur dari gelar, jabatan atau repu­tasinya. Bukan pula diukur dari apa dan berapa yang ia dapatkan. Tetapi dari apa dan berapa yang dapat ia berikan. Dari apa dan berapa be­sar pengabdian, pelayanan serta kerelaan berkorban yang dapat kita nyatakan sebagai bukti ketaatan iman dan kasih tulusnya kepada Tuhan. AMIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar