Renungan GKE

Senin, 25 November 2013

NUH: HIDUP BERGAUL DENGAN ALLAH


Kejadian 6:9-22

Kejadian 6  mengisahkan bahwa Nabi Nuh hidup pada zaman yang sangat jahat. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3), akibat dosa sungguh nyata terasa. Pembunuhan Habel terjadi.  Kejahatan terus meningkat. Bahkan kekudusan Allah tidak lagi dihiraukan. Kacau balau, mungkin begitulah gambaran manusia yang hidup pada zaman itu. Sampai-sampai Alkitab mencatat: “Maka menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (Kej. 6:6). Meskipun demikian ia menjauhkan diri dari semua kejahatan di sekitarnya. Ia pasti telah mengenal Tuhan dengan sangat baik dan secara pribadi, karena Alkitab menuliskan bahwa ia “hidup bergaul dengan Allah” (ay.9). Dalam kondisi kacau itu, Nuh tetap didapati tidak bercacat cela di antara orang-orang sezamannya. Nuh, tidak terpengaruh oleh lingkungannya yang tidak menghormati Allah. Nuh, tidak sama dengan bunglon yang cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia berada.

Charles Haddon Spurgeon, seorang pengkhotbah yang ternama di kota London, menemukan sebuah prinsip yang terdapat dalam kehidupan Nuh bahwa “setiap tindakan iman menghukum dunia”. “Karena iman, Nuh … dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia menjadi ahli waris kebenaran, sesuai dengan imannya” (Ibr.11:7). Ketika menafsirkan ayat di atas, Spurgeon mengatakan, “Hiduplah kudus …. Saya pernah mendengar bahwa jika ada tongkat yang bengkok dan Anda ingin menunjukkan sebengkok apa tongkat tersebut, maka Anda tidak perlu menggambarkannya secara panjang lebar. Letakkanlah sebuah tongkat yang lurus di sebelah tongkat yang bengkok tersebut. Dengan demikian Anda akan langsung mendapat jawab-annya. Nuh menghukum dunia dan menjadi ahli waris kebenaran karena iman.”

Perjanjian Baru menyebut Nuh sebagai seorang “pemberita kebenaran” (2 Pet. 2:5), meski tak satu pun “khotbah”nya ditulis dalam Alkitab. Bagaimana bisa demikian? Sebab Nuh hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 6:9). Ia selalu dekat dengan Allah, sehingga pengaruh Allah dalam hidupnya lebih kuat dibanding pengaruh orang-orang di sekitarnya. Ketaatan Nuh kepada Allah dalam membuat bahtera itulah yang menjadi kesaksian terbesarnya kepada generasi yang berpusat pada diri sendiri dan kejam saat itu. “Tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya” (Kej. 6:22).  Betapa mudahnya kita tergoda untuk mengkritik dosa yang dilakukan orang lain. Namun, alangkah jauh lebih luar biasa bila kita memilih untuk menunjukkan keagungan dan kebenaran Allah dengan hidup bagi-Nya. Amin!

Pdt. Kristinus Unting,M.Div

Tidak ada komentar:

Posting Komentar