Renungan GKE

Senin, 25 November 2013

PINTAR TONTANG HARATI


Amsal 1:1-7

“Pintar Tontang Harati” adalah suatu istilah dalam bahasa Dayak Ngaju untuk mengungkapkan kediriaan seorang manusia pada tingkat kualitas tertentu. Bila diterjemahkan, artinya kurang lebih demikian, “Cerdas dan Berhikmat”. Pintar tontang harati memang yang didambakan. Karena hanya manusia yang pintar dan haratilah yang mampu menjalankan hidup dengan baik. Ya, pintar dan harati. Kedua-duanya, itulah keutuhan hidup manusia. Tidak cukup hanya pintar, tetapi juga harati. Pintar yang tanpa harati belumlah menjadi kepintaran yang sesungguhnya. Demikian pun, harati belumlah menjadi harati yang sesungguhnya bila tanpa dilengkapi kepintaran. Pintar tanpa harati maka biasanya menjadi kepintaran yang tak terkendali. Sedangkan harati tanpa ditunjang kecerdasan biasanya juga menjadi harati yang polos, lugu, dungu, sasaran pembodohan! (ay.1-2)

“Pintar Tontang Harati” oh, saudara….. tentu semua kita mendambakannya. Hanya sayangnya, masa kini kita banyak menjumpai manusia-manusia yang pintar, tetapi sedikit kita jumpai manusia-manusia yang “Pintar Tontang Harati”. Bagai jamur di musim penghujan, orang-orang pintar mudah kita jumpai. Bukan hanya di kota-kota, tetapi hingga di pelosok-pelosok desa. Orang-orang pintar memang kita butuhkan, karena itulah sumber daya manusia yang semestinya dengan mudah mengerjakan berbagai pekerjaan kehidupan di berbagai jenjang. Mungkin Anda bertanya, kenapa banyak juga orang pintar malah terjerumus ke berbagai masalah kehidupan? Apakah para koruptor anda kira dilakukan oleh orang-orang bodoh? Sebenarnya mereka pintar, bukan orang bodoh. Tapi kenapa koq malah mau jadi penghuni penjara? Nah…nah…nah…inilah namanya karena “pintar” tetapi tidak “harati”. Cobah kalau harati, pasti tidak terjadi demikian bukan? (ay.4)

Menjadi orang pintar itu juga perlu. Karena hidup dapat dimudahkan. Tetapi bila hanya sekedar pintar tanpa harati, persis terjadi dalam kisah nyata berikut ini. Di suatu jemaat X (nama tidak disebutkan karena menyangkut kode etik), pendeta, majelis, dan warga jemaatnya rata-rata orang pintar. Rata-rata pada level S1, S2, dan banyak juga yang sudah mencapai level S3. Jemaat elit tentu saja. Jemaatnya juga orang-orang berduit. Suatu kali diadakan rapat untuk membenahi gedung gereja. Rapatnya sederhana saja. Tentang bagaimana mengganti kipas angin yang sudah rusak, atau jika memungkinkan memasang AC yang baru. Berjam-jam rapat sudah berjalan. Namun tanpa hasil. Yang terjadi adalah adu argument ini dan itu. Pendapat ini dan itu. Kemungkinan ini dan itu. Berdasarkan teori ini dan itu. Alhasil? Malam semakin larut, rapat pun bubar tanpa kesepakatan. Akhirnya, jangankan membeli AC yang baru, kipas angin yang rusak pun kurun beberapa tahun tak pernah tergantikan. Saudara, demikianlah keadaanya hidup ini bila hanya pintar tanpa harati.

Bagaimana sih contohnya orang yang pintar dan harati itu? Bagaimana sikap hidupnya? Nah kisah nyata berikut ini contohnya. Saya mempunya seorang teman yang terbilang mafan. Namun bila kita mengikuti riwayat hidupnya, mungkin perlu kita merenung dalam. Ketika sekolah jaman dulu dari dusun kecil Kalimantan ke Palangka Raya bukanlah perkara mudah. Tekad, kemauan, dan tentu saja sikap yang “harati” sangat diperlukan jika ingin sukses. Karena keadaan, sebenarnya ia sudah hampir putus asa. Bayangkan bila kiriman dari orang tua hanya sebakul beras, ditambah ½ kg ikan kering. Juga ada sepucuk surat: “Nak, hanya inilah yang dapat bapak/ibumu kirimkan dari kampung. Belajarlah dan jaga diri baik-baik.” Dititipkan dengan family yang sering terlambat datang ke Palangka Raya. Maklum keadaan orang tuanya hanyalah penyadap karet. Pernah ketika ujian ia kehabisan beras. Uang satu sen pun tak punya. Sepulang kuliah (waktu itu hanya naik sepeda ontel), ia menyempatkan diri mencari kangkung di pinggiran jalan. Ya, hanya merebus kangkung tanpa garam selama tiga hari. Sambil membendung air mata ia bertekad dalam dada: “aku takkan pulang ke kampong sebelum aku berhasil dan jadi orang!” itu tekadnya. Itu nilai-nilai luhur “harati” yang memang akhirnya mengantarkannya jadi orang mafan.

Saudara, biasanya ada empat faktor penting yang terdapat pada diri seseorang yang “pintar tontang harati”. (ay.5-6). Apa itu? Nah, ini. Pertama: mawas diri. “tau masi arep” (bahasa Dayak Ngaju). Orang yang hanya gayanya selangit, karena sekedar ikut-ikutan tak mau ketinggalan trend, nah ini orang biasanya kurang mawas diri. Kedua: peka terhadap keadan. Ia tahu persis apa yang sekiranya akan membahayakanya atau merugikan dirinya. Dan apa yang sekiranya mendatangkan kebaikan atau kebahagiaan. Ketiga: menjaga nama baik. Ya, orang yang “pintar tontang harati” tidak mau membuat nama keluarganya tercemar, organisasi tempatnya bernaung ikut dilecehkan orang! Keempat: Sikap takut akan Tuhan. Orang yang “pintar tontang Harati” biasanya lebih cenderung memiliki rasa Takut akan Tuhan lebih besar dari sekedar mengikuti pola-pola kepintarannya (ay.7). Dengan kata lain, rasa takut akan Tuhan akan menmpengaruhi caranya berpikir dan bertindak. Karenanya, kata-katanya selalu terukur, sikapnya selalu terjaga, pertimbangan-pertimbangannya menjadi berbobot, keputusan-keputusannya lebih bermanfaat, berdayaguna dan menjadi berkat bagi banyak orang! AMIN!



Pdt.Kristinus Unting, M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar