1 Samuel 2:11-26
Samuel, Hofni, dan Pinehas adalah tiga orang yang mendapatkan peran sakral dari Tuhan. Mereka adalah segelintir orang yang dipilih dari sekian juta umat untuk menjadi pemimpin rohani: orang-orang yang berdiri di hadapan Allah untuk mewakili seluruh umat. Mereka tidak pernah mendaftarkan diri untuk menduduki jabatan itu. Boleh di kata, mereka mendapatkan peran itu secara otomatis. Anak-anak Eli menjadi imam karena mereka keturunan Harun; sedang Samuel menjadi pelayan Bait Allah karena nazar ibunya. Ini sebuah peran sakral yang luar biasa!
Ketiga hamba Tuhan ini berangkat dari garis start yang sama. Mereka sama-sama pernah dididik dengan kurikulum yang sama. Tempat belajarnya sama: di Bait Allah. Guru merekapun sama: imam Eli. Dari dialah mereka tahu bagaimana caranya menjadi pelayan Tuhan. Dari dialah mereka tahu mana yang benar, mana yang salah.Tetapi jika kita membaca 1 Sam 2:1-26, kita akan melihat bahwa arah pertumbuhan hidup mereka ternyata begitu berlawanan. Sementara Samuel makin hari makin menghayati peran sakral yang Allah berikan kepadanya, anak-anak Eli semakin tidak pantas menyandang peran sakral itu. Bahkan kisah ini berakhir dengan kontras: Tuhan semakin mengasihi Samuel, di pihak lain, TUHAN hendak mematikan anak-anak Eli. Mengapa demikian?
Sama seperti ketiga tokoh kita, banyak orang Kristen menerima "peran sakral." Kita mungkin diberi peran sebagai pendeta, penginjil, majelis jemaat, atau aktifis gereja. Namun kisah ini mau mengingatkan kita bahwa tanpa hidup di hadapan Tuhan, orang tidak akan bisa menjalankan peran sakral yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Para pelayan Tuhan adalah orang yang paling akrab dengan gereja. Ikut banyak kegiatan gerejawi dengan segala ritualnya.
Mereka menjadi orang yang paling tahu banyak "dapurnya gereja," sampai-sampai (tanpa sadar) mereka bisa memandang rendah ritual-ritual itu. Gejala-gejalanya bisa nampak ketika orang mulai terjebak dalam ritual tanpa makna: kebaktian yang asal ada saja, doa-doa yang asal lewat, nyanyian yang dinyanyikan tanpa penghayatan, keputusan-keputusan rapat yang diambil tanpa pergumulan dengan Tuhan, dan kejenuhan beribadah. Orang lalu mulai mencari sensasi: memasukkan hal-hal duniawi ke dalam gereja. Terjadilah proses desakralisasi.
Dalam kondisi seperti itu, bila jadi orang yang bersangkutan tidak sadar, bahkan masih merasa menjadi orang yang cukup rohani. Ia salah mengukur kedewasaan rohaninya. Ia merasa diri sudah dewasa rohani, semata-mata karena ia sudah senior, sudah sangat sering melakukan kegiatan rohani ini dan itu, atau sudah merasa tahu banyak Firman Tuhan. Orang bisa lupa bahwa kedewasaan rohani seseorang sebetulnya diukur dari seberapa jauh orang itu sudah hidup di hadapan Tuhan. Belajar takut dan menghormati Tuhan. Belajar peka, hidup murni dan jujur di hadapanNya.
Hidup di "bait Allah" ternyata tidak menjamin orang sedang hidup di hadapan Allah. Bahkan, orang bila "kehilangan Allah" di bait Allah! Orang bisa kehilangan makna rohani yang terdalam pada saat ia justru sedang sibuk-sibuknya mengurus perkara-perkara rohani. Maka setiap kita mengingat tokoh Hofni dan Pinehas, hendaknya kita tidak terlalu cepat berkata, "Saya tidak akan menjadi seperti mereka. Saya sudah cukup rohani: Saya sudah hidup di hadapan Allah." Nanti dulu. Coba periksa: apakah kepekaan kita kepada Allah masih kuat?
Seperti Hofni dan Pinehas, hari ini kita menghadapi banyak godaan. Dunia ini akan menggiring setiap kita untuk menodai peran sakral yang Allah berikan bagi kita. pada saat cobaan itu datang, hanya satu hal yang menentukan apakah kita akan tetap bertahan: Sampai seberapa jauh kita memiliki rasa takut akan Tuhan. Masalahnya, rasa takut akan Tuhan ini tidak bisa datang mendadak. Tidak bila terbentuk dalam sehari. Bahkan, rasa takut akan Tuhan bisa hilang dengan cepat jika tidak dipelihara. Satu-satunya cara mempertahankan rasa takut akan Tuhan itu hanyalah: belajar hidup di hadapan Tuhan setiap hari. Mulai dari saat ini. Di tempat dimana Tuhan menempatkan kita. AMIN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar