Renungan GKE

Rabu, 01 April 2015

HARGA SEBUAH KEYAKINAN



Lukas 9:22-27

Saudara pernah mendengar nama seorang bocah berusia 12 tahun bernama Blandina? Nama yang melegenda di abad pertama dalam sejarah iman kekristenan? Dialah orang ke-47 yang harus menanggung siksaan demi mempertahankan iman kepada Yesus yang ia muliakan! Kisah ini terjadi pada tahun 177 di kota Lyons, provinsi Gaul, Perancis sekarang. Diadakanlah suatu acara hebat, suatu pertunjukan amplitiater yang dipenuhi ribuan orang penonton. Acara spektakuler! Sebab yang dipertontonkan bukanlah siapa yang terbaik untuk pantas menerima pengalungan medali, emas, perak, atau perunggu, layaknya para juara pada kegiatan Olympiade, tetapi perjuangan hidup mati untuk membuktikan harga sebuah keyakinan untuk layak menerima mahkota kehidupan!

Acara hebat pun disuguhkan. Orang-orang Kristen yang sekalipun telah dianiaya, tetapi tetap menolak untuk beribadah kepada Kaisar Romawi! Resikonya? Tentu saja, tak ada pilihan lain, mereka digiring ke arena untuk merasakan akibat yang harus dipikul bagi setiap mereka yang tidak mengakui atau tidak menyembah pada kebesaran Kaisar Aurelius. Terompet pun melengking pertanda acara segera dimulai. Empat puluh tujuh orang laki-laki dan perempuan digiring masuk ke arena sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa karena telah meletakkan Kristus di atas Kaisar! Di arena itu, mereka diberi kesempatan sekali lagi: mereka mau menyangkal imannya, berarti mereka akan selamat. Hadiah-hadiah pun pasti didapat! Tapi bila menolak, pasti akan menerima siksaan tiada tara! Namun kali ini pun mereka menolak!

Penonton pun mulai riuh. Mereka menantikan tanda agar penjagalan itu segera dimulai. Yang pertama mengalami kematian adalah bernama Attalus. Ia dipaksa duduk di atas kursi besi yang telah dibakar hingga besinya membara dan terpanggang di situ sampai mati. Setiap kali hukuman selesai dijalankan, yang lain diberi kesempatan untuk menyelamatkan diri. Tetapi semuanya menolak. Karena itu, hukuman pun dilanjutkan. Ada yang disalibkan, ada yang dipenggal kepalanya, ada yang tubuhnya terbelah karena ditarik oleh dua ekor kuda yang lari berlawanan arah, ada yang dipaksa meminum air raksa (sejenis air accu), dsb.

Dan orang yang ke-47, adalah seorang gadis kecil berusia 12 tahun bernama Blandina. Delapan jam ia telah disiksa untuk menyangkali imannya. Sementara tubuhnya terkoyak-koyak tak karuan bentuknya, darahpun mengalir sampai tetes penghabisan. Tak ada jeritan, tangis, ataupun penyesalan. Dijalani dengan rela, bahkan sampai akhirnya mati di ujung tanduk seekor banteng.

Saudara, apa kesan dan perasaan saudara mendengar peristiwa nyata yang terjadi terhadap saudara-saudar kita pada jaman itu? Kagum luar biasa? Atau barangkali punya kesan bahwa mereka itu bodoh, kurang bijasana tanpa perhitungan? Atau barangkali pula kita mempunyai tanggapan, itu kan jaman dulu, sekarang jamannya sudah berobah! !Namun terlepas dari itu semua, kalau kita mau jujur, tentu ada rasa kekaguman yang luar biasa atas keberanian dan iman mereka. Kita pun perlu bertanya, kenapa dan untuk apa mereka mau melakukannya? Apa rahasianya sehingga mereka begitu kuat dan perkasa?

Apa kunci sebenarnya sehingga mereka begitu digjaya di tengah aniaya? Pertama, tidak lain dan tidak bukan, karena mereka memiliki keyakinan yang utuh dan menyeluruh. Bukan hanya “to believe” (percaya), tetapi “to trust” (mempercayakan). Apa gunanya kita percaya namun tak berani mempercayakan? Kedua, karena mereka lebih berorientasi pada makna dan tujuan akhir tertinggi yang akan diraih, mahkota kehidupan di akhir perjalanan kehidupan mereka. Ini penting kita renung secara dalam saudara, terlebih dalam rangka penghayatan iman kita untuk memaknai minggu-minggu sengsara ini.

Untuk itulah Yesus sejak awal (bahkan memberitahukannya hingga tiga kali) kepada para murid apa yang akan Yesus hadapi. Ya tentu saja supaya para murid tidak terkejut natinya ketika benar-benar berhadapan dengan situasi nyata yang sudah menghadang di depan sana. Mengikut Yesus tentu bukan saja hanya mengharap berkat dan mujizatNya semata. Atau berjalan pada jalan tol yang rata bebas hambatan. Tidak! Tidak seperti itu! Itu pemahaman yang sungguh keliru! Karena mengikut Yesus berarti harus berani menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia menuju ke kayu salib! Ya, menjadi pengikut Yesus tidak pernah murah dan mudah.

Mengikut Yesus tidak pernah murah, sebab harganya adalah nyawa seorang putera Allah. Tidak pernah gampang sebab penyangkalan diri adalah syarat tertinggi. Menempatkan kebenaran dan kehendak Allah lebih tinggi daripada keinginan pribadi. Mengikut Yesus tidak pernah mudah, karena kita harus memikul salib, tidak hanya berdiam diri untuk bernikmat-nikmat di bawahnya, tetapi kita harus mengangkatnya sambil berjalan ke suatu tujuan melalui jalana “via dolorosa”, jalan penderitaan, jalan menuju salib. Ada harga yang harus kita bayar. Harga sebuah keyakinan.

Kekristenan yang murah, ialah dimana orang mengharap berkat-berkat besar melimpah karena imannya, tetapi mengabaikan sama sekali tuntutan-tuntutan yang harus ia bayar karena imannya. Kekristenan yang gampang ialah, ketika orang dengan mudah menyesuaikan diri dengan dunia ini, lebih dari pada ia berusaha mengikuti jalan Kristus. Kekristenan yang murah, ketika kita sekedar menengadahkan tangan ke atas berhias gema puji Tuhan Halleluya! Tetapi kurang berusaha! Ya, kekristenan yang murah, yang murahan itulah yang paling berbahaya! Karena pasti tidak pernah konsisten. Cari yang mudah-mudah saja. Cari yang aman-aman saja.

Saudara, sejatinya mengikut Yesus adalah sebuah komitmen. Sebuah komitmen yang kuat ketika kita harus memilih untuk menentukan sikap manakala kita berhadapan dengan kenyataan untuk membuktikannya. Mengesampingkan kepentingan diri sendiri dan lebih mengutamakan Tuhan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku. Karena barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (ay.23). Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar