Renungan GKE

Kamis, 28 November 2013

HATI YANG DIGERAKKAN OLEH KASIH ALLAH (Adventus I)



Amsal 3:27-35

Entah apa perasaan saudara ketika membaca kisah nyata berikut ini. Ya, tentang kisah nyata seorang kakek tua di Tianjin, Cina bernama Bai Fang Li. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya. Kemiskinan tidak membuatnya punya alasan untuk tidak memberi. Ia terpanggil untuk memberi sumbangan kepada sekolah-sekolah dan universitas di kotanya untuk menolong lebih dari 300 anak miskin agar mampu memperoleh pendidikan demi masa depan mereka. Selama 20 tahun ia menggenjot becaknya demi memperoleh uang agar bisa menambah jumlah sumbangannya.

Ia memilih hidup secukupnya agar bisa semakin banyak memberi. Makan siangnya hanyalah dua buah kue kismis dan air tawar, sedang malamnya ia hanya makan sepotong daging atau sebutir telur. Baju yang ia kenakan diambil dari tempat sampah, jika mendapat beberapa helai pakaian itu sudah merupakan suatu kemewahan. Li menarik becak tanpa henti, 365 hari setahun tanp peduli kondisi cuaca. Baik ketika salju turun atau panas terik menyengat, dia terus mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi hingga jam 8 malam. "Tidak apa-apa saya menderita",tetapi biarlah anak-anak yang miskin itu dapat bersekolah" katanya.

Ketika usianya menginjak 90 tahun, ia tahu ia tidak mampu lagi mengayuh becaknya. Tabungan terakhirnya berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 650.000, dan semuanya ia sumbangkan ke sekolah Yao Hua. Dia berkata, "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan.." Dan semua guru disana pun menangis. Tiga tahun kemudian, Bai Fang Li wafat dan dikatakan meninggal dalam kemiskinan. Tetapi lihatlah dibalik kemiskinannya itu ia telah menyumbang 350.000 yuan secara total, atau sekitar Rp 455 juta rupiah selama hidupnya. Ia membaktikan hidupnya secara penuh demi membantu anak-anak miskin yang tidak sanggup sekolah. Sebuah kisah inspiratif yang sungguh mengharukan.

Oh, saudara..... Dari milyaran orang di dunia ini, ada berapa banyak Bai Fang Li yang peduli terhadap sesamanya dan mau mengorbankan diri demi membantu mereka? Orang miskin seperti Bai Fang Li mau melakukan itu, sementara banyak orang kaya masih saja merasa tidak cukup untuk bisa berbuat sesuatu bagi sesamanya. Di tengah kehidupan dunia yang berpusat pada kepentingan pribadi, bukankah yang sering terjadi hanyalah memikirkan kepentingan pribadi saja? Atau paling banter sebatas keluarga saja? Bahkan kalau perlu saling sikut dan membinasakan demi keuntungan diri sendiri?

Apa yang dilakukan Bai Fang Li menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang-orang berhati mulia melebihi emas di muka bumi ini. Ketika orang terus merasa dirinya tidak mampu dan menolak membantu orang yang susah meski hanya sedikit saja sekalipun, Bai Fang Li menunjukkan bahwa ia masih terus bisa memberi dalam kekurangannya. Kontribusinya bukanlah sebatas kata-kata simpati saja, tetapi semua tertumpah nyata lewat pengorbanan-pengorbanan yang ia lakukan demi membantu anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan.

Saudara, apa sih rahasianya hingga ia mampu berkorban habis-habisan sampai batas akhir kekuatannya demi menolong sesamanya? Ya, yang pasti adalah persoalan hati. Apa yang bertahta di hati manusia. Apakah hatinya penuh kepahitan, rancangan kejahatan atau telah diisi oleh kasih Allah? (ay. 29, 31). Orang semacam Lie mampu berbuat demikian tentu karena ia hidup dalam ketulusan hati. Hatinya telah digerakkan oleh kasih Allah (ay. 32, 33). Ia tahu persis apa yang sekiranya membuat hidupnya berharga dan mati tidak sia-sia! (ay. 35). Bagaimana dengan Anda dan saya? Bagaimana kita bisa menjadi seorang yang pemurah? Kita harus hidup dalam ketulusan hati. Alkitab berkata, "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." (Ams.11:3).

Tidak mudah memang menjadi orang yang pemurah di zaman sekarang ini di mana banyak orang lebih cenderung bersikap individualistik dan materialistik. Tetapi sebagai orang percaya kita dituntut untuk hidup dalam kemurahan. Orang yang pemurah adalah orang yang mengasihi Tuhan dengan tulus tanpa syarat. Yang dalam melakukan segala sesuatu tidak akan menuntut imbalan. Mengapa banyak orang berselisih, sulit berbuat kasih dan berbagi kepada sesamanya? Ya, apalagi kalau bukan karena sikap hidup seperti yang digambarkan Firman Tuhan berikut ini: “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pkh. 5:9).

Kisah tentang Bai Fang Li dapat menjadi inspirasi, memberikan semangat serta motivasi kepada kita dalam menjalani hidup ini. Baik ketika mengalami penderitaan dan tekanan hidup. Kita tidak boleh putus asa, tetapi menjalani kehidupan dengan penuh perjuangan hingga akhirnya. Setia dan tetap berpengharapan hingga akhirnya berkemenangan di dalam Tuhan. Tanpa terasa kini kita telah memasuki Adventus pertama. Ada empat minggu Adventus sebelum Natal. Minggu-minggu Adventus hendak mengingatkan kita akan perlunya persiapan jiwa sehingga kita dapat sepenuhnya ambil bagian dalam sukacita besar Kelahiran Kristus, Putera Allah, yang telah memberikan Diri-Nya bagi kita agar kita beroleh hidup yang kekal.

Adventus seharusnya menjadi sumber penghiburan, kekuatan, dan ketabahan hati dalam mengarungi kehidupan selama kita masih berjuang di bumi. Bila Adventus dimaknai… “menanti” kedatangan Kristus yg kedua kali, maka menanti yang dimaksud tentu saja bukan berarti pasif, tetapi aktif dalam iman yg senantiasa bertumbuh dan berbuah, pengharapan yg tidak pernah pupus oleh situasi dunia ini, serta hidup bijaksana terhadap tanda-tanda jaman. Kapan pun Tuhan akan datang, bukanlah menjadi persoalan. Tetapi yg jauh lebih penting adalah eksistensi diri selaku orang beriman, serta terus-menerus memberlakukan kasih dan kebaikan Tuhan bagi sesama. Apa pun keadaan kita.

Selaku Gereja kita perlu memberikan pemahaman yang benar secara terus-menerus bahwa persoalan pokok kita bukanlah pada hari atau waktu tibanya Tuhan itu, tetapi mewartakan kasih dan kebaikan Allah setiap hari sebagai bagian dari pengharapan penantian kita akan Tuhan dan kerajaan-Nya. Caranya? Jadikanlah pengharapan di dalam Yesus sebagai milik yang pasti. Tekunlah di dalam pengharapan itu. Tekunlah berbuat baik sebagai ciri khas orang yang berpengharapan. Tekun artinya terus menerus melakukan. Terus menerus berpengharapan. Terus menerus berbuat baik. Bukan kadang-kadang atau musiman. Amin!

(Oleh: Pdt. Kristinus Unting, M.Div)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar