Renungan GKE

Rabu, 10 Oktober 2018

MENGUBUR MENTALITAS “MISKIN”



Markus 10:17-31

Mentalitas “miskin” adalah mentalitas ketakutan atau kekuatiran berlebihan dalam diri manusia. Sangat mempengaruhi kepribadian, baik dalam cara berpikir, berperilaku dan bertindak. Mentalitas “miskin” sangat berbahaya, karena orang yang mengidap mentalitas “miskin” selalu berupaya mengamankan diri untuk mengatasi rasa kekuatiran yang dirasanya. Tak mampu melihat apa-apa selain dirinya sendiri. Seluruh pikiran dan usahanya selalu tertuju terhadap apa saja yang dianggap sekiranya dapat membuat dirinya aman, baik berupa harta, uang, jabatan, atau penghargaan. Merasa tak aman bila jauh darinya. Merasa tak berdaya bila tak memilikinya, melebihi Tuhan yang harus dipercaya!

Mentalitas “miskin” dapat melanda siapa saja. Baik dia seorang kaya maupun orang miskin. Mentalitas “miskin” sejatinya adalah merupakan kepribadian yang kurang meyakini akan penyertaan Tuhan yang mampu memenuhi segala perkara, sumber segala kasih karunia, tetapi lebih pada men –tuhan-kan diri sendiri yang dianggapnya satu-satunya yang dapat dipercaya.

Dalam nas ini, kita berjumpa dengan dua kelompok manusia yang bermental “miskin”, pertama adalah seorang kaya, dan kedua adalah para murid-murid Yesus. Seorang kaya yang disebutkan dalam nas ini, memang secara materi dia kaya, namun memiliki mentalitas “miskin”. Memang dia taat beragama, memenuhi berbagai kewajiban hukum agama yang berlaku, tapi tidak lebih sekedar usaha untuk mendapatkan sesuatu, pahala sorga. Bukan memberi diri dan apa yang ada padanya sebagai bakti ibadah yang lebih memberkati.

Si orang kaya dalam nas ini sangat sedih hatinya manakala Yesus melakukan tes uji nyali: “pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berilah itu kepada orang-orang miskin” (Ay.21a). Yesus pun tahu mentalitas “kemiskinan” seorang kaya ini begitu ragu atas tantangan Yesus: “datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Ay.21b). Kekayaannya sudah menjadi “tuhan” bagi hidupnya, melebihi Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat sesungguhnya, sumber segala kelimpahan dan penjamin hidup kekal di sorga!

Bagaimana dengan para murid? Keadaanya memang sedikit lebih baik dari si orang kaya ini. Buktinya, mereka telah rela meninggalkan semuanya dan mengikut Yesus. Tapi sayang seribu sayang. Mereka sebenarnya tidak sadar bahwa merekalah sebenarnya orang-orang kaya, namun mental mereka “miskin”. Mereka selalu bersama-sama dengan Yesus, Sang Maha Kaya, pemilik alam semesta. Bahkan anak kunci kerajaan Sorga ada di tangannya. Namun para murid diliputi kekuatiran yang besar. Selama ini selalu was-was akan jaminan dari Allah yang Akbar!

Lalu dari mana sebenarnya datang mentalitas “miskin” itu? Bisa jadi karena pengalaman pribadi, keluarga, lingkungan yang menjadikannya demikian. Dan yang tidak kalah menarik (maaf), mentalitas "miskin" juga sering datang dari ajaran yang salah dari para pengajar rohani kekristenan! Buktinya? Sering kita mendengar khotbah, ceramah, nasihat yang terlampau berat sebelah, lebih menekankan mentalitas “miskin”. Atas penafsiran yang salah kaprah, maka seolah-olah harta, kekayaan, kehormatan itu tidak baik.

Mentalitas “miskin” tersebut begitu melekat di hati sanubari istilah latah menjadi-jadi dari dulu dan kini : Dalam pelayanan jangan cari imbalan supaya “upahmu besar di Sorga”. Atau, yang sering kita dengar dalam istilah ”biar miskin di dunia asal kaya di sorga”. Begitu kantong bersembahan ada di hadapan, maka hanya recehan yang dipersembahkan, sambil mengingat nas yang malah lupa pasal dan ayatnya: “biar memberi sedikit, yang penting hatinya tulus”. Padahal memberi serba sedikit karena sudah terlatih bermental “miskin” karena pelit! Maka jadilah orang-orang Kristen bermental “miskin” pura-pura miskin, dan akhirnya benar-benar miskin. Tak mampu berbuat banyak di dunia. Hanya mengandalkan doa, lipat tangan semata!

Saudara, nas ini tidak berbicara tentang larangan orang menjadi kaya. Tidak! Tetapi soal jiwa yang serakah sehingga tak rela berbagi. Yesus pun tidak mengatakan salah tentang kekayaan dari si kaya ini. Tetapi hatinya yang melekat pada kekayaannya seolah menjadi “tuhan” bagi dirinya, melebihi Tuhan yang sesungguhnya. Yesus mengkritisi mentalitas “miskin” pada dirinya sehingga tidak mampu perduli dan berbagi dengan sesamanya. Ini yang salah. Mentalitas “miskin” seperti ini yang harus dikubur dan dikikis habis! Orang kaya bermental “miskin” akan mempersempit pintu soga baginya, hingga hanya sebesar lobang jarum yang mustahil dapat dimasukinya!

Yesus pun tidak menampik pertanyaan para murid soal jaminan apa yang akan mereka terima, bahkan berkat dunia dan Sorga Yesus sanggup menjaminnya. Hanya sayang, para murid memiliki mental yang “miskin” untuk meyakini penyertaan, berkat dan janji Tuhan. Yesus menginginkan para murid memiliki mentalitas yang “kaya”, diperkaya oleh Tuhan sehingga sanggup melakukan apa pun walau mereka miskin! Bukan serba merasa tak berdaya, melulu curiga sama orang kaya, dan membuat segala keputusan hanya berdasarkan rasa takut, melebihi rasa takut akan Tuhan. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar