Renungan GKE

Kamis, 02 April 2015

PERSEMBAHAN KITA: KUALITAS ATAU KUANTITAS ?


II Kor. 9:6-11

Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karenanya hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan juga, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!

Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah uang dan harta benda! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan.Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan!

Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal memberi juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).

Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Sebab apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Seorang janda miskin misalnya. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Luk. 21:1-4). Dari beberapa catatan Alkitab di atas mem perlihatkan kepada kita bahwa kehidupan Kristen itu tidak lepas dari soal memberi dan terkait dengan soal uang dan harta benda! Dengan kata lain, bahwa memberi, entah memberi dalam anti secara umum (pemurah) atau pun juga memberi berupa sikap dalam arti secara khusus (persembahan), adalah ciri kehidupan Kristen yang benar. Rasul Paulus sendiri menganggap bahwa soal memberi dalam kehidupan persekutuan adalah bukti ketaatan iman, suatu pelayanan kasih nyata yang dapat membawa hasil dua berganda, yaitu mencukupkan keperluan orang kudus dan melipatgandakan ucapan syukur kepada Allah (ay.12).

Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Karena itu tidak heran apabila nas ini juga sering dikutip menjadi dasar dan pengantar persembahan di kebaktian-kebaktian gereja kita. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.

Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?

Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahan¬nya yang berkualitas kepada A11ah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.

Dalam nas ini, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).

Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati ki¬ta. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.

Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terba-ik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).

Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki ketulusan hati dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar