Selasa, 26 November 2013
PERSEMBAHAN: BELAJAR MEMBERI DARI KEKURANGAN
Markus 12:41-44
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Dan memang, di setiap ibadah-ibadah yang kita ikuti, “persembahan” merupakan salah satu bagian dari unsur tata ibadah yang ada. Bila kita mempelajari dari Alkitab sendiri, rupanya persembahan juga memang telah dilakukan sejak manusia pertama ada. Seperti yang dilakukan Kain dan Habil yang tercatat dalam kitab Kejadian 4:3-5. Dalam kehidupan bangsa Israel sendiri , persembahan merupakan sesuatu yang tidak asing. Karenanya tidak heran bila di rumah-rumah ibadah Israel disiapkanlah peti persembahan.
Berbicara lebih jauh tentang persembahan saudara, tentu ada banyak versi pemikiran. Juga dalam praktek-praktek nyata yang diperlihatkan. Ada yang mengatakan bahwa persembahan itu, yang penting ketulusan hatinya, jumlahnya tidaklah yang menentukan. Karenanya tidak heran, bila sejak Sekolah Hari Minggu, ketika kantong persembahan diedarkan, diiringi dengan nyanyian: “Persembahan kami sedikit sekali... Kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati......”
Tidak kurang, bagaimana praktek ketika uang persembahan dipersiapkan sebelum disampaikan ke kantong-kantong persembahan? Oh, dari rumah sudah dicari mana uang recehan. Atau bila dianggap nilai nominalnya agak besar maka ditukar terlebih dahulu di kios-kios terdekat. Beli korek api atau rokok terlebih dahulu umpama, sehingga tukaran uang recehan itu dapat dibagi-bagi nantinya sesuai dengan jumlah kantong yang disediakan.
Lalu ketika persembahan dimasukan ke kantong-kantong persembahan? Ada yang beranggapan, bahwa ketika menyampaikan persembahan, bila tangan kananmu memberi maka jangan sampai diketahui tangan yang kiri. Ada ayatnya kata mereka untuk membenarkan diri, dengan penafsiran yang dibuat sendiri. Makanya ketika menyampaikan persembahan tidak jarang disampaikan secara “karupet” (istilah bahasa Ngaju: uang yang digenggam erat hingga sampai kumal), ketika dimasukan ke kantong persembahan. Tidak kurang, untuk memberikan motivasi kepada umat dalam soal memberi, diberikan semacam iming-iming, “siapa banyak memberi, maka Allah akan melipatgandakannya, ada yang lima kali ganda, sepuluh kali ganda, bahkan seratus kali ganda”. Bahkan juga hingga dibuat lagunya.
Lalu ketika seolah-olah Allah belum melipatgandakannya? Nah...nah...nah... Maka terjadilah kecewa. Pada kali persembahan berikutnya, nilai nominalnya dikurangi juga. Bila hati sedang tulus, berkatnya melimpah persembahan tulus dan mulus! Bila sedang berat hati atau kecewa, oh.... persembahan kami sedikit sekali, kiranya Tuhan trimalah dengan senang hati.....” Kan sukarela katanya, tak ada yang memaksa ?! karenanya tidak heran, orang rela kehilangan ratusan ribu rupiah untuk bersenang-senang, ada yang mabuk-mabukan segala macam, atau rela keluarkan jutaan rupiah untuk urusan dunia di meja judi umpama, karena rasa-rasanya hasilnya bisa terasa segera. Kalau persembahan? Oh, entah kapan Tuhan mengembalikannya. Apalagi yang berlipat-lipat ganda katanya!?
Pada suatu kali, seorang bapak seusai ibadah minggu di gereja merasa kecewa. Karena itu ia mengusulkan supaya nas pengantar persembahan yang ada itu dirobah. Karena setiap kali mengikuti kebaktian, begitu katanya, hatinya selalu gundah gulana, ketika nas persembahan dibaca, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9:6). Kan katanya, bagaimana saya bisa mendapat berkat yang banyak dari Allah, sementara persembahan saya sedikit ketimbang orang lain, soalnya saya memang miskin, tak sengaja memberi yang sedikit. Wah...wah..wah... berani-beraninya bapak ini mau merobah isi ayat Alkitab, karena motivasi yang keliru soal persembahan. Sangkanya dengan memberi banyak otomatis Alla memberinya lebih banyak lagi, segala penyakit akan sembuh, bebas dari segala masalah. Ya, seperti uang sogokan kepada Allah kurang lebihnya. Itu yang dimengertinya.
“Persembahan” .....! Karena sudah terlalu biasa, maka maknanya pun semakin tidak jelas. Jadilah salah kaprah sesuai dengan pemahaman masing-masing, selera masing-masing. Dan dalam rapat-rapat Majelis kekerejaan kita, yang dibicarakan tidak lebih sekedar masalah teknis, berapa jumlah kantong persembahan yang akan diedarkan. Pada suatu kali, seorang Hamba Tuhan yang telah purna bhakti alias pensiun pernah bersaksi, bahwa ia merasa bangga karena selama melaksanakan tugas tidak pernah menyinggung-nyinggung jemaat masalah persembahan. Makanya disenangi oleh umat.
Hamba Tuhan yang satu ini memang bukan seorang hamba uang, dan memang perlu menjadi teladan bagi para hamba-hamba Tuhan jonior. Ia memang disukai oleh umat, karena memang tidak pernah menyinggung soal tanggungjawab, beban berat, soal persembahan yang benar, selaku pengikut Kristus. Hanya sayang, karena bisa jadi dalam penilaian Tuhan justru berbeda, menjadi hamba yang tidak setia karena membiarkan umat mempraktekkan cara persembahan yang tidak berkenan kepada Tuhan (bdk. Maleakhi pasal 2 dan 3).
Apa sih sebenarnya “persembahan” itu? Bila kita membuka Alkitab, dari kitab pertama dalam Alkitab (misalnya Kej.4:1-14), sudah secara jelas memperlihatkan bahwa sikap Kain den Habel dalam pelaksanaan persembahan menunjukkan benar tidaknya hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam kitab Maleakhi (misalnya Mal.6-14; 3:6-12), menyatakan betapa murkanya Allah terhadap umat Israel atas ketidakbenaran mereka dalam soal persembahan! Pada bagian lain (misalnya Luk.19:16-26), Yesus sendiri mengkaitkan bahwa soal persembahan juga merupakan syarat panting untuk masuk sorga. Disamping mengikuti dan percaya kepada-Nya! Alkitab juga mencatat bahwa Zakheus si pendosa itu mengungkapkan pertobatannya dinyatakan dengan cara memberi. Hal itu jelas dari apa yang diungkapkannya: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Luk.19:8).
Entah berapa banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa soal harta benda, uang atau pun materi lainnya adalah hanya soal duniawi, bukan soal rohani. Tidak bersangkut-paut dengan perkara rohani. Karena hal itu dianggap tidak pantas untuk dipersoalkan dalam persekutuan Kristen, apalagi jikalau sampai dikhotbahkan di mimbar-mimbar gereja! Itu dianggap tidak etis. Tidak pantas, "pamali" atau tabu! Jika hal tadi sampai dilakukan, bisa jadi kritik datang berhamburan. Argumentasi dengan alasan ini dan itu pasti juga datang bak panah mencari sasaran! Ironisnya, untuk membenarkan alasan tidak jarang kutipan ayat-ayat Alkitab juga tak ketinggalan diikutsertakan!
Tapi saudara, alangkah terkejutnya kita bila mau jujur, justru Alkitab sendiri banyak sekali mempersoalkan masalah persembahan! Dan sikap kita dalam memperlakukannya juga turut menentukan benar tidaknya hubungan kita dengan Tuhan. Benar tidaknya penghayatan iman nyata kita dalam kehidupan. Jangan kira bahwa soal memberi hanya berlaku bagi orang-orang berpunya. Apabila kita meneliti lebih jauh dalam Alkitab, orang miskin juga mengungkapkan imannya dengan cara memberi. Demikian pun seperti yang dilakukan oleh seorang janda miskin seperti dalam nas ini. Melalui sikap dan ketulusan si janda miskin ini ia mendapat pembenaran dari Yesus (Bdk. juga Luk. 21:1-4).
Lalu bagaimanakah cara memberi secara Kristen yang benar itu? Hampir setiap orang Kristen pasti sudah mengetahui bahwa memberi secara Kristen yang benar itu adalah dengan kerelaan hati, bukan dengah sedih hati atau terpaksa! Dan memang itulah cara memberi secara Kristen. Lalu bagaimana prakteknya memberi (persembahan) dengan kerelaan hati, bukan dengan sedih hati atau terpaksa? Nah, coba saudara simak cerita menarik berikut ini! Pernah dua orang Kristen berdiskusi tentang memberi persembahan secara Kristen selepas ibadah di gereja. Kebetulan ke duanya anggota majelis dan bertugas menghitung uang persembahan jemaat setelah ibadah.
Sementara menghitung persembahan yang seorang rupanya agak kerepotan. Pasalnya banyak uang recehan. Disamping itu terdapat juga beberapa uang yang sudah agak lusuh, kumal, tak jelas bentuknya. Sambil merapikan uang tersebut ia berkomentar: "dibawa ke pasar sayur saja mungkin tak laku!" Lalu ia menambahkan: "padahal banyak juga warga jemaat kita yang berpenghasilan lumayan". Mendengar ungkapan tadi rupanya yang seorang menanggapi. Menurutnya bahwa memberi persembahan itu tidak perlu banyak. Yang penting harus dengan rela, jangan dengan sedih hati atau terpaksa. Sambil ia mengutip nas Alkitab (II Korintus 9:6-7). Ditambahkannya, bahwa Allah sebenarnya tidak melihat jumlah pemberian kita tetapi melihat ketulusan hati kita. Benarkah begitu? Sebab, bukankah setiap pemberian yang bersumber dari kerelaan hati pasti bermuara dalam bukti yang terbaik dan terbanyak?
Tapi dalam nas ini, nyata-nyata Yesus juga memperhatikan jumlah pemberian dalam persembahan, baik para orang kaya, juga seorang janda miskin. Demikian juga, Rasul Paulus pun tidak mengatakan bahwa yang menabur sedikit akan menuai banyak, tetapi orang akan menuai banyak justru apabila ia menabur banyak. Memberi dengan terbaik dan terbanyak tentulah dari apa yang kita peroleh, bukan dari apa yang orang lain miliki. Hal itu hanya mungkin terjadi bila orang memiliki kerelaan hati dalam arti yang sesungguhnya. Sebab hanya dengan sikap yang demikianlah orang dapat berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis.20:35).
Alkitab sendiri membentangkan justru karena kerelaan hatilah Habel dapat memberikan persembahannya yang berkualitas kepada Allah. Justru karena kerelaan hati pulalah Zakheus dapat mengungkapkan pertobatannya dengan memberikan separoh dari miliknya. Dan tentu karena kerelaan dan ketulusan jugalah seorang janda miskin dapat memberikan persembahan terbaiknya, bahkan seluruh nafkahnya. Pemberian(persembahan) Habel, Zakheus dan si janda miskin berkenan kepada Allahh justru karena nyata-nyata mereka memberikan yang terbaik dan terbanyak.
Memberi yang terbaik dan terbanyak memang tidaklah mudah. Dan itu menyangkut persoalan hati kita. Dapat dimaklumi bila ada orang menganggap bahwa memberi itu rugi. Apalagi jika dilepaskan dengan percumal. Sebab, bukankah pada umumnya yang dilakukan orang adalah mencari untuk mendapatkan dan bukan untuk melepaskan dengan percuma? Di sinilah titik persoalannya. Makanya tidak heran apabila sering terjadi, orang hanya memberi dari sisa-sisa yang ia miliki, bukan yang terbaik dan terbanyak di kantong-kantong persembahan ibadahnya.
Bagi orang-orang yang tidak memiliki ketulusan hati, istilah memberi apalagi dengan istilah terbaik dan terbanyak memang tidak terlalu disukai. Bagi mereka, sekecil apa pun yang namanya “memberi” pastilah dianggap terlalu berat dan sangat merugikan. Itulah yang terjadi bila keserakahan bertahta di hati. Hal semacam itu memang telah diisyaratkan oleh Yesus sendiri: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Luk.l2:24).
Saudara, bagaimana cara dan sikap kita dalam hal memberi atau pun persembahan selama ini? Hanya orang-orang Kristen yang memiliki rasa kesungguhan hormat kepada Allah, dan memiliki ketulusan hati yang sungguh-sungguh saja yang dapat memberi dan menyampaikan persembahannya dengan baik dan benar. Sikap kita dalam soal memberi atau pun kerelaan kita dalam hal persembahan adalah cermin diri dan hati kita, cerminan benar tidaknya ketulusan, ketaatan, penghayatan iman dan kasih kita kepada Tuhan. AMIN. *
(Oleh: Rev.Kristinus Unting, STh.,M.Div)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar