Renungan GKE

Senin, 25 November 2013

MISKIN NAMUN MEMPERKAYA BANYAK ORANG


II Korintus 6:1-10

Ada kata bijak mengatakan “Kekayaan tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang dapat kita bagikan.” Artinya, bahwa yang berpunya belum tentu kaya, bila ia belum bias berbagi. Demikian pun orang miskin, belumlah miskin dalam arti sesungguhnya bila ia masih mampu berbagi. Benar begitu saudara? Bagaimana dalam kenyataan yang terjadi di sekitar kita? bukankah kita sering menyaksikan bahwa ternyata sebagian orang terlalu serakah, sehingga memperkaya diri sendiri dengan tidak mengindahkan hukum? Bukankah banyak juga orang berpunya malah merasa kurang sehingga berupaya lebih memperkaya diri sendiri dengan korupsi, dan juga dengan merusak lingkungan hidup? Sehingga mengakibatkan banyak orang lain menjadi sengsara dan miskin karena ulah mereka?

Lalu tentang miskin? Benarkah bahwa “miskin” selalu berkonotasi negative, selalu digeneralisir menjadi sebuah adagium bahwa kemiskinan menciptakan kejahatan? Namun ternyata tidak selamanya dan tidak sepenuhnya adagium tersebut membuktikan kebenarannya. Kriminalitas dan berbagai bentuk kejahatan serta pelanggaran hukum tidak berbanding lurus dengan status sosial seseorang. Kemiskinan tidak selalu menghasilkan kejahatan. Kekayaan tidak selalu menghasilkan orang yang baik. Coba simak salah satu kisah nyata berikut ini.

Di Tianjin, Cina adalah seorangbernama Bai Fang Li. Ia bukanlah orang yang berkelimpahan harta. Li adalah kakek yang miskin secara materi, tetapi punya hati yang luar biasa kaya. Kemiskinan tidak membuatnya punya alasan untuk memberi. Ia terpanggil untuk memberi sumbangan kepada sekolah-sekolah dan universitas di kotanya untuk menolong lebih dari 300 anak miskin agar mampu memperoleh pendidikan demi masa depan mereka. Selama 20 tahun ia menggenjot becaknya demi memperoleh uang agar bisa menambah jumlah sumbangannya.

Ia memilih hidup secukupnya agar bisa semakin banyak memberi. Makan siangnya hanyalah dua buah kue kismis dan air tawar, sedang malamnya ia hanya makan sepotong daging atau sebutir telur. Baju yang ia kenakan diambil dari tempat sampah, jika mendapat beberapa helai pakaian itu sudah merupakan suatu kemewahan. Li menarik becak tanpa henti, 365 hari setahun tanp peduli kondisi cuaca. Baik ketika salju turun atau panas terik menyengat, dia terus mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi hingga jam 8 malam. "Tidak apa-apa saya menderita",tetapi biarlah anak-anak yang miskin itu dapat bersekolah" katanya. Ketika usianya menginjak 90 tahun, ia tahu ia tidak mampu lagi mengayuh becaknya. Tabungan terakhirnya berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 650.000, dan semuanya ia sumbangkan ke sekolah Yao Hua. Dia berkata, "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin terakhir yang dapat saya sumbangkan.." Dan semua guru disana pun menangis.

Tiga tahun kemudian, Bai Fang Li wafat dan dikatakan meninggal dalam kemiskinan. Tetapi lihatlah dibalik kemiskinannya itu ia telah menyumbang 350.000 yuan secara total, atau sekitar Rp 455 juta rupiah selama hidupnya. Ia membaktikan hidupnya secara penuh demi membantu anak-anak miskin yang tidak sanggup sekolah. Sebuah kisah inspiratif yang sungguh mengharukan. Miskin secara finansial, belum tentu tidak dapat berbuat apa-apa, juga bagi sesama, pelayanan, dan untuk kemuliaan nama Tuhan. Rasul Paul menuliskan, “sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.” (ay. 10). Orang miskin masih bisa memperkaya orang lain. Dengan apa? Dengan kejujuran, kebaikan, kesalehan, dan keikhlasan. Ya, selama kita masih memiliki sesuatu yang dapat diberikan pada dunia yaitu kebajikan dan sikap hidup yang jujur, berkepribadian, bekerja keras sebagaimana pengejawantahan prinsip dan nilai-nilai religius.

Penderitaan dan pergumulan memang sudah menjadi bagian yang tak terelakkan dalam hidup kita, tetapi alangkah berbahagianya kita, apabila dalam keadaan seperti itu, kita bisa tetap merasa sukacita dan tetap menjadi berkat bagi sesama kita. Kehidupan dapat menjadi berkat, tidak tergantung keadaan kita sedang dalam kesesakan, penderitaan atau pergumulan. Sebab apalah artinya seseorang berpunya atau memiliki segalanya, namun miskin dalam berbagi kepada sesamanya? Dan apakah istimewanya jika orang merasa kaya akan iman namun miskin dalam bidang sosial kehidupan? Amin!


Pdt.Kristinus Unting, M.div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar