Renungan GKE

Kamis, 30 April 2015

SIKAP DI DALAM DOA



Matius 6:5-8

Doa..... apalagi namanya kalau bukan sebagai “nafas hidup orang beriman” seperti yang sering orang istilahkan? Ya, itulah makna doa. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa doa adalah “meminta” kepada Tuhan. Oh, itu juga ada benarnya. Sebab, apa pun alasan Anda mendefinisikan tentang doa, ujung-ujungnya pasti juga soal meminta. Ada juga orang mengatakan bahwa berdoa itu adalah sarana “berkomonikasi dengan Allah”. Oh, siapa yang mengatakan itu salah? Kalau doa bukan berkomunikasi dengan Allah, lalu apa istilah lain yang lebih tepat untuk kita dapat menggambarkannya secara sempurna? Saudara, sepanjang kita menganggap bahwa doa itu penting dan berharga, sepanjang itu pula kita kita memberikan makna yang berharga sebagai bentuk logis penghargaan kita tentang doa. Tentang doa, tidak jarang saking orang menghargainya, soal cara pun dipersoalkan. Ya, sampai sampai soal mana cara doa yang benar yang sekiranya berkenan kepada Tuhan!

Ada yang berpendapat bahwa berdoa dengan lipat tangan dan pejamkan mata, itu cara yang paling khusuk dalam berdoa. O, ya? Yang lain lagi berpendapat, bahwa berdoa itu bebas, sebebas kita mengekspresikan jiwa kita, tanpa harus terikat dengan cara segala. Biasanya kedua ektrim tersebut mempunyai alasan masing-masing. Yang menganggap bahwa berdoa dengan lipat tangan dan pejamkan mata, itu cara berdoa yang lebih sreg! Oh...oh...oh...oh... alasannya? Karena dengan lipat tangan dan pejamkan mata itu merupakan ekspresi paling mendalam yang merangkum seluruh jiwa raga secara bulat dan utuh. Oh, ya? Sedangkan yang mengatakan, bahwa berdoa dengan dengan tangan bebas, sikap tengadah ke atas dan tanpa tutup mata itulah cara berdoa yang benar! Oh...oh...oh...oh...alasannya? Karena itulah cara berdoa yang paling alkitabiah, ada ayatnya lagi! Oh, ya?

Soal doa..... terkadang kita hanya sibuk mempermasalahkan soal cara, dan soal dengan kalimat apa dan bagaimana kita harus berdoa. Padahal persoalan kita yang paling prinsif adalah, apakah kita sungguh-sungguh menganggap bahwa doa itu sebagai nafas hidup kita? Apakah kita menganggap bahwa doa itu sesuatu yang penting dalam hidup kita sehingga kita menjadi sungguh-sungguh berdoa? Jika jawabnya “Ya”, tentu kita akan selalu berdoa, baik ketika mengawali segala aktivitas memohon penyertaan, petunjuk dan berkat dari Tuhan dan mengakhiri aktivitas kita dengan ucapan syukur dalam doa-doa kita. Bukan hanya sekekali berdoa, kapan-kapan diperlukan. Kapan-kapan berdoa, tunggu masalah menimpa, baru berdoa. Layakanya ban serap, kapan-kapan dibutuhkan! Jika jawabannya “Ya”, tentu kita akan berusaha untuk belajar berdoa, supaya bisa berdoa. Bukan seumuran tak bisa berdoa. Mengucapkan beberapa kalimat mohon berkat Tuhan ketika hadapi piring makanan pun sampai kiamat terlalu sulit untuk diucapkan!

Memang banyak orang yang dapat berdoa dengan lancar, kata-katanya pun indah di dengar. Itu baik, tidak salah. Kita tidak boleh mengatakan bahwa orang-orang yang mengucapkan kalimat doanya dengan indah itu salah. Tidak, tidak sama sekali! Apalagi kalau itu memang cara dia berdoa, karena sudah terbiasa berdoa. Tetapi masalahnya, bila doa itu hanya sebatas mulut, apa pun sikap tubuh yang Anda peragakan, belumlah berarti apa-apa untuk sebuah doa dalam arti yang sesungguhnya! Itu hanyalah ibarat buah-buah plastik. Bagus dan menarik kulitnya, indah bentuknya menyerupai buah yang aslinya, tapi kosong tak berisi.

Namun salah jugalah kita, bila hanya karena alasan bahwa karena Tuhan itu “maha tahu” lalu kita sembarangan saja mengucapkan kalimat doa, kesana kemari tidak jelas tujuan, berputar-putar cukup lama akhirnya kembali ke kalimat semula. Ibaratkan kapal pesiar yang hanya mondar mandir di tengah lautan akhirnya kembali lagi ke dermaga semula! Apalagi bila ini dilakukan untuk doa syafaat, maaf......jangan-jangan hanya memperlambat berkat, padahal Tuhan sudah mau mencurahkan berkat secara cepat! Lalu bagaimana sikap yang benar di dalam doa? Nah ini. Sederhana sekali, seperti yang Yesus ajarkan dalam nas ini. Apa intinya?

Pertama, berdoa yang benar itu harus dimulai dari kedalaman niat hati yang murni. Bukan dimulai dari cara apa Anda berdoa. Bukan dimulai dari bagaimana tangan, kepala atau mata Anda! Bukan pula dimulai dari mulut atau kalimat yang hanya basa basi ada di mulut, sementara hati masih terpenjara dalam benci, dendam, dan diselimuti awan keduniawian yang hitam! Ya, mulailah dari hati yang murni, dan ekspresikan dengan sepenuh jiwa raga secara nyaman, pantas, yang sekiranya layak Allah berkenan. Jika ini Anda lakukan, kecil kemungkinan Anda akan berdoa seperti orang munafik, seperti yang Yesus sebutkan (ay. 5).

Kedua, ungkapkan saja isi hati Anda secara wajar walau dengan kalimat yang sederhana, dengan kerendahan hati, tapi jelas dan bermana. Bukan sekedar kata-kata indah yang hanya basa-basi semata. Apalagi kata-kata yang sifatnya membentak-bentak, memaksa-maksa Tuhan. Terlebih dengan Tuhan, ucapkanlah kalimat dengan sopan, karena Anda sedang berbicara dengan Raja di atas segala Raja! (ay.7).

Ketiga, milikilah sikap berdoa layaknya seperti seorang anak kepada bapaknya. Ya, layaknya seorang anak yang meyakini bahwa bapaknya pasti lebih mendengarkannya, ketimbang dengan bapak orang lain. Ya, seperti seorang anak yang meyakini bahwa ayahnya pasti menyayangi dan mengasihinya. Ya, seperti seorang anaka yang meyakini bahwa yang akan diberikan bapaknya kepadanya adalah pemberian yang baik, jika ia minta roti atau ikan yang nikmat dan menyenangkan, bukan diberikan batu atau ular atau yang mematikan! ((ay.8; bdk.Mat. 7:8-11). Ya, seperti seorang Anak yang bergantung dan percaya sepenuhnya atas kebaikan, kemurahan dan kasih sayang bapaknya!

Saudara, terlalu sulitkah berdoa? Bisa jadi, bila itu dilakukan dengan cara-cara berdoa orang munafik. Karena orang munafik bila berdoa harus memerankan tiga cara sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana memikirkan strategi supaya dianggap benar-benar berdoa, padahal hatinya tidak. Bagaimana memikirkan kaki, tangan, kepala dan mata terlebih dahulu, ya berdoa sambil berpikir! Belum lagi memikirkan kata-kata untuk di taruh di mulut, sementara hatinya disembunyikan. Ya, berdoa cara munafik memang sulit!

Saudara, apakah berdoa itu sulit? Oh...Ternyata tidak sulit bagi orang-orang yang sungguh rindu untuk berdoa. Yang menjadikan doa itu sebagai nafas hidupnyamau! Ya, seperti semudah dan seindah ketika anda secara otomatis bernafas. Seperti bahagianya seorang anak ketika berkomunikasi dengan bapaknya walau terkadang ia ungkapkan kata-katanya dengan terbata-bata, polos dan bersahaja. Tapi semua dimengerti oleh bapaknya walau sebelum semua kalimatnya berakhir yang tak mampu ia ucapkan secara tuntas! Saudara, sulitkah berdoa? Oh, tidak! Semudah bila saja Anda mau segera bertindak untuk mencoba. Ibaratkan lampu listrik, tinggal Anda tekan stop kontak maka lampu akan segera menyala! AMIN!

Jumat, 03 April 2015

KRISTUS YANG BANGKIT MENGUTUS KITA MEWUJUDKAN DAMAI SEJAHTERA


Matius 28:1-10

Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan dua pokok penting, menjadi sentral kebenaran agama Kristen.  Jikalau Kristus tidak dibangkitkan dari kematian, maka Injil yang kita kabarkan bukanlah kabar baik, melainkan kabar buruk yang menyedihkan. Josh McDowell, seorang apologet dari Campus Crusade for Christ, dalam bukunya Evidence That Demands a Verdict mengutip H.P. Liddon, berkata "Faith in the resurrection is the very keystone of the arch of Christian faith, and, when it is removed, all must inevitably crumble into ruin." Iman kristiani didasarkan pada kenyataan dan kepercayaan bahwa Tuhan Yesus Kristus disalibkan dan bangkit kembali pada hari yang ketiga pada kurang lebih 2000 tahun yang lalu di Yerusalem. Tanpa kebangkitan Kristus tiada harapan hidup kekal.

Tuhan Yesus bukanlah manusia biasa yang tamat riwayatnya dalam kematian. Ia adalah Allah yang bangkit dari kematian. Ia Allah yang hidup yang terus berkarya untuk mengampuni dosa manusia hingga sekarang ini. Yesus yang telah bangkit hadir dimana-mana dan kapan saja, sebab Dia adalah Tuhan yang berkuasa atas ruang dan waktu. Dia tidak hanya berkuasa memberikan jaminan keselamatan masuk sorga, tetapi juga kuasa berkat di segenap kebutuhan hidup kita.  Allah yang kita sembah adalah Allah yang telah mengalahkan kematian. Kematian yang menjadi ketakutan umat manusia sejagat-raya itu telah ditaklukkan-Nya. Karena itu kematian seharusnya tidak boleh menjadi alasan yang menghambat kegiatan pemberitaan Injil dan pengutusan diri orang Kristen. Kematian, yang membuat orang lain bergidik ketakutan telah dikalahkan oleh Kristus. Kemenangan Kristus atas kematian  seharusnya menjadi kemenangar orang Kristen.

Kebangkitan Yesus menjadi kekuatan serta pengharapan bagi orang percaya bahwa yang bertekun dalam iman percaya sambil berjuang secara tekun dalam aktivitas nyata. Pengalaman para murid yang menjadi saksi kebangkitan Kristus dapat menjadi contoh bagi kita pada masa kini. Kita adalah orang yang telah menerima tugas panggilan Allah bagi keluarga, gereja, masyarakat, negara, bangsa, dan dunia. Paskah menunjukkan adanya pengharapan bagi orang percaya. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan selalu bertumpu pada iman dan pengharapan. Sebagai orang  yang beriman akan Yesus, kebangkitan merupakan peristiwa yang paling pokok dan paling penting dalam hidup kita dan akan memberi warna dalam seluruh hidup kita selanjutnya. Kita dapat beriman kepada Kristus, pertama-tama adalah karunia iman yang diberikan Allah, sebab sesungguhnya tanpa karunia iman, kita tidak mungkin dapat percaya kepada Kristus.

Semangat Paskah harus menjadi inspirasi kreatif umat percaya dalam menjalani hidup dan tugas panggilannya sebagai orang percaya. Dengan semangat Paskah kita dimampukan melayani Tuhan dengan penuh gairah dan dinamika bukan agar kita dikenal manusia, melainkan karena kita tahu bahwa “dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Korintus 15:58). Karena hanya yang kita kerjakan dalam Tuhan serta bertujuan untuk memuliakan Tuhan akan bernilai kekal dan akan mengkuti kita sampai ke sorga kelak. Adakah  indikasi tersebut dalam hidup kita sebagai orang percaya yang telah mengenal Tuhan yang bangkit?

Saudara, marilah kita tetap beriman kepada Tuhan Yesus yang telah bangkit, yang memimpin sejarah dan sanggup menjawab doa kita walau mungkin kita tidak melihatnya sekarang. Kita tidak perlu kuatir sebab begitu banyak perjanjian dalam Firman Allah yang berkata: Jangan takut! Jangan Takut! Untuk setiap masalah, problema yang datang menimpa kita, Firman Allah berkata: Jangan takut! Yesus berjanji alam maut pun tidak akan mengalahkan kita. Kita harus setia bagi tugas panggilan itu sampai hari yang terakhir, sampai hari kita mendapat mahkota dari Tuhan. Alkitab berkata: “Sebab upah dosa ialah maut tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” (Rm. 6:23).

Yesus yang bangkit mengutus kita, memberi Roh Kudus kepada kita, agar kita menyatakan bahwa Ia adalah Allah yang hidup, yang telah mengalahkan kematian. Meski berat tantangan yang harus kita hadapi, betapa berat salib yang harus kita angkat, percayalah kuasa Tuhan yang ada di dalam kita lebih besar dari apapun yang ada di dunia ini. Sekarang Dia telah bangkit. Marilah kita juga bangkit dan jadi lilin yang selalu menyala  untuk melayani sesama bersama dengan Kristus. Bertekunlah di dalam iman, sambil ulet dalam berjuang di kehidupan. Kita harus memberitakan Injil keselamatan kepada orang-orang yang belum percaya. Pergunakanlah hidup ini untuk tujuan-tujuan yang mulia untuk mewujudkan damai sejahtera. Selamat Paskah. Amin!

KETIKA DIA SERAHKAN ANAKNYA.....




Roma 5:8

Adalah suatu kisah yang menyayat hati. Kisah tentang seorang bapak setengah baya yang bekerja pada sebuah perusahaan kereta api. Sepintas pekerjaan ini sederhana saja, namun resiko besar dapat terjadi jika terjadi kelalaian. Nyawa banyak orang jadi taruhan. Ya, karena bapak ini hanya bertugas menarik sebuah tuas yang mengerakkan roda-roda raksasa yang saling berhubungan untuk mengangkat jembatan yang merintangi jalan kereta api itu, sehingga kereta api tersebut dapat lewat dengan selamat, dan jika jembatan tersebut tidak diangkat, maka kereta api itu akan mengalami kecelakaan yang sangat hebat.

Bapak ini mempunyai satu orang anak yang sangat dikasihinya dengan segenap jiwa. Suatu hari, sang anak mengunjunginya di tempat kerja dan ia membiarkan anaknya melihat-lihat tempat kerjanya. Sewaktu anak ini menghampiri roda-roda raksasa tersebut, tiba-tiba sang anak terpeleset dan jatuh di antara roda-roda raksasa tersebut. Malang baginya, kaki anak kecil tersebut terjepit dengan eratnya di antara gerigi roda-roda raksasa. Melihat kaki anaknya yang terjepit, sang bapak dengan serta-merta menolong melepaskan kaki anak tersayangnya dari jepitan gerigi roda-roda. Setelah berusaha sekian lama, sang bapak masih belum bisa melepaskan kaki anaknya.

Saudara tahu, sesaat kemudian, sang anak mulai menangis karena ketakutan. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar secara samar-samar suara peluit kereta api, memberi tanda agar jembatan itu harus segera diangkat. Sesaat kemudian, hati bapak ini menjadi sangat sedih dan ketakutan. Di dalam kecemasannya, dia masih berusaha melepaskan kaki anaknya, meskipun belum berhasil juga.

Tidak lama kemudian, suara peluit kereta api tersebut terdengar semakin jelas dan dekat. Hati bapak ini seketika menjadi hancur. Bapak ini mulai menangis dengan sedihnya. Di dalam hati bapak ini muncul suatu keraguan, haruskah dia mengorbankan anak satu-satunya demi menyelamatkan kereta api itu yang penumpangnya tak ada satu pun yang dia kenal? Namun, jika dia memilih untuk menyelamatkan anaknya, maka berapa jiwa yang akan melayang dengan sia-sia hanya gara-gara satu orang saja?

Sesaat kemudian, bapak ini perlahan-lahan mencium kening anaknya dengan penuh kasih sayang dan dengan hati yang hancur. Lalu bapak ini mulai berdiri dan menuju ke tuas pengangkat jembatan dengan air mata yang membasahi sampai ke bajunya. Sang bapak ini melihat sekali lagi pada anak satu-satunya itu. Sesaat kemudian, bapak ini menarik tuasnya, jatuh lemas, dan menangis sejadi-jadinya tanpa berani melihat proses kematian anaknya yang sangat tragis yang tidak pernah dibayangkan olehnya demi menyelamatkan orang-orang yang ada di dalam kereta api itu (tubuh anak hancur tak berbentuk, digilas kereta api). Orang-orang di kereta itu sama sekali tidak menyadari bahwa saat itu juga mereka telah bebas dari kematian yang kekal.

Saudara, Allah Bapa telah mengorbankan anakNya Yesus Kristus untuk menyelamatkan kita dari kematian yg kekal (neraka). Dan keselamatan ini adalah anugerah buat kita. Bukan murahan tapi anugerah yg mahal. Saat ini kita diajak untuk menghargai pengorbanan Yesus. Ia telah menderita bagi kita, Ia diolok, dijadikan bagai sampah. Ia mengalami keperihan, kesakitan, akibat dosa-dosa kita. Hingga hari ini Ia ingin supaya kita beroleh keselamatan. Dia rindu agar anak-anakNya hidup dalam kelimpahan dan damai sejahtera. Selayaknya kita meneladaniNya, hidup dalam kasih dan pengorbanan. Jika saat ini kita masih hidup dalam dosa, mari datang padaNya dengan hati yang tulus untuk memohon ampun. Lalu berjanji untuk hidup dalam kebenaran, taat dan setia hingga akhirnya. Amin!

Kamis, 02 April 2015

GEREJA YANG DIBERKATI



Efesus 4:1-16

Ada sebuah nyanyian dalam Kidung Jemaat nomor 257 yang menggambarkan tentang Gereja. Lagu tersebut berbunyi demikian:

Aku gereja, kau pun gereja
Kita sama-sama gereja
Dan pengikut Yesus di seluruh dunia
Kita sama-sama gereja

Gereja bukanlah gedungnya,
Dan bukan pula menaranya;
Bukalah pintunya, lihat di dalamnya,
Gereja adalah orangnya.

Dari nyanyian tersebut dapatlah kita fahami bahwa gereja sebenarnya bukanlah sebuah benda mati, museum atau sebuah monument yang bisu. Dan memang, gereja itu sebenarnya adalah persekutuan yang senantiasa bergerak. Ia harus selalu berkembang dan bertumbuh, seperti setiap manusia pun harus bertumbuh, makin lama makin dewasa. Terlebih lagi bila mengingat akan makna tugas panggilannya di dunia dimana ia ditempatkan. Karena itu, berbicara tentang gereja, mau tidak mau kita harus berbicara tentang orang-orang yang bergereja.

Lalu bagaimanakan sebuah gereja itu layak disebut sebagai sebuah gereja? Apakah kita yang bergereja bukan menjadi sebuah gereja yang sedang sakit, mandul atau lumpuh? Atau sebaliknya, sebuah gereja yang bertumbuh, berbuah dan benar-benar menjadi berkat, melaksanakan tugas panggilannya di dunia ini sebagaimana layaknya seperti dikehendaki oleh Kristus sendiri sebagai kepala gereja? Berdasarkan nas ini, paling tidak ada tiga factor penting sebagai batu uji sebuah gereja yang dapat menjadi berkat:

I. MEMELIHARA PERSEKUTUAN (ay.1-6)

Persekutuan tentu saja tidak terjadi begitu saja, yang selalu begitu dan harus tetap tinggal begitu. Persekutuan dapat tercipta bila orang saling rendah hati, saling mau mendengar saling sabar, dan saling membantu. Tanpa hal tersebut mustahil persekutuan dapat terpelihara dengan baik. Tapi disinilah masalahnya. Sebab tidak jarang, saling merendahkan diri, saling mau mendengarkan, saling sabar, saling membantu hanyalah semacam slogan tanpa makna. Sebabnya ialah karena kecenderungan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri. Ketimbang persekutuan, mungkin perpecahan yang sering dijumpai. Bahkan tidak jarang di dalam tubuh yang namanya gereja sekalipun. Persekutuan tidak lagi dinikmati laksana sebuah pohon beringin yang rindang, nyaman dan menyenangkan. Tapi malah sebaliknya bagai sebuah padang gurun yang panas dan gersang. Maka yang terjadi akibatnya: orang saling sikut-menyikut, saling kalah-mengalahkan, dsb.

Apabila semua orang yang bergereja memiliki kemauan atau tekat bersama untuk memajukan persekutuan, maka di dalamnya harus terdapat unsur sehati dan sejiwa, saling mau mendengar, saling mengerti, saling mau mengalah, saling mau berkorban. Bukankah sikap seperti ini yang memampukan jemaat mula-mula untuk menjadikan milik pribadi menjadi kepunyaan bersama? Itulah konsekwensinya bila kita mau menjadikan persekutuan yang utuh.

Gereja memerlukan keperdulian kita bersama. Ya, oleh semua orang yang menginginkan pertumbuhan dan kemajuan. Kemajuan dan pertumbuhan sebuah gereja, tidak pernah bekerja seperti lampu aladin, yang sekali gosok, dan semua seketika menjadi beres. Tidak! Ia harus diusahakan, dikerjakan. Oleh siapa? Oleh setiap orang di gereja itu, yang menginginkan kemajuan dan perkembangannya.

II. EFEKTIVITAS SEMUA POTENSI KARUNIA YANG ADA (ay. 7-12)

Berbicara soal pelayanan gereja, barangkali yang ada dalam benak kita adalah para petugas gereja, baik Pendeta, Penatua & Diakon, ataupun pengurus-pengurus kategorial atau pengurus lingkungan yang menjalankan tugas pelayanan. Sebenarnya ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab apabila kita mempelajari dari cara hidup jemaat mula-mula, maka nyatalah bagi kita suatu pengertian tentang pelayanan secara utuh.

Di satu sisi memang dibicarakan pelayanan dan kesaksian para Rasul. Tapi di sisi lain juga dibicarakan pelayanan dalam cara yang lain. Di sini kita melihat adanya sikap saling melayani. Kita ambil contoh: Yusuf seorang anggota jemaat, toh pun bukan dalam golongan rasul-rasul, tetapi dalam segi lain ia melayani. Dikatakan: “Ia menjual lading, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki Rasul-Rasul.” (Kis. 4:36-37). Cara hidup bergereja memang jauh berb eda dari hal-hal yang biasa. Karena itu hal semacam ini yang tidak orang suka. Yang penting gedung dan menaranya, bahkan orangnya asal ada!

 III. PERTUMBUHAN MENUJU KEDEWASAAN YANG BERKARAKTER (ay. 13-16)

Tanpa adanya pertumbuhan menuju kedewasaan yang berkarakter, maka gereja itu laksana katak di bawah tempurung. Bila kita ingin kesaksian gereje lebih bergema ke luar, maka mulai di dalamnya perlu dirapikan, didewasakan, dikuatkan! Kalau di dalam lemah, bagaimana ia bias kuat ke luar? Tetapi proporsi persoalannya sering tidak di situ. Yang sering menjadi kenyataan ialah, bahwa pelayanan ke dalam itu lalu kemudian menjadi tujuan pokok, dan pelayanan ke luar adalah pekerjaan sambilan.

Gereja yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri ke dalam adalah seperti mobil dalam garasi. Mesinnya hidup, tetapi tidak pernah jalan-jalan juga. Hanya menghabiskan bensin saja! Atau ada juga yang terjadi sebaliknya, bahwa tugas gereja hanya dipahami sebatas memberitakan Injil ke luar, atau hanya mencari jiwa-jiwa baru menjadi anggota gereja. Itu memang penting! Tetapi itu hanya salah satu bagian dari tugas gereja. Tetapi yang benar adalah, bahwa kedua-duanya memang semua penting! Harus seimbang!

Pembinaan di dalam memang merupakan semacam dasar suatu bangunan. Ia harus kuat. Suatu gereja dapat bergerak dan bersaksi ke luar apabila iman jemaatnya mengalami pertumbuhan dan semakin dewasa melalui pembinaan dan pendewasaan iman. Tapi masalahnya, bagaimana gereja memiliki dasar dan pemahaman iman yang matang bila katekisasi saja dilakukan hanya menjelang mau menikah?  Karena itu, harus kita pahami, bahwa kesaksian gereja itu adalah suatu sikap yang menjadikan baik, sesuatu yang salah menjadi benar, segala sesuatu yang gelap menjadi terang, segala sesuatu yang bengkok menjadi lurus! Atau dalam istilah Yesus dalam Alkitab: “Menjadi terang dan garam dunia.”  Amin.

CARA BERIBADAH YANG DIBERKATI


Lukas 13:10-17

Ibadah, adalah hal penting yang harus dilaksanakan oleh setiap orang beriman, sebagai bukti yang kelihatan bahwa seseorang menyatakan sikap taat, dan hormat kepada Allah yang ia muliakan. Melalui ibadah kita memuji akan kebesaran Tuhan. Melalui ibadah rasa syukur kita ungkapkan. Melalui ibadah juga permohonan ampun atas dosa-dosa kita sebutkan. Tidak ketinggalan segala pinta kita panjatkan, bahkan nilai-nilai persekutuan kita nampakkan! Dalam perintah ke-4 hukum Taurat yang tercatat dalam Alkitab, secara jelas Allah sendiri yang memerintahkan: “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ke tujuh adalah hari Sabat TUHAN Allahmu.....” (Kel. 20:8-11).

Ibadah memang penting. Janganlah kita meremehkan dan melalaikan arti sebuah ibadah! Hanya masalahnya, cukupkan ibadah yang hanya bersifat seremonial saja? Dan memang, tidak jarang orang hanya menjadikan ibadah yang seremonial menjadi satu-satunya bentuk yang paling berkenan kepada Allah. Tidak jarang pula orang terjerumus hanya pada soal bentuk ibadah yang seremonial. Ya, hanya sebatas yang seremonial. Tidak kurang dan tidak lebih. Lalu ketika dalam kehidupan nyata keseharian dalam kehidupan sosial? Di rumah, di kantor, di sekolah, di tempat berbagai aktivitas kehidupan? Atau di berbagai keprihatinan kehidupan yang memerlukan uluran tangan? Kepada orang-orang yang menderita, yang sakit, yang menjadi korban ketidakadilan, dan di berbagai bentuk permasalahan kehidupan? Nah...nah...nah... ibadah hanya tertinggal di balik tembok rumah-rumah suci tempat ibadah kita!

Dalam kehidupan nyata, tidak jarang orang meninggalkan gerejanya mencari gereja lain hanya mencari bentuk ibadah yang seremonial sebagai klaim ibadah yang benar. Itu tidak salah. Hanya masalahnya bila tidak berbuah dalam kehidupan kasih yang ditunjukkan kepada sesama? Bayangkan seperti dalam nas ini, ada seorang perempuan yang menderita selama delapan belas tahun sakit. Badannya sampai menjadi bungkuk karena dirasuk setan, yang juga ada bersama-sama beribadah dengan mereka (ay.11). Namun mereka hanya asyik beribadah dalam kesucian diri secara khusuk tetapi tanpa mau perduli dengan sesama. Ya, menjadi ibadah yang tidak menjadi berkat bagi orang lain. Ini yang ditentang Yesus.

Ibadah yang hanya sebatas “ibadah seremonial” tanpa berbuah menjadi sebuah “ibadah kehidupan” nyata sehari-hari adalah ibadah yang tak berguna. Yesus mengecam orang-orang yang hanya taat pada ibadah seremonial. Ibadah yang tidak dipraktekkan dalam kasih kepada sesama. Sikap orang-orang yang demikian disebut yesus sebagai sikap orang munafik! (ay.15). Jadilah orang-orang yang menghargai ibadah dan rajin beribadah, sebagai bukti bahwa kita sungguh taat, hormat kepada Allah. Tetapi jadilah juga orang-orang beribadah yang berdampak positif bagi sesama, sebagai perpanjangan saluran berkat Tuhan yang kita nyatakan bagi saudara-saudara kita yang menderita dan yang sangat membutuhkan pertolongan! AMIN!

TERKADANG ALLAH MENOLONG UMATNYA DENGAN CARA YANG TAK TERDUGA


Kejadia 45:16-28

Terkadang Allah menolong umat-Nya dengan cara yang tak terduga. Siapa yang dapat mengira, bila Firaun sang penguasa Mesir menerima dengan baik kedatangan saudara-saudara Yusuf di Mesir. Bahkan memperkenankan mereka untuk menjemput orang tua mereka di Kanaan untuk di bawa ke Mesir (ay.16-18). Bahkan dikatakan ditempatkan di tempat yang terbaik di tanah Gosyen (bdk. Psl.10:10).

Terkadang kita kuatir akan banyak hal dalam hidup ini. Soal mencari pekerjaan, usaha, kebutuhan hidup, mengatasi berbagai kesulitan dan tantangan. Terkadang kita merasa tak tahu lagi harus berbuat apa. Orang-orang seolah tak mau perduli dengan keadaan kita. Tapi bersabarlah. Haraplah selalu akan kasih-Nya, karena tak ada yang lebih baik yang dapat memberikan pertolongan kepada kita selain Allah saja. Bahkan bisa saja melalui ha-hal yang tidak kita kira. Entah melaui orang lain yang kita anggap tidak mungkin dari sana kita mendapatkannya. Bisa jadi pula melewati hal-hal sederhana yang tak terkira. Bahkan seribu satu cara Allah memberikan pertolongan-Nya.

Dalam menjalani hidup ini tak perlu kita berusaha dengan cara-cara yang tak terpuji menghalalkan segala cara untuk mengatasi persoalan hidup kita Karena banyak terbukti hasil akhir mendapatkan celaka. Bahkan tidak kurang, banyak juga yang jadi penghuni penjara. Berusahalah dengan jujur, laksanakanlah segala kewajiban dengan penuh rasa tanggungjawab, karena seperti Yusuf mendapat kasih, pertolongan dan kemurahan Allah melewati raja Firaun secara luar biasa (ay.19-20). Bila Allah sudah begitu luar biasa membuktikan kasih-Nya kepada Yusuf dan saudara-saudaranya, tentu Allah juga tetap sanggup menyatakan kemurahan-Nya kepada Anda juga. AMIN! *

HANYA KASIH YANG SANGGUP KALAHKAN BENCI


Kejadian 42:26-38

Yusuf, adalah salah satu sosok yang paling mengagumkan. Ia yang pernah dibenci,dibuang, dibuat semena-mena, dan akhirnya dijual oleh saudara-saudaranya ke Mesir. Sebenarnya ia punya kesempatan untuk membalas perlakuan saudara-saudaranya itu. Apalagi ia punya kuasa. Namun itu tak dilakukannya. Justru sebaliknya, ia punya rencana yang baik untuk menolong saudara-saudaranya bahkan seluruh keluarganya yang sedang mengalami masa-masa sulit. Ya, Yusuf tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia adalah seorang pemenang!

Saudara, ketika kita diperlakukan semena-mena oleh orang lain, mungkin yang terbesit dalam benak kita adalah membalasnya. Paling tidak setimpal dengan apa yang diperbuatnya terhadap kita. Malah, jika dapat lebih dari apa yang diperbuatnya terhadap kita. Hmm, ya itulah mungkin yang dirasakan di hati kita. Memang di dunia ini tidak terlepas dari hal-hal yang seperti itu, ada saja yang suka usil dengan hidup kita padahal kita tidak melakukan apa-apa. Saat orang berbuat jahat, biasanya kita ingin membalas. Mengapa? Sebab kita merasa terganggu. Terluka. Jika membalas, ada rasa puas. Namun, pembalasan membuahkan pembalasan; melahirkan lingkaran dendam tak berkesudahan.

Selama kita merancangkan pembalasan dendam, kita tidak akan pernah menang. Kejahatan hanya dapat dikalahkan dengan kasih. Kalau kita mau “membalas dendam” dengan kasih, Tuhan akan berpihak kepada kita. Firman Tuhan berkata: "Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percalah kepadaNya, dan Ia akan bertindak. Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang." (Mzm. 37:5-6). Tidak ada yang dapat mengalahkan kejahatan kecuali kasih. Karena itu, kita tidak boleh kompromi terhadap kejahatan, tetapi kita juga tidak boleh kalah terhadap kejahatan.

Jika orang dunia berprinsip bahwa kita harus mengalahkan kejahatan dengan kejahatan juga, maka kita harus bertindak sebaliknya, yaitu mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Dan hanya Tuhan saja yang mampu membuat kita melakukan hal tersebut. Bagi orang yang sungguh beriman, membalas kejahatan dengan kebaikan adalah suatu kebahagiaan, seperti kata bijak mengatakan: “Kebahagiaanmu ada di dalam dirimu, yang kemunculannya ditentukan oleh ketegasanmu untuk mendahulukan yang baik dlm hidupmu. Adakah kita saat ini sedang menerima kejahatan dari orang lain? Serahkanlah segala sesuatunya kepada Tuhan, sementara kita tetap berbuat kebaikan. Pada saatnya nanti Tuhan pasti akan membalas kepada orang itu dan kepada kita, menurut apa yang kita lakukan. AMIN! *

MEMAHAMI PENYERTAAN ALLAH DALAM KEHIDUPAN KITA


Kejadian 45:1-15

Mengampuni orang yang pernah menyakiti memang tidaklah mudah. Yang sering terjadi dalam kehidupan manusia adalah dendam dan berusaha membalas segala tidakan yang pernah orang lain lakukan dimana ada kesempatan. Namun ada sesuatu yang berbeda dalam kisah Yusuf. Yang terjadi justru peristiwa yang sangat mengharukan. Ya,Yusuf menangis dan memeluk saudara-saudaranya. Yusuf meyakinkan saudara-saudaranya, "Janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu" (ay. 5).

Kenapa hal demikian dapat ia lakukan? Inilah jawabannya! Yusuf dapat melihat peristiwa masa lalu sebagai campur tangan Allah! Karena itu ia tidak marah atau dendam atas perbuatan jahat saudara-saudaranya itu di masa yang lalu. Ia tidak terfokus pada peristiwa pahit yang pernah dialaminya, tetapi melihat sesutu yang lain, sesuatu yang indah yang dikerjakan Allah. Allah mengubah segala keadaan perjalanan hidup yang pahit, menjadi rancangan damai sejahtera. Allah memakai Yusuf untuk memelihara kelangsungan hidup garis keturunan Kristus. Dengan demikian, Yusuf adalah nenek moyang rohani Kristus, kedudukan yang lebih penting daripada nenek moyang jasmaniah (lih. Rom 4:12-16). Peristiwa itu tidak terjadi dalam satu hari, tetapi memakan waktu bertahun-tahun. Itulah proses yang Allah lakukan bagi umat percaya. Suatu proses melalui tempaan mafan pergumulan hingga menuju kematangan.

Saudara, kisah Yusuf ini merupakan suatu penghiburan yang besar tatkala kita merasa sangat menderita. Kita diajak untuk belajar dari satu perkara penting, bahwa dibalik itu semua rencana Allah sungguh indah. Melalui kebenaran firman Tuhan ini menyiratkan satu pemahaman yang mendalam, seperti yang diungkapkan oleh Yusuf sendiri bahwa Allah mengutusnya untuk mendahului mereka. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam rangka kesejahteraan dan masa depan yang baik, seiring kehendak Allah yang begitu baik (ay. 17-19). Jika Allah memberi Anda suatu permulaan yang sulit janganlah terfokus pada masalah, tetapi bersandar dan mintalah kekuatan dari-Nya untuk dapat melewati hal itu.

Dalam kehidupan sebagai orang beriman, mungkin kita seringkali mengalami peristiwa-peristiwa yang menyakitkan. Dikhianati, difitnah, dijatuhkan, dan aneka bentuk peristiwa menyakitkan lainnya. Dalam proses itu, jika kita tetap setia dalam keyakinan iman dan percaya bahwa Allah menyertai kita, maka hidup kita pun akan berakhir dengan kemenangan dan sukacita. Berhentilah untuk menyesali diri atas peristiwa yang mungkin sedang kita alami kini. Berhentilah memelihara dendam berkepanjangan yang sebenarnya hanya menambah susah. Berhentilah dari hanya terfokus terhadap masalah pahit yang menjepit. Tapi percayalah bahwa Allah juga mengasihi kita, walau apa yang Allah lakukan terkadang tampaknya mustahil untuk dimengerti (bdk.Mzm. 105). Kita harus memusatkan pikiran kepada Allah, bukan kepada masalah. Kita harus berkonsentrasi pada apa yang sedang dan akan Ia lakukan, yaitu rancangan berkat dan damai sejahtera kita. AMIN! *

MENJADI BERKAT BAGI BANYAK ORANG


Kejadian 47:1-12

Pernahkan kita berfikir, kenapa Allah menempatkan Yakub dan keluarganya harus ke Mesir, ke negeri asing, negeri orang lain? Bukankah Allah itu Maha Kuasa, dan dapat saja ia memberikan pertolongan ketika mereka kesulitan di Kanaan, tanpa harus repot-repot pergi ke Mesir? Tentu ada maksudnya. Ada maknanya! Apa yang dapat kita pelajari dari nas ini bagi hidup kita selaku orang percaya?

Pertama, kita hidup bersama orang lain, makhluk sosial. Kita tidak mungkin hidup sendiri, dan bukan untuk diri sendiri. Ketika masa kesulitan pun berkat Tuhan tidak langsung turun dari langit, tetapi juga melewati perantaraan orang lain juga. Karena itu, janganlah kita meremehkan arti orang lain. Semakin banyak kita kenal baik dengan orang-orang, itu artinya semakin banyak pula kemungkinan pintu-pintu berkat kita dapatkan.

Kedua, orang percaya diutus ke dalam dunia, hadir di tengah-tengah dunia. Bukan hadir mengawang-awang antara langit dan bumi. Tetapi sungguh hadir di bumi, beraktivitas di bumi. Ya, di bumi duniawi yang berhadapan dengan berbagai macam aspek keperluan serta kepentingan sebagai syarat hidup di dunia. Bukan hanya keperluan dan kepentingan sorgawi semata. Hanya ada prinsifnya, kita ada di dunia, tetapi cara hidup kita harus mencerminkan cara hidup sorga!

Ketiga, orang percaya diutus ke dalam dunia tidak lain lain dan tidak bukan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Ketika Yakub bertemu dengan Firaun, maka Yakub memohonkan berkat bagi Firaun, hal ini mempunyai beberapa pengertian, yaitu : Yakub menyapa Firaun, dengan menyatakan berkat, dengan mengucapkan segala hal yang baik. Yakub berdoa untuk memberkati Firaun, dan hal itu menunjukkan bahwa Yakub secara posisi memang dibawah Firaun sebagai penguasa Mesir, tapi secara rohani, Yakub berada di atas Firaun, karena dia adalah Pangeran Allah (Israel) Jadilah umat Tuhan yang rindu akan berkat Allah, tapi juga yang dengan sukacita membagi berkat bagi sesama. AMIN! *

MAKNA MEZBAH PEMBAKARAN UKUPAN


Keluaran 30:1-10

Mezbah pembakaran ukupan adalah salah satu tempat suci yang berhubungan dengan soal persembahan dalam Perjanjian Lama. Sedangkan ukupan ialah satu daripada empat benda yang dianggap Maha Kudus bagi Tuhan (Keluaran 30:36; Imamat 2:3 dalam The Companion Bible). “Ukupan” ialah getah harum atau bahan lain yang menghasilkan bau wangi-wangian bila dibakar dan digunakan khususnya dalam upacara keagamaan; wangi-wangian atau asap yang timbul daripadanya. Pembakaran ukupan ini melambangkan penyembahan dan doa yang terus-menerus dari umat Allah (ayat Kel 30:8; Mazm 141:1-10; Luk 1:10; Wahy 8:3-4). Membakar, ukupan untuk; wangi-wangian dengan ukupan” (The Living Webster’s Encyclopaedic Dictionary, 1977).

Allah sendiri yang menetapkan bentuk, bahan, dan tempat di mana ia diletakkan serta cara pelaksanaannya. Mengenai tempat ia ditaruhkan, Allah sendiri menegaskan: “Haruslah kautaruh tempat pembakaran itu di depan tabir penutup tabut hukum, di depan tutup pendamaian yang di atas loh hukum, di mana Aku akan bertemu dengan engkau.” (ay.6). Tabir itu adalah untuk memisahkan Tempat Kudus daripada Tempat Maha Kudus (lihat Keluaran 26:33). Ia berperanan sebagai satu rintangan kepada jemaah Israel. Pada waktu ini, Pendamaian hanya boleh dibuat sekali setahun. Pada saat Kristus mati tabir itu terbelah dua (bdk.Markus 15:38; Ibrani 6:19-20; 10:19-22). Sejak itu kita boleh menemui Tuhan dalam Tempat Maha Kudus, ertinya kita boleh berdoa terus kepada Tuhan dalam nama AnakNya, Yesus Kristus.

Mezbah ini terbuat dari kayu penaga yang disalut dengan emas. Dibuat dari kayu penaga berbentuk 4 persegi dan berukuran: panjang : 5 hasta, lebar : 5 hasta, tinggi : 3 hasta. Ada 4 buah TANDUK pada keempat sudutnya dan semuanya disalut dengan tembaga. Mezbah tersebut harus dibuat berongga. Ditengah-tengah mezbah terdapat KISI-KISI, yakni jala-jala tembaga dengan 4 buah gelang tembaga pada keempat ujungnya, dan kedudukannya adalah ½ tinggi dari mezbah itu. Dua buah KAYU PENGUSUNG terbuat dari kayu penaga yang disalut dengan tembaga dan dimasukkan dalam gelang-gelang yang terdapat pada kedua rusuk mezbah tersebut waktu diangkat. KAYU PENAGA yang berwarna kehitam-hitaman dan keras itu menunjuk pada keadaan dosa yang ada pada manusia yang harus dijatuhi hukuman atau pembalasan Allah. Allah membenci dosa, tetapi mengasihi orang berdosa, karena DIALAH ALLAH YANG ADIL/BENAR. Sedangkan "Emas" (Ibrani: "ZÂHÂV") adalah simbol cahaya ilahi atau cahaya surgawi, kemuliaan Allah.

Menyinggung masalah persembahan ukupan, Daud juga pernah mengungkapkannya dengan indah dalam bentuk syair: “Ya TUHAN, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepadaku, berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu! Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.” (Mzm. 141:1-2). Jadi dapat kita pahami bahwa ukupan ialah bahan jasmaniah yang harus dibakar atau dikenakan api/kepanasan kepadanya untuk menghasilkan bau. Secara rohaniah doa-doa kita disamakan seperti ukupan.

Menurut W.R.F. Browning dalam buku “A Dictionary of the Bible”, mezbah dalam Perjanjian Lama adalah tempat pengorbanan yang didekatnya hewan-hewan disembelih dan di atasnya persembahan gandum, anggur dan kemenyan dibakar serta dipersembahkan di alam terbuka. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mezbah adalah tempat untuk mempersembahkan. Istilah mezbah keluarga berarti tempat atau saat di mana seseorang bertemu dengan Tuhan saat menyembah dan bersekutu dengan-Nya. Oleh sebab itu, keluarga-keluarga perlu menata kehidupan rohaninya dengan menjalin hubungan khusus dengan Allah Tritunggal, salah satu caranya adalah melalui mezbah keluarga.

Layaknya bernafas, kitapun harus memiliki keinginan yang dalam untuk bersekutu dengan Tuhan. Tidak semestinya kita menundanya hanya untuk saat-saat krisis atau sewaktu menghadapi tantangan besar. Kita tidak bisa hanya mengandalkan berdoa dalam ibadah di hari Minggu saja. Kita memerlukan satu mezbah keluarga di mana kita dapat memuji Tuhan dan bersekutu bersama serta mendoakan hal-hal yang spesifik di tengah keluarga kita. Sebuah kegiatan yang menyenangkan hati Tuhan tentu saja. AMIN! *

PERSEMBAHAN KITA: KUALITAS ATAU KUANTITAS ?


II Kor. 9:6-11

Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karenanya hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan juga, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!

Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah uang dan harta benda! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan.Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan!

Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal memberi juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).

Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Sebab apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Seorang janda miskin misalnya. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Luk. 21:1-4). Dari beberapa catatan Alkitab di atas mem perlihatkan kepada kita bahwa kehidupan Kristen itu tidak lepas dari soal memberi dan terkait dengan soal uang dan harta benda! Dengan kata lain, bahwa memberi, entah memberi dalam anti secara umum (pemurah) atau pun juga memberi berupa sikap dalam arti secara khusus (persembahan), adalah ciri kehidupan Kristen yang benar. Rasul Paulus sendiri menganggap bahwa soal memberi dalam kehidupan persekutuan adalah bukti ketaatan iman, suatu pelayanan kasih nyata yang dapat membawa hasil dua berganda, yaitu mencukupkan keperluan orang kudus dan melipatgandakan ucapan syukur kepada Allah (ay.12).

Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Karena itu tidak heran apabila nas ini juga sering dikutip menjadi dasar dan pengantar persembahan di kebaktian-kebaktian gereja kita. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.

Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?

Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahan¬nya yang berkualitas kepada A11ah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.

Dalam nas ini, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).

Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati ki¬ta. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.

Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terba-ik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).

Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki ketulusan hati dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih*

PERSEMBAHAN: BELAJAR MEMBERI DARI KEKURANGAN


Markus 12:41-44

Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Dan memang, di setiap ibadah-ibadah yang kita ikuti, “persembahan” merupakan salah satu bagian dari unsur tata ibadah yang ada. Bila kita mempelajari dari Alkitab sendiri, rupanya persembahan juga memang telah dilakukan sejak manusia pertama ada. Seperti yang dilakukan Kain dan Habil yang tercatat dalam kitab Kejadian 4:3-5. Dalam kehidupan bangsa Israel sendiri , persembahan merupakan sesuatu yang tidak asing. Karenanya tidak heran bila di rumah-rumah ibadah Israel disiapkanlah peti persembahan.

Berbicara lebih jauh tentang persembahan saudara, tentu ada banyak versi pemikiran. Juga dalam praktek-praktek nyata yang diperlihatkan. Ada yang mengatakan bahwa persembahan itu, yang penting ketulusan hatinya, jumlahnya tidaklah yang menentukan. Karenanya tidak heran, bila sejak Sekolah Hari Minggu, ketika kantong persembahan diedarkan, diiringi dengan nyanyian: “Persembahan kami sedikit sekali... Kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati......”

Tidak kurang, bagaimana praktek ketika uang persembahan dipersiapkan sebelum disampaikan ke kantong-kantong persembahan? Oh, dari rumah sudah dicari mana uang recehan. Atau bila dianggap nilai nominalnya agak besar maka ditukar terlebih dahulu di kios-kios terdekat. Beli korek api atau rokok terlebih dahulu umpama, sehingga tukaran uang recehan itu dapat dibagi-bagi nantinya sesuai dengan jumlah kantong yang disediakan.

Lalu ketika persembahan dimasukan ke kantong-kantong persembahan? Ada yang beranggapan, bahwa ketika menyampaikan persembahan, bila tangan kananmu memberi maka jangan sampai diketahui tangan yang kiri. Ada ayatnya kata mereka untuk membenarkan diri, dengan penafsiran yang dibuat sendiri. Makanya ketika menyampaikan persembahan tidak jarang disampaikan secara “karupet” (istilah bahasa Ngaju: uang yang digenggam erat hingga sampai kumal), ketika dimasukan ke kantong persembahan. Tidak kurang, untuk memberikan motivasi kepada umat dalam soal memberi, diberikan semacam iming-iming, “siapa banyak memberi, maka Allah akan melipatgandakannya, ada yang lima kali ganda, sepuluh kali ganda, bahkan seratus kali ganda”. Bahkan juga hingga dibuat lagunya.

Lalu ketika seolah-olah Allah belum melipatgandakannya? Nah...nah...nah... Maka terjadilah kecewa. Pada kali persembahan berikutnya, nilai nominalnya dikurangi juga. Bila hati sedang tulus, berkatnya melimpah persembahan tulus dan mulus! Bila sedang berat hati atau kecewa, oh.... persembahan kami sedikit sekali, kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati.....” Kan sukarela katanya, tak ada yang memaksa ?! karenanya tidak heran, orang rela kehilangan ratusan ribu rupiah untuk bersenang-senang, ada yang mabuk-mabukan segala macam, atau rela keluarkan jutaan rupiah untuk urusan dunia di meja judi umpama, karena rasa-rasanya hasilnya bisa terasa segera. Kalau persembahan? Oh, entah kapan Tuhan mengembalikannya. Apalagi yang berlipat-lipat ganda katanya!?

Pada suatu kali, seorang bapak seusai ibadah minggu di gereja merasa kecewa. Karena itu ia mengusulkan supaya nas pengantar persembahan yang ada itu dirobah. Karena setiap kali mengikuti kebaktian, begitu katanya, hatinya selalu gundah gulana, ketika nas persembahan dibaca, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9:6). Kan katanya, bagaimana saya bisa mendapat berkat yang banyak dari Allah, sementara persembahan saya sedikit ketimbang orang lain, soalnya saya memang miskin, tak sengaja memberi yang sedikit. Wah...wah..wah... berani-beraninya bapak ini mau merobah isi ayat Alkitab, karena motivasi yang keliru soal persembahan. Sangkanya dengan memberi banyak otomatis Alla memberinya lebih banyak lagi, segala penyakit akan sembuh, bebas dari segala masalah. Ya, seperti uang sogokan kepada Allah kurang lebihnya. Itu yang dimengertinya.

“Persembahan” .....! Karena sudah terlalu biasa, maka maknanya pun semakin tidak jelas. Jadilah salah kaprah sesuai dengan pemahaman masing-masing, selera masing-masing. Dan dalam rapat-rapat Majelis kekerejaan kita, yang dibicarakan tidak lebih sekedar masalah teknis, berapa jumlah kantong persembahan yang akan diedarkan. Pada suatu kali, seorang Hamba Tuhan yang telah purna bhakti alias pensiun pernah bersaksi, bahwa ia merasa bangga karena selama melaksanakan tugas tidak pernah menyinggung-nyinggung jemaat masalah persembahan. Makanya disenangi oleh umat.

Hamba Tuhan yang satu ini memang bukan seorang hamba uang, dan memang perlu menjadi teladan bagi para hamba-hamba Tuhan jonior. Ia memang disukai oleh umat, karena memang tidak pernah menyinggung soal tanggungjawab, beban berat, soal persembahan yang benar, selaku pengikut Kristus. Hanya sayang, karena bisa jadi dalam penilaian Tuhan justru berbeda, menjadi hamba yang tidak setia karena membiarkan umat mempraktekkan cara persembahan yang tidak berkenan kepada Tuhan (bdk. Maleakhi pasal 2 dan 3).

Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan! Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal persembahan juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).

Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karena hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Itu dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!

Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah persembahan! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Demikian pun seperti yang dilakukan oleh seorang janda miskin seperti dalam nas ini. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Bdk. juga Luk. 21:1-4).

Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.

Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?

Tapi dalam nas ini, nyata-nyata Yesus juga memperhatikan jumlah pemberian dalam persembahan, baik para orang kaya, juga seorang janda miskin. Demikian juga, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).

Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahannya yang berkualitas kepada Allah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.

Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati kita. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.

Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terbaik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).

Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki rasa kesungguhan hormat kepada Allah, dan memiliki ketulusan hati yang sungguh-sungguh saja yang dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih kita kepada Tuhan. AMIN. *

APA SIH SEBENARNYA PERJAMUAN KUDUS ITU?



I Korintus 11:17-34

Ada beberapa orang warga jemaat mengungkapkan bahwa pelaksanaan Perjamuan Kudus yang dilaksanakan di sebagian gereja kita sekarang kurang terlalu hikmat. Berbeda kata mereka dengan pelaksanaan pada era sekitar tahun 70an-80an. Mereka mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaannya sekarang terkesan seadanya, biasa-biasa saja. Pada era sebelumnya, demikian tutur mereka, kurang lebih tiga minggu sudah terasa suasana yang berbeda. Yang akan mengikuti Perjamuan Kudus sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Sebelum ambil bagian dalam Perjamuan Kudus, sekiranya ada hal-hal yang menjadi batu sandungan dengan sesama, maka mereka upayakan untuk membereskannya terlebih dahulu. Juga ketika mengikuti Perjamuan Kudus, begitu hikmat. Bahkan sampai pakaian yang digunakan juga sangat diperhatikan, menggambarkan suasana yang khusus berhubung dengan acara yang dianggap sakral tersebut. Demikian mereka mengungkapkan sekilas kenangan masa lalu dalam situasi pelaksanaan Perjamuan Kudus.

Lalu bagaimana dengan pelaksanaannya sekarang? Apa persamaan dan bedannya dengan masa lalu? Nah...nah...nah... Ini yang perlu kita simak, barangkali ada hal-hal yang perlu kita gumuli dalam rangka pembenahan, bagaimana sebaiknya pelaksanaan Perjamuan Kudus yang kita laksanakan! Dari dulu sampai sekarang, memang ada kesamaan dalam ibadah Perjamuan Kudus. Ya, rata-rata dihadiri banyak umat. Ini menarik. Yang sakit pun diupayakan oleh keluarganya untuk bisa hadir mengikuti ibadah di Gereja. Kecuali yang keadaanya sangat parah, sehingga harus tinggal di rumah, yang pada gilirannya nanti akan menerima pelayanan Perjamuan Kudus di rumah sesuai dengan jadwal yang diatur oleh Majelis.

Lalu perbedaannya? Ya, itu tadi. Kurang hikmat. Tidak ubahnya seperti ibadah biasa. Bahkan tidak jarang ada yang sambil guyon sementara Perjamuan Kudus berlangsung, “Akh, koq anggurnya sedikit amat sih?” Padahal kata mereka, semestinya Perjamuan Kudus adalah sesuatu yang sakral, perlu dijaga nilai-nilai kesakralannya. Lalu pemahaman sebahagian orang Kristen sendiri tentang Perjamuan Kudus itu sendiri? Kalau kita cermati, ada juga pemahaman dari dulu sampai sekarang, entah sadar atau tidak, memberikan semacam makna ekstrim yang sebetulnya lepas dari konteks. Apa misalnya? Ya, yang menganggap bahwa roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus adalah semacam titisan atau jelmaan sesungguhnya dari tubuh dan darah Tuhan Yesus.

Karenanya tidak heran, bila ada yang sakit diupayakan untuk hadir, sebab menurut pandangan mereka, roti dan anggur itu memiliki semacam kuasa magis yang dapat menyembuhkan penyakit. Bahkan tidak jarang, yang sudah tidak sadarkan diri dipaksa untuk sedapat-dapatnya mencicipi roti dan anggur, dengan pemahaman bila si sakit yang sekarat sempat mencicipinya, maka ia akan otomatis selamat, diampuni dosanya oleh Tuhan. Juga tidak heran, bila ada jemaat yang hadir dalam ibadah Perjamuan Kudus, meminta roti dan anggur lebih, dengan alasan untuk dibawa pulang ke rumah, untuk dibagikan bagi suami/isteri, atau keluaergannya yang sakit di rumah. Wah...wah...wah...

Saudara, apa sih sebenarnya Perjamuan Kudus itu? Gereja-gereja Protestan khususnya, memaknai Perjamuan Kudus sebagai peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia. Melalui Perjamuan Kudus kita diingatkan bahwa suatu peristiwa agung telah terjadi melalui mana ketika Yesus mati di kayu salib, menumpakan darahnya untuk tebusan manusia. Itu berarti bagi anda dan saya juga. Roti dan anggur adalah tanda, sebagai sarana melalui mana kita mengkaitkan iman kita untuk tertuju kepada Dia (Yesus) yang telah berkorban untuk kita.

Roti dalam Perjamuan Kudus adalah mengenai tubuhNya yang dipecah-pecahkan, dalam arti tidak ada satupun tulangNya yang patah, namun tubuhnya disiksa sedemikian rupa sehingga sulit untuk dikenali (Mazmur 22:13-18, Yesaya 53:4-7). Anggur menyatakan darahNya, menunjukkan kematian yang mengerikan yang dialamiNya. Dia, sang Anak Allah yang sempurna, menjadi penggenapan dari begitu banyaknya nubuatan dalam Perjanjian Lama mengenai sang Penebus (Kejadian 3:15; Mazmur 22; Yesaya 53, dll). Ketika Yesus berkata, seperti yang dikutip oleh Rasul Paulus, ”Lakukanlah ini untuk menjadi peringatan akan Aku,” mengindikasikan bahwa upacara ini harus diteruskan di hari-hari yang akan datang.

Ajaran Luther tentang Perjamuan Kudus dia sebut Kon-substansiasi (kon = sama-sama): roti dan anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi). Tetapi tubuh dan darah Kristus mendiami roti dan anggur itu sehingga ada 2 zat atau substansi yang sama-sama terkandung dalam roti dan anggur itu. Gereja Lutheran memahami bahwa di dalam Perjamuan Kudus Kristus sungguh-sungguh hadir tanpa merubah substansi roti dan anggur namun Dia hadir ketika Perjamuan Kudus dilakukan. Makna kehadiran Kristus diterima, ketika yang menerima Perjamuan Kudus percaya tentang firman Tuhan yang diberitakan melalui Perjamuan Kudus dan percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus.

Sedangkan menurut pandangan Calvin, Perjamuan Kudus adalah tanda tetapi bukan tanda kosong, sebab tanda ini diberikan Allah melalui AnakNya supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Karena kelemahan manusia tanda ini mutlak perlu sebagai tambahan kepada firman yang diberitakan. Sebab persatuan dengan Kristus yang dikaruniakan kepada orang percaya hanya dapat dimengerti kalau diperlihatkan dalam upacara makan roti dan minum anggur.

Perjamuan Kudus yang kita laksanakan lebih bermakna sebagai dorongan bagi kita untuk secara periodik menilai diri (self correction) dalam arti, mengadakan koreksi atas hati dan pikiran kita, karena syarat untuk dapat ikut dalam perjamuan kudus ialah bahwa kita harus membersihkan hati dan pikiran kita sedemikian rupa sehingga keikutan kita makan roti dan minum anggur dari cawan Perjamuan Kudus itu adalah dalam keadaan rohani yang layak dan iman yang tidak ragu-ragu (ay. 28-29).

Perjamuan Kudus merupakan tempat di mana Allah menawarkan diri-Nya melalui korban Kristus kepada kita, anugerah yang sempurna menjadi milik kita, jika kita menerima Dia melalui iman. Dia menawarkan tubuh-Nya yang disalibkan dan darah-Nya yang ditumpakan itu kepada kita melalui Firman supaya kita mendapat bagian di dalamnya dan pemberian itu dimateraikanNya melalui tanda yang nyata yaitu Perjamuan Kudus. Karena itu, janganlah membiarkan perayaan itu menjadi upacara yang mati dan formal, atau datang ke Meja Perjamuan dengan dosa yang masih belum diakui. Sesuai dengan instruksi Paulus, setiap orang harus memeriksa dirinya sendiri sebelum makan roti dan minum dari cawan dalam Perjamuan Kudus. Selamat Hari Perjamuan Kudus Sedunia dan PI Indonesia. Tuhan memberkati kita semua. AMIN.

Rabu, 01 April 2015

TANPA KEBANGKITAN KRISTUS TAK ADA JAMINAN HIDUP KEKAL


Yohanes 20:19-23

Kebangkitan Tuhan Yesus adalah jawaban atas ketakutan besar umat manusia terhadap kematian. Bagi manusia pada umumnya, kematian adalah akhir dari segala-galanya. Bahkan menjadi lambang kekalahan. Tetapi tidak bagi Tuhan Yesus! Kematian itu dikalahkan-Nya dengan kebangkitan-Nya. Ia menang atas kematian. Kematian, yang menjadi hantu mengerikan dalam kehidupan manusia, tidak dapat menguasai diri-Nya dan telah dikalahkan-Nya.

Kemenangan Kristus atas kematian juga seharusnya menjadi kemenangar orang Kristen. Kematian, yang membuat orang lain bergidik ketakutan kemudian lari pontang-panting, telah dikalahkan oleh Kristus. Karena itu kematian seharusnya tidak boleh menjadi alasan yang menghambat kegiatan pemberitaan Injil dan pengutusan diri orang Kristen. Namun bagaimanakah hal ini bisa diberlakukan dalam kehidupan kita sehari-hari? Pengalaman para murid yang menjadi saksi kebangkitan Kristus dapat menjadi contoh bagi kita pada masa kini.

Josh McDowell, seorang apologet dari Campus Crusade for Christ, dalam bukunya Evidence That Demands a Verdict mengutip H.P. Liddon, berkata "Faith in the resurrection is the very keystone of the arch of Christian faith, and, when it is removed, all must inevitably crumble into ruin." Iman kristiani didasarkan pada kenyataan dan kepercayaan bahwa Tuhan Yesus Kristus disalibkan dan bangkit kembali pada hari yang ketiga pada kurang lebih 2000 tahun yang lalu di Yerusalem. Tanpa kebangkitan Kristus tiada harapan hidup kekal.

Tak dapat disanggah bahwa ada saja orang Kristen yang takut dan malu mengaku dirinya sebagai orang Kristen atau Pengikut Kristus. Ada yang takut kalau lambat naik pangkat atau tidak disukai atasan. Ada yang takut dicemooh, ditolak dan ditinggalkan. Ada yang takut kalau ditangkap, kemudian disiksa dan dianiya. Hal yang demikian pemah dialami dan dirasakan oleh murid-murid Tuhan Yesus. Mereka sangat ketakutan dan mengalami krisis iman yang luar bisa ketika guru sekaligus pimpinan mereka itu ditangkap dan dihukum mati sebagai penjahat kelas kakap.

Ketakutan para murid adalah juga ketakutan umat manusia pada umum yaitu takut akan kematian. Manusia takut kalau nyawanya hilang atau tercabut dengan cara apapun. Termasuk melalui penangkapan, penyiksaan dan penganiayaan. Inilah ketakutan eksistensiai, ketakutan yang menetap dan ada pada semua orang. Hidup dalam ketakutan, tanpa keberanian dan tanpa damai sejahtera, adalah kehidupan yang tidak menyenangkan. Kondisi kehidupan yang demikian tentu saja bertentangan dengan- rencana Allah yang merancang kehidupan yang penuh damai-sejahtera bagi sernua orang. Sebagai pengikut Allah yang Hidup, Allah yang telah mengalahkan kematian, seharusnya kita tidak berlaku sebagai pengikut yang meringkuk ketakutan di ceruk kehidupan ini. Kita harus keluar untuk menyatakan bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang telah mengalahkan kematian. Kematian yang menjadi ketakutan umat manusia sejagat-raya itu telah ditaklukkan-Nya.

Kita harus percaya bahwa Tuhan Yesus bukanlah manusia biasa yang tamat riwayatnya dalam kematian. Ia adalah Allah yang bangkit dari kematian. Ia Allah yang hidup yang terus berkarya untuk mengampuni dosa manusia hingga sekarang ini. Karena itu, Ia mengutus kita, memberi Roh Kudus kepada kita, agar kita menyatakan bahwa Ia adalah Allah yang hidup, yang telah mengalahkan kematian. Kebangkitan Yesus menjadi kekuatan serta pengharapan bagi orang percaya bahwa yang bertekun dalam iman percaya sambil berjuang secara tekun dalam aktivitas nyata.Yesus yang telah bangkit hadir dimana-mana dan kapan saja, sebab Dia adalah Tuhan yang berkuasa atas ruang dan waktu. Dia tidak hanya berkuasa memberikan jaminan keselamatan masuk sorga, tetapi juga kuasa berkat di segenap kebutuhan hidup kita. Bertekunlah di dalam iman, sambil ulet dalam berjuang di kehidupan. AMIN.*

HIDUP DALAM KEKUDUSAN


Imamat 19:1-37

Kita seringkali disebut orang-orang kudus, tetapi apakah benar hidup kita kudus? Kita harus hidup kudus bukan hanya karena Allah menghendaki kita untuk hidup kudus, tetapi juga karena diri kita semestinya mengungkapkan kehadiran Allah di tengah dunia. Yohanes Calvin menulis di dalam Institutio, “Kekudusan hidup merupakan suatu target yang mesti diusahakan dan diperjuangkan.” Maukah kita mengusahakan dan memperjuangkannya? Pengenalan akan jati diri sebagai umat Tuhan adalah hal yang mendasar dan penting. Umat Tuhan adalah umat yang dikuduskan, umat yang menjaga diri dari hal-hal yang najis. Maka persoalannya bukan siapa aku dulu, tetapi siapa aku sekarang yang menentukan apakah aku termasuk umat Tuhan atau tidak.

Hidup yang kudus merupakan pintu masuk dimana berkat Allah akan dinyatakan dalam hidup kita. Firman Allah menegaskan: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (ay.2). Selanjutnya dikatakan: “Janganlah engkau menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah TUHAN” (ay.16) Demikian juga dikatakan: “Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi tanda surat merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum; tetapi janganlah keduanya dihukum mati, karena perempuan itu belum dimerdekakan.” (ay.20).

Sneca, seorang ahli filsafat dari Roma pernah mengatakan, bahwa: “Perempuan dinikmati untuk diceraikan, dan diceraikan untuk dinikahi.” Dalam nada yang hampir sama, Demosthenes, seorang ahli filsafat dari Yunani juga pernah mengatakan: “Kita memelihara orang sundal untuk kesenanga; kita memelihara gundik untuk keperluan badani sehari-hari; kita memelihara isteri untuk beranak dan memelihara rumah tangga.” Orang percaya dituntut untuk memiliki martabat hidup yang lebih tinggi (pengudusan) dari masyarakat di sekitar yang biasa dengan kehidupan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (kafir). Pergumulan kita jaman sekarang, kita melihat ada banyak orang Kristen yang kembali pada perbuatan-perbuatan cemar seperti perzinahan, perselingkuhan, perceraian dengan begitu mudah. Padahal Tuhan memanggil kita menjadi jemaat-Nya, bukanlah untuk melakukan yang cemar, melainkan apa yang kudus (bdk.I Tes. 4:7).

Saudara-saudara yang dikasihi dan mengasihi Tuhan Yesus.

Tidak ada cara lain untuk menyaksikan bahwa kekristenan lebih baik dari yang lain dalam kehidupan ini selain dari bagaimana kita menampilkan diri sebagai manusia yang baik, memperlihatkan sikap hormat kepada Tuhan, moral etis yang baik, bekerja dengan baik, menjadi seorang teman yang lebih baik, dan menjadi orang yang dapat dipercaya. Dalam sikap etis moral, semestinya orang percaya lebih bersungguh-sungguh lagi dalam hal kasih dan kesetiaan, menghormati pernikahan yang sesuai dengan azas kekristenan (monogami). Kasih Yesus harus menjadi pola hidup kita, karena kasih itu sendiri merupakan hakikat atau kesempurnaan Allah. Dalam segi cara hidup, orang Kristen seharusnya melakukan pekerjaannya sehari-hari dengan tenang, rajin dan efisien. Hidup dalam kekudusan adalah langkah penting untuk kita bisa berdampingan dengan ALLAH. Dan memang, dibutuhkan kekudusan hidup bila kita sungguh-sungguh rindu untuk bisa mengalami perjumpaan dengan TUHAN Yang Maha Kudus nantinya, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Amin!

PENGLIHATAN DANIEL DI TEPI SUNGAI TIGRIS


Daniel 10:1-11:1 

Sungai Tigris (bahasa Persia Lama: Tigr) adalah sebuah sungai di Mesopotamia yang mengalir dari pegunungan Anatolia di Turki hingga melalui Irak dan bermuara di Teluk Persia, sepanjang sekitar 1.900 km. Di sinilah Daniel mendapat penglihatan. Penglihatan dahsyat dari yang ilahi.....  Tigris, bahasa aslinya adalah “Hidekel” artinya “anak panah”. Ya, Daniel, seorang yang sangat dikasihi Allah menurut malaikat Gabriel (psl. 9:23) mendapat penglihatan. Penglihatan maha penting yang menubuatkan kejadian masa depan bagi umat Allah!

Pada saat Daniel mendapat sebuah penglihatan di tepi sungai Tigris, sosok malaikat turun menghampiri dia. Daniel melihatnya dengan jelas dan memberikan deskripsi lengkap mengenai malaikat utusan Tuhan yang menjumpainya ini. "Kuangkat mukaku, lalu kulihat, tampak seorang yang berpakaian kain lenan dan berikat pinggang emas dari ufas. Tubuhnya seperti permata Tarsis dan wajahnya seperti cahaya kilat; matanya seperti suluh yang menyala-nyala, lengan dan kakinya seperti kilau tembaga yang digilap, dan suara ucapannya seperti gaduh orang banyak." ( ay. 5-6).

Ketika melihat malaikat di tepi sungai Tigris itu, Daniel ketakutan. Dia tahu malaikat itu utusan Allah, namun kenapa dia ketakutan hingga pingsan? Kenapa Daniel begitu ketakutan sehingga merasa dirinya layak mati? Saudara, ketika mendapat penglihatan pertama, Daniel bertanya kepada seorang malaikat dan mendapat penjelasan. Pada penglihatan kedua dia mendapat penjelasan lagi. Ketika mendapat penglihatan ketiga, dia tidak bertemu siapapun. Pada penglihatan pertama dan kedua, dia yakin penglihatan itu berasal dari Allah, namun pada penglihatan ketiganya ini Daniel kurang meyakini bahwa penglihatan itu datang dari Allah. Itu sebabnya dia berkabung, untuk mendapatkan pengertian dan merendahkan diri di hadapan Allah (Dan 10:12). Hal ini dilakukannya dalam rangka mendapatkan pengertian karena dia tidak memahami penglihatannya dan merendahkan diri di hadapan Allah mohon belas kasihan karena dia tidak beriman bahwa penglihatan itu datang dari Allah.

Karena kurang meyakini bahwa penglihatannya berasal dari Allah, Ya, itulah penyebab Daniel ketakutan. Tentu saja, karena penampilan malaikat itu sangat garang dan dia menyangka malaikat itu datang untuk menghukumnya. Maka ketika ia dapat berbicara, hal pertama yang dilakukan oleh Daniel adalah menyatakan bahwa dia layak mati dan menyangka bahwa dia telah mati. Daniel sudah tiga kali bertemu dengan malaikat sebelumnya, bahkan dua kali yang terakhir dia bertemu Gabriel. Pada pertemuan pertama dengan Gabriel dia ketakutan namun pada pertemuan kedua dia menghadapinya dengan tenang. Ketika malaikat itu menyatakan tujuan kedatangannya, untuk menjelaskan arti penglihatannya, Daniel menunduk kelu.

Ketika dapat berkata-kata, inilah yang diucapkannya:“Tetapi sesuatu yang menyerupai manusia menyentuh bibirku; lalu kubuka mulutku dan mulai berbicara, kataku kepada yang berdiri di depanku itu: “Tuanku, oleh sebab penglihatan itu aku ditimpa kesakitan, dan tidak ada lagi kekuatan padaku. Masakan aku, hamba tuanku ini dapat berbicara dengan tuanku! Bukankah tidak ada lagi kekuatan padaku dan tidak ada lagi nafas padaku?” (Daniel 10:16-17). Lalu dia yang rupanya seperti manusia itu menyentuh aku pula dan memberikan aku kekuatan, dan berkata: “Hai engkau yang dikasihi, janganlah takut, sejahteralah engkau, jadilah kuat, ya, jadilah kuat!” Sementara ia berbicara dengan aku, aku merasa kuat lagi dan berkata: “Berbicaralah kiranya tuanku, sebab engkau telah memberikan aku kekuatan.” (Daniel 10:18).

Kepada Daniel, sang malaikat menceritakan bagaimana sulitnya ia menerobos halangan penguasa-penguasa udara kerajaan Persia. "Pemimpin kerajaan orang Persia berdiri dua puluh satu hari lamanya menentang aku; tetapi kemudian Mikhael, salah seorang dari pemimpin-pemimpin terkemuka, datang menolong aku, dan aku meninggalkan dia di sana berhadapan dengan raja-raja orang Persia." (ay 13). Pemimpin kerajaan Persia ini dalam bahasa Inggris disebut dengan “the prince of Persia”, atau roh-roh pelindung kerajaan Persia. Roh-roh ini sempat sukses memperlambat malaikat itu untuk mencapai Daniel seperti yang ditugaskan Allah kepadanya selama dua puluh satu hari lamanya. Untunglah kemudian Mikhael, satu dari para pemimpin malaikat datang membantu. Ia kemudian menghadapi serangan anak buah iblis ini sehingga malaikat utusan Tuhan itu bisa meneruskan perjalanannya untuk menjumpai Daniel.

Peristiwa ini memberikan pandangan sekilas tentang pertempuran-pertempuran yang tidak kelihatan di dunia rohani demi kita. Perhatikan bahwa Allah telah menanggapi doa Daniel, tetapi jawaban itu tertunda selama 21 hari oleh kekuatan-kekuatan setan. Karena kita tahu bahwa Iblis senantiasa berusaha untuk menghalangi doa-doa kita (2Kor 2:11), kita harus bertekun di dalam doa (bd. Luk 18:1-8) kendatipun seluruh kekuatan rohani yang jahat dipersiapkan menentang kita. Oh, saudara! Apa yang dilakukan iblis ini adalah sesuatu yang klasik, sejak dulu sudah menjadi pekerjaannya, sampai hari ini pun tetap sama. Iblis akan selalu berusaha dengan segala daya upaya untuk menghalangi, memperlambat laju atau bahkan menggagalkan pesan-pesan Tuhan untuk sampai kepada manusia. Bisa jadi lewat gangguan-gangguan ketika kita membaca Alkitab, gangguan disaat kita sedang serius mendengar kotbah di gereja, berusaha memecahkan konsentrasi kita saat berdoa, membuat iman kita lemah dengan berbagai rasa takut, mencoba menggoyahkan keyakinan kita dan lain-lain. Ada seribu satu cara iblis untuk menghalangi pesan-pesan Tuhan ini untuk sampai kepada kita.

Dalam menghadapi masa-masa sulit seperti yang sedang dihadapi ketika itu, pengharapan diletakkan dalam hati umat dengan menunjuk akhir jaman sebagai saat kemenangan yang mutlak. Maka, tidak heran kalau akhir jaman itu sungguh dinanti-nantikan. Melalu kitab Daniel kita dapat mepelajari alasan  dan tujuan mendasar yaitu untuk mempersiapkan umat-Nya. Memupuk harapan dan iman bangsa Israel yang sedang dianiaya. Melalu seluruh rangkaian penglihatannya, pada intinya Daniel memberikan kesaksian bahwa Allah itu Mahakuasa! Daniel dan kawan-kawannya adalah teladan kemenangan menghadapi cobaan dan godaan dari para penganiayanya.

Nubuat dalam Kitab Daniel tidak terbatas hanya pada masa Antiokhus Epifanes atau penghancuran Yerusalem oleh tentara Romawi pada abad pertama (psl. 9:26). Kitab ini dimaksudkan juga bagi waktu akhir zaman dan untuk menyatakan kepada siapa pun yang berada di dalam penganiayaan yang hebat, bahwa Yang Mahatinggi memerintah dan orang-orang kudus-Nya untuk mewarisi kerajaan yang kekal, yang tak terhancurkan. Hal penting yang juga harus kita mengerti bahwa Allah mengontrol sejarah. Dan Allah yang sama itu juga yang menjawab doa Daniel. Walau jawaban yang diberikan Tuhan kepada Daniel belum nampak segera waktu itu. Bagaimana dengan kita bila kita tahu bahwa kita tidak selalu melihat jawaban doa didalam hidup ini? Apakah kita rela tidak selalu melihat jawaban doa kita segeraa namun masih percaya bahwa Tuhan adalah Tuhan dari sejarah? Yang pasti mendengarkan doa dan menjawabnya?

Saudara, marilah kita tetap beriman kepada Tuhan yang memimpin sejarah dan sanggup menjawab doa kita walaupun mungkin kita tidak melihatnya sekarang. Kita diajar untuk dipersiapkan Allah menjadi anak-anak panah yang siap untuk diluncurkan tepat mengenai sasaran. Tigris mengajar kepada kita yang sudah mulai bertumbuh dan taat, untuk menjadi “anak panah” di tangan Tuhan. Kita menerima keselamatan itu tidak hanya berhenti hanya sampai kita menerima saja. Kita memiliki kewajiban yaitu meneruskan, memberitakan, menyampaikan keselamatan yang Yesus kerjakan melalui jalan penderitaan diatas kayu salib kepada yang lain. Kita jangan merasa puas sudah dipanggil untuk menerima keselamatan saja, tetapi kita harus meneruskannya kepada mereka yang belum sungguh-sungguh percaya Tuhan.* AMIN.

MENGAPA ADA PENDERITAAN?


Ayub 38:12-18

“Penderitaan”..... Oh, suatu kata yang sebenanrnya membuat rata-rata telingat kita jadi alergi dibuatnya! “Penderitaan”..... Oh, membuat kita jadi tak nyaman. Kalau boleh, amit-amit jangan sampai mampir di kehidupan kita. Sebab, bukankah yang dicari manusia pada umumnya adalah kebahagiaan? Tapi apa daya saudara, bahwa penderitaan adalah bagian kehidupan manusia yang tidak dapat dielakkan. Pasti dialami oleh siapa saja.

Terhadap penderitaan (kalau kita mau jujur), seringkali timbul pertanyaan dalam benak kita: “Mengapa Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi dalam hidup kita? Mengapa Tuhan sepertinya membiarkan anak-anakNya mengalami penderitaan, padahal kita sedang berusaha menjalani hidup sesuai kehendakNya?” Saat situasi dan persoalan kita menjadi berat serta segala sesuatu menjadi beban yang berat, banyak orang akan bertanya dimanakah Tuhan itu? Jika Dia ada mengapa doa-doa tidak dijawab, mengapa Dia ijinkan persoalan ini terjadi dan menjadi begitu berat? Banyak yang akhirnya menyerah, menyalahkan Tuhan dan menjadi pahit dengan kehidupan.

Oh, saudara....., semakin panjang daftar pertanyaan yang dapat dibuat, tentu semakin banyak pula yang tak mampu kita jawab! Secara khusus, Anda mungkin bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan anda untuk menderita. Anda adalah orang yang baik. Anda mungkin tidak sempurna, tapi Anda tentu tidak jahat. Jadi Anda mungkin bertanya pada sendiri, “Apakah saya dihukum? Apakah Tuhan membiarkan saya sengsara karena alasan tertentu? Mengapa ini terjadi kepada saya? Dan apa yang telah saya lakukan sehingga layak menerima ini?” Saudara, pertanyaan-pertanyaan semacam ini biasanya terus terulang oleh kebanyakan kita setiap kali mengalami pergumulan yang sama.Tetapi, maaf... hanya sedikit dari kita yang berusaha menemukan jawabannya secara positif, apa sebenarnya di balik penderitaan pahit yang kita rasa.

Saudara, kenapa ada penderitaan? Tahukah saudara artinya? Nah, ini saudara! Bila perjalanan hidup kita mulus tanpa ada 'kerikil-kerikil tajam', maka kita akan memilih hidup tidak bergantung kepada Tuhan. Kita akan merasa mampu dengan kepintaran dan kekuatan sendiri. Itulah sebabnya Tuhan terlebih dahulu memproses Ayub melewati ' padang gurun' sebelum ia mencapai tujuan mulia seperti yang Tuhan harapkan. Tuhan ingin menjadi 'oasis' bagi Ayub saat berada di gersangnya badai kehidupan. Jadi jangan mengeluh dan menyalahkan Tuhan saat berada dalam masalah.

Ayub mengalami hal serupa, dia bertanya kepada Tuhan setelah penderitaan yang begitu hebat mendera: anak-anak dan para pelayannya mati, ternak-ternaknya habis, kemudian isteri dan teman-temannya pun meninggalkan dia justru saat ia sangat membutuhkan mereka. Keluh Ayub, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (Ayub 3:11), padahal Ayub adalah seorang yang “...saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” (bdk. Ayub 1:1).

Dalam situasi seperti itu, mungkin kita pun banyak mengajukan pertanyaan dalam kepedihan. Mengapa terkadang Allah membiarkan kita selaku umat-Nya terluka dan menderita seolah tiada akhir? Mengapa Allah seolah membiarkan umat-Nya menderita teramat berat dan penuh tetesan air mata? Atau, mengapa Tuhan membiarkan orang-orang terkasih kita sakit atau mendapatkan kecelakaan yang tragis? Mengapa Tuhan membiarkan orang-orang yang kita cintai dan sayangi harus cepat pergi? Mengapa Tuhan membiarkan orang miskin atau menjadi tunawisma? Mengapa Tuhan membiarkan kejahatan, atau bencana terjadi?

Kenapa ada penderitaan? Karena pada saat itu Tuhan sedang merenda hidup kita, atau menenun hidup kita agar menjadi indah. Pernahkah anda memperhatikan suatu tenunan? biasanya dibagian bawahnya terlihat semrawut dan rusak tidak beraturan. Terlihat seperti itu jika kita melihatnya dari bawah. Namun jika dilihat dari atas atau dari sisi sang pencipta kita, TUHAN Yang Maha Kuasa, apa yang terlihat tidak beraturan dibawah akan terlihat sangat indah dari atas. Saudara, tentu bukan tanpa tujuan jika Tuhan mengijinkan itu terjadi. Tuhan tidak bertujuan membuat kita semakin terpuruk, putus asa atau untuk menghukum kita; Dia memiliki tujuan yang jauh lebih tinggi dari pada itu, selalu ada rencanaNya yang indah di balik penderitaan yang kita alami! Inilah kesempatan bagi kita melihat perbuatan-perbuatan ajaibNya dinyatakan atas kita.

Alkitab dengan sangat jelas membentangkan, bahwa penderitaan bagi orang Kristen dapat diartikan sebagai peningkatan iman kita dan untuk membentuk karakter kita (bdk. Ibr. 12:11). Sebenarnya pada saat kita mengalami penderitaan, pasti ada maksud baik Allah. Masalah dan penderitaan yang kita alami adalah proses untuk suatu rencana yang indah dari Tuhan. Bagaimana kita bisa tahu rencana Tuhan itu indah? Nah, di sinilah titik persoalannya. Kita harus percaya kepada Dia dan apa yang di katakanNya. Bahwa Allah itu dahsyat! Bahwa Allah itu luar biasa! Dialah pencipta Allam semesta, bahkan sebelum kita ada! (ay.18).

Janganlah mengukur kemampuan Allah dengan kemampuan kita! Kita ini tiada artinya di hadapan Allah. Percayalah bahwa sebenarnya Allah tidak meninggalkan kita. Allah turut campur tangan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita: "Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Rm. 8:28). Dengan demikian, kita akan tetap kuat saat melewati setiap persoalan. Dalam Tuhan ada harapan dan jawaban serta jalan keluar untuk masalah kita. Yang anda perlukan hanyalah percaya kepada Dia dan mengandalkan Dia. AMIN!

ALLAH TAK PERNAH BERHENTI MENGASIHIMU!


Ayub 38:19-30

Saudara, biasanya orang yang sakit pasti menginginkan dirinya cepat sembuh. Ya, itu pada umumnya. Bukan yang lain! Percuma kita bercerita tentang indahnya langit di waktu cerah, sejuknya cuaca di waktu hujan gerimis, atau betapa indahnya bulan purnama di waktu malam bagi orang yang sedang menderita sakit. Apalagi sakit seperti yang diderita Ayub. Sakit lahir bathin. Tapi dalam nas ini sungguh-sungguh terjadi. Allah bercerita tentang alam semesta, bahkan dikala sambil bercerita, sekaligus Allah menantang Ayub untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan! Ya, Allah terus menceritakan tentang alam semesta, tentang bumi, langit, ruang angkasa dan segala jenis binatang, dan Ayub tak dapat menjawabnya.

Oh, saudara... bukankah Ayub yang sangat menderita, badannya penuh borok membutuhkan pertolongan untuk disembuhkan? Bukan malah diberondong dengan segudang cerita dan pertanyaan sulit tentang keadaan bumi (ay.4-6, 12-15), bintang (ay.38:7), laut (ay.8-11, 16-18), langit (ay.19-30), ruang angkasa (ay.31-38), dan binatang (ay.11-33)? Dan apa hubungan antara perkataan Allah tentang bumi, langit, ruang angkasa dan segala jenis binatang dengan penghiburan bagi Ayub yang badannya penuh borok? Saudara, tentu juga banyak hal dalam hidup ini yang memerlukan perenungan lebih mendalam lagi.

Memang dalam pengalaman nyata kita sebagai manusia, terkadang tak ubahnya seperti apa yang dialami dan dirasakan oleh Ayub! Terkadang kita mengharapkan dipulihkan keadaan, mendapat pertolongan dalam kesulitan, kesembuhan dari sakit penyakit, tercapainya segala harapan dan keinginan.... Oh, yang terjadi justru yang sebaliknya. Sepertinya Allah justru tak perduli dengan kita. Serasa Allah menjauh dari diri kita? Seakan Allah tidak menjawab doa kita? Mengapa Allah tidak segera menolong dan menyembuhkan Ayub? Anda ingin tahu jawabnya? Nah, inilah titik persoalannya saudara!

Ini yang menarik! Sebenarnya tentu tidak sulit bagi Allah untuk menyembuhkan penyakit Ayub. Bukankah Allah itu Maha Kuasa? Ya, tentu saja! Allah pasti sanggup melakukan apa saja! Juga teramat mudah bagi Allah untuk menyembuhkan borok di tubuh Ayub, juga mengembalikan lebih banyak dari apa yang pernah ia miliki. Kenapa Allah tidak segera menyembuhkan Ayub? Karena persoalan mendasar yang Allah mau sembuhkan terlebih dahulu adalah penyakit jiwa manusia yang mau menghitung kemampuan Allah dengan kemampuan kita sebagai manusia! Padahal rambut di kepala kita sendiri tak tahu jumlahnya! Melalui pertanyaan yang rumit Allah menggiring Ayub untuk mengatasi musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini yaitu penakut dan bimbang.

Allah menyadarkan Ayub hingga sampai kepada pengakuan penuh penyesalan dan kerendahan hati akan keterbatasannya dan ketidak mengertiannya di hadapan Allah. Bahwa teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh kepada Allah. Tidak ada yang tidak di bawah kendali kuasa Allah, sampai persoalan yang paling detail di alam semesta ini. Allah menantang Ayub untuk menyaksikan betapa dahsyatnya Allah itu melalui alam semesta ciptaan-Nya. Bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang berkuasa atas segalanya. Allah jauh lebih besar dari persoalan kita. Ia tak pernah berhenti mengasihi kita. Karena itu, menyangsikan kuasa Allah adalah suatu kebodohan semata! Bukankah ini yang sering kita lakukan sebagai manusia? Jika Allah yang menjadi tujuan, kenapa harus dikalahkan oleh rintangan-rintangan yang kecil di hadapan Allah? AMIN!