2 Samuel 14:1-20
Saudara, tidak jarang dalam hidup ini kita
menyaksikan orang mengambil suatu kebijakan dengan harapan untuk
menyelesaikan segala sesuatu. Hanya sayangnya,
kebijakan yang diambil, tidak malah menyelesaikan sesuatu, justru
membuka peluang untuk masalah baru yang lebih besar lagi. Ya, kebijakan
yang tidak bijak! Hal tersebut persis seperti apa yang diperlihatkan
dalam nas ini. Adalah Yoab, anak Seruya, panglima perang, seorang ahli
strategi yang menuai banyak kemenangan di berbagai peperangan. Seorang
kepercayaan Daud. Yoab membuat suatu kebijakan dengan maksud untuk
menolong raja Daud yang bersesih tentang anaknya Absalom. Daud rupanya
rindu juga kepada Absalom yang telah melarikan diri ke Gesur sudah tiga
tahun akibat perbuatannya membunuh saudaraqnya Amnon akibat dendam
(ay.1; bdk. psl. 13:37-39).
Apa yang dilakukan Yoab? Ya,
tentu saja sebagai seorang panglima yang setia kepada Daud, ingin
menolong Daud. Yoab mesasa kasihan kepada Daud. Karenanya ia membuat
strategi, untuk membujuk Daud, sekiranya dapat menjemput pulang Absalom
dan mempertemukannya dengan Daud. Strategi yang dilakukan oleh Yoab,
sekilas kelihatannya memang jitu. Ia menyuruh orang ke Tekoa menjemput
seorang perempuan yang bijaksana, dengan harapan melalui perantaraan
perempuan ini untuk membujuk Daud sekiranya mengijinkan Absalom kembali
ke Israel (ay.3). Singkat cerita strategi Yoab sukses. Melalui diplomasi
seorang perempuan bijaksana, hati Daud menjadi luluh. Akhirnya Daud
mengijinkan supaya Absalom dijemput pulang dan keselamatannya dijamin
(ay.4-24).
Suatu kebijakan telah ditetapkan. Satu masalah
kelihatannya sudah dapat diselesaikan. Tapi tunggu dulu! Cerita dalam
nas ini tidak hanya terhenti sampai di sini. Karena untuk selanjutnya
diceritakan juga masalah lain yang lebih besar datang menghadang! Si
Absalom yang telah mendapat kesempatan kembali ke Israel, keselamatannya
dijamin, ternyata akhirnya menjadi ancaman! Mengembalikan Absalom ke
Israel, persis seperti melepaskan singa dari kandangnya. Siap menerkan
siapa saja! Bagai singa yang haus darah selama dua tahun di Israel,
muncul niat jahatnya untuk berkuasa, melumat siapa saja, termasuk
ayahnya Daud! Absalom mengambil kesempatan, terlebih karena orang banyak
yang simpatik karena penampilannya (ay.25-33). Oh, singa, dasar singa!
Cepat atau lambat ia menjadi ancaman bagi siapa saja! Lalu apa yang
salah dalam hal ini? Nah, inilag masalahnya, kebijakan yang tidak bijak,
tentu saja!
1. Kebijakan yang hanya dilatarbelakangi rasa kasihan.
Saudara, ada satu cerita yang menarik. Tentang seorang gadis yang
menghadapi masalah dengan calon suaminya. Lalu ia datang kepada seorang
Hamba Tuhan meminta saran pendapat. Apa masalahnya? Ia mengungkapkan,
bahwa calon suaminya itu ternyata seorang yang sangat tergantung kepada
obat terlarang (sabu-sabu). Jika ia stress di kantor (maklum calon
suaminya bekerja di salah satu perusahaan swasta), maka ia kembali
menkonsumsi sabu-sabu. Padahal kata si perempuan tadi, bahwa calon
suaminya itu telah berjanji tidak akan melakukan itu lagi, ungkapnya.
Bahkan bukan cuma itu, calon suaminya itu juga memerasnya, meminta uang
dan perhiasannya untuk dijual, demi si sabu-sabu. Jika tidak diberikan,
maka calon suaminya tidak segan-segan tangan dan kakinya ikut melayang.
Dengan tempeleng, dan sepak tendang rupanya! Dan itu dilakukan sudah
beberapa kali! Oh...oh...oh...oh...! calon suami yang tidak dapat jadi
teladan!
Lalu apa saran dari si Hamba Tuhan? Hamba Tuhan ini
menyarankan kepada si perempuan tadi, supaya ia memutuskan hubungan
saja. Mumpung belum ada ikatan. Mumpung belum terlambat. Ya, karena si
perempuan ini, menurut pengakuannya sendiri, hanya berstatus pacaran
saja dengan si laki-laki itu. Tunangan pun belum. Tapi apa jawab si
perempuan tadi, memberikan sanggahannya? “Tapi kan saya sangat sayang
pada dia pa?”, ucapnya. “Bukankah bapa bisa membantu saya berdoa kepada
Tuhan, supaya ia berobah?’, lanjutnya. Lalu si Hamba Tuhan balik
bertanya padanya: “Apakah engkau sendiri selama ini sudah berdoa kepada
Tuhan untuk calon suamimu ini?”. Perempuan ini menjawab: “Sudah, bahkan
beberapa kali. Tapi kelihatannya kebiasaan buruknya selalu kumat lagi
bila stress menghinggapinya. Rupanya doa saya kurang mujarab. Tuhan
rupanya tidak mendengar doa saya. Makanya saya datang kepada bapak,
dengan harapan doanya mujarap dan didengar Tuhan.” Eheem....!
Hamba Tuhan ini dengan serius sekali lagi menyampaikan nasihatnya kepada
perempuan ini: “Anakku, Tuhan sudah menjawab doamu! Tuhan sudah
memperlihatkan kepadamu berkali-kali agar engkau mengerti bahwa dia
bukanlah yang terbaik bagimu! Tuhan sudah memberikan hikmat kepadamu,
supaya engkau cepat mengambil langkah bijaksana demi kebahagiaamu!”
Tetapi perempuan ini tetap bersikeras pada pendiriannya untuk mencintai
laki-laki pujaan hatinya, si singa jantan yang menakutkan! (maklum
karena pria ini sudah kerja, di perusahaan lagi). Oh, boleh
juga.....cinta di atas segalanya. Walau hancur berantakan semuanya.
Singkat cerita, ia jadi menikah dengan pria tadi. Dan berselang beberapa
tahun kemudian, si laki-laki ini bukan bertambah baik keadaannya. Tetap
seperti semula. Bahkan menjadi-jadi, karena ia juga gemar judi, bahkan
suka main perempuan. Karenanya tidak heran banyak juga isteri simpanan.
Saudara, bukankah kita juga sering seperti perempuan tadi? Melakukan
tindakan kebijakan yang tidak bijak? Kebijakan yang hanya didasarkan
perasaan saja? Dan, maaf.....! tidak sedikit yang memaksa Tuhan untuk
mengabulkan permintaan hawa nafsu yang merugikan? Padahal Tuhan sudah
berikan tanda-tanda nyata supaya kita lebih bijak apa yang harus kita
lakukan. Oh, tidak sedikit orang tidak bisa melihat apa kehendak Tuhan
yang harus diikuti dalam hidupnya. Tapi malah mennyalahkan Tuhan,
padahal Tuhan lebih tahu apa yang terbaik yang diberikan-Nya kepada
kita! Ya, doa tidak jarang hanya semacam pemaksaan kehendak kepada Tuhan
untuk memenuhi kepuasan dan keinginan nafsu dunia semata. Bukan
sebaliknya, mendengar dan mengikuti kehendak Tuhan dengan hikmat, atas
petunjuk nyata dari Tuhan yang sudah diperlihatkan-Nya di depan mata
kita!
2. Kebijakan yang hanya didasarkan pada kepercayaan penuh pada manusia
Bila kita membaca ulang dari keseluruhan cerita ini dalam nas, kita
melihat bahwa Daud hanya mengandalkan pemikiran dari Yoab, si
panglimanya. Kita dapat memahami. Maklum, si Yoab ahli strategi. Lihat
saja buktinya, sudah beberapa kali menang dalam pertempuran. Hanya
masalahnya saudara, dan ini perlu kita sadari, bahwa manusia itu
terbatas. Lihatlah apa yang terjadi di sini. Lihatlah apa yang terjadi
selanjutnya bila kebijakan itu hanya di dasarkan kebijakan manusia.
Terlalu percaya kepada pemikiran manusia semata. Ini pelajaran berharga
bagi kita. Entah kita sebagai Hamba Tuhan, pemimpin masyarakat, atau
sebagai pribadi, di dalam mengambil kebijakan.
Bukan berarti
kita lalu mengabaikan saran pendapat dari orang lain sama sekali. Itu
juga baik. Karena dalam batas-batas tertentu masukan dari orang lain itu
juga memperkaya kita sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan suatu
keputusan. Hanya masalahnya, saran pendapat dan masukan dari manusia
itu jangan dijadikan satu-satunya patokan. Itu relatif sifatnya.
Demikian pun dalam memberikan masukan kepada orang lain, janganlah hanya
memaksa kehendak. Karena apa yang kita pikirkan dan kita anggap sudah
baik, belum tentu itu satu-satunya yang terbaik. Jangan-jangan malah
membuka pelunag untuk masuknya masalah yang lebih besar lagi berikutnya!
Saudara, dalam keputusan yang tidak bijak, juga tidak jarang terjadi
karena bujukan orang lain. Lihatlah dalam kasus kebijakan Daud dalam nas
ini. Karenanya, berhatilah dalam pengambila keputusa. Jangan sampai
kebijakan itu hanya menyelesaikan bagian kecil masalah, tetapi sekaligus
membuka lebih besar masalah! Bisa jadi juga, keputusan yang tidak bijak
bila hanya mengambil kesimpulan sendiri tanpa pertimbangan matang.
Dalam nas ini memperlihatkan bahwa Daud mengambil kesimpulan sendiri,
tanpa meminta juga saran dari banyak orang. Kita juga melihat di sini,
tidak satu pun ayat yang menyebutkan bahwa Daud meminta petunjuk Tuhan!
Tidak ada sama sekali!
Saudara, apa pun masalah kehidupan yang
ingin diselesaikan dalam hidup ini, entah masalah jodoh, masalah
sekolah, pekerjaan, usaha, dlsb. Perhatikanlah beberapa petunjuk melalui
nas ini. Janganlah keputusan kebijakan itu hanya dilandasi oleh rasa
kasihan semata. Itu bisa berbahaya. Memilih dan mengangkat seseorang
hanya karena rasa kasihan, itu mendatangkan celakan. Pelajari baik-baik
karakter orangnya, supaya jangan menjadi singa yang Anda lepaskan dari
kandangnya dan akhirnya menerkam Anda juga! Keputusan yang bijak, tentu
juga perlu mendengar masukan, saran pendapat dari orang lain juga. Tapi
tidak langsung dijadikan patokan ideal satu-satunya. Itu memang
memperkaya kita, tetapi janganlah langsung diterapkan begitu saja
(lihatlah pengalaman Daud). Perlu dipertimbangkan semuanya. Mintalah
pada Tuhan petunjuk, buka mata dan telinga, dan lihatlah Tuhan pasti
memperlihatkan sesuatu di depan mata Anda, jika Anda bijak, dengan
hikmat yang Tuhan berikan, turutilah. Bukan sebaliknya memaksa Tuhan,
yang sudah jela-jelas Tuhan sudah memberikan pilihan terbaik di depan
Anda! AMIN! * (KU).
Selasa, 31 Juli 2012
Jumat, 27 Juli 2012
CARI BERKAT “YES”! CARI NAMA “NO”!
II Samuel 12:26-31
Saudara, rasa-rasanya, hampir tidak ada manusia di dunia ini (kalau mau jujur), yang tidak menginginkan nama baik. Mana ada orang yang mau nama baiknya dicemari oleh orang lain. Martabatnya direndahkan atau dilecehkan orang lain. Sebab, bukankah pada umumnya, rata-rata orang mati-matian mencari dan mempertahankannya? Boleh jadi Anda menolak ketika ada orang berkata kepada Anda: “bapak hebat” atau “ibu hebat”! Tapi (kalau mau jujur), bukankah semacam ada sesuatu yang nyaman menggelitik di dalam dada? Benar begitu saudara? (silahkan menjawab dalam hati masing-masing)!
Tetapi bagaimana jika misalnya terjadi yang sebaliknya? Siapa kira-kira di antara kita yang mau terima begitu saja misalnya Anda dikatakan tidak jujur, tidak setia, tidak becus, tidak konsisten, dan ribuan kata tidak lainnya? Padahal Anda tidak merasa seperti apa yang orang katakan? Apa Anda mau terima begitu saja? Bukankah bila itu yang terjadi, tidak jarang protes pembelaan diri, tidak terima? Bahkan dengan embel-embel kalimat: “caranya itu yang kurang sehat!” , makanya saya tidak terima! Benar begitu saudara? (silahkan jawab secara jujur dalam hati masing-masing)! Salahkah mencari dan mempertahankan nama baik itu? Oh... sebenarnya itu tidak salah, wajar saja! Manusiawi semata! Siapa yang mengatakan bahwa mencari dan mempertahankan nama baik itu salah?
Hanya masalahnya saudara, bila dalam hidup ini sekedar untuk cari nama. Nah...nah...nah...! Aktif sini aktif sana, hanya sekedar cari nama! Comment sini comment sana, sekedar mencari perhatian! Sumbang sini, sumbang sana, hanya sekedar mendapatkan simpatisan. Bawa wartawan segala. Biar nama tertulis dengan huru-huruf besari di berita koran. Apalagi bila dekat PILKADA! Maaf, maaf, maaf.....! Lalu dalam hidup persekutuan kegerejaan kita? Sadar atau tidak, kebetulan atau tidak, mungkin kita pernah mendengar ucap: “jika bukan karena saya, mana mungkin terbangun gereja ini”! , “Jika bukan karena saya, mana mungkin jemaat itu maju seperti sekarang ini”!
Apakah cari nama itu salah? Oh tidak seberapa. Hanya bahayanya, saudara! Apa bahayanya? Tidak jarang demi cari nama, terkadang orang rela sikut sini sikut sana. Menghalalkan segala cara. Bahkan tidak jarang pula mengorbankan orang lain segala! Sedikit demi sedikit lalu menjalar bagai penyakit kanker ganas! Sombong, tinggi hati, serakah, itu saudara kembarnya! Padahal ia lupa bahwa ia jadi besar karena andil dan dukungan orang lain juga. Lalu dampak akibatnya? Tentang hal ini, Alkitab berkata: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Ams. 16:18).
Saudara, lalu apa yang sebaiknya yang kita cari dalam hidup ini, terlebih bagi kita selaku orang percaya? Nah, ini. Ada baiknya kita lebih mencari berkat ketimbang cari nama! Alasannya? Karena cari nama itu sedikit untungnya. Pasalnya, bila saat kita popoler banyak pengagumnya, tetapi bila kita jatuh, tak ada satu pun yang perduli. Kalau cari berkat? Itu abadi sifatnya! Tak ada matinya. Baik ketika susah atau senang, tetap eksis bertahan. Karena Tuhan sendiri yang menuntun dan memberkatinya. Baik berkat hidupnya di bumi, hingga di sorga nanti. Karenanya kita perlu belajar dari sikap Yoab seperti dalam nas ini. Yoab cari berkat, bukan cari nama! (ay.26-27).
Sebenarnya jika Yoab mau, namanya pasti populer. Bayangkan apa yang telah dilakukannya. Ia telah berhasil menang berperang merebut Raba kota kerajaan, kota bani Amon. Ini juga kota penting, kota air pusat kehidupan! Mudah saj sebenarnya bagi Yoab untuk mencari pendukung memproklamirkan diri jadi pahlawan, jadi raja! Tapi itu tak dilakukannya. Atau paling tidak, mengukir namanya di batu prasasti tugu peringatan di kota Raba. Itu juga tak ia lakukan. Ia tetap dengan rendah hati menghormati Daud sebagai raja, dan nama Daud saja yang tertera (ay.28). luar biasa!
Saudara, mungkin saat ini saudara adalah para pekerja(pegawai negeri atau pengusaha) atau sebagai hamba (pendeta, penginjil, penatua & diakon) dalam situasi yang terjepit, di tempat yang sulit, atau di pedalaman yang penuh tantangan. Jangan berkecil hati. Walau mungkin tak ada manusia yang mencatat keberhasilan Anda dalam tugas pelayanan. Atau ketika melakukan pembaharuan yang membawa kemajuan. Karena bisa jadi yang Anda dapat justru kritikan. Dianggap tidak becus, melanggar tradisi, tidak bisa kerjasama, dlsb. Bersabarlah, karena cepat atau lambat Tuhan sendiri yang akan mengangkat
Saudara, bila berkat yang kita cari, Tuhan pasti mencatat apa yang kita perbuat. Tuhan pasti punya 1001 macam cara menjadikan kita terhormat. Tanpa rekayasa, tanpa embel-embel itu dan ini segala macam. Mungkin saat ini saudara berhadapan dengan berbagai macam resiko dan tantangan dalam perjuangan hidup, atau dalam tugas pelayanan. Mungkin air mata menahan beban, diremehkan dan tidak diperhitingkan. Bersabarlah! Karena kita pasti akan menuai dari apa yang kita tanam, seperti janji Firman Tuhan yang boleh kita pegang: “Orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” (Mzm. 126:5-6). AMIN! *KU).
Senin, 23 Juli 2012
KUASA TUHAN SUNGGUH LUAR BIASA
Keluaran14:15-31
Pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir menyatakan kuasa dan kebesaran Tuhan dalam kemuliaan dan kehendak-Nya. Tidak hanya Tuhan menghukum orang Mesir dengan menenggelamkannya ke laut Teberau, lebih dari itu, Tuhan menunjukkan kasih-Nya kepada umat Israel dengan memberikan pembebasan kepada mereka (ay.30). Penyeberangan Laut Merah (Kel. 13:18-14:31) terjadi karena tindakan ajaib yang langsung dari Allah (ay.21). Para penulis Alkitab memakai peristiwa ini untuk mengingatkan umat Allah akan kuasa dan kebesaran-Nya (Yos.24:6-7; Mzm.1067-8; Yes.51:15; Yer.31:35; Nah.1:3-4).
Pembebasan bangsa Israel melalui Laut Merah juga menetapkan janji Allah, "Tuhan akan berperang untuk kamu" (ay.4). Allah memiliki kehendak dan rencana-Nya bagi setiap orang percaya. Rencana dan kehendak-Nya itu sangat baik bagi setiap orang percaya, dan selalu bermuara pada damai sejahtera. Allah memanggil dan menetapkan setiap orang percaya untuk menjadi alat dan saksi-Nya sesuai dengan karunia dan talenta masing-masing. Tidak ada kekuatan dan kekuasaan lain di dunia ini yang dapat menggagalkan kehendak dan rencana Allah untuk mendatangkan keselamatan bagi setiap orang percaya.
Allah melalui kuasa kebesaran-Nya dapat menggagalkan setiap rancangan dan perbuatan jahat yang dilakukan oleh si jahat. Karena itu, tidak ada perkara yang terlalu berat untuk dapat ditanggung oleh setiap orang percaya. Allah sanggup memberikan kekuatan dan jalan keluar untuk menyelesaikan setiap masalah yang dialami. Misi penyelamatan Allah dilakukan-Nya dengan sempurna.
Misi penyelamatan Allah itu terus berlanjut, baik bagi perorangan, keluarga, gereja, dan bagi masyarakat secara luas. Kehidupan kita berharga di mata Allah, Ia merancangkan segala sesuatu dalam hidup kita menuju kebahagiaan, berkat dan keselamatan. Kesulitan, penderitaan, serta tantangan yang dihadapi bukanlah menjadi penghalang bagi rencana Tuhan yang indah bagi kita. Hiduplah selalu dalam rencana Tuhan yang indah, janganlah menjadi kerdil karena segala tantangan kehidupan yang dihadapi, karena kuasa Tuhan sungguh luar biasa! Amin. *(KU).
Minggu, 22 Juli 2012
AGAMA: PELESTARI SIFAT KEKANAK-KANAKAN MANUSIA ?!
I. PENGANTAR TELAAH
Konon katanya, bangsa kita adalah bangsa yang paling religius. Sebagai orang Indonesia tentu kita bangga dengan predikat itu. Dan memang terang bagai siang, banyak tanda-tanda dapat kita jumpai sebagai bukti bahwa pernyataan tersebut ada benarnya juga. Tanpa mengada-ada. Lihat saja di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok desa, rumah-rumah ibadah yang baru terus dibangun, dari bentuk yang sederhana sampai yang istimewa bak rumah surga. Seolah Tuhan pun berdecak kagum tak berkedip memandang ke setiap menaranya, berjuntai lambang-lambang agama. Di setiap ibadah-ibadah selalu dihadiri umat. Bahkan pada kebaktian-kebaktian "Kebangunan Rohani" (KKR) atau pun pada perayaan hari-hari besar agamawi saat tertentu, selalu dikunjungi banyak umat hingga tak tertampung. Sampai meluap-luap.
Rasa-rasanya, berapa pun gedung ibadah dibangun, ia tidak akan pernah cukup. Meski gedung-gedung ibadah baru bermunculan laksana jamur di musim penghujan. Fakta teramat kentara pula, busana khas nasional pun mensifatkan nuansa agamawi. Bahkan, hampir tidak ada kata sambutan para pejabat yang tidak dimulai dengan kalimat: "Pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat melaksanakan acara seperti sekarang ini....." Tetapi yang paling ironis adalah, sementara bangga sebagai bangsa yang berpredikat paling religius, sementara itu pula sebagai negara yang paling korup.
Sementara bangga sebagai negara penyandang Pancasila falsafahnya dan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sila pertamanya, sementara di sisi lain banyak aksi moral dilakukan atas nama agama: intrik-intrik busuk, keculasan, kebengisan, kkerusuhan di mana-mana. Bahkan pengrusakan, penganiayaan, pembakaran, pembunuhan, bersikap anti manusiawi bernuansa SARA sangat merajarela. Agama dalam keadaan demikian menjadi impoten, mandul, banci - tidak dapat secara kreatif menjalankan fungsi luhurnya mentranspormasikan keberartian kehendak Tuhan yang transenden (jauh tak terhampiri) untuk dihadirkan menjadi karya Tuhan yang immanen (dekat mewujud nyata) dalam kebahasaan manusiawi bagi keterpurukan insan-insan tersesat di jurang planet bumi ini.
II. KEKURANGDEWASAAN BERAGAMA
Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak sedikit umat beragama yang kurang bahkan tidak begitu memahami keluasan atau kedalaman ajaran agamanya, sehingga tidak jarang terjerumus ke dalam sikap primordialime dan sektarianisme beragama; berpandangan sempit, picik, fanatik buta, bersikap arogan ketika berinteraksi dengan yang berlainan kepercayaannya. Tidak jarang pula, di antara umat beragama diliputi saling kecurigaan, syakwasangka, ketakutan, bahkan kebencian mewarnai aktivitas praksis kehidupan keberagamaan sehari-hari. Mencermati situasi yang ada, barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita: apakah artinya agama kalau dalam kehidupan nyata tidak mencerminkan nilai-nilai moral yang berbudi luhur? Bukankah kehidupan beragama yang bergerak pada garis horizontal seharusnya melampaui tapal batas para penganut agama itu sendiri, supaya dapat menembus medan kehidupan sosial, dapat dihayati dan bermanfaat bagi mahluk Tuhan yang lain (teristimewa manusia) yang ada di sekitarnya?
Apabila kita cermati secara cerdas bahwa "kekurangsewasaan beragama" adalah sumber tindakan kurang jeniun berwajah agama, awal dimensi tragis dari sebuah ortodoksi yang ingin membuat wajah absolutnya dengan cara memaksa; pengiyaan klaim dari berbagai bentuk intrik-intrik busuk, keculasan bashkan kebengisan untuk menggilas keluhuran Hak Asasi Manusia atas nama "Tuhan". Religiusitas yang dihayati sebagai "agama keramat" (agamaku satu-satunya yang benar) terhadap kenyataan empiris mengakibatkan para pemeluk agama jatuhy ke dalam ekstrim "manusia untuk agama". Sadar atau tidak, melahirkan sikap diskrimitatif terhadap puhak lain yang berbeda formula keimanannya. Sebagai akibat pengiyaan (pembenaran) yang sangat restriktif terhadap pembelaan berlebihan terhadap "Kesucian Tuhan" atas nama agama (agama untuk membela Tuhan?), melahirkan pula apa yang dapat kita istilahkan sebagai "kekonyolan orang beragama".
Sifat kekanak-kanakan beragama pun semakin menjadi-jadi manakala ditunjang gaya usurpasi, koopsi dan otokrasi dalam struktur masyarakat yang sarat dengan residu kultur feodal - semakin mempertajam represi, ketidakadilan dan sikap intoleran beragama. Demikian pula keadaan keberagamaan semakin diperparah dengan bersandingnya agama dan politik. Campur aduknya agama dan politik juga merupakan lahan yang subur bagi pengiyaan (pembenaran) penghayatan agama secara primordial; agama lalu tidak lagi menjadi panggilan yang sebenarnya, sebagai rahmat dan berkat bagi seluruh umat, tetapi justru dijadikan sebagai sekat.
III. STANDAR KENORMALAN DAN BOBOT AGAMA
Kehadiran agama-agama di tengah dunia ini tentu dengan suatu maksud dan tujuan yang luhur, menjadi sarana berkat untuk menghadirkan tanda-tanda "Kasih Allah", yaitu: kebenaran, keadilan, kesejahteraan, perdamaian, integritas ciptaan, dan keselamatan. Agama yang tidak menjalankan fungsi luhur tersebut telah kehilangan dan menghianati alasan keberadaannya, sehingga sebenarnya tidak layak disebut sebagai agama yang bereksistensi lagi. Kredibilitas dan akuntabilitas agama sebenarnya diukur dari respons yang diberikannya terhadap persoalan-persoalan nyata, khususnya persoalan kemanusiaan.
Dalam hubungan ini, umat beragama dihubungkan dan diikutsertakan dalam karya penyelamatan Allah bagi dunia yang berlaku bukan saja dengan dan di dalam agama sendiri, melainkan juga dengan dan untuk segenap umat manusia, ketika kebenaran, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan itu dinyatakan kepada sesama manusia. Kenormalan dan bobot agama secvara demikian dengan sendirinya menjadikan agama bersifat terbuka, luwes, dinamis, serta dialogis terhadap segala perkembangan dunia dan masyarakat, namun dengan sikap kritis, positif, kreatif, tetati tetap realistis (bdk. Roma 1:14; 12:1-2; I Korintus 9:19-23).
Kenyataan keragaman agama dalam masyarakat adalah realitas yang tidak mungkin dapat terhindarkan dan tidak ada satu pun komunitas keagamaan yang tidak berada dalam realitas tersebut. Pada dasarnya, keragaman dan kemajemukan agama dalam masyarakat, di satu sisi merupakan kekayaan ke-bhineka-an dalam masyarakat untuk berkarya mengisi dan saling melengkapi; sedangkan di sisi lain, dapat menjadi titik lemah kerawanan, sumber pemicu perpecahan. Keadaan yang demikian tentu dapat membawa suatu lingkungan ke arah kurang kondusif dan kurang menguntungkan bagi keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh suatu persetujuan bersama secara etis untuk mencapai tujuan itu. Tanpa konsensus semacam ini, kelompok-kelompok berbeda (yang sebenarnya menghadapi masalah bersama) tidak akan mungkin bisa bertindak bersama, jika masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri, dan "Tanpa suatu konsensus dasar minimal tentang nilai, norma, dan sikap tertentu, tidak mungkin ada masyarakat yang mampu bertahan, baik dalam kelompok kecil atau besar" (Hans Kung 1991:28).
IV. KRITIK AGAMA
Mengacu pada pemikiran "Aufklarung" (pencerahan) yang bertujuan membebaskan manusia dari sikap subjek yang cenderung mengasingkan diri ke dalam agama; di mana manusia universal menjuadi toluk ukur untuk mengkritik agama - apakah agama menghormati martabat manusia, pembawa damai dan kasih Allah yang memerdekakan manusia atau tidak? Dalam arti ini, keabsahan tampilan beragama, bila dipandang dari kritik agama adalah: "kebenaran agama terbukti dari kemanusiaannya." Kritik agama mensterilkan agama agar tidak jatuh ke dalam sikap yang hanya memagari diri dan hanya menciptakan rangking kesalehan rohani agama atau hyanya mengejar tingkat kesucian beragama teoritis semata, melainkan membuka diri dalam perlombaan untuk menghadirkan kebajikan kepada sesama manusia, apa pun agama, status sosial, dan warna kulitnya.
Kenormalan dan bobot agama tentu juga didasarkan tampilan praksis iman yang wajar dan eksis. Yesus sendiri dalam ajaran-Nya mengecam orang-orang beragama yang hanya bangga pamer kesucian rohani saja tetapi yang tidak menunjukkannya dalam perbuatan nyata ketika berinteraksi dengan sesaama. Bahkan hal seperti disebutkan tadi dianggap Yesus sebagai sikap beragama orang-orang munafik (bdk. Matius 23:5; 7:21; 5:20-48; 6:1-4; 6:5). Seorang tokoh pluralis Indonesia Ahmad Syafii Maarif, yang terinspirasi dengan konsep "homo sapien" A.J.Toynbee (seorang ahli sejarah dari Inggris), menemukan benang merah bagi pemaknaan perspektif agama. Menurut Maarif, orang yang "memperdagangkan agama atas nama Tuhan adalah orang yang sedang bermain api dan mengingkari konsep ketulusan" (Ahmad Syafii Maarif 2001:21-25). Selanjutnya Maarif menandaskan bahwa "sikap arogan dan intoleran (melakukan paksaan, kasar atau halus dalam agama) sesungguhnya sangat ditentang dalam Al-Qoran" (Qs. Yunus:99).
Pemaksaan dominasi kelompok agama sebagai "satu-satunya kebenaran" yang hendak diterapkan dengan kepelbagaian kelompok lainnya di era sekarang ini adalah bentuk pemerkosaan yang paling menyolok terhadap "Keesaan Tuhan" itu sendiri. Penonjolan sisi baik agama sendiri, tanpa sevcaraj jujur juga mengakui sisi gelapnya adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap "kebenaran tunggal" yang sesungguhnya. Bahaya lebih jauh terhadap desakan klaim "kebenaran tunggal" akan mengakibatkan "valuelessness" (ketidakbernilaian) makna universal dan cenderung menjadi absolut - dimana tidak ada yang tertinggal - kecuali kemauan untuk berkuasa menjadi "tuhan kecil" atas manusia-manusia lainnya. Absolutisasi gagasan keagamaan manusia semacam ini akan menghasilkan, seperti apa yang diperingatkan Charlene Spretnak, sebagai suatu tipe individualisme, di mana suatu kelompok agama ingin menjadi seorang "koboi kesepian" yang harus mengalami semuanya sendiri (Spretnak 1991:125-127; 218-219; 245-246).
V. KRITIK SOSIAL
Agama dari sudut pandang sosiologis adalah jawaban atas rumusan serta tujuan utama agama: apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah (wujud yang paling luhur, mendalam, serta abadi, dalam seluruh tatanan kenyataan) dari manusia, bila manusia itu hendak hidup dalam kebersamaan dengan manusia-manusia lainnya berdasarkan kebenaran, keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Jadi, agama secara sosiologis berperan sebagai prinsip guna mempersatukan sektor-sektor aksial yang mandiri untuk memelihara, memurnikan dan mempersatukan motivasi dasar manusia sehingga menjadi suatu sintesis kehidupan: suatu sintesis kehidupan yang diperagakan dalam kegiatansehari-hari, saat manusia itu berkecimpung di berbagai sektor aktivitas masyarakat yang kompleks.
Menurut teori moral agama, Henri Bergson (seorang filsuf Perancis), menyatakan bahwa moral agama yang dinamis adalah cara hidup beragama secara benar, tepat dan mutualistis. Teori Bergson tentang moral agama yang dinamis adalah suatu model beragama inklusif guna mengembangkan sikap mental untuk mewujudkan persaudaraan universal antar-umat manusia (Henri Bergson 1859-1941). Moralitas agama yang dinamis menjadi metacentrum sosialisasi pengalaman iman, yaitu pengalaman iman yang dihayati, pemberi makna kehidupan, penyalur sentuhan "Kasih Illahi" bagi sesama insan.
Orang beragama dapat menimba pengalaman iman dinamisma yaitu pada saat ia menyatakan kasihnya (emosi kreatif) kepada Allah, dan sebagai imbangannya ia akan mencurahkan kembali kasih Allah itu kepada umat manusia ciptaan Allah yang ia jumpai. Kesyahitan agama akan tercermin dari kenormalan, bobot serta aksi moral iman yang semakin dikembangkan pada orientasi dengan sesama manusia. Dalam arti ini, keluhuran dan keutamaan agama harus mampu menjadi sumber energi dahsyat untuk membebaskan keterpurukan manusia menuju kebenaran, kebaikan, kesejahteraan, kesempurnaan, kedamaian serta kebahagiaan. Agama yang benar sekurang-kurangnya selalu mampu mempertinggi moralitas dan bukan sebaliknya menghancurkan moralitas.
Aksi moral terjadi dan membuat klaimnya sebagai keabsahan dari suatu jagat moral tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk ke suatu "absolute moral ground" (dasar moral yang absolut). Kualitas kategori moral agama merupakan tuntutan etis tak bersyarat, tidak dapat ditentukan oleh manusia yang memang memiliki syarat dalam banyak hal, tetapi hanya oleh yang tak bersyarat, yaitu suatu absolut dari Allah yang Tunggal semata. Absolutisasi moral merupakan realitas tertinggi dan agung, yang walau pun tidak dapat dibuktikan secara rasional (logika), tetapi dari kedalamannya hanya mampu dipahami secara nir-akali (iman) - tidak perduli bagaimana ia dinamakan, dimengerti dan ditafsirkan oleh agama-agama yang berbeda (Kung 1991:53).
Pengalaman religius bukan hanya membuktikan adanya imperatif etis yang telah tertanam di dalam agama. Lebih dari itu, pengalaman itu harus dapat menghimpun umat ke dalam suatu story (kisah hidup) yang lebih luas, di mana tersedia suatu visi baru dan inspirasi untuk meraih visi itu. Jadi, agama bukan hanya untuk membuktikan tetapi juga menciptakan kehidupan etis. Agama bukan hanya meyakinkan komitmen etis, tetapi juga turut mendorong menggairahkan komunitas umat untuk melaksanakannya secara baik dan benar. Konstribusi moral yang mengakar dalam agama memang sangat vital, kalau bukan menentukan terhadap keperdulian etis global. Toh pun agama-agama menawarkannya dalam warna simbol dan naratif yang berbeda-beda kepada para pengikutnya (Kung 1991:53). Bahkan, beberapa penganut paham pascamodernisme pun berpandangan bahwa kondisi sosial manusia dewasa memerlukan semacam "otot moral" sebagai dasar bersama, yang di atasnya dapat dibangun berbagai keyakinan, kriteria aksi bersama (Knitter 2003:83).
VI. PENGHUJUNG TELAAH
Agama yang biasanya kita anggap sebagai "obat instan penenang batin", di era sekarang ini, mau tidak mau, juga harus terbuka (tulus) untuk menjadi ajang interpretasi kritis secara jeniun. Dalam arti ini, kekhasan suatu agama tidak semata terletak pada seberapa banyak monopoli klaim kebenaran dogma yang dikeramatkan, melainkan terletak pada identitasnya yang khas berdasakan proses "aproprisasi" (pemahaman diri). Adalah sikap kedewasaan beragama, apabila setiap "terks" agama selalu dicari relevansinya pada "konteks" praksis iman rasional: "Fides quarens intellektum" (iman yang mencari pendasaran rasional). Mempertahankan paradigma eksklusif sebagai pola absolut tunggal, menentang kompleksitas dan keragaman kenyataan riil dapat berarti mempertahankan "sifat kekanak-kanakan orang beragama", dan naif! Membangun teologi di dalam benteng sendiri sebagai satu-satunya "kebenaran tunggal" sudah tidak memadai lagi.
Kebenaran pada hakikatnya pasti memerlukan kebenaran lain. Kebenaran tanpa kebenaran lain tidak akan pernah menjadi sungguh-sungguh benar! Namun, kebenaran menjadi benar bukan dengan mengalahkan kebenaran lain, melainkan justru dengan memperlihatkan kemampuannya berelasi dan berintegrasi dengan kebenaran lain. Demikian juga, kebenaran baru menjadi benar bila dapat diakui, dapat berbagi, dan melibatkan banyak pihak. Dalam konteks religius itu berarti bahwa, orang beriman tidak akan memahami identitas religiusnya yang sejati selama diaw tidak berani berkomunikasi dan dikoreksi, menimba dan diperkaya dengan tradisi religius lainnya.
Keluhuran dan universalitas agama tidak terletak pada kalimat "teks" dogmatis semata, melainkan pada kualitas energi "produk riil" etisnya, yaitu kualitas kreatif iman hayatiahnya. Karena itu, adalah suatu kenaifan beragama apabila rumusan dogmatis secara vertikal sedemikian jelas hitam putihnya - sementara iman dan tindakan etisnya - yang bergerak pada medan horizontal kehidupan antar-manusia justru menjuadi sedemikian ambigu: menjadi kabur batas antara hitam dan putihnya?! Karena sudah lama secara umum diakui - bahwa garis vertikal dan horizontal - merupakan kaidah penentu kenormalan, bobot, isi, bentuk, arah dan fungsi agama sesuai makna dan hakikatnya. *(KU).
KASIH ITU BUKAN HANYA SEBATAS KATA-KATA
Roma 12:9-21
Kasih adalah sebuah kata yang sering kita dengar. Bahkan Alkitab sendiri merupakan sebuah penyataan fakta bahwa Allah adalah Kasih. Ketika Anda membaca Firman Tuhan tentang keadilan, itu adalah keadilan yang diimbangi oleh kasih. Ketika Anda membaca Firman Tuhan tentang kebenaran, itu adalah kebenaran yang didirikan di atas kasih. Ketika Anda membaca tentang penebusan dosa, itu adalah penebusan yang dilakukan karena kasih, bersumber pada kasih dan diselesaikan oleh kasih.
Suatu pagi yang sunyi di Korea, di suatu desa kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang. Tiba-tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan seng mental ke seluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu terluka. Ada seorang gadis kecil yang terluka di bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.
Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang yang memiliki golongan darah yang sama. Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu. Kemudian beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu dan perawat menerjemahkan, Apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk teman kalian, karena jika tidak ia akan meninggal!"
Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki di belakang mengangkat tangannya dan perawat membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah. Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah. "Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak akan sakit kok." Lalu dokter mulai memasukan jarum, ia mulai menangis. "Apakah sakit?" tanya dokter itu. Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!" kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya.
Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu. "Apakah sakit?" Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit." "Lalu kenapa kamu menangis?",tanya dokter itu. "Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab bocah itu. Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?" Dengan air mata di pipinya, bocah itu menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan gadis itu aku harus menyerahkan seluruh darahku!" Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk memberikan darahmu? " Sambil menangis anak itu berkata, "Karena ia adalah temanku, dan aku mengasihinya!
Saudara, Allah mengajarkan umat-Nya tentang hal ini melalui karya penebusan dosa manusia yang dilakukan oleh Yesus. Kasih itu tidak sekedar kata-kata mutiara atau perbuatan yang ujung-ujungnya meminta balasan. Kasih itu murni, bahkan itu juga berbicara tentang arti sebuah pengorbanan. Kasih tidak pernah gagal! Ya, Kasih yang sempurna tidak pernah gagal karena waktu atau tidak berdaya. Kasih tidak pernah mengecewakan atau tidak bisa dipercaya.
Kasih sanggup untuk bertahan dalam tekanan dan kesukaran. Karena Allah adalah kasih, Ia mendukung dan menopang Pribadi-Nya ketika segala sesuatu diletakkan atas diri-Nya. Kasih akan melindungi, menaungi, dan menjaga dari segala sesuatu yang mengancam keselamatan sesamanya. Kasih mampu menahan diri, tenggang rasa, dan sabar dalam segala keadaan. Kasih itu bersifat ramah, murah hati, hangat, dan baik. Kasih yang murah hati dan rela menolong, simpatik dan memahami orang lain. Kasih itu penuh perhatian, lemah lembut, tenggang rasa, adil, dan bijaksana, dan hanya ingin mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Kasih itu pemurah, menerima sesama, dan kebaikannya terpancar dalam perbuatan.
Kasih yang berasal dari Allah adalah kekal dan tidak berkesudahan. Apakah Anda hidup dalam kasih dan percaya akan kuasa Roh Kudus untuk menjadikan semua hal ini menjadi nyata? Seorang yang dipenuhi Roh Kudus otomatis akan mencerminkan sifat kasih dalam kehidupannya. Jadikanlah senantiasa kasih sebagai tujuan tertinggi dan garis akhir yang paling ingin Anda raih, seperti tertulis dalam 1 Yohanes 3:18, "Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." Jika Anda sedang berjalan dalam kasih Allah, maka Anda sedang menghayati jenis kehidupan yang paling berkuasa di dunia! AMIN!
MENCARI RASA AMAN YANG PALSU
Yohanes 12:12-19
Banyak orang tergoda untuk menjadikan Tuhan sebagai pembebas dalam rangka mendapatkan rasa aman yang sementara dan bersifat duniawi saja. Bebas dari penjajahan, sakit penyakit, kemelaratan, dan berbagai kekuatiran hidup lainnya. Tuhan lalu diburu lewat doa dan mujizat. Bila ini didapatkan, nah ini baru Tuhan! Rasa kagum dan hormat pun dikumandangkan. Ribuan ucapan syukur dalam bentuk kesaksian-kesaksian pastilah dilakukan. Tetapi bagaimana bila ini tidak nampak dan tidak didapatkan? Akh, disini rupanya tidak ada Tuhan! Orang mulai bersungut-sungut dan memburunya ke tempat lain sekira mendapatkannya.
Di sisi lain, tidak jarang Gereja juga ikut terseret untuk berlaku sebagai "sang pembebas" untuk mendapatkan rasa aman yang sementara. Sembuh dari sakit, kebahagiaan, kemurahan rejeki segala macam ditawarkan. Doa dan mujizat dianggap sebagai satu-satunya yang paling spesial untuk dijajakan. Berbagai bentuk kemasan disajikan semenarik mungkin. Tidak jarang, reklame dan iklan turut sebagai pendukung untuk menyemarakkan. Sadar atau tidak, Gereja lalu hanya berfungsi sebagai penjaja doa dan mujizat semata dan sebatas menambah jumlah anggota!
Hal yang demikian membuat Gereja terserat dan semakin kehilangan tujuan yang sebenarnya. Untuk mewartakan suara kenabian atas ketidakadilan dan ketidakbenaran. Pertobatan dan pengampunan. Bahwa tujuan hidup yang sesungguhnya adalah keselamatan, bukan sekedar nikmat-nikmat dunia saja yang harus didapat. Itu memang perlu, tetapi bukanlah satu-satunya yang maha penting. Kita beriman, bukanlah sekedar menjadi pemburu doa dan mujizat semata. Menghabiskan waktu hanya urusan mimbar dan ceramah semata. Tetapi terjun langsung di dunia nyata, di berbagai bentuk keprihatinan kemanusiaan hingga ke titik nadir yang terdalam.
Memasuki Minggu Sengsara ke VII ini, kita semua disadarkan akan tugas panggilan kita. Banyak godaan yang dapat melencengkan tugas-tugas profetik kenabian kita. Bahwa tugas kita bukanlah hanya sebatas penjaja doa dan mujizat semata. Tugas beriman kita juga tidak hanya sebatas memburu doa dan mujizat saja. Sebatas mencari rasa aman dan nikmat-nikmat duniawi yang sementara! AMIN.
KEBANGKITAN KRISTUS MEMBERIKAN KEKUATAN DAN SEMANGAT BARU UNTUK MENJADI SAKSI
Lukas 24:13-35
Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan dua pokok penting yang mendukung seluruh kebenaran agama Kristen. Jikalau Kristus tidak dibangkitkan dari kematian, maka Injil yang kita kabarkan bukanlah kabar baik, melainkan kabar buruk yang menyedihkan. Setelah Yesus disalibkan dan mati, para murid dan pengikut Tuhan dinaungi oleh awan ketakutan, kesedihan dan kecemasan. Mereka tidak tahu apa yang hendak mereka lakukan. Kemudian tersebar berita di seluruh Yerusalem, bahwa mayat Yesus tidak ditemukan dalam kubur-Nya. Hal ini sangat membingungkan para murid Yesus. Karena takut serangan dari orang Yahudi mereka berhimpun di suatu tempat dan mengunci pintu-pintu.
Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak yakin kalau Yesus yang mati dan dikuburkan itu telah bangkit kembali. Namun setelah Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya kepada mereka, dan meyakinkan mereka bahwa Ia telah bangkit dari kematian, maka percayalah murid-murid itu. Dengan penuh kuasa dan berkobar-kobar, mereka memberitakan kabar kesukaan tentang kebangkitan Yesus. Dan inilah juga berita yang disampaikan dan tetap diberitakan oleh gereja-gereja di seluruh muka bumi.
Apabila kita cermati dalam Alkitab, penampakkan diri Yesus dengan berbagai macam cara dan dalam situasi serta kondisi yang berbeda-beda kepada para murid. Beberapa hal yang unik dan menarik dalam penampakkan diri Tuhan Yesus kepada dua orang murid dalam nas ini, adalah:
1. Dua orang murid ini sedang dalam perjalanan (ke Emaus) yg berjarak kurang lebih tujuh mil jauhnya dari Yerusalem. Entah apa tujuan mereka, apakah mengamankan diri, pulang kampung, atau kembali melakukan aktivitas seperti sediakala (sebagai penjala ikan), tidak dijelaskan. Yang jelas, mereka pulang dengan kesedihan “tanpa harapan” (ay.13, 17, bdk. ay.33).
2. Mereka sedang memperbincangkan soal kematian Yesus, sementara Yesus ada bersama-sama dengan mereka. Ini menarik untuk dipoergumulkan. Karena tidak jarang banyak orang “hanya memperbincangkankan tentang Yesus”, tetapi tidak mengenal kehadiran Yesus. (bdk. ay. 14-24).
3. “Ada sesuatu” yang menghalangi pandangan mereka, sehingga mereka tidak mampu melihat (memahami) bahwa yang sedang bersama mereka itu adalah Yesus (ay.16).
4. Yesus menegor mereka karena “lamban untuk percaya” dan menjelaskan arti kitab suci sekitar soall kematian dan kebangkitan-Nya (ay.25).
5. Yesus membuka mata hati mereka ketika melakukan tindakan “mengucapkan berkat, memecah-mecahkan roti” (ay.30).
6. Ada “sukacita besar dan semangat yang baru”, kembali ke Yerusalem menceritakan pengalaman mereka tentang Yesus (ay. 33-35).
1. Lamban Untuk Percaya
Ada suatu fakta yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu bahwa pada waktu seseorang mendengar sesuatu dari surat kabar, majalah, TV, bahkan iklan dan gossip, ia dengan mudah percaya, tanpa meminta bukti. Tetapi kalau seseorang mendengar firman Tuhan, maka seringkali ia tidak mau percaya sebelum ada buktinya! Mengapa? Jelas karena dalam kasus pertama, ia mendengar sesuatu yang bersifat jasmani / duniawi, sehingga setan tidak merasa perlu untuk bekerja. Tetapi dalam kasus kedua, ia mendengar suatu kebenaran rohani sehingga setan merasa perlu untuk bekerja sehingga orang itu tidak percaya! Percaya pada kebangkitan orang mati adalah sesuatu yang penting, karena kalau orang menganggap bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, maka ia pasti akan hidup semaunya sendiri (bdk. 1Kor 15:32b). Kepercayaan pada kebangkitan Yesus dari antara orang mati, lebih-lebih merupakan sesuatu yang sangat vital untuk keselamatan.
a). Hal itu dianggap tidak rasionil / tidak masuk akal
Ini biasanya merupakan anggapan dari orang-orang yang membanggakan kepandaiannya / rasionya. Tetapi, kalau mereka sampai pada kesimpulan seperti itu, sebenarnya menunjukkan kalau sebetulnya mereka justru kurang tajam / kurang teliti dalam menganalisa.
b). Mereka tidak memperhitungkan kuasa Allah yang tidak terbatas!
Kalau mereka memperhitungkan kemahakuasaan Allah, maka jelaslah bahwa mereka tidak akan menyimpulkan bahwa kebangkitan adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Bandingkan dengan Kis 26:8 dimana Rasul Paulus berkata: "Mengapa kamu menganggap mustahil, bahwa Allah membangkitkan orang mati?"
2. Penghalang yang Mengganggu Mata Iman
Ada banyak hal yang mengganggu pandangan untuk bersukacita. Penghalang itu biasa bersumber dari diri sendiri atau dari luar, Yang dari dalam diri sendiri, misalnya kekecewaan, kekuatiran, putus asa, atau trauma. Yang dari luar, misalnya karena dikelilingi persoalan, ketidak-adilan, kekuatiran, himpitan,dll. Murid-murid Yesus termasuk orang yang kecewa dan takut sehingga mereka bersembunyi dan bersikap lebih tertutup. Yesus yang semula mereka harapkan menjadi Mesias, ternyata dijatuhi hukuman mati. Mereka takut kalau-kalau mereka sebagai pengikut-Nya juga akan ditangkap dan menjalani nasib yang serupa.
3. Dangkalnya pemahaman tentang Kitab suci
Yesus memarahi murid-murid-Nya karena kedangkalan pemikiran mereka, bahkan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya sendiri. Kendati mereka sangat dekat dengan Yesus dan mengikuti Yesus tiap-tiap hari, namun mereka masih saja belum mengerti tentang maksud kedatangan Yesus ke bumi. Orang Kristen kerapkali masuk dalam situasi ini. Demikian lama ia telah menjadi orang Kristen, namun ia belum memahami bagaimana kehendak Tuhan dalam karya hidupnya, dan bagaimana ia bersikap sebagai orang Kristen. Bukankah hal yang demikian juga sering terjadi dalam kehidupan orang-orang percaya?
4. Pentingnya Memiliki Semangat Kemenangan Paskah
Paskah menunjukkan adanya pengharapan bagi orang percaya. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan selalu bertumpu pada iman dan pengharapan. Sebagai orang yang beriman akan Yesus, kebangkitan merupakan peristiwa yang paling pokok dan paling penting dalam hidup kita dan akan memberi warna dalam seluruh hidup kita selanjutnya. Kita dapat beriman kepada Kristus, pertama-tama adalah karunia iman yang diberikan Allah, sebab sesungguhnya tanpa karunia iman, kita tidak mungkin dapat percaya kepada Kristus.
a. Kebangkitan-Nya pada hari ketiga memberitahukan kepada kita bahwa Dialah Mesias Sejati. satu-satunya jalan keselamatan bagi umat manusia. Semua perbuatan baik yang dilakukan manusia untuk sampai ke Sorga adalah sia- sia, apabila tidak ada Kristus di dalam hati orang tersebut.
b. Kebangkitan-Nya juga menyatakan kepada kita bahwa Dia telah mengalahkan maut. Segala sakit penyakit, kutuk-kutuk kini telah berada di bawah kaki-Nya. Kesembuhan dan kemerdekaan menjadi milik mereka yang beriman kepada-Nya.
c. kebangkitan Kristus memberi pesan bahwa ada harapan bagi manusia. Kebangkitan Kristus hendak menegaskan bahwa ada hidup dalam kekekalan bersama dengan Allah. Kehidupan yang telah dicari manusia sejak zaman dahulu kala.
Karena itu, semangat Paskah harus menjadi inspirasi kreatif umat percaya dalam menjalani hidup dan tugas panggilannya sebagai orang percaya. Dengan semangat Paskah kita dimampukan melayani Tuhan dengan penuh gairah dan dinamika bukan agar kita dikenal manusia, melainkan karena kita tahu bahwa “dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Korintus 15:58). Karena hanya yang kita kerjakan dalam Tuhan serta bertujuan untuk memuliakan Tuhan akan bernilai kekal dan akan mengkuti kita sampai ke sorga kelak. Adakah indikasi tersebut dalam hidup kita sebagai orang percaya yang telah mengenal Tuhan yang bangkit? AMIN!
GEREJA YANG LAYAK DISEBUT SEBAGAI "GEREJA"
Efesus 4:1-16
Ada sebuah nyanyian dalam Kidung Jemaat nomor 257 yang menggambarkan tentang Gereja. Lagu tersebut berbunyi demikian:
Aku gereja, kau pun gereja
Kita sama-sama gereja
Dan pengikut Yesus di seluruh dunia
Kita sama-sama gereja
Gereja bukanlah gedungnya,
Dan bukan pula menaranya;
Bukalah pintunya, lihat di dalamnya,
Gereja adalah orangnya.
Dari nyanyian tersebut dapatlah kita fahami bahwa gereja sebenarnya bukanlah sebuah benda mati, museum atau sebuah monument yang bisu. Dan memang, gereja itu sebenarnya adalah persekutuan yang senantiasa bergerak. Ia harus selalu berkembang dan bertumbuh, seperti setiap manusia pun harus bertumbuh, makin lama makin dewasa. Terlebih lagi bila mengingat akan makna tugas panggilannya di dunia dimana ia ditempatkan. Karena itu, berbicara tentang gereja, mau tidak mau kita harus berbicara tentang orang-orang yang bergereja.
Lalu bagaimanakan sebuah gereja itu layak disebut sebagai sebuah gereja? Apakah kita yang bergereja bukan menjadi sebuah gereja yang sedang sakit, mandul atau lumpuh? Atau sebaliknya, sebuah gereja yang bertumbuh, berbuah dan benar-benar menjadi berkat, melaksanakan tugas panggilannya di dunia ini sebagaimana layaknya seperti dikehendaki oleh Kristus sendiri sebagai kepala gereja? Berdasarkan nas ini, paling tidak ada tiga factor penting sebagai batu uji sebuah gereja yang dapat menjadi berkat:
I. MEMELIHARA PERSEKUTUAN (ay.1-6)
Persekutuan tentu saja tidak terjadi begitu saja, yang selalu begitu dan harus tetap tinggal begitu. Persekutuan dapat tercipta bila orang saling rendah hati, saling mau mendengar saling sabar, dan saling membantu. Tanpa hal tersebut mustahil persekutuan dapat terpelihara dengan baik. Tapi disinilah masalahnya. Sebab tidak jarang, saling merendahkan diri, saling mau mendengarkan, saling sabar, saling membantu hanyalah semacam slogan tanpa makna. Sebabnya ialah karena kecenderungan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri. Ketimbang persekutuan, mungkin perpecahan yang sering dijumpai. Bahkan tidak jarang di dalam tubuh yang namanya gereja sekalipun. Persekutuan tidak lagi dinikmati laksana sebuah pohon beringin yang rindang, nyaman dan menyenangkan. Tapi malah sebaliknya bagai sebuah padang gurun yang panas dan gersang. Maka yang terjadi akibatnya: orang saling sikut-menyikut, saling kalah-mengalahkan, dsb.
Apabila semua orang yang bergereja memiliki kemauan atau tekat bersama untuk memajukan persekutuan, maka di dalamnya harus terdapat unsur sehati dan sejiwa, saling mau mendengar, saling mengerti, saling mau mengalah, saling mau berkorban. Bukankah sikap seperti ini yang memampukan jemaat mula-mula untuk menjadikan milik pribadi menjadi kepunyaan bersama? Itulah konsekwensinya bila kita mau menjadikan persekutuan yang utuh.
Gereja memerlukan keperdulian kita bersama. Ya, oleh semua orang yang menginginkan pertumbuhan dan kemajuan. Kemajuan dan pertumbuhan sebuah gereja, tidak pernah bekerja seperti lampu aladin, yang sekali gosok, dan semua seketika menjadi beres. Tidak! Ia harus diusahakan, dikerjakan. Oleh siapa? Oleh setiap orang di gereja itu, yang menginginkan kemajuan dan perkembangannya.
II. EFEKTIVITAS SEMUA POTENSI KARUNIA YANG ADA (ay. 7-12)
Berbicara soal pelayanan gereja, barangkali yang ada dalam benak kita adalah para petugas gereja, baik Pendeta, Penatua & Diakon, ataupun pengurus-pengurus kategorial atau pengurus lingkungan yang menjalankan tugas pelayanan. Sebenarnya ini adalah pemikiran yang keliru. Sebab apabila kita mempelajari dari cara hidup jemaat mula-mula, maka nyatalah bagi kita suatu pengertian tentang pelayanan secara utuh.
Di satu sisi memang dibicarakan pelayanan dan kesaksian para Rasul. Tapi di sisi lain juga dibicarakan pelayanan dalam cara yang lain. Di sini kita melihat adanya sikap saling melayani. Kita ambil contoh: Yusuf seorang anggota jemaat, toh pun bukan dalam golongan rasul-rasul, tetapi dalam segi lain ia melayani. Dikatakan: “Ia menjual lading, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki Rasul-Rasul.” (Kis. 4:36-37). Cara hidup bergereja memang jauh berb eda dari hal-hal yang biasa. Karena itu hal semacam ini yang tidak orang suka. Yang penting gedung dan menaranya, bahkan orangnya asal ada!
III. PERTUMBUHAN MENUJU KEDEWASAAN YANG BERKARAKTER (ay. 13-16)
Tanpa adanya pertumbuhan menuju kedewasaan yang berkarakter, maka gereja itu laksana katak di bawah tempurung. Bila kita ingin kesaksian gereje lebih bergema ke luar, maka mulai di dalamnya perlu dirapikan, didewasakan, dikuatkan! Kalau di dalam lemah, bagaimana ia bias kuat ke luar? Tetapi proporsi persoalannya sering tidak di situ. Yang sering menjadi kenyataan ialah, bahwa pelayanan ke dalam itu lalu kemudian menjadi tujuan pokok, dan pelayanan ke luar adalah pekerjaan sambilan.
Gereja yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri ke dalam adalah seperti mobil dalam garasi. Mesinnya hidup, tetapi tidak pernah jalan-jalan juga. Hanya menghabiskan bensin saja! Atau ada juga yang terjadi sebaliknya, bahwa tugas gereja hanya dipahami sebatas memberitakan Injil ke luar, atau hanya mencari jiwa-jiwa baru menjadi anggota gereja. Itu memang penting! Tetapi itu hanya salah satu bagian dari tugas gereja. Tetapi yang benar adalah, bahwa kedua-duanya memang semua penting! Harus seimbang!
Pembinaan di dalam memang merupakan semacam dasar suatu bangunan. Ia harus kuat. Suatu gereja dapat bergerak dan bersaksi ke luar apabila iman jemaatnya mengalami pertumbuhan dan semakin dewasa melalui pembinaan dan pendewasaan iman. Tapi masalahnya, bagaimana gereja memiliki dasar dan pemahaman iman yang matang bila katekisasi saja dilakukan hanya menjelang mau menikah? Karena itu, harus kita pahami, bahwa kesaksian gereja itu adalah suatu sikap yang menjadikan baik, sesuatu yang salah menjadi benar, segala sesuatu yang gelap menjadi terang, segala sesuatu yang bengkok menjadi lurus! Atau dalam istilah Yesus dalam Alkitab: “Menjadi terang dan garam dunia.” AMIN! *(KU).
ROH KUDUS: SIMBOLIS ATAU SUNGGUH-SUNGGUH?
Kisah Para Rasul 2:1-13
Adalah seorang bernama Lorenzo de Medici, seorang penata seni terbesar di kota Florence, Italia. Pada suatu hari begitu dalam kisah, Lorenzo diberi tugas untuk menghias sebuah gereja di kota itu yang akan merayakan hari novena Pentakosta. Kali ini, hiasan yang dibuatnya rupanya terlampau realistis. Ia mempergunakan api yang sungguh-sungguh untuk menggambarkan lidah-lidah api yang hinggap di kepala para rasul.
Begitu pula dengan tiupan angin yang kencang. Dan suara topan yang menderu-deru. Dan akibatnya? Seluruh gereja terbakar. Terbakar dengan sungguh-sungguh pula. Apakah komentar saudara mendengar kisah tersebut? Saya yakin, banyak di antara kita akan berkata: Mestinya Lorenzo tidak usah memakai api yang sungguh-sungguh dan angin yang sungguh-sungguh. Cukup yang simbolis. Bukankah kita dapat menggunakan kertas-kertas minyak berwarna merah, kemudian disorot dengan cahaya lampu yang kuat, dan ditiup oleh angin yang berasal dari sebuah fan atau kipas angin. Cukup mengesankan. Dan yang penting, ia tidak membakar.
Dan memang, saudara-saudara, banyak gereja kita yang aman dan tidak terbakar. Berdiri dengan aman, teguh dan kokohnya. Sebab Pentakosta itu cukup yang simbolis saja. Kuasa Roh Kudus diakui, tapi tidak sungguh-sungguh. Kuasa Roh Kudus diakui, tetapi tidak dialami. Saudara, dalam kebaktian ini pasti kita akan membawa persebahan bagi Tuhan. Tapi saya tidak tahu, berapa banyak di antara kita yang benar-benar terbakar oleh roh rasa syukur. Atau cukup yang simbolis saja. Bukan pura-pura. Tapi juga tidak sungguh-sungguh. Simbolis. Entah berapa banyak di antara kita yang hadir di sini benar-benar dibakar oleh roh kebersamaan dan persatuan. Mengalami sungguh-sungguh suatu kuasa dan desakan serta kerinduan dari dalam untuk terwujudnya persekutuan dan kebersamaan di jemaat kita ini. Atau cukup itu sekedar simbolis saja. Kebaktian-kebaktian resmi. Sekali-sekali persekutuan rumah tangga. Tapi tidak terbakar.
Kisah Lorenzo de Medici tadi dapat kita jadikan suatu pengantar yang indah untuk kita bertanya dan memeriksa diri: Apakah kita memang benar-benar siap untuk mengalami Pentakosta yang sungguh-sungguh? Apabila jawab kita adalah Ya, maka baiklah kita sadari bersama bahwa Pentakosta yang sungguh-sungguh itu akan sungguh-sungguh pula mengganggu kita, merobohkan bangunan-bangunan kesayangan kita, membakar dan menghanguskannya.
Saya tahu banyak orang dengan sungguh-sungguh merindukannya. Tetapi bila benar-benar Roh Kudus itu datang, maka tidak sedikit orang akan menjadi ciut hatinya, takut dan ngeri dan melarikan diri. Max Beebohm, si anarkis, pernah berkata: “Aku adalah seorang anarkis tulen. Sebab itu kalian boleh berbuat apa saja. Ya, apa yang kalian mau. Asal saja itu tidak mengganggu gugat apa yang aku yakini.” Kita tanpa sadar juga sering berkata demikian. Roh Kududs silahkan datang! Roh Kudus silahkan berbuat apa saja yang Anda mau! – asal saja itu tidak mengganggu gugat apa yang aku yakini atau membakar yang aku sayangi.
Pernahkah Saudara pikirkan apa yang akan terjadi sekiranya apa yang kita katakana dalam doa kita benar-benat menjadi kenyataan? Kita sering berdoa agar Roh Kudus memberikan kekuatan kepada kita. Sadarkah saudara apa artinya kekuatan itu, sekiranya ia sungguh-sungguh dikaruniakan kepada kita? Kekuatan adalah sesuatu yang tidak dapat diam. Sekali ia kita miliki, ia akan meronta-tonta di dalam diri kita, dan terus akan meronta sampai ia disalurkan dan diwujudkan di dalam pergulatan, pergumulan dan peperangan.
Berdoa minta kekuatan, tidak lain adalah berdoa agar kita dibawa ke dalam pergumulan dan pertempuran itu. Kecuali, tentu saja, apabila yang kita minta itu adalah kekuatan yang simbolis saja. Kita sering berdoa dan berkata bahwa kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan. Sadarkah saudara apa yang saudara doakan itu? Menyerahkan diri sepenuhnya! Ya, Yesus sangat menghargainya. Lalu Yesus benar-benar datang mengambil semuanya dari kita. Mengambil tenaga, mengambil waktu, mengambil uang kita. Bukankah kita akan menyesal, dan mungkin akan berkata: Wah, kalau tahu begitu jadinya, aku tentu akan berdoa menyerahkan diri 10% saja, tidak seratus persen. Penyerahan diri yang simbolis saja. Kita sering berdoa agar Roh Kudus menghibur kita. O ya, dihibur tentu saja enak. Tapi sadarkah saudara akan apa yang saudara doakan itu? Saudara minta dihibur, dihibur dari apa, karena apa? Bukankah penghiburan itu baru menjadi penghiburan yang sungguh-sungguh di tengah kesedihan yang sungguh-sungguh pula? Sering pula kita berdoa, agar Roh Kudus menerangi hati dan pikiran kita. Memberi kekuatan untuk menerima dan melakukan firman Tuhan. Menjadikan firman itu laksana suluh dan pelita dalam kehidupan kita.
Tapi sadar pulakah Anda akan apa yang Anda doakan itu? Akan resiko dan konsekwensinya? Lalu Tuhan memang sungguh-sungguh memperdengarkan firmanNya. Mengoreksi, menempelak, menerangi jalan kehidupan kita. Menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh kita dengan firmanNya. Yang lebih tajam dari pada pedang bermata dua. Sangat mengganggu pertimbangan dan pikiran hati kita. Bukankah kita akan menyesal dan mungkin berkata: Wah, kalau tahu begitu akibatnya, tentu aku akan berdoa meminta firman yang simbolis saja.
Saudara, Roh Kudus itu laksana lidah api yang menghanguskan dan angin topan yang kekuatannya tak tertahankan. Sungguh-sungguhkah kita memintaNya? Atau sekedar simbolis saja? Tiga pasal pertama dari kitab Kisah Para Rasul menyatakan, bahwa para murid diminta untuk menunggu di Yerusalem oleh karena tugas-tugas maha berat yang akan mereka hadapi. Tugas-tugas yang tidak akan dapat mereka laksanakan hanya dengan mengandalkan kekuatan dan semangat mereka sendiri. Oleh karena itu, menerima Roh Kudus berarti: menerima tugas-tugas yang maha berat itu, yang kita tahu akhirnya menuntut nyawa mereka. Nah, masih bersediakah kita menerima Roh Kudus yang sungguh-sungguh bila demikian itulah artinya? Tidak mungkin kita hanya mau menerima seragam hijau yang mentereng dengan bintang emas di pundak sehingga kita dapat berjalan dengan gagah, tetapi kita tidak mau masuk ke medan perang.
Tugas maha berat itu adalah tugas untuk ke luar, ke dunia. Tugas untuk membawa, memberitakan, memperkenalkan dan bersaksi tentang Yesus Kristus kepada semua orang dan ke seluruh dunia. Tugas ini adalah tugas yang maha berat, sebab ia penuh dengan resiko. Resiko, sebab dunia kepada siapa kita akan menyaksikan tentang Kristus itu adalah dunia yang pada hakekatnya membenci Kristus. Resiko, sebab Kristus yasng harus kita beritakan itu adalah Kristus yang tersalib, yang merupakan kebodohan bagi orang Yunani dan batu sandungan bagi orang Yahudi.
Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, para rasul dengan tekun bersekutu di dalam doa bersama sepuluh hari lamanya. Sekali lagi: bukan untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan spiritual secara pribadi. Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, Matias dipilih untuk menggantikan Yudas. Bukan sekedar untuk memantapkan organisasi. Untuk tugas maha berat itulah, yaitu tugas berat bagi dunia, Allah mengutus Roh Kudus turun ke atas mereka. Bukan sekedar untuk membuat mereka orang-orang Kristen lahir baru yang dapat membanggakan kesalehan dan keimanan pribadi mereka.
Roh Kudus memang bukanlah untuk membawa nikmat. Sebaliknya, Ia membakar, menghancurkan, menghanguskan impian-impian pribadi para rasul. Roh Kudus membuat mereka tidak lagi berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi di dalam bahasa para pendengar mereka. Artinya: mereka kini tidak dapat hidup untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak dapat memikirkan hanya keselamatan mereka sendiri dan kepentingan mereka sendiri. Mereka kini adalah saksi-saksi. Artinya:, seluruh hidup dan kedirian mereka kini hanya menunjuk kepada yang lain, kepada Yesus Kristus.
Untuk Yesus inilah mereka hidup. Dan untuk Yesus Kristus mereka mati. Itulah artinya, ketika mereka menerima Roh Kudus secara sungguh-sungguh. Dan tidak hanya secara simbolis. Para Rasul itu memang tidak berbicara tentang revolusi atau tentang pembangunan nasional. Tetapi dalam hati mereka ada suatu kepastian, bahwa dengan mempertemukan dunia ini dengan Kristus, dunia akan berubah. Bayangkan: 12 orang yang yakin mampu mengubah dunia. Tapi mereka tahu persis, bahwa mereka tak pernah mampu mengubah dunia, tanpa terlebih dahulu mereka sendiri diubah. Dan itu pulalah yang terjadi. Mereka diubah, dibakar, dihanguskan, seperti katedral di kota Florence itu. Ini tidak berarti bahwa Roh Kudus itu hanya bersifat destruktif (merusak). O, sama sekali tidak! Roh Kudus juga bersifat konstruktif (membangun). Ia tidak hanya merusak. Roh Kudus juga membangun. Menghancurkan tabiat dan gaya hidup yang lama. Membangun suatu filsafar dan gaya hidup yang baru. Gaya hidup yang baru ini dirumuskan oleh Kisah Para Rasul 4:32 sebagai berikut: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka.”
Roh Kudus adalah suatu kuasa. Merupakan kekuatan yang tak tertahankan untuk memulai sesuatu yang baru, kebersamaan yang baru dan gaya hidup yang baru. Juga keberanian yang baru. Untuk menciptakan persekutuan dan kebersamaan yang utuh, pelayanan dan kesaksian yang sungguh-sungguh, menjadikan dompetku menjadi dompet kita besama, alangkah nonsense. Apabila hanya mengandalkan Roh Kudus yang simbolis saja. Alangkah mustahilnya, tanpa diubah, dibakar, dihanguskan dan dibaharui oleh Roh Kudus yang sungguh-sungguh pula. AMIN. *(Pdt.DR.Eka Darmaputera, Ph.D).
KUALITAS HIDUP ORANG PERCAYA
Efesus 6:1-9
Nas ini berisi nasihat-nasihat yang sifatnya praktis atau aplikatif. Konkretnya: nasihat tentang bagaimana seharusnya masing-masing anggota keluarga, khususnya orang tua (ayah dan ibu), anak-anak, dan para pekerja menjalankan peran mereka sehingga idealisme tentang keluarga yang sehat dan harmonis itu dapat terealisasi. Manusia adalah makhluk sosial maka mau tidak mau komunikasi menjadi hal yang penting bagi kehidupan manusia.
1. Sikap Orang Tua (ayah dan ibu)
Dalam Efesus 6:4. Rasul Paulus berkata bahwa para ayah harus mendidik anak-anaknya "di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Para ayah Kristen yang melakukan hal ini akan menunjukkan bahwa mereka berbeda dari ayah-ayah yang lain, dan taat pada kehendak Allah. Alangkah baiknya bila anak-anak kita diasuh oleh ayah dan ibu yang mengasihi Tuhan! Jika orangtua tak punya waktu untuk membangun komunikasi dan memberi perhatian yang cukup untuk anak, dengan alasan harus bekerja keras demi masa depan anak. Sikap ini justru secara langsung menunjukkan sikap egois orangtua. Jika orangtua rindu anak-anak tetap hormat, peduli, dan mengasihi, sejak dini orangtua harus membangun kasih dan kepedulian. Bukan dengan kasih materialistis membanjiri anak-anak dengan materi tanpa kehadiran orang-tua.
Dalam bukunya yang berjudul “How to really love your child”, Ross Campbell menulis, “Aku sangat heran, betapa banyak orangtua menghabiskan beribu-ribu dolar dan berbuat apa saja demi memastikan anak-anak mereka dipersiapkan pendidikannya secara sempurna. Namun demikian, dalam persiapan yang terpenting, yaitu perjuangan rohani dalam penemuan makna kehidupan, seorang anak dibiarkan mempertahankan dirinya sendiri sehingga mudah menjadi mangsa kuasa kegelapan.” Apakah kita sebagai orangtua berada dalam kelompok yang disebut Ross Champbell? Sebagai orangtua kita mempunyai tanggungjawab utama.
Setiap tahun orang Amerika membelanjakan hampir 24 miliar dollar untuk anak-anaknya. Sebagian besar uang itu memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, namun bermiliar-miliar sisanya dihabiskan untuk membeli "barang-barang" dalam iklan yang tak ada habisnya, seperti boneka Furbie, Barbie, Beanie, serta CD dan TV. Salahkah kita bila membelanjakan uang sebanyak itu untuk anak-anak? Sulit untuk menjawabnya. Namun pertanyaan yang lebih sulit lagi ialah: Apakah para orangtua membelanjakan uang seperti itu supaya mereka tak perlu menyediakan waktu bagi anak-anak? Sebuah penelitian yang dilaporkan The Wall Street Journal memberi kesan demikian: Sebagian besar anak-anak berusia 10 dan 11 tahun di Amerika memiliki TV di kamar dan dapat menonton apa saja yang mereka inginkan.
Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah uang, melainkan alasan di baliknya. Apakah dengan uang itu para orangtua bermaksud memberi hiburan, memanjakan, dan membeli kasih sayang anak-anak mereka? Atau, maukah mereka mendidik anak-anak dalam kesalehan? Hal ini membutuhkan petunjuk yang cermat dari Alkitab. Dibutuhkan waktu untuk mendidik orang muda (Amsal 22:6). Dibutuhkan ketekunan untuk mendisiplin anak. Dibutuhkan usaha untuk mengajarkan prinsip-prinsip Allah (Ulangan 4:9). Dibutuhkan hikmat untuk dapat bersikap adil (Efesus 6:4; Kolose 3:21). Dibutuhkan kerajinan untuk mengurus keluarga dengan baik (1 Timotius 3:12). “Hadiah terbaik yang dfapat diberikan bagi anak Anda adalah waktu Anda.”
Paul Lee Tan melaporkan data tentang pengakuan dan penerimaan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat seperti ini:
- 1 dari 10 orang menerima Yesus sebelum mencapai usia 25 tahun
- 1 dari 10.000 orang menerima Yesus setelah usia 25 tahun
- 1 dari 50.000 orang menerima Yesus setelah usia 35 tahun
- 1 dari 200.000 orang menerima Yesus setelah usia 45 tahun
- 1 dari 300.000 orang menerima Yesus setelah usia 55 tahun
- 1 dari 500.000 orang menerima Yesus setelah usia 65 tahun
- 1 dari 700.000 orang menerima Yesus setelah usia 75 tahun
Kita adalah cermin istimewa dan tidak ada duanya, sebuah cermin dengan perasaan, penilaian dan akal. Ketika anak-anak kita berkaca ke arah kita untuk mencari identitasnya dan kesannya akan dunia, mereka melihat pantulannya yang telah disaring melalui sistem nilai kepercayaan kita. Efesus 6: 4, “…jangan bangkitkan amarah dii dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dii dalam ajaran clan nasihat Tuhan.”
Ada dua prinsip penting yang menonjol dalam Alkitab tentang pendidikan rohani anak. Pertama, dari rumahlah pertama-tama tanggungjawab untuk memperkenalkan pengajaran kristen itu harus diberikan. Kedua, pengajaran iman yang efektif pertama-tama harus dinyatakan melalui tindakan dan keteladanan, baru kemudian dengan kata-kata. Keteladanan orangtua, pengalaman sehari-hari dan keikutsertaan dalam ibadah merupakan bahan dasar untuk memperkenalkan anak pada konsep-konsep berkenaan tentang Allah.
2. Sikap Anak
Alanda Kariza adalah putri pejabat bank yang terlilit kasus hukum dan terancam 10 tahun penjara dan denda 10 miliar. Di blognya, Kariza menulis demi mendapat opini teman-temannya tentang ketidakadilan yang dialami ibunya. Namun, ia justru kebanjiran simpati dan dukungan. Ketika ditanya apa cita-citanya, Kariza hampir selalu menjawab: “Saya ingin membuat Ibu bangga dengan terus berprestasi.”
Adalah suatu keharusan bagi anak untuk menghormati kedua orangtuanya karena orangtua bertindak sebagai wakil Tuhan untuk anak-anaknya dalam hal mengasihi, memelihara, mengasuh dan juga memperhatikan. Itulah sebabnya firman Tuhan memerintahkan agar anak-anak memiliki rasa hormat dan takut kepada orangtuanya seperti umat takut kepada Tuhan. Takut akan Tuhan mempunyai arti segan dan hormat. Bukan rasa takut seperti seorang anak yang telah mencuri uang dan kepergok ayah ibunya. Atau seorang pencuri yang takut terhadap polisi dan sebagainya. Tetapi rasa takut ini menyebabkan anak-anak bersikap sebaik mungkin kepada orangtuanya supaya jangan sampai membuat kesalahan dan menyakiti hatinya, takut jangan sampai berbuat dosa kepadanya.
Sudah sepantasnya bila anak menghormati orangtua dan takut kepadanya, sebab memang orangtua adalah orang-orang yang sangat terhormat bagi anak-anak, ibarat pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap saat siap menolong, melindungi dan mencintai kita lebih dari pada semua orang lain di dunia ini. Oleh karenanya anak-anak harus takut, hormat dan selalu taat kepada mereka. Di zaman sekarang ini banyak anak memberontak dan melawan orangtua, bahkan cenderung meremehkan dan merendahkan mereka. Salomo memberi nasihat, "Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku." (Amsal 4:1-2).
Tuhan sangat benci terhadap anak yang tidak menghormati orangtuanya. Alkitab menyatakan: "Terkutuklah orang yang memandang rendah ibu dan bapanya." (Ulangan 27:16a). Contohnya Absalom. Ia menjadi orang yang berhasil dan memiliki segalanya (fasilitas dan harta) karena bapanya (Daud). Sayang, setelah dewasa ia malah mengusir bapanya sendiri dan hendak membunuhnya. Hidup Absalom pun berakhir tragis sebagai akibat ia berlaku kurang ajar dan tidak menghormati ayahnya!
Apabila kita tidak mempersiapkan anak-anak kita dengan baik maka di hari depan mereka menjadi generasi yang berperilaku buruk.“Satu generasi di bawah kita selalu terancam menjadi kafir.Jika satu generasi gagal meneruskan obor iman, maka generasi berikutnya takkan mengenal Allah dan akan hidup dengan mengabaikan kehendakNya.” Ada sebuah sajak yang menggambarkan tugas dan panggilan orangtua dalam pendidikan rohani anak: “Bangunlah, namun bukan hanya untuk hari ini. Bangunlah dengan batu cadas dan perkokohlah kerangka di dalamnya agar pada tahun-tahun mendatang anak cucumu akan melihat dan mengecap dan berkata dengan hormat dan cinta “lnilah bebatuan yang sudah disusun orangtua kami Inilah bangunan Yang sudah dibangun orangtua kami.”
3. Sikap Majikan
Saat Truett Cathy memulai usaha restoran pertamanya pada tahun 1946, restoran selalu itu tutup pada hari Minggu untuk memberi waktu bagi para karyawannya berkumpul bersama keluarga dan pergi ke gereja. Hal itu masih berlaku sampai sekarang, pada lebih dari 1.000 gerai cepat saji Chick-fil-A milik perusahaan Cathy. Semboyan Cathy adalah "utamakan orang dan prinsip dulu, baru keuntungan". Semboyan ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri, baik saat memberikan perintah maupun saat mempekerjakan seseorang. Rasul Paulus berpesan kepada para majikan dan hamba. Menurutnya, kita perlu ingat bahwa kita mempunyai Tuan di surga.
Kepada tuan-tuan (majikan) diperingatkan juga. “ Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahawa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di Sorga dan Tuhan tidak memandang muka.” (Efesus 6:9). “Hai tuan-tuan berlakulah adail dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di Sorga.” (Kolose 4:1). Sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus, wajiblah kita mentaati perintah-perintah ini.
Orang kadang berlomba-lomba melakukan ibadah ritual pada hari atau bulan tertentu, tetapi lalai atas kehidupan sosialnya. Ibadah terus berjalan, namun korupsi, kolusi, dan segala bentuk penyimpangan terus dilakukan. Perilaku buruk para pemimpin atau majikan bisa berdampak pada nasib para pekerja bawahan. Para pekerja tidak mendapatkan teladan yang baik. Pada akhirnya, para pekerja juga akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah bencana yang timbul akibat dosa manusia. Para pemimpin, katanya, sering melakukan perbuatan dosa yang merugikan rakyat.Beragam bencana yang menimpa negeri ini tampaknya belum menyadarkan para pemimpin dan para elit untuk berintropeksi. Bahkan mereka tetap larut dalam korupsi, kolusi, dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang merugikanpin, majikan atau tuan, kita juga harus bersikap serupa yaitu dengan takut dan gentar kepada Tuhan, tidak memperlakukan bawahan seperti binatang, tapi perlakukanlah mereka tanpa memandang muka, karena Tuhan di Sorga juga memperlakukan setiap manusia adalah sama, baik hamba maupun tuan.
Ingatlah kisah tentang Lazarus yang miskin dan orang kaya dimana orang kaya memperlakukan Lazarus seperti seekor binatang (Lukas 16:19-31) dan tidak ada belas kasihan kepadanya untuk memperlakukan Lazarus seperti layaknya seorang manusia. Orang kaya tersebut akhirnya mendapat penderitaan yang kekal setelah mengalami kematian. Menghormati sesama dan memperlakukannya dengan baik, entah bawahan maupun atasan, baik orang miskin maupun kaya, baik muda maupun tua, dan lain sebagainya akan dapat menjadikan hidup kita lebih berarti karena akan menjadi berkat bagi orang lain dan damai sejahtera tercipta diantara umat Tuhan yang melakukan hal demikian.
4.Sikap Para Pekerja
Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus,” (Efesus 6:5). Secara sederhana ayat ini mengajar kita untuk taat kepada pimpinan di perusahaan atau kepada majikan kita, sehingga apa pun tugas yang diberikan akan kita kerjakan tanpa adanya keluh kesah atau gerutu. Sebagai seorang pekerja Kristen kita harus memiliki rasa hormat dan taat kepada siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan, “…sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah,”(Efesus 6:5-6).
Di dunia kerja, keberadan orang Kristen dengan orang dunia hampir-hampir setali tiga uang, susah membedakannya dan hampir-hampir tidak ada perbedaan yang mencolok dalam hal nilai dan etika kerja. Kadang orang-orang dunia justru lebih baik dibanding anak-anak Tuhan. Para pekerja Kristen seringkali tidak menunjukkan kualitas sebagai karyawan yang baik. Ketika berada di gereja, kita seolah-oleh berkomitmen penuh untuk menerapkan nilai-nilai firman Tuhan. Tetapi saat di tempat kerja, kita bertindak dan menganut cara-cara kerja duniawi yang sarat dengan kecurangan, rekayasa, kemalasan, serta menghalalkan segala cara.
Pengaruh dunia ini begitu kuat, sehingga banyak pekerja Kristen yang malah menjadi batu sandungan dan tidak lagi menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Firman Tuhan jelas menyatakan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”Dalam segala hal kita harus menjadi pekerja teladan dan bisa dibanggakan atasan kita. Namun, haruskah kita menaati pimpinan kita bila mereka memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang salah, tidak etis dan bertentangan dengan firman Tuhan? Tidak! Kita harus dengan tegas menolaknya, meskipun itu membawa konsekuensi. Ada tertulis, “…kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kisah 5:29). Bila kita tidak menjadi teladan dalam hal pekerjaan berarti kita gagal dalam mengemban tugas sebagai ‘terang’. (Matius 5:16). AMIN.
JANGAN REMEHKAN HUKUMAN ALLAH
II Raja-Raja 24:8-17
Hukuman Allah memang mengerikan. Pernah seorang bertanya di dalam kemarahan dan kebencian yang sudah tak tertahankan melihat kebobrokan moral dan akhlak bangsa kita: "Aku sudah memohon kepada Tuhan berkali-kali, kiranya Ia menjatuhkan hukuman kepada bangsa ini agar mau bertobat. Tapi kenapa Allah belum juga menjatuhkan hukuman-Nya?" Jawabannya adalah Allah, karena kasih-Nya, masih memberikan kesempatan kepada bangsa ini untuk bertobat tanpa harus mengalami penghukuman-Nya. Sebab penghukuman dari Allah sungguh dahsyat dan mengerikan seperti api besar membara yang akan menghanguskan semua yang disentuhnya.
Apa yang dialami Yoyakhin merupakan salah satu contoh betapa dahsyat dan ngerinya penghukuman Allah. Yehuda tidak mungkin lepas dari penghukuman yang sudah dinubuatkan. Mereka tidak bisa lari atau menghindar.Perubahan politik internasional yang biasanya mendatangkan keuntungan malah menciptakan penderitaan yang hebat. Mesir yang menindas Yehuda berhasil ditaklukkan oleh Babel. Namun ini tidak membuat Yehuda menjadi bangsa yang merdeka. Seperti kata pepatah 'lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya'.Lepas dari Mesir, masuk ke cengkeraman Babel. Peristiwa ini membuat Yoyakhin tidak hanya terpaksa lengser dalam waktu yang sangat singkat (8), namun identitasnya juga dihilangkan secara paksa, dari seorang raja menjadi seorang tawanan; dari kedudukan sosial yang tingi kepada seorang yang tidak berstatus sosial sama sekali. Demikian pula ibunya dan para pembesar lainnya.
Kehilangan identitas secara paksa merupakan penghinaan yang besar dan memberikan tekanan mental yang berat. Nebukadnezar benar-benar rakus, buas, dan sadis sebab ia tidak hanya menguras seluruh kekayaan Yehuda bahkan juga menutup dan memusnahkan kesempatan Yehuda untuk dapat bangkit membangun perekonomian negrinya,karena hanya orang-orang yang tidak mempunyai keahlian untuk membangun kembali negara Yehuda yang ditinggalkan di tanah Yehuda (13-16). AMIN
Renungkan:
Paparan penghukuman Allah ke atas Yehuda haruslah membuat kita bersyukur bahwa sampai saat ini bangsa kita masih dikasihani oleh-Nya dan mendorong kita untuk terus-menerus menjadi juru-bicara Allah yang menyerukan kebenaran kepada mereka yang sudah bosan mendengarkan kebenaran-Nya.
http://www.in-christ.net/sh/20.htm
DIHANCURKAN UNTUK DIPULIHKAN
2 Raja-Raja 25:20-30
Bangsa Yehuda dalam keadaan krisis. Sebagian besar penduduk telah dibawa ke tanah Babel sebagai tawanan. Penduduk yang ditinggalkan di tanah Yehuda tidak mengalami nasib yang lebih baik. Penduduk yang tersisa di tanah Yehuda hanyalah kelompok kecil yang tidak berarti. Akan tetapi, dari yang tersisa ini pun masih ada yang tidak mau tunduk kepada Babel. Mereka memberontak terhadap Babel dan membunuh Gedalya, pemimpin yang diangkat Nebukadnezar untuk memimpin Yehuda. Lalu, kelompok ini lari ke Mesir (ayat 22-26).
Tampaknya Yehuda sudah tidak memiliki masa depan. Namun, penulis 2Raja menutup kisah sejarah Israel dengan suatu pengharapan pada bagian akhir tulisannya. Yoyakhin mendapat belas kasih Raja Ewil-Merodakh dengan dibebaskan dari penjara dan dipelihara hidupnya (ayat 27-30). Hal ini merupakan pernyataan keyakinan penulis 2Raja bahwa Allah masih mengasihi Yehuda. Setelah Allah menghukum secara dahsyat, Ia akan kembali mengampuni dan memulihkan mereka (Yer. 32:28-41).
1. Allah tidak memberikan hukuman untuk memusnahkan umat-Nya
Allah menggunakan hukuman tersebut sebagai alat supaya umat-Nya bertobat. Pertobatan yang terjadi akan menghasilkan hidup baru. Oleh sebab itu, jangan sia-siakan kesempatan yang Ia berikan. Bertobatlah dan mulailah hidup baru Anda dengan setia mengikut Dia. Namun kasih Allah tidak dapat dihalangi oleh siapapun. Jika kasih kepada Yehuda yang dinyatakan di wilayah Yehuda sendiri mendapatkan halangan yang cukup berarti. Maka lazimnya kasih itu tidak akan pernah dapat dinyatakan di wilayah Babel, musuh Yehuda, apalagi di istana raja Babel. Namun kenyataannya lain bukan (27-30)? Mengapa? Itu semua memperlihatkan bahwa kedaulatan Allah tidak hanya berlaku atas penghukuman yang dijatuhkan bagi Yehuda lewat tangan Babel, namun juga berlaku atas kasih-Nya yang dicurahkan kepada umat pilihan-Nya.
Sepanjang sejarah Bangsa Israel, Allah berkali-kali mengampuni pelanggaran dan dosa-dosa umat-Nya. Akan tetapi, kali ini Allah tidak lagi mengampuni mereka. Masa anugerah bagi bangsa Israel telah berakhir, namun masa anugerah bagi umat Tuhan masa kini masih tersedia. Akan tiba waktunya masa itu diambil. Oleh karena itu, periksa hidup Anda apakah sudah di dalam Kristus. Kalau belum, sekaranglah kesempatan Anda untuk bertobat. Jangan sia-siakan kasih dan kesabaran-Nya. Camkan: Menunda pertobatan berarti meremehkan kasih-Nya dan menolak anugerah-Nya.
2. Penghukuman dan kasih Allah berjalan beriringan
Allah bukan saja memperhatikan dan berkuasa atas bangsa Israel dan Yehuda, tetapi juga atas semua bangsa. Untuk alasan yang berbeda Naaman dan Hazael dari Siria mengakui kekuasaan Allah bangsa Israel (2Raja 5:1-27; 8:7-15). Kuasa Allah sangat nyata dan dirasakan oleh umat-Nya, walaupun tidak selalu kelihatan. (2Ra 6:15-17). Yehuda yang sudah hancur lebur masih mendapat perhatian dari raja Babel. Raja Babel mengangkat seseorang menjadi pemimpin bagi mereka yaitu Gedalya. Sebab ia adalah seorang yang tepat untuk jabatan itu.
Nabi Yeremia mencatat bahwa Gedalya adalah seorang pribadi yang sangat mengagumkan meskipun naif (Yer. 40). Latar belakangnya juga mengesankan karena ia adalah cucu dari salah seorang penasihat Yosia sang pembaharu (22:3). Karena reputasinya itulah, para gerombolan pemberontak yang masih berkeliaran mau tunduk secara suka rela kepadanya dan meletakkan senjata mereka untuk kembali bekerja menggarap tanah. Disinilah kita dapat melihat bahwa kasih dan penghukuman Allah berjalan beriringan ditopang oleh kedaulatan-Nya. Saudara, bila kita mengalami berbagai hal dalam hidup ini, janganlah berpikir bahwa Anda JATUH karena masalah yg diberikan Tuhan, karena sebenarnya Tuhan hanya menginginkan Anda belajar BERDIRI. AMIN!
KETIKA MANUSIA MEMBELAKANGI ALLAH
Yehezkiel 23:22-35
Allah dengan begitu gamblang dan transparan memaparkan dosa-dosa Israel, untuk menunjukkan betapa jijiknya perselingkuhan yang mereka perbuat. Namun hal ini bukan berarti Allah hanya terusik oleh dosa umat-Nya saja, melainkan sebagai sinyal Allah yang menginginkan umat-Nya merasa malu, menyesal, lalu bertobat. Amat disayangkan karena berulangkali respons dari umat Tuhan ketika menerima teguran-Nya adalah justru semakin mengingkari-Nya, sehingga tangan Allah harus menurunkan hukuman keras yang tidak terhindarkan.
Tidak heran hukuman yang Allah jatuhkan kepada Yehuda sangat keras. Tuhan menyerahkan umat-Nya ini ke tangan para teman selingkuhannya tersebut. Perikop ini terbagi menjadi dua khotbah: 22-27 dan 28-35. Masing-masing dimulai dengan "(oleh) sebab ... beginilah firman Tuhan ..." Di dalam kedua khotbah ini, Tuhan menghukum Yehuda dengan menjadikannya bulan-bulanan para musuhnya. Dulu Yehuda sepertinya memanfaatkan mereka untuk kepentingan sendiri, kini mereka balik memanfaatkan dan memerah habis-habisan Yehuda untuk kepentingan mereka sendiri.
Mengapa hukuman dosa begitu keras? Agar si pendosa menyadari sungguh-sungguh sifat dosa yang sangat merusak dan yang sangat menyakiti hati Allah. Siapakah yang tidak sakit hati ketika pasangannya mengkhianati cinta sejati? Kedegilan hati si pendosa hanya bisa disadarkan kalau ia sendiri telah mengalami dikhianati, diperlakukan semena-mena. Syukur kepada Kristus, Dia telah menanggung hukuman pengkhianatan kita kepada Allah melalui kayu salib-Nya. Bagi kita, ada pengharapan untuk diampuni dan dipulihkan!
Apa hukuman paling pantas terhadap dosa pengkhianatan? Membiarkan akibat pengkhianatan itu menimpa diri si pelaku? Berarti semakin berat seseorang berkanjang dalam dosa, semakin mengerikan pula hukuman yang akan dia peroleh. Itulah keadilan Tuhan, yang tidak bisa kompromi dengan dosa. Itu pulalah yang Tuhan lakukan terhadap Yehuda. Oleh karena Allah Maha Adil, maka Israel harus dihukum. Hanya oleh karena kesabaran Allah yang besar saja, maka Dia masih dapat mentolerir bangsa yang sudah bobrok itu sekian lamanya, tetapi Yehezkiel membawa pesan bahwa kesabaran Allah terhadap bangsa Israel akhirnya tiba pada batas-Nya.
Oleh karena Israel melupakan dan membelakangi Tuhan, sekarang mereka sendiri yang harus menanggung akibat persundalan dan kemesumannya. Penghakiman Allah tidak dapat dihapuskan (ayat 12:22, 27); penghakiman-Nya tidak dapat dihindari. Sabda-Nya: "Aku tidak akan merasa sayang kepadamu dan tidak akan kenal belas kasihan, tetapi Aku akan membalaskan kepadamu selaras dengan tingkah lakumu dan perbuatan-perbuatanmu yang keji. Maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN". (ayat 7:4-27; 22:14). Waktu penghakiman tidak dapat diulur lagi (ayat 9:10; 24:14).
Ada dampak-dampak dosa yang dapat kita lihat dari pernyataan Allah, "Aku akan dan Aku akan..." Namun untuk apakah hukuman itu? Jawabnya ada di ayat 49, yakni agar umat kembali kepada ikatan perjanjian-Nya, dengan mengakui bahwa Tuhan adalah Allah mereka. Karena itu, kita sebagai orang percaya tidak boleh sekali-kali meninggalkan Tuhan; kita malah harus menunjukkan kasih dan syukur kepada Dia yang telah menebus kita oleh kematian Anak-Nya, Yesus Kristus.
Renungkan: Berani berbuat, berani menanggung risiko. Seharusnya setiap Kristen menganut motto ini di dalam hidupnya. Setiap perbuatan pasti membuahkan hasil yang mewajibkan setiap diri kita untuk memetiknya. Oleh karena itu, sebelum berbuat sesuatu, pikirkanlah terlebih dahulu apa akibatnya. Dosa bukan sekadar pelanggaran tapi pengingkaran terhadap janji setia-Nya.* AMIN.
Langganan:
Postingan (Atom)