Renungan GKE

Selasa, 26 November 2013

HIDUP DALAM KEKUDUSAN


Imamat 19:1-37

Kita seringkali disebut orang-orang kudus, tetapi apakah benar hidup kita kudus? Kita harus hidup kudus bukan hanya karena Allah menghendaki kita untuk hidup kudus, tetapi juga karena diri kita semestinya mengungkapkan kehadiran Allah di tengah dunia. Yohanes Calvin menulis di dalam Institutio, “Kekudusan hidup merupakan suatu target yang mesti diusahakan dan diperjuangkan.” Maukah kita mengusahakan dan memperjuangkannya? Pengenalan akan jati diri sebagai umat Tuhan adalah hal yang mendasar dan penting. Umat Tuhan adalah umat yang dikuduskan, umat yang menjaga diri dari hal-hal yang najis. Maka persoalannya bukan siapa aku dulu, tetapi siapa aku sekarang yang menentukan apakah aku termasuk umat Tuhan atau tidak.

Hidup yang kudus merupakan pintu masuk dimana berkat Allah akan dinyatakan dalam hidup kita. Firman Allah menegaskan: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (ay.2). Selanjutnya dikatakan: “Janganlah engkau menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah TUHAN” (ay.16) Demikian juga dikatakan: “Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi tanda surat merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum; tetapi janganlah keduanya dihukum mati, karena perempuan itu belum dimerdekakan.” (ay.20).

Sneca, seorang ahli filsafat dari Roma pernah mengatakan, bahwa: “Perempuan dinikmati untuk diceraikan, dan diceraikan untuk dinikahi.” Dalam nada yang hampir sama, Demosthenes, seorang ahli filsafat dari Yunani juga pernah mengatakan: “Kita memelihara orang sundal untuk kesenanga; kita memelihara gundik untuk keperluan badani sehari-hari; kita memelihara isteri untuk beranak dan memelihara rumah tangga.” Orang percaya dituntut untuk memiliki martabat hidup yang lebih tinggi (pengudusan) dari masyarakat di sekitar yang biasa dengan kehidupan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (kafir). Pergumulan kita jaman sekarang, kita melihat ada banyak orang Kristen yang kembali pada perbuatan-perbuatan cemar seperti perzinahan, perselingkuhan, perceraian dengan begitu mudah. Padahal Tuhan memanggil kita menjadi jemaat-Nya, bukanlah untuk melakukan yang cemar, melainkan apa yang kudus (bdk.I Tes. 4:7).

Saudara-saudara yang dikasihi dan mengasihi Tuhan Yesus..

Tidak ada cara lain untuk menyaksikan bahwa kekristenan lebih baik dari yang lain dalam kehidupan ini selain dari bagaimana kita menampilkan diri sebagai manusia yang baik, memperlihatkan sikap hormat kepada Tuhan, moral etis yang baik, bekerja dengan baik, menjadi seorang teman yang lebih baik, dan menjadi orang yang dapat dipercaya. Dalam sikap etis moral, semestinya orang percaya lebih bersungguh-sungguh lagi dalam hal kasih dan kesetiaan, menghormati pernikahan yang sesuai dengan azas kekristenan (monogami). Kasih Yesus harus menjadi pola hidup kita, karena kasih itu sendiri merupakan hakikat atau kesempurnaan Allah. Dalam segi cara hidup, orang Kristen seharusnya melakukan pekerjaannya sehari-hari dengan tenang, rajin dan efisien. Hidup dalam kekudusan adalah langkah penting untuk kita bisa berdampingan dengan ALLAH. Dan memang, dibutuhkan kekudusan hidup bila kita sungguh-sungguh rindu untuk bisa mengalami perjumpaan dengan TUHAN Yang Maha Kudus nantinya, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar