Renungan GKE

Selasa, 26 November 2013

DIBUTUHKAN PEMIMPIN BERHATI HAMBA



Yesaya 32:1-8

Saudara, bagaimana sih karakter seorang pemimpin pada umumnya kita rindukan? Ada baiknya kita simak cuplikan pantun berikut ini: “Bercakap lurus berkata benar, pantang sekali berlaku kasar. Ramah kepada kecil dan besar, tahu menimbang bijak menakar. Kalau hendak memilih kain, pilih kain bertapak catur. Kalau hendak memilih pemimpin, pilihlah pemimpin berakhlak jujur. Berlaku adil menyukat timbang, angguknya sama muka belakang. Pantang memilih membedakan orang, tegaknya kokoh di atas aturan.”

Pada dasarnya, tentu semua kita mendambakan seorang pemimpin yang adil; yang mampu menjalankan pemerintahan dengan benar; dan mampu memberikan kesejahteraan lahir-batin kepada rakyatnya. Masyarakat tidak butuh pemimpin yang ganteng, gagah, kaya kalau ternyata dia seorang penipu. Pemimpin dengan hati drakula cuma hadir untuk menjajah orang lain, memanfaatkan sistem corrupt untuk kepentingannya sendiri dan tidak memiliki integritas untuk memperjuangkan kebenaran. Tipikal pemimpin model ini sekarang telah direpresentasikan dimana-mana. Masyarakat sangat butuh pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Menginginkan seorang pemimpin yang betul-betul berjiwa kepemimpinan.

Namun saudara, betapa sulitnya kita menemukan yang namanya “adil dan benar” itu. Terlebih pada masa kini. Yang sering terjadi justru sebaliknya. Dan istilah “adil dan benar” seakan hanya menjadi slogan semata. Masyarakat butuh pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Tetapi kenapa sangat sulit sekali mendapatkan pemimpin sebagaimana diharapkan itu? Mungkin ada beberapa hal yang menyebabkan semua ini terjadi. Salah satunya adalah tidak menyadari hakikat dari apa makna sesungguhnya jadi seorang pemimpin. Menjadi pemimpin itu sejatinya merupakan sebuah amanat dan tanggungjawab!

Banyak orang berlomba-lomba ingin jadi pemimpin. Hanya pertanyaannya adalah, apakah jiwa kepemimpinan itu sungguh dimiliki? Sebelum menjadi pemimpin, saat itu, ia menghambur-hamburkan uang agar terpilih menjadi pemimpin. Rela berkorban memang, tapidengan tujuan setelah menjadi pemimpin nanti, uang dan harta yang telah habis bisa didapat lagi bahkan bisa dapat lebih dari itu. Kenyataan seperti ini sudah lazim kita dengar dan saksikan.

Cobalah amati pada saat pemilu dan pilkada. Saat itu, banyak sekali calon pemimpin yang memamerkan kebaikannya dengan membagikan uang, baju, topi, dan lain-lain kepada masyarakat. Tujuannya apa?. Tentu saja ada udang di balik batu. Yang pasti, agar bisa terpilih nanti. Mereka juga menjanjikan hal-hal yang menarik kepada masyarakat. Bila diteliti lebih jauh, motivasinya bukan melaksanakan amanat dan tanggung jawab. Tapi cari keuntungan. Karenanya jangan Tanya soal keadilan dan kebenaran. Demikian juga rakyat sibuk menjagokan pilihan masing-masing tanpa melihat apakah seseorang itu layak menjadi pemimpin, sehingga pilkada menjadi ajang meraih keuntungan, baik si pemilih, maupun si calon yang akan dipilih jika dia menang dalam pilihan, demikian juga team sukses pilkada menjadi profesi yang menguntungkan.

Menjadi pemimpin tentu saja bukanlah dosa. Hanya masalahnya godaannya cukup berbahaya! Kekuasaan bias disalahkgunakan. Apalagi bila seorang pemimpin yang tidak takut akan Tuhan. Kejujuran, sikap yang adil dan bijaksana tentu jadi persoalan. Popolaritas tentu saja yang diutamakan. Pemimpin yang bijak tidak mengutamakan popularitas dan tidak menomorsatukan pujian dari manusia, karena kuncinya adalah ketulusan hati. Seorang pemimpin belumlah bisa bijak jika selalu mengharapkan sesuatu dari apa yang ia lakukan. Ya, kita hanya akan menikmati sikap bijak jika kita bisa memberikan sesuatu dari rejeki kita, bukannya mengharapkan sesuatu dari yang kita kerjakan.

Nabi Yesaya yang memperoleh penglihatan tentang kemunculan seorang "Raja yang adil" yang akan memerintah menurut kebenaran (ay. 32:1a). Akan lahir seorang pemimpin yang mampu memberikan perteduhan sempurna kepada semua orang yang mencari perlindungan kepada-Nya, dan Dia akan memuaskan jiwa-jiwa mereka yang haus dengan air kehidupan. Raja adil ini membawa pengaruh kepada para pemimpin di bawahnya (ayat 1b). Kebenaran dan keadilan para pemimpin ini digambarkan bagaikan "Tempat perlindungan dari angin ribut, aliran-aliran air di tempat kering, dan naungan batu yang besar di tanah tandus" (ayat 2).

Ken Blanchard menulis di dalam bukunya Lead Like Jesus seperti ini, Leadership is process of influence. Anytime you seek to influence the thinking, behavior, or development of people toward accomplishing a goal in their personal or professional lives, you are taking on the role of a leader. Artinya kurang lebih seperti ini. Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi. Setiap kali seseorang berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya, seseorang itu sedang menjalankan perannya sebagai pemimpin.

Nabi Yesaya melalui nas ini menampilkan sosok seorang pemimpin seperti dalam nubuatnya melalui penglihatan tentang kemunculan seorang "Raja yang adil" yang akan memerintah menurut kebenaran (ay. 32:1a). Akan tampil seorang pemimpin yang mampu memberikan perteduhan sempurna kepada semua orang yang mencari perlindungan kepada-Nya, dan Dia akan memuaskan jiwa-jiwa mereka yang haus dengan air kehidupan.

Raja adil ini membawa pengaruh kepada para pemimpin di bawahnya (ayat 1b). Kebenaran dan keadilan para pemimpin ini digambarkan bagaikan "Tempat perlindungan dari angin ribut, aliran-aliran air di tempat kering, dan naungan batu yang besar di tanah tandus" (ayat 2). Saudara, konsep utama Alkitab tentang kepemimpinan adalah kepemimpinan yang melayani. Hal tersebut terlihat di dalam ucapan Yesus berikut ini. “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” (Matius 20:25).

Melalui perkataan-Nya dan ajaran-Nya Yesus memperlihatkan perbandingan bahwa kepemimpinan dengan gaya dunia memiliki ciri-ciri otokratis; lebih banyak memerintah daripada melayani pengikut; lebih banyak menempatkan pimpinan sebagai bos daripada pemimpin. Yesus mengajarkan bahwa seorang pemimpin justru harus menjauhi hal-hal berbau otokratis. Gaya otokratis bertolak belakang dengan yang Yesus kehendaki dan tampilkan, yakni kasih, keadilan, kebenaran, damai sejahtera, pengampunan, dan keselamatan Amin!


Pdt.Kristinus Unting, M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar