Renungan GKE

Selasa, 26 November 2013

BERTOBAT DAN MENJADI SEPERTI SEORANG ANAK !



Matius 18:1-5

Saya tidak tahu, apa perasaan saudara jika suatu ketika ada orang berkata kepada saudara “akh….Anda ini seperti anak kecil saja!” Anda suka? Oh… saudara, rasa-rasanya (kalau kita mau jujur) hampir tak ada seorang manusia pun yang suka, apalagi bagi yang menganggap dirinya telah berusia, berpengalaman, koq dikatakan seperti anak kecil? Apalagi bila yang ucapan tersebut ditujukan kepada tokoh yang berpendidikan, orang dalam status sosial tertentu, atau orang terpandang di masyarakat. Dapat kita bayangkan bila itu terjadi?

Namun ucapan semacam itu pernah diucapkan oleh Yesus sendiri kepada para murid (walau ucapanNya tidak persis sama seperti yang kita sebutkan tadi). Bahkan agak lebih ektrim, Yesus menempatkan seorang anak kecil di depan para murid sebagai sampel. Ya, supaya bertobat kembali belajar dari sifat seorang anak kecil. Oh ya? Ada apa dengan para murid? Nah, ini saudara yang perlu kita cermati. Peristiwa itu terjadi manakala para murid bertanya kepada Yesus : "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga ?" Pertanyaan luar biasa. Pertanyaan yang juga penting (maklum menurut versi mereka Yesus sebentar lagi menjadi penguasa). Dan bila benar seperti dugaan mereka, bila Yesus sebagai Raja, sebagai penguasa, bukankah wajar bila para murid sebagai orang terdekat juga harus memiliki peran penting di pemerintahan?

Menurut saudara, salahkah para murid menanyakan kejelasan status dan kedudukan mereka? Oh, saudara, janganlah kita cepat-cepat menghakimi para murid bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Sebenarnya wajar saja. Yesus pun tak menyalahkan mereka. Hanya…..nah ini yang perlu kita garis bawahi! Apa itu? Bahayanya! Murid-murid Yesus mempersoalkan dan meributkan Soal KEDUDUKAN !! Soal STATUS !! Ini tentu saja bertentangan dengan misi Kerajaan Allah itu sendiri. Yang diincar bukan lagi pelayanan, tetapi keuntungan. Hidup mereka semakin mengarah kepada diri sendiri, bukan kepada sesame. Itu sebabnya Yesus meminta mereka agar bertobat dan menjadi seperti anak kecil. Seorang anak tidak memedulikan status atau gengsi. Ia mengakui dirinya tak berdaya dan bergantung sepenuhnya pada orang lain. Inilah kerendahan hati sejati.

Pertanyaan murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga tak terlepas dari persepsi mereka tentang seorang Mesias yang akan membebaskan mereka dari bangsa Roma dan Yesus kemudian tampil menjadi raja mereka. Tak heran, mereka sibuk memikirkan dan membayangkan posisi mereka kelak. Saudara, sungguh sangat menyedihkan bila ini terjadi dalam kehidupan orang percaya. Bila orang berebut kekuasaan, semua ingin jadi pemimpin. Sungguh disayangkan bila para Pengerja, para Pelayan/Hamba Tuhan ... ribut, bertengkar, salah paham, saling menyakiti, saling menjatuhkan, untuk mendapat posisi atau kedudukan dalam gereja Tuhan! Sungguh memalukan bila sifat orang percaya memiliki karakter lebih jelek dari orang dunia!

Menjadi seorang utusan pertama-tama bukanlah untuk mencari nama besar ataupun jabatan penting tetapi justru untuk memuliakan Bapa-mu yang disurga (Mat 5 : 16). Apa artinya ? Menjadi murid Yesus, menjadi pengikut Yesus, apalagi menjadi pelayan Yesus harus siap untuk tidak dihargai, tidak dihormati, tidak dianggap, tidak diakui perannya. Menjadi pelayan adalah salah wujud keikutsertaan kita didalam tugas perutusan. Seperti Kristus keluar dari Surga, datang kepada manusia untuk membagi kasih dan membawa manusia kepada keselamatan, kita orang-orang Kristen sebagai murid-murid Yesus juga dipanggil untuk hal yang sama. Kita harus keluar dari diri sendiri, menjadi seorang utusan dan menjadi hamba bagi orang lain. “ ….. sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” (Yoh. 20:21).

Saudara, anda juga ingin ingin menjadi yang utama? Ingin masuk Sorga? Oh, itu tidak salah! Jika kita mau menjadi yang terbesar, maka pertobatan dari sifat-sifat kedagingan itu mutlak! Bukan kekuasaan, tetapi pelayan, menjadi hamba bagi yang lain! Jika orang ingin masuk sorga, maka memiliki sikap seseorang anak tak bisa ditawar-tawar! Ya, sifat ketergantungan total kepada Allah, sifat kerendahan hati mutlak harus ada!

Yesus menegaskan bahwa kita harus menjadi pelayan bagi yang lain! dan mengambil sikap seperti seorang anak kecil! Oh, ya? Menjadi seperti anak kecil? Ada apa dengan anak kecil? Apa yang ada dibenak kita ketika harus mempersepsikan seorang anak kecil? Bukankah mendengar istilah “anak” itu berkonotasi agak negativ? Sifat yang tergantung kepada orang lain (orang tua?), lemah, tidak mandiri, kurang intelek, dst.? Tapi tunggu dulu, tidak semua sifat seorang anak kecil itu negativ! Ada hal-hal luar biasa dari sifat seorang anak kecil. Bahkan harus dimiliki oleh siapa saja. Termasuk Anda dan saya.

Seorang anak menggantungkan hidupnya kepada orang tuanya. Seorang anak kecil sangat percaya kepada orang tuanya tanpa banyak tanya. Seorang anak kecil sepenuhnya pasrah pada kehendak orang tuanya. Dalam konteks kerohanian, inilah yang disebut dengan IMAN. Iman adalah sebuah bentuk kepasrahan total kepada kehendak dan rencana Allah semata. Artinya juga, bahwa kita berani dan mau menanggalkan segala sesuatu yang tidak berkenan kepada Allah dan hanya melakukan apa yang menjadi kehendak-NYA saja.

“Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga?” seperti yang ditanyakan oleh murid-murid Yesus, seringkali juga muncul dalam benak para pelayan-pelayan Kristus saat ini, walau mungkin bukan dalam konteks Kerajaan Allah. Konsep utama Alkitab tentang kepemimpinan adalah kepemimpinan yang melayani. Hal tersebut terlihat di dalam ucapan Yesus berikut ini. “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” (Matius 20:25).

Melalui perkataan-Nya dan ajaran-Nya Yesus memperlihatkan perbandingan bahwa kepemimpinan dengan gaya dunia memiliki ciri-ciri otokratis; lebih banyak memerintah daripada melayani pengikut; lebih banyak menempatkan pimpinan sebagai bos daripada pemimpin. Yesus mengajarkan bahwa seorang pemimpin justru harus menjauhi hal-hal berbau otokratis. Gaya otokratis bertolak belakang dengan yang Yesus kehendaki dan tampilkan, yakni kasih, keadilan, kebenaran, damai sejahtera, pengampunan, dan kerendahan hati. Amin!
Pdt.Kristinus Unting, M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar